Gita sedang terduduk di kursi belajarnya. Terdapat setumpuk buku-buku latihan soal ujian di atas meja belajar. Tinggal beberapa bulan lagi sampai Gita melaksanakan ujian akhir sekolah dan tes masuk perguruan tinggi negeri. Meskipun Papa menyuruhnya untuk kuliah di luar negeri tetapi Gita menolak. Dia bilang tidak ingin jauh dengan keluarga. Meskipun alasan sesungguhnya tidak demikian.
Dia melirik ke kasur di belakang tempatnya duduk. Pengalaman itu masih nyata bagi Gita. Saat ketika Bima menyentuh dirinya dan daerah yang tidak pernah disentuh oleh orang lain. Tatapan Bima, suaranya dan respon tubuhnya terhadap perlakuan Bima masih terekam nyata di memori otaknya. Semuanya berlangsung secara cepat. Tetapi hal tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh Gita seumur hidupnya.
Diceknya handphone kesayangannya. Belum ada tanda-tanda seseorang akan membalas pesannya. Tak lama dering handphone menyala. Nama “Ka Bima” tertangkap di layar handphonenya. Tanpa menunggu jeda Gita langsung mengangkat panggilan tersebut.
“Halo!” sapa Gita.
“Kamu belum tidur?” tanya Bima.
“Belum Ka, aku masih belajar!” cerita Gita.
“Jangan kemaleman tidurnya, jangan lupa istirahat, latihan soalnya bisa nanti kok!” ucap Bima.
Mereka berbincang lumayan hangat dan lama. Sampai suara sepeda motor memasuki pagar rumah terdengar dari luar jendela. Gita menghampiri jendela kamarnya. Dia kenal siapa pemilik sepeda motor tersebut. Hatinya senang, telihat dari senyum yang mengembang di bibirnya.
“Ka udah dulu ya, akhirnya kakakku pulang!” kata Gita sambil menutup telepon dari Bima. Tak lama dia segera berjalan ke arah kamar Satria. Dia tahu kesanalah Satria akan menuju.
***
“Dimakan dong Ra, yang ada nasinya nangis tuh!” ucap Della.
Amara menggelengkan kepalanya. Della mendesah. Sia-sia saja rupanya dia mengajak sahabatnya untuk makan malam. Awalnya Della yang sedang menonton film di kamarnya mendengar isakan tangisan. Berhubung hari itu malam jumat, dia pikir ada arwah penasaran yang sedang bergentayangan di kamarnya. Segera dia membaca surat-surat yang berhasil dia hapal. Tetapi tangisan itu tak kunjung reda. Hingga akhirnya dia tahu suara itu dari kamar sebelah.
Setelah berhasil memaksa masuk ke kamar Amara, dia akhirnya mengajak sahabatnya itu untuk makan GFC (General Fried Chicken) di luar. Menurut Della makanan adalah penghibur seseorang ketika memiliki masalah. Tetapi nampaknya Amara tidak berniat sedikitpun untuk mencicipi makanannya tersebut.
“Makan Ra, pamali tahu makan ayam ga diabisin!” ucap Della.
Pamali merupakan ungkapan yang menunjukan pantangan dalam istilah sunda. Biasanya itu merujuk agar seseorang tidak melakukan hal tersebut, dan aka nada sanksi dari pencipta jika melanggarnya.
“Aku ga lapar Dell!” ucap Amara.
“Yaudah aku aja deh yang makan, gimana?” tanya Della.
Amara mengangguk. Akhirnya Della memindahkan ayam-ayam tersebut ke atas piringnya dan mulai memakannya. Sejujurnya dia iba dengan Amara, tetapi dia tidak mau jika malam hari harus bermimpi sekelompok ayam yang marah karena tidak menghabiskan makanan.
Amara memperhatikan Della, selama ini tidak pernah terlihat sahabatnya itu memiliki masalah meskipun tidak memiliki kekasih. Seakan akan hidupnya enjoy saja. Bukan berarti Della tidak menyukai lawan jenis atau belum pernah berpacaran. Semester pertama Della sempat berpacaran dengan seorang mahasiswa jurusan teknik di kampusnya. Della yang tomboy tidak menyangka jika ada seseorang yang menyukainya. Tetapi tak lama Della mengetahui jika pacarnya tersebut memiliki kekasih yang lain. Dengan lapang dada Della menerima keputusan tersebut dan berprinsip tidak akan pacaran sampai benar-benar menemukan orang yang serius di hidupnya.
“Menurut kamu, aku dan Bima bagaimana?” tanya Amara pada akhirnya.
