Satria masih memandangi Amara hingga sosok gadis itu lenyap dari balik pintu ruang perpustakaan. Amara, sosok yang sedikit mencuri perhatian Satria. Awalnya dia biasa saja, hingga Amara datang ke café tempat dia bekerja. Gadis itu datang dengan wajah murung, seakan dunianya runtuh seketika.
Satria yang pernah menjuarai kejuaraan barista, sempat heran karena kopi buatannya tidak disentuh oleh Amara. Awalnya dia pikir takarannya salah, atau tidak cocok di lidah pelanggannya. Namun setelah lama memperhatikan gadis itu hanya sedang sibuk memegangi laptop dan handphonenya, seakan mencari sesuatu yang tak kunjung ditemui.
Lelaki itu dibuat lebih penasaran saat melihat logo kampusnya. Ternyata pelanggan itu teman satu kampus. Mungkin dengan mengobrol dia bisa mengetahui mengapa kopinya seakan tidak habis diminum gadis itu. Setelah lama mengobrol tak disangka Amara asik diajak berbicara dan berdiskusi. Pikirannya luas membuat Satria terkesan.
Hari ini nampaknya mereka bertemu lagi. Meskipun sebentar Satria menikmati kebersamaan tersebut. Dia memang menyukai gadis yang wawasannya luas, tidak hanya fokus pada penampilan namun juga kecerdasan.
Sayangnya Amara harus pergi dengan cepat saat itu. Satria pun sudah menduga, jika tidak mungkin gadis semenarik Amara tidak memiliki kekasih. Dengan begitu mungkin inilah saatnya Satria mundur, karena seorang lelaki ksatria tidak akan mencuri milik orang lain.
“Ka!” sapa suara dari belakang.
Satria menoleh, ternyata Diana. Mantan kekasihnya yang pupus enam bulan yang lalu. Diana berusia satu tahun dibawahnya. Dia juga junior angkatan di jurusannya.
“Halo Di!” balas Satria.
“Kakak lagi apa? Boleh aku duduk di sini?” tanya Diana sambil menunjuk kursi yang tadinya ditempati Amara.
“Silahkan!” ucap Satria.
Diana duduk di depan Satria. Tangannya sibuk membawa Laptop dan buku-buku tebal hasil penelitian alumni. Dijejerkannya buku tersebut di meja. Rupanya Diana sedang mengerjakan tugas akhir atau mungkin tugas kuliah.
Diana terus menerus mencuri-curi pandang kepada Satria. Seakan dirinya ingin mengatakan sesuatu, tetapi tertahan. Satria sadar akan hal itu, tetapi dia memilih untuk mengabaikan.
“Ka, apa gabisa kita balik lagi?” tanya Diana pada akhirnya.
Satria menoleh, sedikit menghembuskan nafas lelah. Kemudian dia tersenyum kepada Diana. “Bukannya kamu yang memilih untuk meninggalkan aku dengan teman satu perjalanan KKN-mu?”
***
Amara masih menunggu jawaban Bima. Akhirnya setelah sekian lama tertahankan, dia bisa mengatakan apa yang ada di benaknya. Dia harus mengetahui siapakah Gita hari ini juga.
“Itukah yang membuat kamu bete hari ini?” tanya Bima.
“Bim…!” Amara sedikit meninggikan suara.
“Itu juga yang membuat kamu ga membalas satu chatpun dari aku hari ini?” tanya Bima lagi.
“Aku pengen tau Bim, itu aja!” Ucap Amara.
“Dewasa dong Ra, cuman karena foto satu cewe tingkah kamu jadi menyebalkan seperti ini?” Ejek Bima.
Amara sedikit naik pitam, bisa-bisanya Bima berbicara seperti itu kepada dirinya. Haruskah saat ini juga dia mengatakan semuanya? Mengatakan jika dia memiliki sosial media Bima yang berisi chat mencurigakan.
“kamu tau aku punya banyak teman perempuan, biasanya juga kamu tidak mempermasalahkan!” tambah Bima lagi.
“Bima!” bentak Amara pada akhirnya, “Susah bagi kamu buat menyebutkan itu siapa?”
Bima terdiam dibentak Amara. Terlihat raut wajahnya yang mulai kesal dan marah. Pemandangan tersebut tentu saja membuat Amara sedikit bergetar. Tetapi sudah terlambat untuk mengulang itu semua. Bima sudah terlanjur marah.
“Amara, aku ga menyangka kamu setidak dewasa ini, sampai membuat alasan tugas dan kesiangan untuk mengabaikan komunikasi dari aku hanya karena foto di binstagram!” ucap Bima.
