Kriiing....
Suara panggilan telepon di handphone Bima berbunyi. Maya melihat siapa penelpon tersebut. Wajahnya langsung memperlihatkan raut tidak senang. Di layar tersebut nama Amara terpampang dengan jelas. Bima sendiri sedang tertidur pulas. Sudah beberapa lama ini dia tinggal di kosan Maya. Akhirnya Maya mengangkat panggilan tersebut.
"Bima?" suara Amara langsung terdengar di dalam panggilan.
Maya yang mendengarnya mendengus kesal. "Ada apa? Bima sedang tidak bisa berbicara."
Amara terdiam sebentar. Dia tidak menyangka bahwa yang menjawab panggilannya orang lain. Terlebih suara seorang wanita. "Siapa?"
"Ini Amara? Aku pacar Bima sekarang," ucap Maya. Dia tahu siapa Amara. Rasa proteksinya muncul. Dia tidak ingin Bima kembali bersama Amara.
"Ahhhh, siapa?" tanya Amara. Nadanya terdengar biasa saja. Tidak menunjukan apapun.
"Maya! Jadi tolong jangan hubungi Bima lagi ok!" Maya terdengar sangat ketus di sana.
Amara terdiam cuku
Ira langsung terpapar tidak sadarkan diri. Berita tersebut melukai hatinya. Dia awalnya mengira bahwa Rudi adalah orang baik yang mau membantu anak-anaknya. Ternyata semua ini karena Winda memberikan dirinya kepada lelaki yang berperan sebagai orang nomor satu di kursi rakyat tersebut.Bima dan Winda yang melihat ibunya terkapar langsung bekerja sama menggotong ke kamar. Mereka tidak lagi bertengkar setelahnya. Winda langsung mencari minyak aromaterapi untuk menyadarkan ibunya, sementara Bima memijit-mijit kaki ibunya tersebut.Beberapa saat kemudian Ira tersadar. Air mata tumpah dari kedua bola matanya. Dia melihat kedua anaknya satu persatu. "Semua ini salahku! Aku yang mendidik kalian berdua."Winda menggeleng. "Mama ga pernah salah. Aku yang salah. Maaf! Waktu itu aku benar-benar putus asa. Aku ingin sekolah setinggi-tingginya dan membuat bangga keluarga kita. Om Rudi menawarkan aku menjadi gadis simpanannya. Aku setuju dengan syarat Bima pun diizinkan untuk
Gita sedang tertidur pulas saat itu. Dia tidak menyadari ada seseorang yang mengendap-endap masuk ke kamarnya. Dia berdiri di samping ranjang Gita. Pria itu tidak menampik bahwa Gita terlihat cantik. Dia berdiri cukup lama di sana. Sampai akhirnya tangannya menyentuh leher gadis itu.Bima menggigit bibirnya. Dia gamblang. Dia terlihat ragu-ragu. Beberapa jam yang lalu dia memutuskan untuk melampiaskan semua kekesalannya kepada Gita. Jika Gita tidak ada maka Rudi pasti akan putus asa, dia juga tidak akan hidup di bawah tekanan. Namun hati kecilnya berkata tidak, itulah yang menyebabkan tangannya bergetar saat ini.Akhirnya dia menarik tangannya kembali. Dia terlihat sangat frustasi saat itu. Bagaimana bisa dia setega ini. Dia pikir dengan menghamili Gita maka Rudi akan frustasi, nyatanya tidak. Dia malah meminta pertanggungjawaban keluarga Bima sampai seperti ini. Orang itu juga tetap duduk di kursi wakil rakyat tanpa merasa bersalah. Lantas apa yang sebenarnya dia cari
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan
