“Ka?” Diana menepuk punggung Satria. Sejak tadi dia nampak tidak fokus dan sibuk dengan lamunannya. Diana menyangka bahwa semua itu karena Amara. Pertemuan tidak sengaja dengan gadis itu telah membuat Satria kepikiran. Tentu saja hal ini membuatnya cemburu. Bukankah dia yang saat ini menemani Satria? Meskipun status mereka dalam hubungan yang tidak jelas karena Satria tidak menjelaskan apapun, namun dia merasa menjadi wanita yang paling dekat dengan Satria saat ini.
Satria Kembali tersadar dia melihat Diana. “Eh kenapa?” tanyanya. Setelah melihat Amara memang dia jadi merindukannya. Godaan gadis itu cukup besar. Meskipun Amara berkata bahwa mereka berjalan sendiri-sendiri saja jika memang Satria teguh kepada pendiriannya tetap membuatnya tidak bisa menyangkal bahwa dia masih mencintai Amara.
Diana tersenyum kecut. Dia sadar bahwa apa yang dia pikirkan benar. “Aku pikir seharusnya kakak fokus kepada kewajiban kakak di sini. Rasanya ga bener
“Kamu pulang jangan ke mana-mana!”Itulah pesan terakhir dari Satria sebelum dia dibawa oleh petugas kepolisian. Bukan hanya satria tetapi Fajar senior Amara yang hendak meminjamkan buku juga Faisal dibawa oleh mereka. Amara masih berada di lingkungan kampus saat itu. Dia menjauh dari area UKM kampus menuju fakultasnya.Ketika hampir sampai sebuah suara memanggilnya. “Amara!”Gadis itu menengok. Di sana berdiri Diana. Amara sempat melihat Diana satu ruangan dengannya di aula tadi. Namun karena jarak mereka yang jauh akhirnya dia tidak bisa menyapanya. “Halo Diana, ada apa?”“Kamu benar-benar ga ngerasa salah ya?” ucapnya gamblang. Suara Diana yang keras hampir membuat mahasiswa lain yang sedang berjalan menengok.“Maksudnya?” Amara terlihat tidak paham. Dia tidak menyangka Diana akan meneriakinya secara tiba-tiba.“Kamu tahu bahwa aku masih menyukai Satria dari dulu. Kamu tahu
"Anak durhaka!"Plak...Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Satria. Lelaki itu hanya bisa meringis menahan sakit yang dialaminya. Ira sang ibu hanya bisa menunduk dan membuang muka saat anak sulungnya menjadi korban kekerasan suaminya sendiri. Dia pun terlihat malu dan marah terhadap apa yang telah dilakukan oleh anaknya."Sampai kapan kamu mau membuat saya malu?" Rudi berteriak dengan keras. Diikuti oleh pukulan yang kesekian kalinya. "Lihat ibumu anak tidak tahu malu. Dia adalah dosen di kampusmu sendiri. Kini kamu mempermalukannya. Ibumu mendapat surat peringatan tegas dari atasan!"Ira tetap menunduk. Di depannya terdapat surat peringatan dari atasan. Ternyata kampus tidak hanya memberikan peringatan kepadanya namun kepada ibunya juga. Satria melihat Ira dengan tatapan sedih. Kini ibunya pun tidak melindungi dirinya seperti dahulu."Saya tidak akan membiarkan kamu mempermalukan saya lebih dari ini!" ucap Rudi. "Saya akan memerintahkan orang
"SIAPA YANG BERANI?" teriak Satria.Nini menggeleng. "Kandungannya keguguran Den. Sekarang dia lagi menjalani operasi."Mata Satria terbuka lebar. Jantungnya berpacu dengan kencang. Dadanya seakan sesak. Rasa marah melanda dirinya. Bisa-bisanya adik perempuan satu-satunya yang paling dia sayangi hamil. Bisa-bisanya ada orang yang tega berbuat hal tidak bertanggung jawab seperti itu. Kemudian dia teringat kepada Bima. Apakah lelaki itu yang telah menghamili adiknya? Tetapi Satria ingat dia membawa seseorang kemarin? Anak lelaki SMA, apakah itu dia?Tanpa basa-basi dia langsung bangkit dari tempatnya duduk, kemudian dengan kasar mengambil jaket yang tersender di kursi. Nini langsung menggenggam tangan Satria. Matanya menunjukan rasa cemas. "Mau ke mana Den. Kata Bapak, Aden gaboleh ke mana-mana!""Nini yakin masih mau ngelarang Satria keluar? Gita diperlakukan seperti itu? Mana mungkin aku hanya bisa diam! Akan aku cari laki-laki brengsek itu ke manapun dia
