Della menyantap ayam goreng ke limanya. Ayam-ayam itu nampak sangat lezat dengan balutan tepung goring krispy. Terdapat tiga macam saus dituangkan di atasnya, saus barbeque, saus sambal dan saus keju. Ketiganya langsung dituangkan oleh Della ke atas ayam goreng tersebut.
Saat akan mengambil balutan ayam goreng yang telah dilumuri saus. Tiba-tiba lampu padam. Suasana menjadi mencekam, ayam goreng tersebut juga hilang. Di depan Della munculah sosok wanita mengenakan jubah putih dengan rambut panjang menjuntai. Sedikit demi sedikit, di telinganya terdengar suara tangisan. Tangisan itu semakin lama semakin keras. Hingga akhirnya membuat Della membuka mata.
“Ah syukurlah hanya mimpi.” Kata Della.
Hiks….hiks…hiks….
Tubuh Della langsung mematung. Dia kira hantu tersebut telah pergi, nyatanya tidak. Della masih bisa mendengar suara wanita menangis. Apa jangan-jangan dia masih di alam mimpi. Tapi dia yakin ini di kamarnya. Suara wanita itu terdengar jelas bera
Jangan lupa klik tanda + agar cerita ini masuk ke library ya Tuliskan juga komentar dan kesan kalian setelah membaca novel ini. Terimakasih
Kantin sedang penuh sesak. Tidak ada kursi yang tersedia. Perut Amara sudah berkonser ria. Bagaimana bisa mereka makan jika keadaannya seperti ini? “Sini!” ajak Satria. Amara mengangguk dia mengikuti Satria. Kantin kampus terdiri atas tempat duduk dan meja untuk makan di bagian halaman. Sementara itu di dalamnya berjejer beranekaragam pujasera yang menjual makanan dan minuman. Sayangnya semua tempat duduk terisi penuh. Wajar saja karena sekarang sedang jam makan siang. Satria membawa Amara naik ke tangga di lantai dua. Tepatnya ketika memasuki area kantin, di sebelah wc terdapat anak tangga. Seharusnya hanya orang dalam saja yang bisa masuk ke tangga tersebut. “Sat gapapa kita naik ke sini?” Tanya Amara. “Udah ikut aja!” Kata Satria. Amara mengangguk. Akhirnya mereka sampai di lantai dua. Ternyata di lantai dua areaanya sangat bersih. Malahan hampir mirip seperti kantor. Bahkan ada ruangan dengan nama perpustakaan di labelnya. Sa
Amara kembali ke fakultas Sastra tempat Bima kuliah. Satria menepati janjinya dengan mengantarkan sampai pintu fakultas. “Aku langsung pamit ya.” Kata Satria. “Makasih ya, oh uang mie ayamnya.” Kata Amara sambil merogoh tasnya. “Udah gausah, dari aku aja.” Kata Satria. “Eh tapi aku ga enak.” Kata Amara. “Kamu kuliah, uang jajan dari orangtuamu. Sementara aku udah kerja walaupun kerjaanku sebatas pembuat kopi. Kamu boleh bayar sendiri-sendiri kalau makan sama aku kalau kamu udah punya penghasilan sendiri.” Kata Satria kemudian dia berjalan pamit. Amara tertegun di sana. Sejujurnya selama berpacaran dengan Bima pun, dia membayar sendiri-sendiri. Termasuk uang jalan dan bensin biasanya Amara membayar uang bensin jika diantar oleh Bima. Maka dari itu dia merasa tidak enak. Untuk itu Amara meneguhkan hatinya jika dia sudah bekerja dia akan mentraktir Satria sebagai ucapan terimakasih. Saat Amara masuk gedung Fakultas ternyata Bima s
Bima membawa Amara menuju taman kampus. Suasana di fakultas tidak kondusif untuk mengobrol. Banyak yang memperhatikan mereka. Bima yang punya reputasi cukup baik di sana merasa malu. Amara duduk di kursi taman pinggir kolam. Seharusnya suasana taman membuat hati mereka berdua menjadi teduh saat ini. di sebelahnya duduk Bima. “Jelasin siapa cowo yang bareng kamu tadi!” Kata Bima. “Jelasin juga siapa Gita.” Kata Amara. “Kamu ditanya malah balik nanya ya!” Jawab Bima. “Loh emang awal masalahnya itu dia kan!” Bentak Amara. “Kamu ga dewasa banget. Kamu ga fokus sama masalah seharusnya, malah ngobrolin kemana-mana.” Kata Bima. “Kamu juga kebiasaan. Dari pas di kantin dulu aku tanya siapa Gita jawaban kamu kemana-mana. Siapa sih yang ga dewasa?” Jawab Amara. “Yang lucunya kamu aku tanya jalan sama siapa malah ngebalikin kan. Yang ga dewasa itu siapa?” Tanya Bima. “Sekarang jujur sama aku! Siapa sebenernya Gita!”
