Bima menutup panggilan Gita. Rupanya kakaknya Gita sudah pulang. Sejak awal berjumpa dengan Gita, Bima berusaha berperan sebagai kakanya. Dalam pandangan Bima Gita cukup kesepian, setelah kakaknya memutuskan untuk pindah dan tinggal sendiri di kosan. Bima sendiri belum pernah bertemu dengan kakaknya Gita, dia hanya mendengar ceritanya saja.
Pertemuan mereka berdua bermula dari Bima yang ditawari mengajar les privat dari anak teman mamanya. Karena memang sudah tidak ada kuliah hanya skripsi saja, maka Bima mengiyakan. Meskipun awalnya Gita mau dan tidak mau merespon Bima sebagai gurunya, namun akhirnya Gita bisa sedikit terbuka. Bima juga menjadi pendengar setia dari setiap cerita Gita.
Setelah lama mengenal Gita, akhirnya bima menyadari. Gadis ini cukup kesepian, tinggal di rumah yang besar dengan orangtua yang sibuk. Kakak satu-satunya yang menemaninya sejak kecil memutuskan pindah dari rumah itu. Kehadiran Bima cukup membuat Gita terhibur dan merasa memiliki kakak
Jangan lupa klik tanda + agar cerita ini masuk ke library ya Tuliskan juga komentar dan kesan kalian setelah membaca novel ini. Terimakasih
Amara mengecek handphonenya. Nihil tak ada satupun chat dari Bima. Sudah satu hari berlalu sejak pertengkaran mereka, namun baik Amara dan Bima belum berkomunikasi satu sama lain. Amara enggan menghubungi Bima duluan. Menurutnya Bima salah karena menyembunyikan berbagai informasi terutama yang berkaitan dengan Gita. Lucunya di kampus pun mereka tidak bertemu. Bima yang sedang tugas akhir memang jarang di kampus. Biasanya ke kampus hanya untuk mengunjungi Amara ataupun mengerjakan skripsi. Sementara Amara yang masih ada kelas penelitian skripsi mau tidak mau masih harus datang ke sana. Hanya saja aneh jika harinya tidak melihat Bima. Tring… Terdengar nada pesan masuk, Amara langsung mengecek pesan masuk tersebut. Sayangnya pesan itu dari Aurel teman sejurusannya yang menanyakan perihal tugas. Amara cemberut dibuatnya. Haruskah dia menghubungi Bima duluan? Tidak-tidak dia tidak boleh kalah. Bima harus tahu kalau dirinya salah. “Kamu ga fokus ngerjain tu
“Dell.., aku harus gimana?” Tanya Amara. Amara sedang menginap di kamar Della. Dia tidak bisa tidur selama dua hari terakhir karena memikirkaan Bima. Maka dari itu dia memutuskan untuk mencari teman menginap. Della yang sedang menonton drama korea mendesah. Dia tidak paham mengapa sahabatnya terus bertanya hal yang sama. Baru beberapa menit lalu dia bertanya, kemudian kali ini dia menanyakan hal yang sama lagi. “Oke, sekali lagi ya aku kasih tau. Ya kalau emang kangen hubungin aja sih.” Kata Della. “Tapi kesannya gimana ga sih? Kesannya aku yang salah?” Tanya Amara. “Ga juga Ra, kadang seseorang mengalah itu bukan karena dia kalah, tapi ingin berdamai dengan dirinya sendiri.” Kata Della. “Aku harus chat gimana?” tanya Amara. “Ajak ketemu aja sih? Biar masalah kalian berdua selesai. Biar salah paham kalian juga beres.” Kata Della. “Ga ada basa-basi dulu?” Tanya Amara. “Ra, kamu udah berapa tahun sih sama Bima? Ka
Satria membuka pintu kosan. Terlihat segerombolan mahasiswa sedang berbicang sambil merokok di ruang tamu, yang sebetulnya hanya terdiri atas kursi-kursi tua dan televise tabung di tengah rumah. Satria masuk sambil menggandeng tangan Diana, membawanya ke kamar pribadinya di lantai dua. Sebetulnya kosan Satria merupakan rumah kontrakan yang memiliki banyak kamar. Kosan tersebut sengaja disewa oleh mahasiswa kelompoknya. Kelompok Satria sejatinya terdiri dari mahasiswa kritis yang banyak melakukan aksi demonstrasi terhadap program pemerintah yang mereka nilai kurang mendukung rakyat. Satria yang merupakan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) tahun lalu ikut andil dari demonstrasi anti korupsi yang ternyata membawa nama Rudi yang tidak lain adalah ayahnya sendiri. Diana memperhatikan kosan itu sepintas. Dia pernah dibawa ke sini oleh Satria, ketika mereka rutin melakukan diskusi untuk membicarakan seputar aksi dan program yang akan dilakukan kelompoknya. Orang-orangnya