Pupil Amara bergetar, dia ikut emosi mendengarnya. “Jadi kamu menyangka aku bohong? Aku benar-benar bangun terlambat dan memiliki banyak tugas hari ini!” ucap Amara.
“Sudahlah! Kita pulang sekarang! Aku gamau marah ke kamu lebih dari ini!” ucap Bima sambil melangkah pergi.
Amara menahan lengan Bima, “kamu sendiri susah menyebutkan dia siapa? Tetapi balas marah? Yang ga dewasa itu siapa!”
Nada Amara yang semakin meninggi membuat pengunjung Secangkir Kopi memperhatikan mereka berdua. Bima yang sadar akan situasi tersebut menarik lengan Amara keluar dari café.
“Saya minta maaf atas keributan ini. silahkan dilanjutkan kembali hidangannya!” ucap Bima sebelum keluar dari ruangan.
***
Amara menangis di balik bantal. Meskipun Bima mengantarkannya hingga depan gang, namun sepanjang perjalanan mereka tidak saling berbicara satu dengan yang lain. Hingga Amara turun dari mobil pun, Bima langsung menancapkan gas berbalik untuk pulang. Hal itu membuat hati Amara sakit.
Sedikit penyesalan hadir dalam kepala Amara. Penyesalan karena dia membuat Bima marah. Entah karena Gita ataupun entah karena keingintahuannya yang berlebih. Apakah keterlaluan sikap Amara sehingga membuat Bima marah?
Rasa takut juga menghantui Amara. Dia takut kehilangan Bima. Sebelumnya mereka tidak pernah bertengkar seperti ini, tidak pernah juga ada seseorang hadir mengganggu kepala Amara. Bima memang benar, dia memiliki banyak teman perempuan, namun keseluruhan selalu dikenalkan kepada Amara. Baru kali ini Bima seakan ingin menutup jejaknya.
Gita, nama dan wajah gadis itu selalu muncul dalam pikiran Amara. Harusah dia melanjutkan investigasinya? Ataukah dia menyerah karena tidak ingin kehilangan orang yang dicintainya?
***
Satria melaju bersama sepeda motor kesayangannya. Sepeda motor tipe lama yang sudah menemaninya sejak SMA menjadi teman untuk menghibur dirinya. Diana, wanita yang sudah bersamaanya beberapa tahun. Dia sangat menyayangi gadis itu. Mereka pertama kali berkenalan sejak Diana menuliskan surat cinta saat ospek dulu.
Satria yang berwajah tampan banyak mendapatkan surat cinta sebagai syarat tugas ospek jurusan dahulu. Namun Diana berhasil mencuri perhatiannya karena dialah yang diminta membacakan di seluruh angkatan. Dengan wajah tersipu malu, dia membacakan surat cinta untuk Satria. Meskipun surat itu hanya sebagai bentuk penugasan, namun berhasil membuat Satria mengenal Diana lebih dekat.
Namun cinta mereka kandas beberapa bulan lalu. Saat Satria akhirnya mengetahui jika Diana menjalin hubungan diam dengan teman KKN-nya. KKN merupakan salah satu mata kuliah wajib di kampusnya, tak di sangka Diana menghianatinya. Mungkin karena Diana satu rumah selama tiga bulan dengan selingkuhannya tersebut. Tetapi seharusnya dia lebih menjaga dirinya sendiri.
Motor Satria akhirnya memasuki pagar kediaman mewah di salah satu kota Bandung. Diparkirnya motor tersebut, kemudian dia berjalan ke pintu depan rumah. Mendorong pintu tersebut dan melangkah masuk. Atmosfer nyaman mulai memasuki benak Satria. Sejujurnya dia tinggal di kosan dekat kampus, namun hari ini ibunya meminta untuk pulang sebentar.
Satria menaiki tangga menuju lantai dua. Dimasukinya kamar yang sudah menemaninya hingga tahun lalu. Kamar satria penuh dengan buku-buku. Buku filsafat, sejarah, kontroversi bahkan manga semua ada di kamar satria. Di dinding dekat meja belajarnya terdapat peta dunia yang dipenuhi foto dan tulisan penelitiannya. Kamar Satria tergolong rapi meskipun banyak buku menumpuk di sana.
Beberapa menit di sana, dia sadar ada yang memperhatikannya. Ditolehkan wajahnya ke belakang, terlihat sosok gadis SMA berdiri di sana. Matanya sedikit berkaca-kaca, raut senyum cantik terukir pula di wajahnya. Tanpa basa basi Satria langsung menuju ke arahnya. Tangan Satria yang besar langsung menepuk-nepuk kepala gadis itu.
“kenapa belum tidur Gita? Sudah malam loh ini!”