“Apanya yang bagaimana? Kalian bucin. Di kampus sering ketemu di luar kampus juga!” jawab Della.
“Bukan itu sih!” bantah Amara.
“Terus?” tanya della sambil memasukan potongan ayam ke dalam mulutnya.
“Aku sayang sama dia!” ucap Amara.
“iya tau!” jawab Della.
“Dia sayang ga?” tanya Amara pada Della.
“kok nanya aku? Tanya dia aja lah!” ucap Della.
“Jadi dia ga sayang?” tanya Amara.
Della berhenti makan. Sejujurnya dia bingung melihat Amara yang uring-uringan dan tidak jelas seperti ini. Dia tahu Amara sedang dilanda masalah. Dia juga tahu masalahnya ada pada Bima. Tetapi respon Amara sepertinya berlebihan. Tapi dia mengenal Amara beberapa tahun, dia paham sikap Amara.
“Sayang kok dia sayang!” jawab Della agar membuat Amara kembali normal.
“Kalau sayang kok dia kaya gitu Dell!” Kata Amara.
“Ra, sebenernya ada apa?” tanya Della pada akhirnya.
Amara mengigit bibir. Dia bingung haruskah dia cerita masalah Bima? Termasuk menceritakan chat tersebut? Dan foto tersebut?
“Aku ga akan maksa kamu buat cerita! Itu hak kamu.” Kata Della seakan membaca isi hati Amara.
“Menurut kamu, apa Bima selingkuh Dell?” akhirnya Amara membuka topik tersebut.
***
Gita memeluk lengan Satria. Terlihat keakraban mereka berdua sebagai kakak dan adik yang harmonis. Sesekali Satria terlihat mengelus kepala Gita. Respon Gita pun sangat baik karena dia selalu tersenyum saat dielus kepalanya oleh satu-satunya kakak yang paling dia sayang tersebut.
“Gimana latihan ujiannya?” tanya Satria.
“Gita dapet guru privat yang kesini setiap minggu. Gurunya baik, ngajarinnya juga enak Ka!” ucap Gita.
“Gurunya dari tempat les mana?” tanya Satria.
“Bukan ka, bukan dari tempat les. Anaknya teman mama. Dia kuliah, tapi karena sedang skripsi sekalian ngeles privat!” kata Gita.
“Laki-laki? Atau Perempuan?” tanya Satria.
“Laki-laki ka.” Kata Gita sambil wajahnya memerah.
“Jangan-jangan kamu suka sama dia?” ucap Satria sambil mengerutkan alisnya.
“Apaan sih ka!” Gita cemberut, dilepaskan juga lengan Satria.
“Ya gapapa kalau suka.” kata Satria.
“Eh, beneran ka?” tanya Gita.
“Langkahin dulu kakanya! Hahahahaha!” Satria tertawa lepas.
Gita terlihat cemberut karena ejekan kakaknya. Kemudian dia bertanya, “Ka, kakak bakal di sini terus kan? Ga akan pergi lagi?”
Satria tersenyum. Sayangnya dari matanya terlihat adanya kesedihan. Dia bangkit dari kasur tempatnya duduk bersama adik kesayangannya.
“Kakak bakalan tetep tinggal di kosan. Maaf ya!” ucapnya sambil mengelus kepala adiknya.
Muka Gita murung. Terlihat wajahnya yang kesepian. Satria memang sudah sekitar satu tahun lamanya ngekos. Meskipun rumahnya di Bandung dia keluar dari rumah tahun lalu. Sesekali pulang jika ibundanya menyuruhnya pulang. Atau sekedar menengok adiknya.
“Aku bakal ngekos juga nanti ketika kuliah!” ucap Gita.
“Kalau kamu masih kuliah di Bandung mendingan di sini aja. Makan tinggal makan, tidur tinggal tidur kan.” Kata Satria.
“Terus kenapa kakak milih buat keluar dari rumah?” tanya Gita.
“Aku beda. Kamu jagain mama di sini!” ucap Satria.
“Ga adil dong. Kakak egois. Aku juga mau tinggal sendiri!” kata Gita.
Satria memencet hidung Gita. Gita berusaha untuk melepaskan cubitan tersebut. Dielusnya hidung mancungnya. Sekali lagi Satria tertawa.
“Siapa nama guru lesmu itu?” tanya Satria.
“Namanya ka Bima.” Kata Gita.
