Gadis itu terpaku di depan ruangan. Dia sama sekali tidak menyangka ibu dari mantan pacarnya tersebut akan menemuinya secara pribadi. Ada apa ini sebenarnya? Tentu saja hal itu membuat Amara bertanya-tanya.
Dia melirik ke arah dosen pembimbingnya tersebut. Sang dosen yang paham akan lirikan tersebut kemudian mulai menjelaskan, "Ibu Ira adalah teman saya berbeda jurusan. Karena tahu kamu dibimbing oleh saya, dia bilang ada hal yang ingin dibicarakan. Agar tidak menganggu saya akan keluar dulu. Silahkan kalian menggunakan ruangan saya dengan bijak."
Setelah berkata demikian Amara ditinggalkan berdua. Tentu saja gadis itu canggung melihat Ira. Mereka sempat saling diam sampai akhirnya Ira mulai mengajak Amara berbicara, "mari duduk di sini!" Dia menunjuk sofa tamu yang ada di ruangan tersebut.
Amara mengangguk. Setelah Ira duduk barulah Amara ikut untuk duduk di salah satu sofa. Wajahnya terlihat tegang. Kini Amara mengetahui bagaimana perasaan seorang calon menant
Amara keluar ruangan dosen. Dia berjalan menuruni tangga. Pikirannya bercabang, ibu Satria memintanya untuk menghentikan mantan pacarnya tersebut berhenti berdemo. Bagaimana bisa? Dia tahu Satria adalah orang yang keras kepala. Waktu itupun mereka selesai karena berbeda pendapat. Di lain hal dia setuju dengan Ira, jika dibiarkan Satria akan terkena drop out."Hufh!" Amara menghembuskan nafas panjang. "Bagaimana caraku untuk berbicara dengan Satria?""Berbicara denganku tentang apa?" tiba-tiba saja Satria muncul dari belakang Amara. Mahasiswi itu terpekik, bisa-bisanya orang yang sedang dia pikirkan datang. Namun ini bukan saat yang tepat, bagaimana jika ketahuan kalau misalnya dia sehabis mengobrol dengan orangtua Satria? Bukankah itu berbahaya?"Ah itu-!" Amara menghentikan kata-katanya. Dia terlihat kebingungan. "Gapapa kok."Satria mengangguk-angguk. Dia penasaran sejujurnya dengan sikap Amara. Namun ada yang yang harus mereka bicarakan saat ini. "Kamu
Amara terdiam cukup lama. Dia kembali memperhatikan nomor penelpon tersebut. Dalam dirinya hampir tidak percaya jika yang menelpon adalah Gita. Wanita yang selama ini menghantui dirinya. Perasaannya kacau tidak karuan. Setengah dirinya ingin berteriak dan memaki gadis SMA tersebut. Namun setengah hatinya lagi merasa penasaran dengan alasan gadis ini menelpon dirinya. Alhasil Amara hanya bisa berkata, "Ya!"Jantung Amara masih berdebar dengan kencang. Terlebih lawan bicaranya sempat diam cukup lama. Kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki di sebrang telepon."Gimana? Diangkat kan?"Perasaan Amara makin tidak karuan. Dalam dirinya dia sempat terpikir satu nama "Bima". Namun Amara yakin bahwa pemilik suara itu bukanlah mantannya. Melainkan orang lain. Beberapa tahun bersama membuat Amara mengingat dengan jelas suara lelaki bajingan tersebut."Benarkah aku boleh menemui kakak?" tanya Gita lagi. Suaranya sedikit bergetar. Ada nada penyesalan, malu, seka
"Aku ingin meminta maaf kepada kakak atas kesalahan yang aku lakukan!"Amara menggertakan giginya. Emosi berkecamuk di dalam kepalanya. Haruskah dia menerima permintaan maaf dari Gita? Bukankah Gita sudah merebut pacarnya? Bukankah Gita sudah menyebabkan Amara hampir gagal dalam menjalankan tugas akhir? Amara memiliki hak untuk tidak menerima permintaan maafnya.Dia melihat tubuh gadis yang terbaring di ranjang sekali lagi. Sisi kemanusiaannya berkata dia begitu menyedihkan. Dalam hati Amara, dia juga ingin memaafkan. Karena semua manusia berhak untuk menerima permintaan maaf. Tetapi kenapa lidahnya sulit sekali untuk berkata demikian. Seolah-olah tubuhnya menolak.Melihat Amara yang diam saja. Gita merasa tidak nyaman. Dia sendiri sudah mempersiapkan semuanya, termasuk jika Amara menolak untuk memaafkannya. Semua memang salahnya. Dia yang menyukai Bima. Dia juga yang memiliki keinginan untuk merebut Bima. "Aku sendiri tidak masalah jika kakak tidak bisa memaafk
"Halo Ra!" panggil Satria dari sebrang telepon.Amara yang mengangkat panggilan tersebut beranjak melirik Della. Sahabatnya itu mengangguk. Mengerti akan kode yang diberikan, barulah Amara menjawab. "Iya ka?""Bolehkah aku bertemu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan! Aku mohon!" Suara Satria terdengar parau. Membuat Amara jadi tidak tega terhadapnya.Setelah mempertimbangkan beberapa saat, Amara kemudian menjawab, "Boleh ka, ketemu di mana? Kakak ada di mana sekarang?"Amara bermaksud bertemu di tengah-tengah saja. Agar keduanya tidak terlalu jauh. Namun ternyata jawaban dari Satria membuat Amara terkejut. "Sejujurnya aku di depan kosanmu. Aku menunggu sampai kamu mempersilahkan kita untuk berbicara. Kalau boleh di kosanmu saja bagaimana?""Eh?!" Gadis itu cukup terkejut. Dia langsung berlari ke depan pintu kosan. Betul saja ketika dibuka sosok Satria berada di sana. Membuat Amara salah tingkah sedikit. "Masuk ka! Ada Della tapi ga apa-apa kan?"
