"Anak durhaka!"
Plak...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Satria. Lelaki itu hanya bisa meringis menahan sakit yang dialaminya. Ira sang ibu hanya bisa menunduk dan membuang muka saat anak sulungnya menjadi korban kekerasan suaminya sendiri. Dia pun terlihat malu dan marah terhadap apa yang telah dilakukan oleh anaknya.
"Sampai kapan kamu mau membuat saya malu?" Rudi berteriak dengan keras. Diikuti oleh pukulan yang kesekian kalinya. "Lihat ibumu anak tidak tahu malu. Dia adalah dosen di kampusmu sendiri. Kini kamu mempermalukannya. Ibumu mendapat surat peringatan tegas dari atasan!"
Ira tetap menunduk. Di depannya terdapat surat peringatan dari atasan. Ternyata kampus tidak hanya memberikan peringatan kepadanya namun kepada ibunya juga. Satria melihat Ira dengan tatapan sedih. Kini ibunya pun tidak melindungi dirinya seperti dahulu.
"Saya tidak akan membiarkan kamu mempermalukan saya lebih dari ini!" ucap Rudi. "Saya akan memerintahkan orang
"SIAPA YANG BERANI?" teriak Satria.Nini menggeleng. "Kandungannya keguguran Den. Sekarang dia lagi menjalani operasi."Mata Satria terbuka lebar. Jantungnya berpacu dengan kencang. Dadanya seakan sesak. Rasa marah melanda dirinya. Bisa-bisanya adik perempuan satu-satunya yang paling dia sayangi hamil. Bisa-bisanya ada orang yang tega berbuat hal tidak bertanggung jawab seperti itu. Kemudian dia teringat kepada Bima. Apakah lelaki itu yang telah menghamili adiknya? Tetapi Satria ingat dia membawa seseorang kemarin? Anak lelaki SMA, apakah itu dia?Tanpa basa-basi dia langsung bangkit dari tempatnya duduk, kemudian dengan kasar mengambil jaket yang tersender di kursi. Nini langsung menggenggam tangan Satria. Matanya menunjukan rasa cemas. "Mau ke mana Den. Kata Bapak, Aden gaboleh ke mana-mana!""Nini yakin masih mau ngelarang Satria keluar? Gita diperlakukan seperti itu? Mana mungkin aku hanya bisa diam! Akan aku cari laki-laki brengsek itu ke manapun dia
Satria memacu motornya dengan kencang. Dia ingin mencari keberadaan Bima. Namun sebelum itu, dia harus membebaskan teman-temannya. Untuk itu dia membutuhkan seseorang yang berpengaruh. Dia memerlukan bantuan. Orangtuanya tidak akan bisa memberikan bantuan. Yang bisa dia mintai tolong hanya satu orang Ibu Hana.Ibu Hana sendiri sejatinya bukanlah orang sembarangan. Kakaknya adalah salah satu orang yang berpengaruh di ranah pemerintahan. Namun sebagai pihak oposisi pemerintah. Itulah sebabnya cafe tempat Satria bekerja sering memberikan sokongan untuk para mahasiswa yang melakukan aksi. Namun Satria bukanlah alat partai. Dia memang bergerak atas dasar keinginannya merubah negara. Saat itulah dia bertemu dengan ibu Hana.Sesampainya di secangkir kopi. Satria langsung menerobos masuk. Semua penghuni cafe memperhatikannya. Kemudian dia berjalan menuju ibu Delia. "Bu maaf, apakah ibu Hana bisa saya temui?"Ibu Delia yang melihat Satria berwajah tidak biasa langsung me
"Bima? Mantan Amara? Kenapa nyari dia sob?" tanya Faisal. "Bisa ga sih fokus aja sama kita-kita?"Satria menghela nafas panjang. "Bukan cuman itu masalahnya. Udah temenin dulu ngerokok sebentar deh! Nanti diceritain."Faisal mengangguk. "Kita ngerokok di balkon. Bikinin kopi jangan lupa!"Lelaki itu mengangkat alisnya. "Lah nyuruh?""Kan mau ditenemin. Boleh dong minta kopi. Traktir ya tuan barista ganteng!" goda Faisal.Satria tertawa. Namun akhirnya dia turun ke bawah. Menyajikan kopi untuk sahabatnya tersebut. Setelah siap dia kembali ke atas. Secangkir kopi hangat tersedia."Ahhh nikmat! Gini nih enaknya punya sahabat tukang kopi!" ucap Faisal. Dia menyeruput kopi tersebut dengan nikmat. Membuat badannya hangat. "Jadi mau cerita apa nih sahabatku tersayang?""Tau ga? Rasanya gagal jadi seorang kakak!" Satria memulai ceritanya. Dia memandang ke atas langit malam. Matanya terlihat sayu."Gagal apasih? Kamu adalah sosok yang b
Gadis itu terpaku di depan ruangan. Dia sama sekali tidak menyangka ibu dari mantan pacarnya tersebut akan menemuinya secara pribadi. Ada apa ini sebenarnya? Tentu saja hal itu membuat Amara bertanya-tanya.Dia melirik ke arah dosen pembimbingnya tersebut. Sang dosen yang paham akan lirikan tersebut kemudian mulai menjelaskan, "Ibu Ira adalah teman saya berbeda jurusan. Karena tahu kamu dibimbing oleh saya, dia bilang ada hal yang ingin dibicarakan. Agar tidak menganggu saya akan keluar dulu. Silahkan kalian menggunakan ruangan saya dengan bijak."Setelah berkata demikian Amara ditinggalkan berdua. Tentu saja gadis itu canggung melihat Ira. Mereka sempat saling diam sampai akhirnya Ira mulai mengajak Amara berbicara, "mari duduk di sini!" Dia menunjuk sofa tamu yang ada di ruangan tersebut.Amara mengangguk. Setelah Ira duduk barulah Amara ikut untuk duduk di salah satu sofa. Wajahnya terlihat tegang. Kini Amara mengetahui bagaimana perasaan seorang calon menant
