Bima membawa Amara menuju taman kampus. Suasana di fakultas tidak kondusif untuk mengobrol. Banyak yang memperhatikan mereka. Bima yang punya reputasi cukup baik di sana merasa malu.
Amara duduk di kursi taman pinggir kolam. Seharusnya suasana taman membuat hati mereka berdua menjadi teduh saat ini. di sebelahnya duduk Bima.
“Jelasin siapa cowo yang bareng kamu tadi!” Kata Bima.
“Jelasin juga siapa Gita.” Kata Amara.
“Kamu ditanya malah balik nanya ya!” Jawab Bima.
“Loh emang awal masalahnya itu dia kan!” Bentak Amara.
“Kamu ga dewasa banget. Kamu ga fokus sama masalah seharusnya, malah ngobrolin kemana-mana.” Kata Bima.
“Kamu juga kebiasaan. Dari pas di kantin dulu aku tanya siapa Gita jawaban kamu kemana-mana. Siapa sih yang ga dewasa?” Jawab Amara.
“Yang lucunya kamu aku tanya jalan sama siapa malah ngebalikin kan. Yang ga dewasa itu siapa?” Tanya Bima.
“Sekarang jujur sama aku! Siapa sebenernya Gita!”
Jangan lupa klik tanda + agar cerita ini masuk ke library ya Tuliskan juga komentar dan kesan kalian setelah membaca novel ini. Terimakasih
“Gamau!” Ucap Gita. “Loh aku kakakmu loh, masa gamau dikenalin sih!” Kata Satria. “Nanti diapa-apain kalau sama kakak!” ucap Gita. “Emang bakal aku apain sih? Ajak berantem?” Seru Satria sebal. “Pokoknya nanti aja aku kenalinnya!” Jawab Gita. “Ga harus dikenalin sekarang pokoknya!” Kata Satria. “Kakak apaan sih lagi banyak pelanggan tau. Dah ah dadah kakak!” Kata Gita sambil berlari keluar. Satria hendak menyusul Gita keluar namun ditahan oleh Ibu Delia. “Kerjaan mu belum selesai nak!” Kata Ibu Delia. “Tapi Gita bu. Ini urgent saya harus tau dia sama siapa.” Kata Satria. “Mau kupotong gajimu?” Tanya Ibu Delia. Satria akhirnya kembali ke tempatnya bekerja. Suatu hari nanti dia akan mendesak adiknya untuk mengenalkan pacarnya tersebut. *** “Mau ke mana Di?” Faisal yang melihat Diana menuju pintu keluar bertanya. “Pulang!” Ucap Diana. “Ga nungguin Satria?” Ta
Bima termenung di kamarnya. Dia terjebak dalam kesalahannya sendiri. Dia mengakui tindakannya khilaf. Membawa anak SMA berumur 18 tahun merasakan dunia yang lebih dewasa. Sejujurnya dia melakukan itu semua karena ingin membantu Gita. Menghiburnya yang kala itu sedang dilanda sedih dan putus asa. Namun ternyata tindakannya yang tidak bisa mengontrol nafsu malah membuatnya terjerat. Bima menghembuskan nafas berat lagi untuk yang kesekian kali. Dipandanginya meja belajarnya. Terdapat foto dirinya dan Amara berdua. Di foto itu pertama kalinya dia mengajak jalan-jalan berdua seorang gadis keluar kota. Demi mengajak Amara, Bima harus meminta izin kepada orangtua Amara di luar kota untuk berlibur berdua ke kota Yogyakarta. Itu pengalaman paling menyenangkan bagi dirinya. Amara yang menyukai kota-kota lama dan budaya sangat senang dibawa ke salah satu situs terkenal di Indonesia, Candi Prambanan. Mereka juga mengunjungi sanak saudara Amara dan Bima secara bergantian yang berad
Doni, lelaki berbadan besar itu tersungkur ke tanah. Sedikit darah merembes keluar dari bibirnya. Sisa darahnya masih ada di buku jari milik Satria. Dengan tatapan dingin Satria melihat lawannya terjatuh. Beberapa penonton di belakangnya menjerit. Beberapa lagi ada yang menutup mulutnya dengan telapak tangan saking terkejut. Seperti halnya Amara yang melihat dari kerimbunan penonton yang melihatnya. Sementara Doni terdiam saking terkejutnya. Siapa sangka Satria yang ada di depannya merupakan atlet taekwondo tingkat Nasional ketika SMA. Namun Satria banting setir ketika diwari menjadi atlet. Menurutnya perkataan Socrates, Plato, Soekarno dan Hatta lebih menarik dipelajari dibandingkan menjadi atlet. Jika melihat soal badan, Satria tidak lebih besar dibandingkan dengan Doni, namun kalau soal teknik yang dipelajari selama bertahun-tahun tentu saja Satria yang lebih unggul. “Jangan pernah ngerendahin cewe di depan gue!” Ucap Satria lantang. Diana menangis
