Amara kembali ke fakultas Sastra tempat Bima kuliah. Satria menepati janjinya dengan mengantarkan sampai pintu fakultas.
“Aku langsung pamit ya.” Kata Satria.
“Makasih ya, oh uang mie ayamnya.” Kata Amara sambil merogoh tasnya.
“Udah gausah, dari aku aja.” Kata Satria.
“Eh tapi aku ga enak.” Kata Amara.
“Kamu kuliah, uang jajan dari orangtuamu. Sementara aku udah kerja walaupun kerjaanku sebatas pembuat kopi. Kamu boleh bayar sendiri-sendiri kalau makan sama aku kalau kamu udah punya penghasilan sendiri.” Kata Satria kemudian dia berjalan pamit.
Amara tertegun di sana. Sejujurnya selama berpacaran dengan Bima pun, dia membayar sendiri-sendiri. Termasuk uang jalan dan bensin biasanya Amara membayar uang bensin jika diantar oleh Bima. Maka dari itu dia merasa tidak enak. Untuk itu Amara meneguhkan hatinya jika dia sudah bekerja dia akan mentraktir Satria sebagai ucapan terimakasih.
Saat Amara masuk gedung Fakultas ternyata Bima s
Jangan lupa klik tanda + agar cerita ini masuk ke library ya Tuliskan juga komentar dan kesan kalian setelah membaca novel ini. Terimakasih
Bima membawa Amara menuju taman kampus. Suasana di fakultas tidak kondusif untuk mengobrol. Banyak yang memperhatikan mereka. Bima yang punya reputasi cukup baik di sana merasa malu. Amara duduk di kursi taman pinggir kolam. Seharusnya suasana taman membuat hati mereka berdua menjadi teduh saat ini. di sebelahnya duduk Bima. “Jelasin siapa cowo yang bareng kamu tadi!” Kata Bima. “Jelasin juga siapa Gita.” Kata Amara. “Kamu ditanya malah balik nanya ya!” Jawab Bima. “Loh emang awal masalahnya itu dia kan!” Bentak Amara. “Kamu ga dewasa banget. Kamu ga fokus sama masalah seharusnya, malah ngobrolin kemana-mana.” Kata Bima. “Kamu juga kebiasaan. Dari pas di kantin dulu aku tanya siapa Gita jawaban kamu kemana-mana. Siapa sih yang ga dewasa?” Jawab Amara. “Yang lucunya kamu aku tanya jalan sama siapa malah ngebalikin kan. Yang ga dewasa itu siapa?” Tanya Bima. “Sekarang jujur sama aku! Siapa sebenernya Gita!”
“Gamau!” Ucap Gita. “Loh aku kakakmu loh, masa gamau dikenalin sih!” Kata Satria. “Nanti diapa-apain kalau sama kakak!” ucap Gita. “Emang bakal aku apain sih? Ajak berantem?” Seru Satria sebal. “Pokoknya nanti aja aku kenalinnya!” Jawab Gita. “Ga harus dikenalin sekarang pokoknya!” Kata Satria. “Kakak apaan sih lagi banyak pelanggan tau. Dah ah dadah kakak!” Kata Gita sambil berlari keluar. Satria hendak menyusul Gita keluar namun ditahan oleh Ibu Delia. “Kerjaan mu belum selesai nak!” Kata Ibu Delia. “Tapi Gita bu. Ini urgent saya harus tau dia sama siapa.” Kata Satria. “Mau kupotong gajimu?” Tanya Ibu Delia. Satria akhirnya kembali ke tempatnya bekerja. Suatu hari nanti dia akan mendesak adiknya untuk mengenalkan pacarnya tersebut. *** “Mau ke mana Di?” Faisal yang melihat Diana menuju pintu keluar bertanya. “Pulang!” Ucap Diana. “Ga nungguin Satria?” Ta
Bima termenung di kamarnya. Dia terjebak dalam kesalahannya sendiri. Dia mengakui tindakannya khilaf. Membawa anak SMA berumur 18 tahun merasakan dunia yang lebih dewasa. Sejujurnya dia melakukan itu semua karena ingin membantu Gita. Menghiburnya yang kala itu sedang dilanda sedih dan putus asa. Namun ternyata tindakannya yang tidak bisa mengontrol nafsu malah membuatnya terjerat. Bima menghembuskan nafas berat lagi untuk yang kesekian kali. Dipandanginya meja belajarnya. Terdapat foto dirinya dan Amara berdua. Di foto itu pertama kalinya dia mengajak jalan-jalan berdua seorang gadis keluar kota. Demi mengajak Amara, Bima harus meminta izin kepada orangtua Amara di luar kota untuk berlibur berdua ke kota Yogyakarta. Itu pengalaman paling menyenangkan bagi dirinya. Amara yang menyukai kota-kota lama dan budaya sangat senang dibawa ke salah satu situs terkenal di Indonesia, Candi Prambanan. Mereka juga mengunjungi sanak saudara Amara dan Bima secara bergantian yang berad
