Doni, lelaki berbadan besar itu tersungkur ke tanah. Sedikit darah merembes keluar dari bibirnya. Sisa darahnya masih ada di buku jari milik Satria. Dengan tatapan dingin Satria melihat lawannya terjatuh.
Beberapa penonton di belakangnya menjerit. Beberapa lagi ada yang menutup mulutnya dengan telapak tangan saking terkejut. Seperti halnya Amara yang melihat dari kerimbunan penonton yang melihatnya. Sementara Doni terdiam saking terkejutnya.
Siapa sangka Satria yang ada di depannya merupakan atlet taekwondo tingkat Nasional ketika SMA. Namun Satria banting setir ketika diwari menjadi atlet. Menurutnya perkataan Socrates, Plato, Soekarno dan Hatta lebih menarik dipelajari dibandingkan menjadi atlet. Jika melihat soal badan, Satria tidak lebih besar dibandingkan dengan Doni, namun kalau soal teknik yang dipelajari selama bertahun-tahun tentu saja Satria yang lebih unggul.
“Jangan pernah ngerendahin cewe di depan gue!” Ucap Satria lantang.
Diana menangis
Halo, Rainfall di sini. Terimakasih kepada teman-teman yang sudah membaca dan mendukung karyaku sejauh ini. Aku membuat cerita ini tujuannya sebagai bahan pembelajaran, khususnya bagi wanita "Matahari" seperti apa sih yang harus dicari oleh kita. Untuk membuka mata kita bahwa tidak sepatutnya seorang wanita mudah menyerahkan perhiasan berharga milik dirinya. Karena mungkin penyesalan yang akan datang nanti. Jangan lupa juga untuk mengklik tanda + agar cerita ini bisa hadir di library kamu. ketik komentar dan kesan setelah membaca cerita ini juga ya. Sehat-sehat semuanya~
Diana mengambil gelas berisi sekoteng yang ditawarkan oleh Amara. Pikirannya sudah sedikit jernih setelah mandi tadi. Amarah serta emosi yang selama ini dipendamnya telah dituangkan saat menangis di kamar mandi. Entah Amara mendengarkan atau tidak, Diana tidak tahu. Dia hanya ingin melepas beban sejenak. “Terimakasih.” Kata Diana kemudian menyeruput sekoteng tersebut. Amara mengangguk. Dia tidak banyak berbicara. Dia tidak mengenal Diana, namun Satria meminta izin agar Diana menginap di kosannya semalam. Katanya dia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi saat ini. “Ada lagi yang kamu butuhkan?” Tanya Amara. “Tidak ada, terimakasih.” Jawabnya. “Aku punya kasur lipat karena khawatir keluargaku akan menginap jika datang menengok. Kamu boleh pakai kasur itu ya.” Kata Amara. Diana mengangguk. “Jadi kamu satu jurusan sama Satria?” Tanya Amara. “Aku junior di jurusannya.” Kata Diana. Mereka hening sejenak. Sejujurnya
Pagi harinya Satria menjemput Diana ke kosan Amara. Satria berjanji akan menemani Diana mencari kosan barunya agar terlepas dari trauma yang diberikan oleh Doni. “Sayangnya kosan aku penuh, jadi ga ada kamar kosong. Kalau ada kamu bisa jadi teman satu kosan aku.” Kata Amara. “Makasih ya, aku ngerasa udah cukup ngerepotin kamu sejauh ini.” Kata Diana. “Engga kok, aku seneng ada temennya.” Kata Amara. “Sorry, ya Ra udah direpotin banget.” Kata Satria. “Gapapa kok, semoga bisa cepet ketemu kosan barunya ya.” Kata Amara. Setelah berpamitan, Satria langsung pergi bersama Diana untuk mencari kosan yang baru. Ketika mereka sudah hilang dari pandangan Amara segera naik ke lantai dua menuju kamarnya. Di depan kamar menunggu Della. “Ra!” Sapa Della. “Kenapa Dell? kayanya udah nunggu dari tadi.” Tanya Amara. Della mengangguk. Amara melihat sosok Della yang serius. Mungkinkah ada sesuatu. “Aku nunggu sampai
Sejak Bima bergabung dalam kelompok makan mereka, Diana terus menerus mencuri pandang kepada Bima. Diana penasaran benarkah prasangkanya benar ataukah salah. Amara bilang bahwa dia punya pacar. Kemudian secara tidak sengaja Diana menemukan foto mirip Bima di sana. Tapi tunggu, bisa saja kalau Bima mantan dari Amara. “Ka!” Panggil Gita kepada Diana. Diana berhenti melamun, dia menolehkan wajahnya kepada Gita. Tatapan Gita memang biasa, namun sebagai seorang wanita, Diana mengetahui bahwa tatapan tersebut adalah tatapan cemburu. “Iya? Kenapa Git?” Tanya Diana lembut. “Temenin ke kamar mandi sebentar yu.” Kata Gita. Diana mengangguk. Dia memang menunggu momentum tersebut, saat dia berbicara berdua saja dengan Gita. Tak lama kemudian Gita bangkit dan menuju toilet rumah makan yang tersedia. Diana berjalan di sebelahnya. Sampai depan kamar mandi, Gita berhenti. Dia melirik ke belakang seakan memastikan Satria dan Bima tidak bisa mendengarka
