“Ka?” Tanya Gita ketika mereka berada di tempat tujuan.
Bima tersadar dari lamunannya. Setelah melihat Amara di keramaian tadi Bima hanya bisa terdiam. Amara terlihat penuh dengan emosi saat itu. Namun dia hanya tersenyum dan pergi. Bima bimbang, apakah dia harus mengejarnya atau tidak. Sementara dia sedang dalam posisi menjaga Gita pada saat itu.
Tidak ada satupun chat ataupun telepon dari Amara semenjak itu. Ada rasa tidak enak dari Bima. Posisinya serba salah kali ini. Haruskah dia menemui Amara sepulang dari sini?
“Ka?” tanya Gita lagi.
Bima menolek ke wajah Gita. Terlihat mukanya yang sedikit kesal. Senyumnya turun ke bawah. Membuat Bima tidak enak juga.
“Maaf Git!” Kata Bima.
“kakak mikirin apa sih?” Tanya Gita.
“Bukan apa-apa ko.” Kata Bima.
Gita tidak puas dengan jawaban Bima. Meskipun tidak bilang, Gita melihat Amara secara sepintas. Awalnya dia ingin me
“Coba ulangi!” Kata Satria. Wajah Amara memerah. Entah apa yang dipikirkannya sehingga terlontar pemikiran seperti itu. Amara sedang kacau. Hanya karena seorang Bima dia menjadi seperti ini. “Itu….!” Amara menjawab dengan gagap. Dia bingung harus merespon apa. “Yaudah, yuk kita pacaran!” Kata Satria. Amara panik. Bodohnya dia! Sudah jelas dia masih memiliki hubungan dengan Bima. Kok bisa-bisanya dia mengajak orang lain pacaran. Memang jikalau harus jujur, terlintas pikiran Amara untuk membalas dendam. Jika memang Bima bisa berpacaran dengan Gita? Bisa jalan bareng dengan bebasnya dengan wanita lain kenapa dia tidak bisa? Dia melihat wajah Satria. Pria itu terlalu baik. Selama ini dialah yang menemani Amara ketika jatuh. Bisa-bisanya Amara memiliki ide untuk berpacaran dengan orang lain karena apa yang Bima lakukan terhadapnya. “Satria…., Aku…!” Amara ingin menjelaskan sesuatu namun Satria memotong perkataannya. “Udah ma
Diana tidak tenang. Dia terus memikirkan tentang Satria. Setelah berpisah dari Doni dia memiliki keinginan besar untuk kembali kepada Satria. Namun sikap Satria dingin, meskipun terkadang masih membantunya namun sikapnya tidak lebih dibandingkan dengan teman. Sementara Diana ingin sikap Satria saat mereka masih berpacaran.Sempat beberapa kali Diana mengirimkan foto ketika mereka masih bersama. Berharap Satria juga mengingat kenangan manis seperti dirinya. Sayangnya responnya biasa saja tidak seperti yang dia harapkan. Bahkan terkadang Satria hanya membalas chat Diana jika berhubungan dengan kuliah ataupun ketika Diana meminta bantuan. Benar-benar mengesalkan bagi Diana.Hingga akhirnya Diana meminta bantuan kepada Satria untuk membeli beberapa barang. Dia bilang barangnya masih ada di Doni. Diana sendiri tidak ingin berurusan lagi dengan Doni. Sudah cukup baginya. Satria menyetujui, namun dia bilang akan menjemput setelah beres bimbingan skripsi.Ketika mengant
Bima melihat Diana dengan tatapan tajam. “Aku pikir kamu teman Amara? Kok bisa ya cewek dengan gampangnya ngomongin temennya di belakang.” Kata Bima sambil nyengir. Diana tidak menyangka respon Bima seperti itu. Respon yang dia sangka adalah Bima marah ataupun kesal. Namun yang dilihatnya Bima hanya lanjut menghisap rokoknya seakan sudah menyangka. “kamu ga kesel pacarmu direbut orang?” Tanya Diana. “Kesel sih.” Kata Bima sambil menatap kolam. “Terus bakal diem aja?” Tanya Diana. “Kamu kaya gini karena suka sama Satria kan?” tanya Bima. Diana tersentak. Apa yang dibicarakan Bima benar adanya. Dengan tatapan kasian Bima menengok ke arah Diana yang duduk di sebelahnya. “Emang kamu udah ga sayang sama dia?” Tanya Diana. “Sayang.” Kata Bima. “Tapi aku tahu diri.” “Maksudnya?” tanya Diana. “Sudahlah urusi saja urusan kamu sendiri. Cewek kaya kamu ga akan pernah ngerti.” Kata Bima. Diana kesal
Di Kamar kosannya Diana masih kesal dengan perlakuan Bima. Dia pikir dengan memberitahukan kedekatan antara Satria dan Amara akan membuat Bima marah. Diana tidak sudi jika Satria bersama dengan Amara. Terlebih dia yang sudah putus dengan Doni memimpikan kembalinya dia dan Satria untuk bersama kembali. “Hufh!” Diana menarik nafas panjang. Kemudian dia beralih ke meja kecil di sudut kamarnya. Dibuka laci kedua bagian meja tersebut. Masih tersimpan foto-foto dirinya dan Satria. Dia merindukan Satria. Diambilnya salah satu foto ketika mereka berdua berlibur ke puncak. Di sana terlihat senyum bahagia dari keduanya. Dia menginginkan Satria kembali. Berpacaran dengan Doni membuat dirinya sadar bahwa Satria adalah laki-laki terbaik yang berpacaran dengannya selama ini. Ketika berpacaran dengan Doni. Foto-fotonya dan Satria disimpan secara rapi agar Doni tidak tahu. Doni yang tidak suka membaca, membuat Diana bisa menyembunyikan semua foto tersebut di lipatan buku. En