Satria memacu motornya dengan kencang. Dia ingin mencari keberadaan Bima. Namun sebelum itu, dia harus membebaskan teman-temannya. Untuk itu dia membutuhkan seseorang yang berpengaruh. Dia memerlukan bantuan. Orangtuanya tidak akan bisa memberikan bantuan. Yang bisa dia mintai tolong hanya satu orang Ibu Hana.Ibu Hana sendiri sejatinya bukanlah orang sembarangan. Kakaknya adalah salah satu orang yang berpengaruh di ranah pemerintahan. Namun sebagai pihak oposisi pemerintah. Itulah sebabnya cafe tempat Satria bekerja sering memberikan sokongan untuk para mahasiswa yang melakukan aksi. Namun Satria bukanlah alat partai. Dia memang bergerak atas dasar keinginannya merubah negara. Saat itulah dia bertemu dengan ibu Hana.Sesampainya di secangkir kopi. Satria langsung menerobos masuk. Semua penghuni cafe memperhatikannya. Kemudian dia berjalan menuju ibu Delia. "Bu maaf, apakah ibu Hana bisa saya temui?"Ibu Delia yang melihat Satria berwajah tidak biasa langsung me
"Bima? Mantan Amara? Kenapa nyari dia sob?" tanya Faisal. "Bisa ga sih fokus aja sama kita-kita?"Satria menghela nafas panjang. "Bukan cuman itu masalahnya. Udah temenin dulu ngerokok sebentar deh! Nanti diceritain."Faisal mengangguk. "Kita ngerokok di balkon. Bikinin kopi jangan lupa!"Lelaki itu mengangkat alisnya. "Lah nyuruh?""Kan mau ditenemin. Boleh dong minta kopi. Traktir ya tuan barista ganteng!" goda Faisal.Satria tertawa. Namun akhirnya dia turun ke bawah. Menyajikan kopi untuk sahabatnya tersebut. Setelah siap dia kembali ke atas. Secangkir kopi hangat tersedia."Ahhh nikmat! Gini nih enaknya punya sahabat tukang kopi!" ucap Faisal. Dia menyeruput kopi tersebut dengan nikmat. Membuat badannya hangat. "Jadi mau cerita apa nih sahabatku tersayang?""Tau ga? Rasanya gagal jadi seorang kakak!" Satria memulai ceritanya. Dia memandang ke atas langit malam. Matanya terlihat sayu."Gagal apasih? Kamu adalah sosok yang b
Gadis itu terpaku di depan ruangan. Dia sama sekali tidak menyangka ibu dari mantan pacarnya tersebut akan menemuinya secara pribadi. Ada apa ini sebenarnya? Tentu saja hal itu membuat Amara bertanya-tanya.Dia melirik ke arah dosen pembimbingnya tersebut. Sang dosen yang paham akan lirikan tersebut kemudian mulai menjelaskan, "Ibu Ira adalah teman saya berbeda jurusan. Karena tahu kamu dibimbing oleh saya, dia bilang ada hal yang ingin dibicarakan. Agar tidak menganggu saya akan keluar dulu. Silahkan kalian menggunakan ruangan saya dengan bijak."Setelah berkata demikian Amara ditinggalkan berdua. Tentu saja gadis itu canggung melihat Ira. Mereka sempat saling diam sampai akhirnya Ira mulai mengajak Amara berbicara, "mari duduk di sini!" Dia menunjuk sofa tamu yang ada di ruangan tersebut.Amara mengangguk. Setelah Ira duduk barulah Amara ikut untuk duduk di salah satu sofa. Wajahnya terlihat tegang. Kini Amara mengetahui bagaimana perasaan seorang calon menant
Amara keluar ruangan dosen. Dia berjalan menuruni tangga. Pikirannya bercabang, ibu Satria memintanya untuk menghentikan mantan pacarnya tersebut berhenti berdemo. Bagaimana bisa? Dia tahu Satria adalah orang yang keras kepala. Waktu itupun mereka selesai karena berbeda pendapat. Di lain hal dia setuju dengan Ira, jika dibiarkan Satria akan terkena drop out."Hufh!" Amara menghembuskan nafas panjang. "Bagaimana caraku untuk berbicara dengan Satria?""Berbicara denganku tentang apa?" tiba-tiba saja Satria muncul dari belakang Amara. Mahasiswi itu terpekik, bisa-bisanya orang yang sedang dia pikirkan datang. Namun ini bukan saat yang tepat, bagaimana jika ketahuan kalau misalnya dia sehabis mengobrol dengan orangtua Satria? Bukankah itu berbahaya?"Ah itu-!" Amara menghentikan kata-katanya. Dia terlihat kebingungan. "Gapapa kok."Satria mengangguk-angguk. Dia penasaran sejujurnya dengan sikap Amara. Namun ada yang yang harus mereka bicarakan saat ini. "Kamu