Jangan lupa untuk mengklik tanda + agar novel ini masuk ke ibrary ya Tuliskan juga komentar kamu setelah membaca novel ini
Gita sedang terduduk di kursi belajarnya. Terdapat setumpuk buku-buku latihan soal ujian di atas meja belajar. Tinggal beberapa bulan lagi sampai Gita melaksanakan ujian akhir sekolah dan tes masuk perguruan tinggi negeri. Meskipun Papa menyuruhnya untuk kuliah di luar negeri tetapi Gita menolak. Dia bilang tidak ingin jauh dengan keluarga. Meskipun alasan sesungguhnya tidak demikian. Dia melirik ke kasur di belakang tempatnya duduk. Pengalaman itu masih nyata bagi Gita. Saat ketika Bima menyentuh dirinya dan daerah yang tidak pernah disentuh oleh orang lain. Tatapan Bima, suaranya dan respon tubuhnya terhadap perlakuan Bima masih terekam nyata di memori otaknya. Semuanya berlangsung secara cepat. Tetapi hal tersebut tidak akan pernah dilupakan oleh Gita seumur hidupnya. Diceknya handphone kesayangannya. Belum ada tanda-tanda seseorang akan membalas pesannya. Tak lama dering handphone menyala. Nama “Ka Bima” tertangkap di layar handphonenya. Tanpa menunggu jeda
Bima menutup panggilan Gita. Rupanya kakaknya Gita sudah pulang. Sejak awal berjumpa dengan Gita, Bima berusaha berperan sebagai kakanya. Dalam pandangan Bima Gita cukup kesepian, setelah kakaknya memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri di kosan. Bima sendiri belum pernah bertemu dengan kakaknya Gita, dia hanya mendengar ceritanya saja. Pertemuan mereka berdua bermula dari Bima yang ditawari mengajar les privat dari anak teman mamanya. Karena memang sudah tidak ada kuliah hanya skripsi saja, maka Bima mengiyakan. Meskipun awalnya Gita mau dan tidak mau merespon Bima sebagai gurunya, namun akhirnya Gita bisa sedikit terbuka. Bima juga menjadi pendengar setia dari setiap cerita Gita. Setelah lama mengenal Gita, akhirnya bima menyadari. Gadis ini cukup kesepian, tinggal di rumah yang besar dengan orangtua yang sibuk. Kakak satu-satunya yang menemaninya sejak kecil memutuskan pindah dari rumah itu. Kehadiran Bima cukup membuat Gita terhibur dan merasa memiliki kakak
Amara mengecek handphonenya. Nihil tak ada satupun chat dari Bima. Sudah satu hari berlalu sejak pertengkaran mereka, namun baik Amara dan Bima belum berkomunikasi satu sama lain. Amara enggan menghubungi Bima duluan. Menurutnya Bima salah karena menyembunyikan berbagai informasi terutama yang berkaitan dengan Gita. Lucunya di kampus pun mereka tidak bertemu. Bima yang sedang tugas akhir memang jarang di kampus. Biasanya ke kampus hanya untuk mengunjungi Amara ataupun mengerjakan skripsi. Sementara Amara yang masih ada kelas penelitian skripsi mau tidak mau masih harus datang ke sana. Hanya saja aneh jika harinya tidak melihat Bima. Tring… Terdengar nada pesan masuk, Amara langsung mengecek pesan masuk tersebut. Sayangnya pesan itu dari Aurel teman sejurusannya yang menanyakan perihal tugas. Amara cemberut dibuatnya. Haruskah dia menghubungi Bima duluan? Tidak-tidak dia tidak boleh kalah. Bima harus tahu kalau dirinya salah. “Kamu ga fokus ngerjain tu
“Dell.., aku harus gimana?” Tanya Amara. Amara sedang menginap di kamar Della. Dia tidak bisa tidur selama dua hari terakhir karena memikirkaan Bima. Maka dari itu dia memutuskan untuk mencari teman menginap. Della yang sedang menonton drama korea mendesah. Dia tidak paham mengapa sahabatnya terus bertanya hal yang sama. Baru beberapa menit lalu dia bertanya, kemudian kali ini dia menanyakan hal yang sama lagi. “Oke, sekali lagi ya aku kasih tau. Ya kalau emang kangen hubungin aja sih.” Kata Della. “Tapi kesannya gimana ga sih? Kesannya aku yang salah?” Tanya Amara. “Ga juga Ra, kadang seseorang mengalah itu bukan karena dia kalah, tapi ingin berdamai dengan dirinya sendiri.” Kata Della. “Aku harus chat gimana?” tanya Amara. “Ajak ketemu aja sih? Biar masalah kalian berdua selesai. Biar salah paham kalian juga beres.” Kata Della. “Ga ada basa-basi dulu?” Tanya Amara. “Ra, kamu udah berapa tahun sih sama Bima? Ka
