Pagi harinya Satria menjemput Diana ke kosan Amara. Satria berjanji akan menemani Diana mencari kosan barunya agar terlepas dari trauma yang diberikan oleh Doni.
“Sayangnya kosan aku penuh, jadi ga ada kamar kosong. Kalau ada kamu bisa jadi teman satu kosan aku.” Kata Amara.
“Makasih ya, aku ngerasa udah cukup ngerepotin kamu sejauh ini.” Kata Diana.
“Engga kok, aku seneng ada temennya.” Kata Amara.
“Sorry, ya Ra udah direpotin banget.” Kata Satria.
“Gapapa kok, semoga bisa cepet ketemu kosan barunya ya.” Kata Amara.
Setelah berpamitan, Satria langsung pergi bersama Diana untuk mencari kosan yang baru. Ketika mereka sudah hilang dari pandangan Amara segera naik ke lantai dua menuju kamarnya. Di depan kamar menunggu Della.
“Ra!” Sapa Della.
“Kenapa Dell? kayanya udah nunggu dari tadi.” Tanya Amara.
Della mengangguk. Amara melihat sosok Della yang serius. Mungkinkah ada sesuatu.
“Aku nunggu sampai
Halo semuanya terimakasih ya atas dukungannya buat "Finding The Sun". Ga kerasa udah sampai ke chapter 20. Semoga cerita ini bisa menghibur kalian dan sebagai bahan pembelajaran ya. Jangan lupa add ig autor @the.rain.fall Terimakasih semuanya. Salam sayang~
Sejak Bima bergabung dalam kelompok makan mereka, Diana terus menerus mencuri pandang kepada Bima. Diana penasaran benarkah prasangkanya benar ataukah salah. Amara bilang bahwa dia punya pacar. Kemudian secara tidak sengaja Diana menemukan foto mirip Bima di sana. Tapi tunggu, bisa saja kalau Bima mantan dari Amara. “Ka!” Panggil Gita kepada Diana. Diana berhenti melamun, dia menolehkan wajahnya kepada Gita. Tatapan Gita memang biasa, namun sebagai seorang wanita, Diana mengetahui bahwa tatapan tersebut adalah tatapan cemburu. “Iya? Kenapa Git?” Tanya Diana lembut. “Temenin ke kamar mandi sebentar yu.” Kata Gita. Diana mengangguk. Dia memang menunggu momentum tersebut, saat dia berbicara berdua saja dengan Gita. Tak lama kemudian Gita bangkit dan menuju toilet rumah makan yang tersedia. Diana berjalan di sebelahnya. Sampai depan kamar mandi, Gita berhenti. Dia melirik ke belakang seakan memastikan Satria dan Bima tidak bisa mendengarka
“Terimakasih sudah membantu sejauh ini ka.” Kata Diana. “Sama-sama, mulai sekarang jagalah dirimu baik-baik.” Kata Satria. Mereka berdua sedang berada di kosan baru Diana. Setelah lama mencari akhirnya Diana mendapatkan yang sesuai dengan dirinya. Satria juga membantunya pindahan dari kosannya yang lama. Rupanya Doni tidak pernah terlihat lagi sejak ulahnya di secangkir kopi tempo lalu. Membuat Diana lega karena tidak harus berurusan lagi dengan pria tersebut. “Kakak di sini sampai malam kan?” Tanya Diana. “Aku malam ada janji.” Kata Satria. Diana tertegun. Hari ini hari sabtu. Biasanya orang-orang akan janjian keluar malamnya dengan pasangan. Menurut informasi yang Diana dapat, Satria belum memiliki pacar sejak putus dengannya. Kabar janji yang dilontarkan tersebut membuatnya sesak. Hari-hari yang dilalui dengan Doni membuatnya sadar jika dia meninggalkan pria yang baik. Meskipun demikian dia sadar bahwa itu semua adalah salahnya. “Sa
“Halo Di!” Kata Doni sambil tersenyum. Diana langsung mundur beberapa langkah sambil melepaskan pegangan Doni. Mukanya langsung pucat pasi. Dia sedikit gemetar. Trauma dengan apa yang dilakukan oleh Doni. “Tunggu, aku cuman mau ngomong sebentar sama kamu.” Kata Doni. Diana menggeleng. Dia ingin pergi dari sana secepatnya. Tujuannya ke sini adalah mencari Satria. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Doni. “Tunggu, kata aku juga. Aku cuman mau minta maaf sama kamu.” Kata Doni. Diana terdiam. Ada sedikit rasa iba dan percaya dari dirinya. Namun sisanya adalah rasa takut dan khawatir. Dia curiga jika Doni akan melakukan hal yang tidak baik lagi kepada dirinya. “Aku benar-benar minta maaf Di.” Kata Doni sambil memegang tangan Diana. Diana bingung harus melakukan apa. Sejujurnya dia benar-benar ingin pergi dari sana. Namun dia takut. “Aku…., aku….!” Diana menghentikan ucapannya. Dia melihat banyak orang m