"Gimana?" tanya Faisal. Ternyata selama ini dia menunggu sahabatnya di luar."Sukses!" jawab Satria. "Amara mau membantu mencari Bima. Dia juga bilang kalau bakal ngedukung soal demonstrasi nanti."Faisal terlihat heran. Dia kemudian menggaruk-garuk kepalanya. "Gini bro, maksudnya bukan nanya soal Amara tapi Della. Gimana sama Della?""Hahahaha!" tiba-tiba saja Satria tertawa lepas. "Ya ampun. Dikirain nanya soal Amara ternyata temennya. Kalau emang segitu penasarannya kenapa ga ikut tadi."Wajah Faisal langsung tersipu merah. "Malu lah! Kan udah bilang bakal gue lamar kalau misalnya demonstrasi beres!""Itu serius?!" Wajah Satria seakan tidak percaya. Image Faisal yang melekat adalah seseorang yang suka bercanda. Baru kali ini dia terlihat sangat berbeda."Serius lah!" ucapnya. "Emang selama iniaing(panggilan saya bahasa sunda) menjomblo buat apa? Biar kalau bener-bener ada yang bisa bikin serius ya dilamar lah!"
Della terus menerus menatap Amara dengan tatapan tajam. Dia tidak menyangka Amara akan membantu Satria tanpa imbalan apapun. Bukankah skripsinya dipertaruhkan di sini? Bagaimana jika dia dipersulit nanti untuk mendapatkan tanda tangan sidang? Meskipun Della tidak menampik bahwa dia pun mendukung Satria. Tapi? Tetap saja ini aneh."Hehe, marah ya?" Amara nyengir menghadap Della.Sahabatnya itu menghela nafas panjang. "Marah ga sih. Gimana ya? Semacam kamu ga masalah nanti susah sendiri?""Hmm!" Amara meneguk minuman yang dia pegang. "Aku sebenernya dari dulu takut Dell! Aku pengen lulus. Tapi kalau cara lulusnya dengan melarang seseorang melakukan sesuatu kayanya aneh aja gitu. Kalau aku mau lulus aku harus nahan Satria biar ga aksi. Padahal justru bisa aja yang dia lakukan memang benar."Della memutar bola matanya. Dia mengangguk-angguk sebentar. "Terus kalau soal Gita gimana? Bener mau bantu dia? Udah ga ada dendam? Kemaren kan sampe nangis-nangis tuh."
Kriiing....Suara panggilan telepon di handphone Bima berbunyi. Maya melihat siapa penelpon tersebut. Wajahnya langsung memperlihatkan raut tidak senang. Di layar tersebut nama Amara terpampang dengan jelas. Bima sendiri sedang tertidur pulas. Sudah beberapa lama ini dia tinggal di kosan Maya. Akhirnya Maya mengangkat panggilan tersebut."Bima?" suara Amara langsung terdengar di dalam panggilan.Maya yang mendengarnya mendengus kesal. "Ada apa? Bima sedang tidak bisa berbicara."Amara terdiam sebentar. Dia tidak menyangka bahwa yang menjawab panggilannya orang lain. Terlebih suara seorang wanita. "Siapa?""Ini Amara? Aku pacar Bima sekarang," ucap Maya. Dia tahu siapa Amara. Rasa proteksinya muncul. Dia tidak ingin Bima kembali bersama Amara."Ahhhh, siapa?" tanya Amara. Nadanya terdengar biasa saja. Tidak menunjukan apapun."Maya! Jadi tolong jangan hubungi Bima lagi ok!" Maya terdengar sangat ketus di sana.Amara terdiam cuku
Ira langsung terpapar tidak sadarkan diri. Berita tersebut melukai hatinya. Dia awalnya mengira bahwa Rudi adalah orang baik yang mau membantu anak-anaknya. Ternyata semua ini karena Winda memberikan dirinya kepada lelaki yang berperan sebagai orang nomor satu di kursi rakyat tersebut.Bima dan Winda yang melihat ibunya terkapar langsung bekerja sama menggotong ke kamar. Mereka tidak lagi bertengkar setelahnya. Winda langsung mencari minyak aromaterapi untuk menyadarkan ibunya, sementara Bima memijit-mijit kaki ibunya tersebut.Beberapa saat kemudian Ira tersadar. Air mata tumpah dari kedua bola matanya. Dia melihat kedua anaknya satu persatu. "Semua ini salahku! Aku yang mendidik kalian berdua."Winda menggeleng. "Mama ga pernah salah. Aku yang salah. Maaf! Waktu itu aku benar-benar putus asa. Aku ingin sekolah setinggi-tingginya dan membuat bangga keluarga kita. Om Rudi menawarkan aku menjadi gadis simpanannya. Aku setuju dengan syarat Bima pun diizinkan untuk