“Neng Gita gamau makan?” Tanya nini. Nini adalah pengasuh Gita dan Satria sejak kecil. Nini tinggal di kampung belakang kediaman mereka. Umurnya sudah tua, namun rasa sayangnya terhadap mereka berdua benar-benar tidak terhingga. Saat itu jam makan siang. Sudah sekitar tiga hari Gita tidak nafsu makan. Sejak kejadian di Car Free Night dia terus-terusan cemas. Dia cemas takut jika Bima meninggalkannya. Dia sudah nyaman dengan Bima. Namun dengan datangnya Amara di hari itu semakin membuatnya cemas. Gita pikir saat menelpon Amara dahulu rencananya telah berhasil. Amara dan Bima akhirnya di ambang kehancuran. Bima yang sudah melakukan hal terlarang dengannya juga seakan tidak bisa menjauh dari Gita. Namun entah firasatnya mengatakan rencananya tidak semudah kelihatannya. “Ga lapar aku Ni.” Ucap Gita. “Dimakan dulu ya neng. Udah tiga hari gamau makan. Nanti neng Gita sakit gimana?” Kata Nini penuh perhatian. Akhirnya Gita makan beberapa suap. Perutn
Tepat saat Satria sudah pasrah. Mobil tersebut berhenti di depannya. Ternyata tuhan masih memberikannya waktu. Segera orang-orang bergerombol di sana untuk membantu Satria. Badannya sakit. Namun dia masih mencoba untuk berdiri. Rasa sakitnya tidak dirasa, karena menurutnya akan bertambah sakit saja. Usahanya gagal. Badannya sulit digerakan.Perlahan banyak orang berkumpul di sana. Sampai akhirnya mobile ambulance datang dan cepat-cepat membawanya ke rumah sakit terdekat. Tidak lupa juga dicari identitasnya untuk menghubungi sanak saudaranya.Di kamar rumah sakit, seorang dokter berjalan ke arahnya. Dia sudah diperiksa. Dokter tersebut tersenyum ramah. Di belakangnya berdiri Nini dan Gita. Rupanya pihak rumah sakit berhasil menghubungi rumah. Setelah dokter mengatakan bahwa Satria bisa pulang besok ketika lebih baik mereka berdua bernafas lega.“Mana mama?” Tanya Satria kepada mereka berdua.Gita hanya terdiam dan tersenyum kecut. D
Amara memasuki kamar tempat Satria menginap. Hari itu sudah jam delapan malam. Di samping tempat tidurnya ada Nini. Nini tersenyum kepada Amara kemudian berdiri untuk menyapa. Amara dengan peka memegang tangan Nini lalu mencium punggung tangannya. Awalnya Amara mengira dia adalah ibunya.“Siapa ini ya?” Tanya Nini ramah.“Saya Amara Ni, teman Satria.” Kata Amara.“Saya Nini, yang ngasuh Aden dari kecil. Mau nengok ya Neng. Tapi si Aden lagi tidur. Dibangunin aja kali yah?” Kata Nini.Amara cepat mencegah Nini membangunkan Satria.“Gausah Ni. Saya ga lama juga ko lagian ga enak bangunin Satria pas lagi sakit.” Kata Amara.Nini mengangguk. Kemudian dia melihat jam yang terletak di dinding kamar. Nini kemudian memegang tangah Amara.“Neng, Nini mau minta tolong sebentar ya.” Kata Nini.Amara kaget. Tapi dari sorot mata Nini, dia mengetahui bahwa Nini sangat membutuhkan ba
Keesokan harinya Satria sudah merasa baikan. Dia ingin pulang ke rumah. Namun Nini menahannya karena dokter bilang ada baiknya dirawat sampai lusa. Satria bilang dia tidak betah di rumah sakit dan ingin segera membuat kopi.“Masa aden abis kecelakaan langsung kerja lagi?” Tanya Nini sambil mengomel.Satria tertawa melihat tingkah Nini. Karena jarang pulang dia jarang mengobrol lama dengan nini lagi. Namun dia lega ada Nini yang menemaninya di rumah sakit. Sementara kedua orangtuanya batang hidungnya belum terlihat. Meskipun demikian Mega yang tidak lain adalah ibu dari Satria sempat menelponnya menanyakan kabar. Mega bilang setelah mengantarkan laporan dinas ke kampus tempatnya bekerja dia akan mengunjungi Satria di rumah sakit.“Kata dokter kan boleh pulang kalau ngerasa baikan Ni.” Kata Satria.“Terus aden tinggal di rumah kan?” Tanya Nini.“Di kosan lah.” Jawabnya.Nini menggelengkan k
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"