Amara keluar ruangan dosen. Dia berjalan menuruni tangga. Pikirannya bercabang, ibu Satria memintanya untuk menghentikan mantan pacarnya tersebut berhenti berdemo. Bagaimana bisa? Dia tahu Satria adalah orang yang keras kepala. Waktu itupun mereka selesai karena berbeda pendapat. Di lain hal dia setuju dengan Ira, jika dibiarkan Satria akan terkena drop out."Hufh!" Amara menghembuskan nafas panjang. "Bagaimana caraku untuk berbicara dengan Satria?""Berbicara denganku tentang apa?" tiba-tiba saja Satria muncul dari belakang Amara. Mahasiswi itu terpekik, bisa-bisanya orang yang sedang dia pikirkan datang. Namun ini bukan saat yang tepat, bagaimana jika ketahuan kalau misalnya dia sehabis mengobrol dengan orangtua Satria? Bukankah itu berbahaya?"Ah itu-!" Amara menghentikan kata-katanya. Dia terlihat kebingungan. "Gapapa kok."Satria mengangguk-angguk. Dia penasaran sejujurnya dengan sikap Amara. Namun ada yang yang harus mereka bicarakan saat ini. "Kamu
Amara terdiam cukup lama. Dia kembali memperhatikan nomor penelpon tersebut. Dalam dirinya hampir tidak percaya jika yang menelpon adalah Gita. Wanita yang selama ini menghantui dirinya. Perasaannya kacau tidak karuan. Setengah dirinya ingin berteriak dan memaki gadis SMA tersebut. Namun setengah hatinya lagi merasa penasaran dengan alasan gadis ini menelpon dirinya. Alhasil Amara hanya bisa berkata, "Ya!"Jantung Amara masih berdebar dengan kencang. Terlebih lawan bicaranya sempat diam cukup lama. Kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki di sebrang telepon."Gimana? Diangkat kan?"Perasaan Amara makin tidak karuan. Dalam dirinya dia sempat terpikir satu nama "Bima". Namun Amara yakin bahwa pemilik suara itu bukanlah mantannya. Melainkan orang lain. Beberapa tahun bersama membuat Amara mengingat dengan jelas suara lelaki bajingan tersebut."Benarkah aku boleh menemui kakak?" tanya Gita lagi. Suaranya sedikit bergetar. Ada nada penyesalan, malu, seka
"Aku ingin meminta maaf kepada kakak atas kesalahan yang aku lakukan!"Amara menggertakan giginya. Emosi berkecamuk di dalam kepalanya. Haruskah dia menerima permintaan maaf dari Gita? Bukankah Gita sudah merebut pacarnya? Bukankah Gita sudah menyebabkan Amara hampir gagal dalam menjalankan tugas akhir? Amara memiliki hak untuk tidak menerima permintaan maafnya.Dia melihat tubuh gadis yang terbaring di ranjang sekali lagi. Sisi kemanusiaannya berkata dia begitu menyedihkan. Dalam hati Amara, dia juga ingin memaafkan. Karena semua manusia berhak untuk menerima permintaan maaf. Tetapi kenapa lidahnya sulit sekali untuk berkata demikian. Seolah-olah tubuhnya menolak.Melihat Amara yang diam saja. Gita merasa tidak nyaman. Dia sendiri sudah mempersiapkan semuanya, termasuk jika Amara menolak untuk memaafkannya. Semua memang salahnya. Dia yang menyukai Bima. Dia juga yang memiliki keinginan untuk merebut Bima. "Aku sendiri tidak masalah jika kakak tidak bisa memaafk
"Halo Ra!" panggil Satria dari sebrang telepon.Amara yang mengangkat panggilan tersebut beranjak melirik Della. Sahabatnya itu mengangguk. Mengerti akan kode yang diberikan, barulah Amara menjawab. "Iya ka?""Bolehkah aku bertemu? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan! Aku mohon!" Suara Satria terdengar parau. Membuat Amara jadi tidak tega terhadapnya.Setelah mempertimbangkan beberapa saat, Amara kemudian menjawab, "Boleh ka, ketemu di mana? Kakak ada di mana sekarang?"Amara bermaksud bertemu di tengah-tengah saja. Agar keduanya tidak terlalu jauh. Namun ternyata jawaban dari Satria membuat Amara terkejut. "Sejujurnya aku di depan kosanmu. Aku menunggu sampai kamu mempersilahkan kita untuk berbicara. Kalau boleh di kosanmu saja bagaimana?""Eh?!" Gadis itu cukup terkejut. Dia langsung berlari ke depan pintu kosan. Betul saja ketika dibuka sosok Satria berada di sana. Membuat Amara salah tingkah sedikit. "Masuk ka! Ada Della tapi ga apa-apa kan?"