“Gamau!” Ucap Gita. “Loh aku kakakmu loh, masa gamau dikenalin sih!” Kata Satria. “Nanti diapa-apain kalau sama kakak!” ucap Gita. “Emang bakal aku apain sih? Ajak berantem?” Seru Satria sebal. “Pokoknya nanti aja aku kenalinnya!” Jawab Gita. “Ga harus dikenalin sekarang pokoknya!” Kata Satria. “Kakak apaan sih lagi banyak pelanggan tau. Dah ah dadah kakak!” Kata Gita sambil berlari keluar. Satria hendak menyusul Gita keluar namun ditahan oleh Ibu Delia. “Kerjaan mu belum selesai nak!” Kata Ibu Delia. “Tapi Gita bu. Ini urgent saya harus tau dia sama siapa.” Kata Satria. “Mau kupotong gajimu?” Tanya Ibu Delia. Satria akhirnya kembali ke tempatnya bekerja. Suatu hari nanti dia akan mendesak adiknya untuk mengenalkan pacarnya tersebut. *** “Mau ke mana Di?” Faisal yang melihat Diana menuju pintu keluar bertanya. “Pulang!” Ucap Diana. “Ga nungguin Satria?” Ta
Bima termenung di kamarnya. Dia terjebak dalam kesalahannya sendiri. Dia mengakui tindakannya khilaf. Membawa anak SMA berumur 18 tahun merasakan dunia yang lebih dewasa. Sejujurnya dia melakukan itu semua karena ingin membantu Gita. Menghiburnya yang kala itu sedang dilanda sedih dan putus asa. Namun ternyata tindakannya yang tidak bisa mengontrol nafsu malah membuatnya terjerat. Bima menghembuskan nafas berat lagi untuk yang kesekian kali. Dipandanginya meja belajarnya. Terdapat foto dirinya dan Amara berdua. Di foto itu pertama kalinya dia mengajak jalan-jalan berdua seorang gadis keluar kota. Demi mengajak Amara, Bima harus meminta izin kepada orangtua Amara di luar kota untuk berlibur berdua ke kota Yogyakarta. Itu pengalaman paling menyenangkan bagi dirinya. Amara yang menyukai kota-kota lama dan budaya sangat senang dibawa ke salah satu situs terkenal di Indonesia, Candi Prambanan. Mereka juga mengunjungi sanak saudara Amara dan Bima secara bergantian yang berad
Doni, lelaki berbadan besar itu tersungkur ke tanah. Sedikit darah merembes keluar dari bibirnya. Sisa darahnya masih ada di buku jari milik Satria. Dengan tatapan dingin Satria melihat lawannya terjatuh. Beberapa penonton di belakangnya menjerit. Beberapa lagi ada yang menutup mulutnya dengan telapak tangan saking terkejut. Seperti halnya Amara yang melihat dari kerimbunan penonton yang melihatnya. Sementara Doni terdiam saking terkejutnya. Siapa sangka Satria yang ada di depannya merupakan atlet taekwondo tingkat Nasional ketika SMA. Namun Satria banting setir ketika diwari menjadi atlet. Menurutnya perkataan Socrates, Plato, Soekarno dan Hatta lebih menarik dipelajari dibandingkan menjadi atlet. Jika melihat soal badan, Satria tidak lebih besar dibandingkan dengan Doni, namun kalau soal teknik yang dipelajari selama bertahun-tahun tentu saja Satria yang lebih unggul. “Jangan pernah ngerendahin cewe di depan gue!” Ucap Satria lantang. Diana menangis
Diana mengambil gelas berisi sekoteng yang ditawarkan oleh Amara. Pikirannya sudah sedikit jernih setelah mandi tadi. Amarah serta emosi yang selama ini dipendamnya telah dituangkan saat menangis di kamar mandi. Entah Amara mendengarkan atau tidak, Diana tidak tahu. Dia hanya ingin melepas beban sejenak. “Terimakasih.” Kata Diana kemudian menyeruput sekoteng tersebut. Amara mengangguk. Dia tidak banyak berbicara. Dia tidak mengenal Diana, namun Satria meminta izin agar Diana menginap di kosannya semalam. Katanya dia tidak bisa menjelaskan apa yang terjadi saat ini. “Ada lagi yang kamu butuhkan?” Tanya Amara. “Tidak ada, terimakasih.” Jawabnya. “Aku punya kasur lipat karena khawatir keluargaku akan menginap jika datang menengok. Kamu boleh pakai kasur itu ya.” Kata Amara. Diana mengangguk. “Jadi kamu satu jurusan sama Satria?” Tanya Amara. “Aku junior di jurusannya.” Kata Diana. Mereka hening sejenak. Sejujurnya
Pagi harinya Satria menjemput Diana ke kosan Amara. Satria berjanji akan menemani Diana mencari kosan barunya agar terlepas dari trauma yang diberikan oleh Doni. “Sayangnya kosan aku penuh, jadi ga ada kamar kosong. Kalau ada kamu bisa jadi teman satu kosan aku.” Kata Amara. “Makasih ya, aku ngerasa udah cukup ngerepotin kamu sejauh ini.” Kata Diana. “Engga kok, aku seneng ada temennya.” Kata Amara. “Sorry, ya Ra udah direpotin banget.” Kata Satria. “Gapapa kok, semoga bisa cepet ketemu kosan barunya ya.” Kata Amara. Setelah berpamitan, Satria langsung pergi bersama Diana untuk mencari kosan yang baru. Ketika mereka sudah hilang dari pandangan Amara segera naik ke lantai dua menuju kamarnya. Di depan kamar menunggu Della. “Ra!” Sapa Della. “Kenapa Dell? kayanya udah nunggu dari tadi.” Tanya Amara. Della mengangguk. Amara melihat sosok Della yang serius. Mungkinkah ada sesuatu. “Aku nunggu sampai