"Aku ingin meminta maaf kepada kakak atas kesalahan yang aku lakukan!"
Amara menggertakan giginya. Emosi berkecamuk di dalam kepalanya. Haruskah dia menerima permintaan maaf dari Gita? Bukankah Gita sudah merebut pacarnya? Bukankah Gita sudah menyebabkan Amara hampir gagal dalam menjalankan tugas akhir? Amara memiliki hak untuk tidak menerima permintaan maafnya.
Dia melihat tubuh gadis yang terbaring di ranjang sekali lagi. Sisi kemanusiaannya berkata dia begitu menyedihkan. Dalam hati Amara, dia juga ingin memaafkan. Karena semua manusia berhak untuk menerima permintaan maaf. Tetapi kenapa lidahnya sulit sekali untuk berkata demikian. Seolah-olah tubuhnya menolak.
Melihat Amara yang diam saja. Gita merasa tidak nyaman. Dia sendiri sudah mempersiapkan semuanya, termasuk jika Amara menolak untuk memaafkannya. Semua memang salahnya. Dia yang menyukai Bima. Dia juga yang memiliki keinginan untuk merebut Bima. "Aku sendiri tidak masalah jika kakak tidak bisa memaafk
"Halo Ra!" panggil Satria dari sebrang telepon.Amara yang mengangkat panggilan tersebut beranjak melirik Della. Sahabatnya itu mengangguk. Mengerti akan kode yang diberikan, barulah Amara menjawab. "Iya ka?""Bolehkah aku bertemu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan! Aku mohon!" Suara Satria terdengar parau. Membuat Amara jadi tidak tega terhadapnya.Setelah mempertimbangkan beberapa saat, Amara kemudian menjawab, "Boleh ka, ketemu di mana? Kakak ada di mana sekarang?"Amara bermaksud bertemu di tengah-tengah saja. Agar keduanya tidak terlalu jauh. Namun ternyata jawaban dari Satria membuat Amara terkejut. "Sejujurnya aku di depan kosanmu. Aku menunggu sampai kamu mempersilahkan kita untuk berbicara. Kalau boleh di kosanmu saja bagaimana?""Eh?!" Gadis itu cukup terkejut. Dia langsung berlari ke depan pintu kosan. Betul saja ketika dibuka sosok Satria berada di sana. Membuat Amara salah tingkah sedikit. "Masuk ka! Ada Della tapi ga apa-apa kan?"
"Gimana?" tanya Faisal. Ternyata selama ini dia menunggu sahabatnya di luar."Sukses!" jawab Satria. "Amara mau membantu mencari Bima. Dia juga bilang kalau bakal ngedukung soal demonstrasi nanti."Faisal terlihat heran. Dia kemudian menggaruk-garuk kepalanya. "Gini bro, maksudnya bukan nanya soal Amara tapi Della. Gimana sama Della?""Hahahaha!" tiba-tiba saja Satria tertawa lepas. "Ya ampun. Dikirain nanya soal Amara ternyata temennya. Kalau emang segitu penasarannya kenapa ga ikut tadi."Wajah Faisal langsung tersipu merah. "Malu lah! Kan udah bilang bakal gue lamar kalau misalnya demonstrasi beres!""Itu serius?!" Wajah Satria seakan tidak percaya. Image Faisal yang melekat adalah seseorang yang suka bercanda. Baru kali ini dia terlihat sangat berbeda."Serius lah!" ucapnya. "Emang selama iniaing(panggilan saya bahasa sunda) menjomblo buat apa? Biar kalau bener-bener ada yang bisa bikin serius ya dilamar lah!"
Della terus menerus menatap Amara dengan tatapan tajam. Dia tidak menyangka Amara akan membantu Satria tanpa imbalan apapun. Bukankah skripsinya dipertaruhkan di sini? Bagaimana jika dia dipersulit nanti untuk mendapatkan tanda tangan sidang? Meskipun Della tidak menampik bahwa dia pun mendukung Satria. Tapi? Tetap saja ini aneh."Hehe, marah ya?" Amara nyengir menghadap Della.Sahabatnya itu menghela nafas panjang. "Marah ga sih. Gimana ya? Semacam kamu ga masalah nanti susah sendiri?""Hmm!" Amara meneguk minuman yang dia pegang. "Aku sebenernya dari dulu takut Dell! Aku pengen lulus. Tapi kalau cara lulusnya dengan melarang seseorang melakukan sesuatu kayanya aneh aja gitu. Kalau aku mau lulus aku harus nahan Satria biar ga aksi. Padahal justru bisa aja yang dia lakukan memang benar."Della memutar bola matanya. Dia mengangguk-angguk sebentar. "Terus kalau soal Gita gimana? Bener mau bantu dia? Udah ga ada dendam? Kemaren kan sampe nangis-nangis tuh."