Diana mengambil gelas berisi sekoteng yang ditawarkan oleh Amara. Pikirannya sudah sedikit jernih setelah mandi tadi. Amarah serta emosi yang selama ini dipendamnya telah dituangkan saat menangis di kamar mandi. Entah Amara mendengarkan atau tidak, Diana tidak tahu. Dia hanya ingin melepas beban sejenak. “Terimakasih.” Kata Diana kemudian menyeruput sekoteng tersebut. Amara mengangguk. Dia tidak banyak berbicara. Dia tidak mengenal Diana, namun Satria meminta izin agar Diana menginap di kosannya semalam. Katanya dia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi saat ini. “Ada lagi yang kamu butuhkan?” Tanya Amara. “Tidak ada, terimakasih.” Jawabnya. “Aku punya kasur lipat karena khawatir keluargaku akan menginap jika datang menengok. Kamu boleh pakai kasur itu ya.” Kata Amara. Diana mengangguk. “Jadi kamu satu jurusan sama Satria?” Tanya Amara. “Aku junior di jurusannya.” Kata Diana. Mereka hening sejenak. Sejujurnya
Pagi harinya Satria menjemput Diana ke kosan Amara. Satria berjanji akan menemani Diana mencari kosan barunya agar terlepas dari trauma yang diberikan oleh Doni. “Sayangnya kosan aku penuh, jadi ga ada kamar kosong. Kalau ada kamu bisa jadi teman satu kosan aku.” Kata Amara. “Makasih ya, aku ngerasa udah cukup ngerepotin kamu sejauh ini.” Kata Diana. “Engga kok, aku seneng ada temennya.” Kata Amara. “Sorry, ya Ra udah direpotin banget.” Kata Satria. “Gapapa kok, semoga bisa cepet ketemu kosan barunya ya.” Kata Amara. Setelah berpamitan, Satria langsung pergi bersama Diana untuk mencari kosan yang baru. Ketika mereka sudah hilang dari pandangan Amara segera naik ke lantai dua menuju kamarnya. Di depan kamar menunggu Della. “Ra!” Sapa Della. “Kenapa Dell? kayanya udah nunggu dari tadi.” Tanya Amara. Della mengangguk. Amara melihat sosok Della yang serius. Mungkinkah ada sesuatu. “Aku nunggu sampai
Sejak Bima bergabung dalam kelompok makan mereka, Diana terus menerus mencuri pandang kepada Bima. Diana penasaran benarkah prasangkanya benar ataukah salah. Amara bilang bahwa dia punya pacar. Kemudian secara tidak sengaja Diana menemukan foto mirip Bima di sana. Tapi tunggu, bisa saja kalau Bima mantan dari Amara. “Ka!” Panggil Gita kepada Diana. Diana berhenti melamun, dia menolehkan wajahnya kepada Gita. Tatapan Gita memang biasa, namun sebagai seorang wanita, Diana mengetahui bahwa tatapan tersebut adalah tatapan cemburu. “Iya? Kenapa Git?” Tanya Diana lembut. “Temenin ke kamar mandi sebentar yu.” Kata Gita. Diana mengangguk. Dia memang menunggu momentum tersebut, saat dia berbicara berdua saja dengan Gita. Tak lama kemudian Gita bangkit dan menuju toilet rumah makan yang tersedia. Diana berjalan di sebelahnya. Sampai depan kamar mandi, Gita berhenti. Dia melirik ke belakang seakan memastikan Satria dan Bima tidak bisa mendengarka
“Terimakasih sudah membantu sejauh ini ka.” Kata Diana. “Sama-sama, mulai sekarang jagalah dirimu baik-baik.” Kata Satria. Mereka berdua sedang berada di kosan baru Diana. Setelah lama mencari akhirnya Diana mendapatkan yang sesuai dengan dirinya. Satria juga membantunya pindahan dari kosannya yang lama. Rupanya Doni tidak pernah terlihat lagi sejak ulahnya di secangkir kopi tempo lalu. Membuat Diana lega karena tidak harus berurusan lagi dengan pria tersebut. “Kakak di sini sampai malam kan?” Tanya Diana. “Aku malam ada janji.” Kata Satria. Diana tertegun. Hari ini hari sabtu. Biasanya orang-orang akan janjian keluar malamnya dengan pasangan. Menurut informasi yang Diana dapat, Satria belum memiliki pacar sejak putus dengannya. Kabar janji yang dilontarkan tersebut membuatnya sesak. Hari-hari yang dilalui dengan Doni membuatnya sadar jika dia meninggalkan pria yang baik. Meskipun demikian dia sadar bahwa itu semua adalah salahnya. “Sa
“Halo Di!” Kata Doni sambil tersenyum. Diana langsung mundur beberapa langkah sambil melepaskan pegangan Doni. Mukanya langsung pucat pasi. Dia sedikit gemetar. Trauma dengan apa yang dilakukan oleh Doni. “Tunggu, aku cuman mau ngomong sebentar sama kamu.” Kata Doni. Diana menggeleng. Dia ingin pergi dari sana secepatnya. Tujuannya ke sini adalah mencari Satria. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Doni. “Tunggu, kata aku juga. Aku cuman mau minta maaf sama kamu.” Kata Doni. Diana terdiam. Ada sedikit rasa iba dan percaya dari dirinya. Namun sisanya adalah rasa takut dan khawatir. Dia curiga jika Doni akan melakukan hal yang tidak baik lagi kepada dirinya. “Aku benar-benar minta maaf Di.” Kata Doni sambil memegang tangan Diana. Diana bingung harus melakukan apa. Sejujurnya dia benar-benar ingin pergi dari sana. Namun dia takut. “Aku…., aku….!” Diana menghentikan ucapannya. Dia melihat banyak orang m