Satria membuka pintu kosan. Terlihat segerombolan mahasiswa sedang berbicang sambil merokok di ruang tamu, yang sebetulnya hanya terdiri atas kursi-kursi tua dan televise tabung di tengah rumah. Satria masuk sambil menggandeng tangan Diana, membawanya ke kamar pribadinya di lantai dua. Sebetulnya kosan Satria merupakan rumah kontrakan yang memiliki banyak kamar. Kosan tersebut sengaja disewa oleh mahasiswa kelompoknya. Kelompok Satria sejatinya terdiri dari mahasiswa kritis yang banyak melakukan aksi demonstrasi terhadap program pemerintah yang mereka nilai kurang mendukung rakyat. Satria yang merupakan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) tahun lalu ikut andil dari demonstrasi anti korupsi yang ternyata membawa nama Rudi yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Diana memperhatikan kosan itu sepintas. Dia pernah dibawa ke sini oleh Satria, ketika mereka rutin melakukan diskusi untuk membicarakan seputar aksi dan program yang akan dilakukan kelompoknya. Orang-orangnya
Della menyantap ayam goreng ke limanya. Ayam-ayam itu nampak sangat lezat dengan balutan tepung goring krispy. Terdapat tiga macam saus dituangkan di atasnya, saus barbeque, saus sambal dan saus keju. Ketiganya langsung dituangkan oleh Della ke atas ayam goreng tersebut. Saat akan mengambil balutan ayam goreng yang telah dilumuri saus. Tiba-tiba lampu padam. Suasana menjadi mencekam, ayam goreng tersebut juga hilang. Di depan Della munculah sosok wanita mengenakan jubah putih dengan rambut panjang menjuntai. Sedikit demi sedikit, di telinganya terdengar suara tangisan. Tangisan itu semakin lama semakin keras. Hingga akhirnya membuat Della membuka mata. “Ah syukurlah hanya mimpi.” Kata Della. Hiks….hiks…hiks…. Tubuh Della langsung mematung. Dia kira hantu tersebut telah pergi, nyatanya tidak. Della masih bisa mendengar suara wanita menangis. Apa jangan-jangan dia masih di alam mimpi. Tapi dia yakin ini di kamarnya. Suara wanita itu terdengar jelas bera
Kantin sedang penuh sesak. Tidak ada kursi yang tersedia. Perut Amara sudah berkonser ria. Bagaimana bisa mereka makan jika keadaannya seperti ini? “Sini!” ajak Satria. Amara mengangguk dia mengikuti Satria. Kantin kampus terdiri atas tempat duduk dan meja untuk makan di bagian halaman. Sementara itu di dalamnya berjejer beranekaragam pujasera yang menjual makanan dan minuman. Sayangnya semua tempat duduk terisi penuh. Wajar saja karena sekarang sedang jam makan siang. Satria membawa Amara naik ke tangga di lantai dua. Tepatnya ketika memasuki area kantin, di sebelah wc terdapat anak tangga. Seharusnya hanya orang dalam saja yang bisa masuk ke tangga tersebut. “Sat gapapa kita naik ke sini?” Tanya Amara. “Udah ikut aja!” Kata Satria. Amara mengangguk. Akhirnya mereka sampai di lantai dua. Ternyata di lantai dua areaanya sangat bersih. Malahan hampir mirip seperti kantor. Bahkan ada ruangan dengan nama perpustakaan di labelnya. Sa
Amara kembali ke fakultas Sastra tempat Bima kuliah. Satria menepati janjinya dengan mengantarkan sampai pintu fakultas. “Aku langsung pamit ya.” Kata Satria. “Makasih ya, oh uang mie ayamnya.” Kata Amara sambil merogoh tasnya. “Udah gausah, dari aku aja.” Kata Satria. “Eh tapi aku ga enak.” Kata Amara. “Kamu kuliah, uang jajan dari orangtuamu. Sementara aku udah kerja walaupun kerjaanku sebatas pembuat kopi. Kamu boleh bayar sendiri-sendiri kalau makan sama aku kalau kamu udah punya penghasilan sendiri.” Kata Satria kemudian dia berjalan pamit. Amara tertegun di sana. Sejujurnya selama berpacaran dengan Bima pun, dia membayar sendiri-sendiri. Termasuk uang jalan dan bensin biasanya Amara membayar uang bensin jika diantar oleh Bima. Maka dari itu dia merasa tidak enak. Untuk itu Amara meneguhkan hatinya jika dia sudah bekerja dia akan mentraktir Satria sebagai ucapan terimakasih. Saat Amara masuk gedung Fakultas ternyata Bima s