"Bisakah kita berbicara sebentar?"Amara mengangguk. Kemudian dia mengikuti Mira ke tempat lain. Perasaannya sedikit tidak nyaman. Terlebih saat terakhir bertemu, Mira meminta pertolongan kepadanya. Sementara dia sudah bilang bahwa dia akan mendukung Satria untuk melakukan demonstrasi.Mereka menuju sebuah bangku yang terdapat di salah satu lorong rumah sakit. Mira kemudian menepuk pundak Amara. "Sini kita duduk sambil berbincang sebentar."Setelah Mira duduk, Amara mulai mengikuti. Dia terlihat cukup gugup. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dirinya akan dimarahi oleh Mira karena tidak menahan Satria untuk melaksanakan demonstrasi."Satria dan Gita adalah dua orang anakku yang berharga," Mira membuka pembicaraan. Amara mendengarkan sambil mengangguk. "Satria, adalah anak yang dididik dengan keras. Itulah sebabnya dia menjadi seperti ini.""Dia pria yang baik," sambung Satria."Benar, Saya mendidiknya menjadi seorang laki-laki yang baik," Mira
Tok.. tok... tok..."Sini masuk!" ucap Satria.Pintu terbuka, Faisal masuk ke dalam. "Gimana ade Gita?" tanyanya. Dia kemudian duduk di samping Satria.Mereka sedang berada di rumah kontrakan. Besok mereka akan berkumpul di tempat perjanjian. Aksi demonstrasi dari seluruh Indonesia akan dilakukan."Baik, sudah beres" ucap Satria. Mood Satria terlihat kurang baik. Nada bicaranya lebih ketus dari sebelumnya.Sebagai sahabat, Faisal menyadarinya. Dia kemudian menepuk bahu Satria. "Ada apa? Ga nelepon Amara? Besok kita pergi loh!""Udahlah!" Satria terlihat malas. Dia sedang tidak ingin membicarakan Amara. "Gausah ngomongin dia!"Faisal menghela nafas panjang. "Berantem lagi nih? Gacape berantem terus kalian itu?""Ternyata selama ini dia bekerja sama dengan mama!" Satria akhirnya memulai cerita. "Mama minta tolong sama dia biar kita gagal aksi.""Eh!" Faisal terkejut mendengarnya. "Amara kenal sama tante Mira?"
"Semua sudah menunggu! Kita ga bisa nunggu ka Ical!" desak Galang. Dia mengenakan jaster kampusnya. Mereka berada di depan kampus. Waktu masih menunjukan pukul tiga pagi. Beberapa mobil bus dan truk terlihat sesak penuh dengan para mahasiswa yang akan melaksanakan demonstrasi.Satria masih mencoba untuk menunggu sahabatnya tersebut. Di mana Faisal, sejak malam mahasiswa humoris itu benar-benar tidak terlihat. Dia kemudian menekan nomor di layar handphonenya. Seperti sebelumnya handphone tersebut mati."Ka!" panggil Galang. "Kita gabisa nunggu satu orang lagi! Kita harus berangkat sekarang!""Baik!" ucap Satria akhirnya. Namun dia sempat mengirimkan pesan kepada Faisal, "bro kami tunggu di Jakarta."Satria naik ke dalam salah satu bus yang tersedia. Dia duduk di sebelah Diana. Mahasiswi itupun mengenakan jaster angkatan yang sama dengannya. Galang melihat Diana kedinginan dia langsung mengambil jaket yang disampirkan di kursi penumpangnya kemudian memakaik
Senayan berubah menjadi lautan manusia. Berbagai mahasiswa dari seluruh kampus di Tanah Air berkumpul di sana. Mereka mengenakan jaster dari kampusnya masing-masing."TURUNKAN DPR YANG TIDAK PRO RAKYAT!""HAPUSKAN KORUPSI DI NEGARA KAMI!""BIARKAN RAKYAT MENIKMATI HASIL KERINGATNYA DARI FASILITAS YANG DIBANGUN MENGGUNAKAN PAJAK NEGARA!"Di antara kerumbunan masa yang melaksanakan aksi tersebut. Berdiri seorang mahasiswa yang mengenakan jaster berwarna kelabu. Dia adalah Satria, mantan ketua BEM di kampusnya sekaligus anak dari salah satu anggota DPR yang terhormat. Di pinggangnya tersampir pengeras suara. Dengan lantangnya dia berkata, "HIDUP MAHASISWA!"Bersebrangan dengan kerumbunan mahasiswa. Aparat keamanan menggunakan label POLISI berdiri rapi di sana. Tugas mereka adalah mengamankan jalannya aksi demonstrasi agar tertib dan lancar. Namun ada yang berbeda saat itu. Para polisi membawa senjata api dan beberapa peralatan lainnya seakan-akan terj