“Coba ulangi!” Kata Satria.
Wajah Amara memerah. Entah apa yang dipikirkannya sehingga terlontar pemikiran seperti itu. Amara sedang kacau. Hanya karena seorang Bima dia menjadi seperti ini.
“Itu….!” Amara menjawab dengan gagap. Dia bingung harus merespon apa.
“Yaudah, yuk kita pacaran!” Kata Satria.
Amara panik. Bodohnya dia! Sudah jelas dia masih memiliki hubungan dengan Bima. Kok bisa-bisanya dia mengajak orang lain pacaran. Memang jikalau harus jujur, terlintas pikiran Amara untuk membalas dendam. Jika memang Bima bisa berpacaran dengan Gita? Bisa jalan bareng dengan bebasnya dengan wanita lain kenapa dia tidak bisa?
Dia melihat wajah Satria. Pria itu terlalu baik. Selama ini dialah yang menemani Amara ketika jatuh. Bisa-bisanya Amara memiliki ide untuk berpacaran dengan orang lain karena apa yang Bima lakukan terhadapnya.
“Satria…., Aku…!”
Amara ingin menjelaskan sesuatu namun Satria memotong perkataannya.
“Udah ma
Halo semuanya terimakasih sudah mendukung karyaku sejauh ini Aku sempat kehilangan kepercayaan diri saat menulis karena beberapa kendala. Tapi akhirnya bisa bangkit lagi karena masih ada kalian yang setia membaca karya aku. Sekali lagi terimakasih banyak ya, Rainfall bakal berusaha buat ngasih yang terbaik bagi pembaca sekalian ^^
Diana tidak tenang. Dia terus memikirkan tentang Satria. Setelah berpisah dari Doni dia memiliki keinginan besar untuk kembali kepada Satria. Namun sikap Satria dingin, meskipun terkadang masih membantunya namun sikapnya tidak lebih dibandingkan dengan teman. Sementara Diana ingin sikap Satria saat mereka masih berpacaran.Sempat beberapa kali Diana mengirimkan foto ketika mereka masih bersama. Berharap Satria juga mengingat kenangan manis seperti dirinya. Sayangnya responnya biasa saja tidak seperti yang dia harapkan. Bahkan terkadang Satria hanya membalas chat Diana jika berhubungan dengan kuliah ataupun ketika Diana meminta bantuan. Benar-benar mengesalkan bagi Diana.Hingga akhirnya Diana meminta bantuan kepada Satria untuk membeli beberapa barang. Dia bilang barangnya masih ada di Doni. Diana sendiri tidak ingin berurusan lagi dengan Doni. Sudah cukup baginya. Satria menyetujui, namun dia bilang akan menjemput setelah beres bimbingan skripsi.Ketika mengant
Bima melihat Diana dengan tatapan tajam. “Aku pikir kamu teman Amara? Kok bisa ya cewek dengan gampangnya ngomongin temennya di belakang.” Kata Bima sambil nyengir. Diana tidak menyangka respon Bima seperti itu. Respon yang dia sangka adalah Bima marah ataupun kesal. Namun yang dilihatnya Bima hanya lanjut menghisap rokoknya seakan sudah menyangka. “kamu ga kesel pacarmu direbut orang?” Tanya Diana. “Kesel sih.” Kata Bima sambil menatap kolam. “Terus bakal diem aja?” Tanya Diana. “Kamu kaya gini karena suka sama Satria kan?” tanya Bima. Diana tersentak. Apa yang dibicarakan Bima benar adanya. Dengan tatapan kasian Bima menengok ke arah Diana yang duduk di sebelahnya. “Emang kamu udah ga sayang sama dia?” Tanya Diana. “Sayang.” Kata Bima. “Tapi aku tahu diri.” “Maksudnya?” tanya Diana. “Sudahlah urusi saja urusan kamu sendiri. Cewek kaya kamu ga akan pernah ngerti.” Kata Bima. Diana kesal
Di Kamar kosannya Diana masih kesal dengan perlakuan Bima. Dia pikir dengan memberitahukan kedekatan antara Satria dan Amara akan membuat Bima marah. Diana tidak sudi jika Satria bersama dengan Amara. Terlebih dia yang sudah putus dengan Doni memimpikan kembalinya dia dan Satria untuk bersama kembali. “Hufh!” Diana menarik nafas panjang. Kemudian dia beralih ke meja kecil di sudut kamarnya. Dibuka laci kedua bagian meja tersebut. Masih tersimpan foto-foto dirinya dan Satria. Dia merindukan Satria. Diambilnya salah satu foto ketika mereka berdua berlibur ke puncak. Di sana terlihat senyum bahagia dari keduanya. Dia menginginkan Satria kembali. Berpacaran dengan Doni membuat dirinya sadar bahwa Satria adalah laki-laki terbaik yang berpacaran dengannya selama ini. Ketika berpacaran dengan Doni. Foto-fotonya dan Satria disimpan secara rapi agar Doni tidak tahu. Doni yang tidak suka membaca, membuat Diana bisa menyembunyikan semua foto tersebut di lipatan buku. En