Kriiing....Suara panggilan telepon di handphone Bima berbunyi. Maya melihat siapa penelpon tersebut. Wajahnya langsung memperlihatkan raut tidak senang. Di layar tersebut nama Amara terpampang dengan jelas. Bima sendiri sedang tertidur pulas. Sudah beberapa lama ini dia tinggal di kosan Maya. Akhirnya Maya mengangkat panggilan tersebut."Bima?" suara Amara langsung terdengar di dalam panggilan.Maya yang mendengarnya mendengus kesal. "Ada apa? Bima sedang tidak bisa berbicara."Amara terdiam sebentar. Dia tidak menyangka bahwa yang menjawab panggilannya orang lain. Terlebih suara seorang wanita. "Siapa?""Ini Amara? Aku pacar Bima sekarang," ucap Maya. Dia tahu siapa Amara. Rasa proteksinya muncul. Dia tidak ingin Bima kembali bersama Amara."Ahhhh, siapa?" tanya Amara. Nadanya terdengar biasa saja. Tidak menunjukan apapun."Maya! Jadi tolong jangan hubungi Bima lagi ok!" Maya terdengar sangat ketus di sana.Amara terdiam cuku
Ira langsung terpapar tidak sadarkan diri. Berita tersebut melukai hatinya. Dia awalnya mengira bahwa Rudi adalah orang baik yang mau membantu anak-anaknya. Ternyata semua ini karena Winda memberikan dirinya kepada lelaki yang berperan sebagai orang nomor satu di kursi rakyat tersebut.Bima dan Winda yang melihat ibunya terkapar langsung bekerja sama menggotong ke kamar. Mereka tidak lagi bertengkar setelahnya. Winda langsung mencari minyak aromaterapi untuk menyadarkan ibunya, sementara Bima memijit-mijit kaki ibunya tersebut.Beberapa saat kemudian Ira tersadar. Air mata tumpah dari kedua bola matanya. Dia melihat kedua anaknya satu persatu. "Semua ini salahku! Aku yang mendidik kalian berdua."Winda menggeleng. "Mama ga pernah salah. Aku yang salah. Maaf! Waktu itu aku benar-benar putus asa. Aku ingin sekolah setinggi-tingginya dan membuat bangga keluarga kita. Om Rudi menawarkan aku menjadi gadis simpanannya. Aku setuju dengan syarat Bima pun diizinkan untuk
Gita sedang tertidur pulas saat itu. Dia tidak menyadari ada seseorang yang mengendap-endap masuk ke kamarnya. Dia berdiri di samping ranjang Gita. Pria itu tidak menampik bahwa Gita terlihat cantik. Dia berdiri cukup lama di sana. Sampai akhirnya tangannya menyentuh leher gadis itu.Bima menggigit bibirnya. Dia gamblang. Dia terlihat ragu-ragu. Beberapa jam yang lalu dia memutuskan untuk melampiaskan semua kekesalannya kepada Gita. Jika Gita tidak ada maka Rudi pasti akan putus asa, dia juga tidak akan hidup di bawah tekanan. Namun hati kecilnya berkata tidak, itulah yang menyebabkan tangannya bergetar saat ini.Akhirnya dia menarik tangannya kembali. Dia terlihat sangat frustasi saat itu. Bagaimana bisa dia setega ini. Dia pikir dengan menghamili Gita maka Rudi akan frustasi, nyatanya tidak. Dia malah meminta pertanggungjawaban keluarga Bima sampai seperti ini. Orang itu juga tetap duduk di kursi wakil rakyat tanpa merasa bersalah. Lantas apa yang sebenarnya dia cari
Hah... hah... hah...Nafas Satria memburu. Dia telah berjanji di dalam hati bahwa dia tidak akan terbawa emosi. Ternyata menahan emosi tidak semudah ini. Laki-laki yang melakukan tindakan asusila terhadap adiknya ada di depan mata. Dengan dirinya yang sekarang mudah saja untuk menghabisi dia.Bima pun terlihat pasrah. Dia tidak melawan. Dia juga tidak berbicara apapun. Dia sudah siap jika akan dihajar habis-habisan oleh Satria.Satria kemudian mendekat kembali ke arah Bima. Lelaki itu menutup matanya. Bersiap menerima pukulan. Beberapa detik berlalu, tidak ada yang terjadi. Akhirnya dia mencoba untuk membuka mata. Dia sedikit terkejut karena melihat Satria mengulurkan tangan kepadanya."Sini! Dibantu buat bangun!" Satria masih mengulurkan tangan.Bima yang terkapar di tanah masih bingung. Beberapa kali dia terlihat mengedipkan mata. Dia masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Bukankah Satria mengajaknya ke sini untuk menghabisinya?"
Kriiitttt....Pintu kamar Gita menginap terbuka. Bima dan Satria masuk ke dalam. Amara melihat bekas pukulan di wajah Bima, dia sudah menyangka bahwa Satria akan melakukan hal tersebut kepada mantannya. Tapi memang Bima pantas mendapatkannya. Apapun alasan Bima melakukannya, merusak anak orang adalah sesuatu hal yang salah."Ra!" panggil Satria."Ya? Kenapa?" tanya Amara.Satria memegang pundak Bima. "Bima bilang ingin ngobrol berdua sama kamu. Akupun ada yang mau diobrolin sama adikku."Deg...Jantung Amara berdetak kencang. Dia terlihat kaku dan gugup. Sudah sekian lama dia tidak berbicara dengan Bima. Pembicaraan terakhir juga tidak menyenangkan. Namun Satria yang memintanya. Alhasil dia mengikuti Bima keluar ruangan. Meninggalkan dua kakak beradik itu di dalam ruangan.Ketika mereka sudah keluar, Gita menatap kakaknya. "Kakak gapapa?""Gapapa dong!" jawabnya sambil tersenyum."Maksudnya aku-!" Gadis itu memperhatikan