Doni, lelaki berbadan besar itu tersungkur ke tanah. Sedikit darah merembes keluar dari bibirnya. Sisa darahnya masih ada di buku jari milik Satria. Dengan tatapan dingin Satria melihat lawannya terjatuh. Beberapa penonton di belakangnya menjerit. Beberapa lagi ada yang menutup mulutnya dengan telapak tangan saking terkejut. Seperti halnya Amara yang melihat dari kerimbunan penonton yang melihatnya. Sementara Doni terdiam saking terkejutnya. Siapa sangka Satria yang ada di depannya merupakan atlet taekwondo tingkat Nasional ketika SMA. Namun Satria banting setir ketika diwari menjadi atlet. Menurutnya perkataan Socrates, Plato, Soekarno dan Hatta lebih menarik dipelajari dibandingkan menjadi atlet. Jika melihat soal badan, Satria tidak lebih besar dibandingkan dengan Doni, namun kalau soal teknik yang dipelajari selama bertahun-tahun tentu saja Satria yang lebih unggul. “Jangan pernah ngerendahin cewe di depan gue!” Ucap Satria lantang. Diana menangis
Diana mengambil gelas berisi sekoteng yang ditawarkan oleh Amara. Pikirannya sudah sedikit jernih setelah mandi tadi. Amarah serta emosi yang selama ini dipendamnya telah dituangkan saat menangis di kamar mandi. Entah Amara mendengarkan atau tidak, Diana tidak tahu. Dia hanya ingin melepas beban sejenak. “Terimakasih.” Kata Diana kemudian menyeruput sekoteng tersebut. Amara mengangguk. Dia tidak banyak berbicara. Dia tidak mengenal Diana, namun Satria meminta izin agar Diana menginap di kosannya semalam. Katanya dia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi saat ini. “Ada lagi yang kamu butuhkan?” Tanya Amara. “Tidak ada, terimakasih.” Jawabnya. “Aku punya kasur lipat karena khawatir keluargaku akan menginap jika datang menengok. Kamu boleh pakai kasur itu ya.” Kata Amara. Diana mengangguk. “Jadi kamu satu jurusan sama Satria?” Tanya Amara. “Aku junior di jurusannya.” Kata Diana. Mereka hening sejenak. Sejujurnya
Pagi harinya Satria menjemput Diana ke kosan Amara. Satria berjanji akan menemani Diana mencari kosan barunya agar terlepas dari trauma yang diberikan oleh Doni. “Sayangnya kosan aku penuh, jadi ga ada kamar kosong. Kalau ada kamu bisa jadi teman satu kosan aku.” Kata Amara. “Makasih ya, aku ngerasa udah cukup ngerepotin kamu sejauh ini.” Kata Diana. “Engga kok, aku seneng ada temennya.” Kata Amara. “Sorry, ya Ra udah direpotin banget.” Kata Satria. “Gapapa kok, semoga bisa cepet ketemu kosan barunya ya.” Kata Amara. Setelah berpamitan, Satria langsung pergi bersama Diana untuk mencari kosan yang baru. Ketika mereka sudah hilang dari pandangan Amara segera naik ke lantai dua menuju kamarnya. Di depan kamar menunggu Della. “Ra!” Sapa Della. “Kenapa Dell? kayanya udah nunggu dari tadi.” Tanya Amara. Della mengangguk. Amara melihat sosok Della yang serius. Mungkinkah ada sesuatu. “Aku nunggu sampai
Sejak Bima bergabung dalam kelompok makan mereka, Diana terus menerus mencuri pandang kepada Bima. Diana penasaran benarkah prasangkanya benar ataukah salah. Amara bilang bahwa dia punya pacar. Kemudian secara tidak sengaja Diana menemukan foto mirip Bima di sana. Tapi tunggu, bisa saja kalau Bima mantan dari Amara. “Ka!” Panggil Gita kepada Diana. Diana berhenti melamun, dia menolehkan wajahnya kepada Gita. Tatapan Gita memang biasa, namun sebagai seorang wanita, Diana mengetahui bahwa tatapan tersebut adalah tatapan cemburu. “Iya? Kenapa Git?” Tanya Diana lembut. “Temenin ke kamar mandi sebentar yu.” Kata Gita. Diana mengangguk. Dia memang menunggu momentum tersebut, saat dia berbicara berdua saja dengan Gita. Tak lama kemudian Gita bangkit dan menuju toilet rumah makan yang tersedia. Diana berjalan di sebelahnya. Sampai depan kamar mandi, Gita berhenti. Dia melirik ke belakang seakan memastikan Satria dan Bima tidak bisa mendengarka
“Terimakasih sudah membantu sejauh ini ka.” Kata Diana. “Sama-sama, mulai sekarang jagalah dirimu baik-baik.” Kata Satria. Mereka berdua sedang berada di kosan baru Diana. Setelah lama mencari akhirnya Diana mendapatkan yang sesuai dengan dirinya. Satria juga membantunya pindahan dari kosannya yang lama. Rupanya Doni tidak pernah terlihat lagi sejak ulahnya di secangkir kopi tempo lalu. Membuat Diana lega karena tidak harus berurusan lagi dengan pria tersebut. “Kakak di sini sampai malam kan?” Tanya Diana. “Aku malam ada janji.” Kata Satria. Diana tertegun. Hari ini hari sabtu. Biasanya orang-orang akan janjian keluar malamnya dengan pasangan. Menurut informasi yang Diana dapat, Satria belum memiliki pacar sejak putus dengannya. Kabar janji yang dilontarkan tersebut membuatnya sesak. Hari-hari yang dilalui dengan Doni membuatnya sadar jika dia meninggalkan pria yang baik. Meskipun demikian dia sadar bahwa itu semua adalah salahnya. “Sa
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"