“Neng Gita gamau makan?” Tanya nini. Nini adalah pengasuh Gita dan Satria sejak kecil. Nini tinggal di kampung belakang kediaman mereka. Umurnya sudah tua, namun rasa sayangnya terhadap mereka berdua benar-benar tidak terhingga. Saat itu jam makan siang. Sudah sekitar tiga hari Gita tidak nafsu makan. Sejak kejadian di Car Free Night dia terus-terusan cemas. Dia cemas takut jika Bima meninggalkannya. Dia sudah nyaman dengan Bima. Namun dengan datangnya Amara di hari itu semakin membuatnya cemas. Gita pikir saat menelpon Amara dahulu rencananya telah berhasil. Amara dan Bima akhirnya di ambang kehancuran. Bima yang sudah melakukan hal terlarang dengannya juga seakan tidak bisa menjauh dari Gita. Namun entah firasatnya mengatakan rencananya tidak semudah kelihatannya. “Ga lapar aku Ni.” Ucap Gita. “Dimakan dulu ya neng. Udah tiga hari gamau makan. Nanti neng Gita sakit gimana?” Kata Nini penuh perhatian. Akhirnya Gita makan beberapa suap. Perutn
Tepat saat Satria sudah pasrah. Mobil tersebut berhenti di depannya. Ternyata tuhan masih memberikannya waktu. Segera orang-orang bergerombol di sana untuk membantu Satria. Badannya sakit. Namun dia masih mencoba untuk berdiri. Rasa sakitnya tidak dirasa, karena menurutnya akan bertambah sakit saja. Usahanya gagal. Badannya sulit digerakan.Perlahan banyak orang berkumpul di sana. Sampai akhirnya mobile ambulance datang dan cepat-cepat membawanya ke rumah sakit terdekat. Tidak lupa juga dicari identitasnya untuk menghubungi sanak saudaranya.Di kamar rumah sakit, seorang dokter berjalan ke arahnya. Dia sudah diperiksa. Dokter tersebut tersenyum ramah. Di belakangnya berdiri Nini dan Gita. Rupanya pihak rumah sakit berhasil menghubungi rumah. Setelah dokter mengatakan bahwa Satria bisa pulang besok ketika lebih baik mereka berdua bernafas lega.“Mana mama?” Tanya Satria kepada mereka berdua.Gita hanya terdiam dan tersenyum kecut. D
Amara memasuki kamar tempat Satria menginap. Hari itu sudah jam delapan malam. Di samping tempat tidurnya ada Nini. Nini tersenyum kepada Amara kemudian berdiri untuk menyapa. Amara dengan peka memegang tangan Nini lalu mencium punggung tangannya. Awalnya Amara mengira dia adalah ibunya.“Siapa ini ya?” Tanya Nini ramah.“Saya Amara Ni, teman Satria.” Kata Amara.“Saya Nini, yang ngasuh Aden dari kecil. Mau nengok ya Neng. Tapi si Aden lagi tidur. Dibangunin aja kali yah?” Kata Nini.Amara cepat mencegah Nini membangunkan Satria.“Gausah Ni. Saya ga lama juga ko lagian ga enak bangunin Satria pas lagi sakit.” Kata Amara.Nini mengangguk. Kemudian dia melihat jam yang terletak di dinding kamar. Nini kemudian memegang tangah Amara.“Neng, Nini mau minta tolong sebentar ya.” Kata Nini.Amara kaget. Tapi dari sorot mata Nini, dia mengetahui bahwa Nini sangat membutuhkan ba
Keesokan harinya Satria sudah merasa baikan. Dia ingin pulang ke rumah. Namun Nini menahannya karena dokter bilang ada baiknya dirawat sampai lusa. Satria bilang dia tidak betah di rumah sakit dan ingin segera membuat kopi.“Masa aden abis kecelakaan langsung kerja lagi?” Tanya Nini sambil mengomel.Satria tertawa melihat tingkah Nini. Karena jarang pulang dia jarang mengobrol lama dengan nini lagi. Namun dia lega ada Nini yang menemaninya di rumah sakit. Sementara kedua orangtuanya batang hidungnya belum terlihat. Meskipun demikian Mega yang tidak lain adalah ibu dari Satria sempat menelponnya menanyakan kabar. Mega bilang setelah mengantarkan laporan dinas ke kampus tempatnya bekerja dia akan mengunjungi Satria di rumah sakit.“Kata dokter kan boleh pulang kalau ngerasa baikan Ni.” Kata Satria.“Terus aden tinggal di rumah kan?” Tanya Nini.“Di kosan lah.” Jawabnya.Nini menggelengkan k
Satria kemudian memegang tangan ibunya. Dicium punggung tangan ibunya. Kemudian dia tersenyum ke arah sang bunda.“Mah…!” Panggilnya lembut.Mega yang dipanggil demikian menjadi luluh. Namun dia memiliki gengsi yang lumayan tinggi. Jadi dia memilih diam saja tidak bicara apapun.“Satria ngelakuin ini semua bukan karena benci Papa apalagi Mama.” Kata Satria.Mega masih terdiam. Demikian pula dengan Nini.“Satria ngelakuin ini karena Satria sayang sama keluarga. Satria tahu udah dibiayain sejauh ini sama Papa sama Mama juga.” Kata Satria.Mega menahan tangisannya. Namun dia masih enggan untuk berbicara.“Satria hidup sendiri buat ngebuktiin ke Papa, kalau walaupun hidup susah tapi kita masih bisa berdiri. Satria berjuang buat penuhin kebutuhan Satria sendiri semuanya demi Papa.” Kata Satria lagi.Mega masih menahan tangisannya. Nini langsung memegang bahu Mega. Untuk menegark