“Terimakasih sudah membantu sejauh ini ka.” Kata Diana. “Sama-sama, mulai sekarang jagalah dirimu baik-baik.” Kata Satria. Mereka berdua sedang berada di kosan baru Diana. Setelah lama mencari akhirnya Diana mendapatkan yang sesuai dengan dirinya. Satria juga membantunya pindahan dari kosannya yang lama. Rupanya Doni tidak pernah terlihat lagi sejak ulahnya di secangkir kopi tempo lalu. Membuat Diana lega karena tidak harus berurusan lagi dengan pria tersebut. “Kakak di sini sampai malam kan?” Tanya Diana. “Aku malam ada janji.” Kata Satria. Diana tertegun. Hari ini hari sabtu. Biasanya orang-orang akan janjian keluar malamnya dengan pasangan. Menurut informasi yang Diana dapat, Satria belum memiliki pacar sejak putus dengannya. Kabar janji yang dilontarkan tersebut membuatnya sesak. Hari-hari yang dilalui dengan Doni membuatnya sadar jika dia meninggalkan pria yang baik. Meskipun demikian dia sadar bahwa itu semua adalah salahnya. “Sa
“Halo Di!” Kata Doni sambil tersenyum. Diana langsung mundur beberapa langkah sambil melepaskan pegangan Doni. Mukanya langsung pucat pasi. Dia sedikit gemetar. Trauma dengan apa yang dilakukan oleh Doni. “Tunggu, aku cuman mau ngomong sebentar sama kamu.” Kata Doni. Diana menggeleng. Dia ingin pergi dari sana secepatnya. Tujuannya ke sini adalah mencari Satria. Dia benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan Doni. “Tunggu, kata aku juga. Aku cuman mau minta maaf sama kamu.” Kata Doni. Diana terdiam. Ada sedikit rasa iba dan percaya dari dirinya. Namun sisanya adalah rasa takut dan khawatir. Dia curiga jika Doni akan melakukan hal yang tidak baik lagi kepada dirinya. “Aku benar-benar minta maaf Di.” Kata Doni sambil memegang tangan Diana. Diana bingung harus melakukan apa. Sejujurnya dia benar-benar ingin pergi dari sana. Namun dia takut. “Aku…., aku….!” Diana menghentikan ucapannya. Dia melihat banyak orang m
Amara pucat pasi. Ingin rasanya dia menangis malam itu. Beberapa air mata membasahi matanya. Malam itu seharusnya malam bahagia, tetapi kenapa tuhan seperti mengujinya.Dilihat telapak tanganya. Tangannya bergetar. Dadanya serasa sakit sekali. Apa yang harus dia lakukan dia tidak tahu. Seharusnya dia tidak di sini. Tetapi jika dia tidak ikut ke Car Free Night malam ini, entah sampai kapan dia berusaha untuk menepis kenyataan tentang Bima.Sekali lagi dia memperhatikan ke bawah. Bima digandeng mesra oleh seorang wanita lain. Anak SMA entah kelas berapa berhasil membuat hubungannya rusak. Dia marah bercampur dengan rasa sedih dan kecewa.Rupanya kejutan tidak hanya sampai di sana. Dia melihat pemandangan luar biasa. Satria terlihat melangkah mendekati Gita. Gita yang melihat sosok Satria langsung berlari ke arahnya. Ini mimpi bukan? Mereka saling mengenal satu sama lain. Tunggu! Tadi Satria sempat menyebutkan nama adiknya, Gita. Apa jangan-jangan Gita yang dimaksu
“Ka?” Tanya Gita ketika mereka berada di tempat tujuan.Bima tersadar dari lamunannya. Setelah melihat Amara di keramaian tadi Bima hanya bisa terdiam. Amara terlihat penuh dengan emosi saat itu. Namun dia hanya tersenyum dan pergi. Bima bimbang, apakah dia harus mengejarnya atau tidak. Sementara dia sedang dalam posisi menjaga Gita pada saat itu.Tidak ada satupun chat ataupun telepon dari Amara semenjak itu. Ada rasa tidak enak dari Bima. Posisinya serba salah kali ini. Haruskah dia menemui Amara sepulang dari sini?“Ka?” tanya Gita lagi.Bima menolek ke wajah Gita. Terlihat mukanya yang sedikit kesal. Senyumnya turun ke bawah. Membuat Bima tidak enak juga.“Maaf Git!” Kata Bima.“kakak mikirin apa sih?” Tanya Gita.“Bukan apa-apa ko.” Kata Bima.Gita tidak puas dengan jawaban Bima. Meskipun tidak bilang, Gita melihat Amara secara sepintas. Awalnya dia ingin me
“Coba ulangi!” Kata Satria. Wajah Amara memerah. Entah apa yang dipikirkannya sehingga terlontar pemikiran seperti itu. Amara sedang kacau. Hanya karena seorang Bima dia menjadi seperti ini. “Itu….!” Amara menjawab dengan gagap. Dia bingung harus merespon apa. “Yaudah, yuk kita pacaran!” Kata Satria. Amara panik. Bodohnya dia! Sudah jelas dia masih memiliki hubungan dengan Bima. Kok bisa-bisanya dia mengajak orang lain pacaran. Memang jikalau harus jujur, terlintas pikiran Amara untuk membalas dendam. Jika memang Bima bisa berpacaran dengan Gita? Bisa jalan bareng dengan bebasnya dengan wanita lain kenapa dia tidak bisa? Dia melihat wajah Satria. Pria itu terlalu baik. Selama ini dialah yang menemani Amara ketika jatuh. Bisa-bisanya Amara memiliki ide untuk berpacaran dengan orang lain karena apa yang Bima lakukan terhadapnya. “Satria…., Aku…!” Amara ingin menjelaskan sesuatu namun Satria memotong perkataannya. “Udah ma