Amara pucat pasi. Ingin rasanya dia menangis malam itu. Beberapa air mata membasahi matanya. Malam itu seharusnya malam bahagia, tetapi kenapa tuhan seperti mengujinya.Dilihat telapak tanganya. Tangannya bergetar. Dadanya serasa sakit sekali. Apa yang harus dia lakukan dia tidak tahu. Seharusnya dia tidak di sini. Tetapi jika dia tidak ikut ke Car Free Night malam ini, entah sampai kapan dia berusaha untuk menepis kenyataan tentang Bima.Sekali lagi dia memperhatikan ke bawah. Bima digandeng mesra oleh seorang wanita lain. Anak SMA entah kelas berapa berhasil membuat hubungannya rusak. Dia marah bercampur dengan rasa sedih dan kecewa.Rupanya kejutan tidak hanya sampai di sana. Dia melihat pemandangan luar biasa. Satria terlihat melangkah mendekati Gita. Gita yang melihat sosok Satria langsung berlari ke arahnya. Ini mimpi bukan? Mereka saling mengenal satu sama lain. Tunggu! Tadi Satria sempat menyebutkan nama adiknya, Gita. Apa jangan-jangan Gita yang dimaksu
“Ka?” Tanya Gita ketika mereka berada di tempat tujuan.Bima tersadar dari lamunannya. Setelah melihat Amara di keramaian tadi Bima hanya bisa terdiam. Amara terlihat penuh dengan emosi saat itu. Namun dia hanya tersenyum dan pergi. Bima bimbang, apakah dia harus mengejarnya atau tidak. Sementara dia sedang dalam posisi menjaga Gita pada saat itu.Tidak ada satupun chat ataupun telepon dari Amara semenjak itu. Ada rasa tidak enak dari Bima. Posisinya serba salah kali ini. Haruskah dia menemui Amara sepulang dari sini?“Ka?” tanya Gita lagi.Bima menolek ke wajah Gita. Terlihat mukanya yang sedikit kesal. Senyumnya turun ke bawah. Membuat Bima tidak enak juga.“Maaf Git!” Kata Bima.“kakak mikirin apa sih?” Tanya Gita.“Bukan apa-apa ko.” Kata Bima.Gita tidak puas dengan jawaban Bima. Meskipun tidak bilang, Gita melihat Amara secara sepintas. Awalnya dia ingin me
“Coba ulangi!” Kata Satria. Wajah Amara memerah. Entah apa yang dipikirkannya sehingga terlontar pemikiran seperti itu. Amara sedang kacau. Hanya karena seorang Bima dia menjadi seperti ini. “Itu….!” Amara menjawab dengan gagap. Dia bingung harus merespon apa. “Yaudah, yuk kita pacaran!” Kata Satria. Amara panik. Bodohnya dia! Sudah jelas dia masih memiliki hubungan dengan Bima. Kok bisa-bisanya dia mengajak orang lain pacaran. Memang jikalau harus jujur, terlintas pikiran Amara untuk membalas dendam. Jika memang Bima bisa berpacaran dengan Gita? Bisa jalan bareng dengan bebasnya dengan wanita lain kenapa dia tidak bisa? Dia melihat wajah Satria. Pria itu terlalu baik. Selama ini dialah yang menemani Amara ketika jatuh. Bisa-bisanya Amara memiliki ide untuk berpacaran dengan orang lain karena apa yang Bima lakukan terhadapnya. “Satria…., Aku…!” Amara ingin menjelaskan sesuatu namun Satria memotong perkataannya. “Udah ma
Diana tidak tenang. Dia terus memikirkan tentang Satria. Setelah berpisah dari Doni dia memiliki keinginan besar untuk kembali kepada Satria. Namun sikap Satria dingin, meskipun terkadang masih membantunya namun sikapnya tidak lebih dibandingkan dengan teman. Sementara Diana ingin sikap Satria saat mereka masih berpacaran.Sempat beberapa kali Diana mengirimkan foto ketika mereka masih bersama. Berharap Satria juga mengingat kenangan manis seperti dirinya. Sayangnya responnya biasa saja tidak seperti yang dia harapkan. Bahkan terkadang Satria hanya membalas chat Diana jika berhubungan dengan kuliah ataupun ketika Diana meminta bantuan. Benar-benar mengesalkan bagi Diana.Hingga akhirnya Diana meminta bantuan kepada Satria untuk membeli beberapa barang. Dia bilang barangnya masih ada di Doni. Diana sendiri tidak ingin berurusan lagi dengan Doni. Sudah cukup baginya. Satria menyetujui, namun dia bilang akan menjemput setelah beres bimbingan skripsi.Ketika mengant
Bima melihat Diana dengan tatapan tajam. “Aku pikir kamu teman Amara? Kok bisa ya cewek dengan gampangnya ngomongin temennya di belakang.” Kata Bima sambil nyengir. Diana tidak menyangka respon Bima seperti itu. Respon yang dia sangka adalah Bima marah ataupun kesal. Namun yang dilihatnya Bima hanya lanjut menghisap rokoknya seakan sudah menyangka. “kamu ga kesel pacarmu direbut orang?” Tanya Diana. “Kesel sih.” Kata Bima sambil menatap kolam. “Terus bakal diem aja?” Tanya Diana. “Kamu kaya gini karena suka sama Satria kan?” tanya Bima. Diana tersentak. Apa yang dibicarakan Bima benar adanya. Dengan tatapan kasian Bima menengok ke arah Diana yang duduk di sebelahnya. “Emang kamu udah ga sayang sama dia?” Tanya Diana. “Sayang.” Kata Bima. “Tapi aku tahu diri.” “Maksudnya?” tanya Diana. “Sudahlah urusi saja urusan kamu sendiri. Cewek kaya kamu ga akan pernah ngerti.” Kata Bima. Diana kesal
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"