Amara terdiam cukup lama. Dia kembali memperhatikan nomor penelpon tersebut. Dalam dirinya hampir tidak percaya jika yang menelpon adalah Gita. Wanita yang selama ini menghantui dirinya. Perasaannya kacau tidak karuan. Setengah dirinya ingin berteriak dan memaki gadis SMA tersebut. Namun setengah hatinya lagi merasa penasaran dengan alasan gadis ini menelpon dirinya. Alhasil Amara hanya bisa berkata, "Ya!"Jantung Amara masih berdebar dengan kencang. Terlebih lawan bicaranya sempat diam cukup lama. Kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki di sebrang telepon."Gimana? Diangkat kan?"Perasaan Amara makin tidak karuan. Dalam dirinya dia sempat terpikir satu nama "Bima". Namun Amara yakin bahwa pemilik suara itu bukanlah mantannya. Melainkan orang lain. Beberapa tahun bersama membuat Amara mengingat dengan jelas suara lelaki bajingan tersebut."Benarkah aku boleh menemui kakak?" tanya Gita lagi. Suaranya sedikit bergetar. Ada nada penyesalan, malu, seka
"Selamat ya ka!""Akhirnya lulus juga ya!Hari itu kampus dipenuhi oleh orang-orang yang mengenakan toga. Tawa dan senyum terpancar dari wajah mereka. Sanak keluarga pun datang, bahkan tidak segan-segan. Ada yang datang membawa bus bermuatan tetangga dari kampung. Hari itu adalah hari yang berbahagia, hari wisuda.Satria berjalan diarak oleh teman-temannya, junior di BEM. Dia dan Faisal lulus bersama-sama. Gita dan ibunya melihat dari kejauhan. Mereka benar-benar bangga dengan putra sulung mereka tersebut."Pengen nangis, akhirnya seorang Faisal bocah kampung bisa wisuda!" teriak Faisal. Dia tidak henti-hentinya memberikan senyum bangga."Kita yang diancam bakal kena drop out akhirnya lulus juga ya!" tambah Satria. "Bener-bener ga nyangka."Pembicaraan mereka terhenti ketika ada seorang wanita mengenakan toga mendekat. Penampilannya yang dahulu tomboy berubah menjadi feminim akibat balutan kebaya dan sepatu heels tinggi yang dia gunakan.
"Kang!" panggil Danny. Dia berada tepat di belakang Satria. "Situasi udah ga terkendali. Kita butuh instruksi. Gimana ini? Haruskah kita mundur atau tetep maju ke depan maksa buat masuk ke gedung Senayan?" Satria terlihat linglung. Dia memeluk tubuh Amara yang bersimbah darah. Tangannya bergetar hebat. Dia benar-benar tidak menyangka Amara menahan tembakan peluru tersebut dengan badannya. Bukankah dia tidak ikut demonstrasi? Kenapa dia berada di sini? Apa yang harus Satria lakukan saat ini. "Kang Satria!" teriak Galang. Dia memegang kedua bahu milik seniornya tersebut. "Fokus! Semua orang yang di sini butuh instruksi!" "Aku-!" Satria mencoba memahami situasi. Pikirannya kacau. Dia ingin segera membawa Amara ke rumah sakit. Sayangnya posisinya sebagai pemimpin tidak memungkinkannya untuk pergi. Amara membutuhkan pertolongan segera. "Biar Amara dibawa sama tim medis! Akang harus kasih keputusan sekarang!" teriak Galang. Dalam situasi seperti itu
Tok.. tok... tok...Pintu terbuka. Seorang laki-laki berpakaian kemeja putih rapi masuk ke dalam. Di dalam ruangan Rudi sedang berdiri menghadap jendela. Dia melihat ke arah kerumbunan mahasiswa yang melakukan aksi demonstrasi terhadapnya."Kenapa kamu ke sini? Ada sesuatu?" tanya Rudi.Pria itu mendekat. "Maaf pak, saya ingin memberikan pesan. Ada seseorang bernama Bima yang mengaku sebagai kenalan bapak. Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan."Rudi langsung menoleh. Tatapannya marah. Bima adalah nama lelaki yang menghamili anak perempuannya. Sejak lama Bima menghilang, kemudian dia menghubungi keluarganya dan memberitahukan bahwa Bima harus bertanggung jawab. "Kemarin saja dia tidak terlihat, sekarang situasi sedang seperti ini baru datang. Biarkan dia masuk. Tolong jangan ada seorang pun yang mencuri dengar pembicaraan kami."Pria berkemeja putih itu mengangguk, kemudian dia pergi. Beberapa waktu kemudian dia masuk. Di belakangnya Bim
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"