Jangan lupa klik tanda + agar cerita ini masuk ke library ya Tuliskan juga komentar dan kesan kalian setelah membaca novel ini. Terimakasih
Bima menutup panggilan Gita. Rupanya kakaknya Gita sudah pulang. Sejak awal berjumpa dengan Gita, Bima berusaha berperan sebagai kakanya. Dalam pandangan Bima Gita cukup kesepian, setelah kakaknya memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri di kosan. Bima sendiri belum pernah bertemu dengan kakaknya Gita, dia hanya mendengar ceritanya saja. Pertemuan mereka berdua bermula dari Bima yang ditawari mengajar les privat dari anak teman mamanya. Karena memang sudah tidak ada kuliah hanya skripsi saja, maka Bima mengiyakan. Meskipun awalnya Gita mau dan tidak mau merespon Bima sebagai gurunya, namun akhirnya Gita bisa sedikit terbuka. Bima juga menjadi pendengar setia dari setiap cerita Gita. Setelah lama mengenal Gita, akhirnya bima menyadari. Gadis ini cukup kesepian, tinggal di rumah yang besar dengan orangtua yang sibuk. Kakak satu-satunya yang menemaninya sejak kecil memutuskan pindah dari rumah itu. Kehadiran Bima cukup membuat Gita terhibur dan merasa memiliki kakak
Amara mengecek handphonenya. Nihil tak ada satupun chat dari Bima. Sudah satu hari berlalu sejak pertengkaran mereka, namun baik Amara dan Bima belum berkomunikasi satu sama lain. Amara enggan menghubungi Bima duluan. Menurutnya Bima salah karena menyembunyikan berbagai informasi terutama yang berkaitan dengan Gita. Lucunya di kampus pun mereka tidak bertemu. Bima yang sedang tugas akhir memang jarang di kampus. Biasanya ke kampus hanya untuk mengunjungi Amara ataupun mengerjakan skripsi. Sementara Amara yang masih ada kelas penelitian skripsi mau tidak mau masih harus datang ke sana. Hanya saja aneh jika harinya tidak melihat Bima. Tring… Terdengar nada pesan masuk, Amara langsung mengecek pesan masuk tersebut. Sayangnya pesan itu dari Aurel teman sejurusannya yang menanyakan perihal tugas. Amara cemberut dibuatnya. Haruskah dia menghubungi Bima duluan? Tidak-tidak dia tidak boleh kalah. Bima harus tahu kalau dirinya salah. “Kamu ga fokus ngerjain tu
“Dell.., aku harus gimana?” Tanya Amara. Amara sedang menginap di kamar Della. Dia tidak bisa tidur selama dua hari terakhir karena memikirkaan Bima. Maka dari itu dia memutuskan untuk mencari teman menginap. Della yang sedang menonton drama korea mendesah. Dia tidak paham mengapa sahabatnya terus bertanya hal yang sama. Baru beberapa menit lalu dia bertanya, kemudian kali ini dia menanyakan hal yang sama lagi. “Oke, sekali lagi ya aku kasih tau. Ya kalau emang kangen hubungin aja sih.” Kata Della. “Tapi kesannya gimana ga sih? Kesannya aku yang salah?” Tanya Amara. “Ga juga Ra, kadang seseorang mengalah itu bukan karena dia kalah, tapi ingin berdamai dengan dirinya sendiri.” Kata Della. “Aku harus chat gimana?” tanya Amara. “Ajak ketemu aja sih? Biar masalah kalian berdua selesai. Biar salah paham kalian juga beres.” Kata Della. “Ga ada basa-basi dulu?” Tanya Amara. “Ra, kamu udah berapa tahun sih sama Bima? Ka
Satria membuka pintu kosan. Terlihat segerombolan mahasiswa sedang berbicang sambil merokok di ruang tamu, yang sebetulnya hanya terdiri atas kursi-kursi tua dan televise tabung di tengah rumah. Satria masuk sambil menggandeng tangan Diana, membawanya ke kamar pribadinya di lantai dua. Sebetulnya kosan Satria merupakan rumah kontrakan yang memiliki banyak kamar. Kosan tersebut sengaja disewa oleh mahasiswa kelompoknya. Kelompok Satria sejatinya terdiri dari mahasiswa kritis yang banyak melakukan aksi demonstrasi terhadap program pemerintah yang mereka nilai kurang mendukung rakyat. Satria yang merupakan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) tahun lalu ikut andil dari demonstrasi anti korupsi yang ternyata membawa nama Rudi yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Diana memperhatikan kosan itu sepintas. Dia pernah dibawa ke sini oleh Satria, ketika mereka rutin melakukan diskusi untuk membicarakan seputar aksi dan program yang akan dilakukan kelompoknya. Orang-orangnya