Della menyantap ayam goreng ke limanya. Ayam-ayam itu nampak sangat lezat dengan balutan tepung goring krispy. Terdapat tiga macam saus dituangkan di atasnya, saus barbeque, saus sambal dan saus keju. Ketiganya langsung dituangkan oleh Della ke atas ayam goreng tersebut. Saat akan mengambil balutan ayam goreng yang telah dilumuri saus. Tiba-tiba lampu padam. Suasana menjadi mencekam, ayam goreng tersebut juga hilang. Di depan Della munculah sosok wanita mengenakan jubah putih dengan rambut panjang menjuntai. Sedikit demi sedikit, di telinganya terdengar suara tangisan. Tangisan itu semakin lama semakin keras. Hingga akhirnya membuat Della membuka mata. “Ah syukurlah hanya mimpi.” Kata Della. Hiks….hiks…hiks…. Tubuh Della langsung mematung. Dia kira hantu tersebut telah pergi, nyatanya tidak. Della masih bisa mendengar suara wanita menangis. Apa jangan-jangan dia masih di alam mimpi. Tapi dia yakin ini di kamarnya. Suara wanita itu terdengar jelas bera
Kantin sedang penuh sesak. Tidak ada kursi yang tersedia. Perut Amara sudah berkonser ria. Bagaimana bisa mereka makan jika keadaannya seperti ini? “Sini!” ajak Satria. Amara mengangguk dia mengikuti Satria. Kantin kampus terdiri atas tempat duduk dan meja untuk makan di bagian halaman. Sementara itu di dalamnya berjejer beranekaragam pujasera yang menjual makanan dan minuman. Sayangnya semua tempat duduk terisi penuh. Wajar saja karena sekarang sedang jam makan siang. Satria membawa Amara naik ke tangga di lantai dua. Tepatnya ketika memasuki area kantin, di sebelah wc terdapat anak tangga. Seharusnya hanya orang dalam saja yang bisa masuk ke tangga tersebut. “Sat gapapa kita naik ke sini?” Tanya Amara. “Udah ikut aja!” Kata Satria. Amara mengangguk. Akhirnya mereka sampai di lantai dua. Ternyata di lantai dua areaanya sangat bersih. Malahan hampir mirip seperti kantor. Bahkan ada ruangan dengan nama perpustakaan di labelnya. Sa
Amara kembali ke fakultas Sastra tempat Bima kuliah. Satria menepati janjinya dengan mengantarkan sampai pintu fakultas. “Aku langsung pamit ya.” Kata Satria. “Makasih ya, oh uang mie ayamnya.” Kata Amara sambil merogoh tasnya. “Udah gausah, dari aku aja.” Kata Satria. “Eh tapi aku ga enak.” Kata Amara. “Kamu kuliah, uang jajan dari orangtuamu. Sementara aku udah kerja walaupun kerjaanku sebatas pembuat kopi. Kamu boleh bayar sendiri-sendiri kalau makan sama aku kalau kamu udah punya penghasilan sendiri.” Kata Satria kemudian dia berjalan pamit. Amara tertegun di sana. Sejujurnya selama berpacaran dengan Bima pun, dia membayar sendiri-sendiri. Termasuk uang jalan dan bensin biasanya Amara membayar uang bensin jika diantar oleh Bima. Maka dari itu dia merasa tidak enak. Untuk itu Amara meneguhkan hatinya jika dia sudah bekerja dia akan mentraktir Satria sebagai ucapan terimakasih. Saat Amara masuk gedung Fakultas ternyata Bima s
Bima membawa Amara menuju taman kampus. Suasana di fakultas tidak kondusif untuk mengobrol. Banyak yang memperhatikan mereka. Bima yang punya reputasi cukup baik di sana merasa malu. Amara duduk di kursi taman pinggir kolam. Seharusnya suasana taman membuat hati mereka berdua menjadi teduh saat ini. di sebelahnya duduk Bima. “Jelasin siapa cowo yang bareng kamu tadi!” Kata Bima. “Jelasin juga siapa Gita.” Kata Amara. “Kamu ditanya malah balik nanya ya!” Jawab Bima. “Loh emang awal masalahnya itu dia kan!” Bentak Amara. “Kamu ga dewasa banget. Kamu ga fokus sama masalah seharusnya, malah ngobrolin kemana-mana.” Kata Bima. “Kamu juga kebiasaan. Dari pas di kantin dulu aku tanya siapa Gita jawaban kamu kemana-mana. Siapa sih yang ga dewasa?” Jawab Amara. “Yang lucunya kamu aku tanya jalan sama siapa malah ngebalikin kan. Yang ga dewasa itu siapa?” Tanya Bima. “Sekarang jujur sama aku! Siapa sebenernya Gita!”
“Gamau!” Ucap Gita. “Loh aku kakakmu loh, masa gamau dikenalin sih!” Kata Satria. “Nanti diapa-apain kalau sama kakak!” ucap Gita. “Emang bakal aku apain sih? Ajak berantem?” Seru Satria sebal. “Pokoknya nanti aja aku kenalinnya!” Jawab Gita. “Ga harus dikenalin sekarang pokoknya!” Kata Satria. “Kakak apaan sih lagi banyak pelanggan tau. Dah ah dadah kakak!” Kata Gita sambil berlari keluar. Satria hendak menyusul Gita keluar namun ditahan oleh Ibu Delia. “Kerjaan mu belum selesai nak!” Kata Ibu Delia. “Tapi Gita bu. Ini urgent saya harus tau dia sama siapa.” Kata Satria. “Mau kupotong gajimu?” Tanya Ibu Delia. Satria akhirnya kembali ke tempatnya bekerja. Suatu hari nanti dia akan mendesak adiknya untuk mengenalkan pacarnya tersebut. *** “Mau ke mana Di?” Faisal yang melihat Diana menuju pintu keluar bertanya. “Pulang!” Ucap Diana. “Ga nungguin Satria?” Ta
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"