Della menyantap ayam goreng ke limanya. Ayam-ayam itu nampak sangat lezat dengan balutan tepung goring krispy. Terdapat tiga macam saus dituangkan di atasnya, saus barbeque, saus sambal dan saus keju. Ketiganya langsung dituangkan oleh Della ke atas ayam goreng tersebut. Saat akan mengambil balutan ayam goreng yang telah dilumuri saus. Tiba-tiba lampu padam. Suasana menjadi mencekam, ayam goreng tersebut juga hilang. Di depan Della munculah sosok wanita mengenakan jubah putih dengan rambut panjang menjuntai. Sedikit demi sedikit, di telinganya terdengar suara tangisan. Tangisan itu semakin lama semakin keras. Hingga akhirnya membuat Della membuka mata. “Ah syukurlah hanya mimpi.” Kata Della. Hiks….hiks…hiks…. Tubuh Della langsung mematung. Dia kira hantu tersebut telah pergi, nyatanya tidak. Della masih bisa mendengar suara wanita menangis. Apa jangan-jangan dia masih di alam mimpi. Tapi dia yakin ini di kamarnya. Suara wanita itu terdengar jelas bera
Kantin sedang penuh sesak. Tidak ada kursi yang tersedia. Perut Amara sudah berkonser ria. Bagaimana bisa mereka makan jika keadaannya seperti ini? “Sini!” ajak Satria. Amara mengangguk dia mengikuti Satria. Kantin kampus terdiri atas tempat duduk dan meja untuk makan di bagian halaman. Sementara itu di dalamnya berjejer beranekaragam pujasera yang menjual makanan dan minuman. Sayangnya semua tempat duduk terisi penuh. Wajar saja karena sekarang sedang jam makan siang. Satria membawa Amara naik ke tangga di lantai dua. Tepatnya ketika memasuki area kantin, di sebelah wc terdapat anak tangga. Seharusnya hanya orang dalam saja yang bisa masuk ke tangga tersebut. “Sat gapapa kita naik ke sini?” Tanya Amara. “Udah ikut aja!” Kata Satria. Amara mengangguk. Akhirnya mereka sampai di lantai dua. Ternyata di lantai dua areaanya sangat bersih. Malahan hampir mirip seperti kantor. Bahkan ada ruangan dengan nama perpustakaan di labelnya. Sa
Amara kembali ke fakultas Sastra tempat Bima kuliah. Satria menepati janjinya dengan mengantarkan sampai pintu fakultas. “Aku langsung pamit ya.” Kata Satria. “Makasih ya, oh uang mie ayamnya.” Kata Amara sambil merogoh tasnya. “Udah gausah, dari aku aja.” Kata Satria. “Eh tapi aku ga enak.” Kata Amara. “Kamu kuliah, uang jajan dari orangtuamu. Sementara aku udah kerja walaupun kerjaanku sebatas pembuat kopi. Kamu boleh bayar sendiri-sendiri kalau makan sama aku kalau kamu udah punya penghasilan sendiri.” Kata Satria kemudian dia berjalan pamit. Amara tertegun di sana. Sejujurnya selama berpacaran dengan Bima pun, dia membayar sendiri-sendiri. Termasuk uang jalan dan bensin biasanya Amara membayar uang bensin jika diantar oleh Bima. Maka dari itu dia merasa tidak enak. Untuk itu Amara meneguhkan hatinya jika dia sudah bekerja dia akan mentraktir Satria sebagai ucapan terimakasih. Saat Amara masuk gedung Fakultas ternyata Bima s
Bima membawa Amara menuju taman kampus. Suasana di fakultas tidak kondusif untuk mengobrol. Banyak yang memperhatikan mereka. Bima yang punya reputasi cukup baik di sana merasa malu. Amara duduk di kursi taman pinggir kolam. Seharusnya suasana taman membuat hati mereka berdua menjadi teduh saat ini. di sebelahnya duduk Bima. “Jelasin siapa cowo yang bareng kamu tadi!” Kata Bima. “Jelasin juga siapa Gita.” Kata Amara. “Kamu ditanya malah balik nanya ya!” Jawab Bima. “Loh emang awal masalahnya itu dia kan!” Bentak Amara. “Kamu ga dewasa banget. Kamu ga fokus sama masalah seharusnya, malah ngobrolin kemana-mana.” Kata Bima. “Kamu juga kebiasaan. Dari pas di kantin dulu aku tanya siapa Gita jawaban kamu kemana-mana. Siapa sih yang ga dewasa?” Jawab Amara. “Yang lucunya kamu aku tanya jalan sama siapa malah ngebalikin kan. Yang ga dewasa itu siapa?” Tanya Bima. “Sekarang jujur sama aku! Siapa sebenernya Gita!”