Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.
Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku.
"Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre.
"Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tanganku masih terkepal hingga kuku-kuku ku memutih. Kurasakan ketakutan dan kemarahan yang bergabung dalam nada suara Andre.
"Tunggi gua. Lu dimana? Di rumah? Oke gua kesana sekarang." Aku yang juga geram bersiap menemui Andre.
"Nggak Yo. Gua kesana. Lu tunggu. Gua juga mau liat dengan mata kepala gua" Andre memutus telpon. Aku tahu dia bergegas kemari.
Aku berjalan bolak-balik. Seumur-umur aku tak pernah melihat Andre semarah ini. Dia adalah anak yang ceria. Pembawaannya yang tenang membuatnya dekat dengan siapa saja. Setiap aku punya masalah ialah satu-satunya orang yang dapat kuandalkan. Ketika ia berada dalam masalah yang tak dapat ia selesaikan artinya dunia sedang tidak baik-baik saja.
Sudah lewat 10 menit. Aku menimbang-nimbang untuk menghubunginya. Tapi urung kulakukan. Aku tunggu saja. Saatku lihat sebuah mobil hitam bersiap melewatiku, disitulah Andre muncul dengan sepeda motornya. Berhenti tepat di depan mobil itu. Ia membuka helm dan turun dari sepeda motor. Mobil yang di cegat tiba-tiba mengerem mendadak. Ckitttt. Terdengar gesekan ban ke jalanan yang dipaksa rem.
Seorang pria separuh baya keluar dari mobilnya. Mengenakan setelan bos khas kantor. Sepatu hitamnya mengkilat. Jam tangan emasnya bersinar terkena sinar matahari. Andre menatap tajam pria di depannya. Pria itu menghela nafas panjang. Membenarkan jasnya dan berjalan mendekati Andre.
"Kenapa kamu bisa sampai kesini?" Suaranya tenang. Pria itu tak gentar sedikitpun. Berkebalikam dengan reaksi Andre. Dadanya naik turun. Andre dengan mata tak percaya memandang ayahnya.
"Bisa-bisanya Ayah bertanya seolah tak terjadi apa-apa." suara Andre bergetar. Aku yang menyaksikan dari jauh bisa mendengar percakapan mereka. Auranya yang terasa semakin panas. "Kau tidak bisa disebut ayah." Ia menunduk. Tangannya terkepal erat. Ia mengigit bibir menahan amarah.
"Apa yang kamu maksud Andre? Ayah tidak mengerti" Pria itu lagi-lagi memasang wajah seolah-olah tak terjadi apa-apa.
"Bangsat!!" Amarah Andre meledak. Pria yang ia sebut ayah berhasil menyulut api yang sebenernya bisa saja tak terjadi jika ia jujur dari awal. Andre melangkah perlahan sambil sambil merenggangkan jemarinya. Aku tahu yang akan terjadi. Sebelum benar-benar terjadi aku berlari bermaksud menahan Andre.
Bukk.
Satu tinju sudah melayang di pelipis pria paruh baya itu. Aku terlambat. Ku lihat punggung Andre yang naik turun tak beraturan. "Laki-laki sejati tidak pernah menghianati keluarganya." Ia berbalik, meraih helmnya dan naik seatas motor. Aku mengikuti di belakang dan duduk di boncengan. Ia menstater motornya dan pergi melewati pria bermobil hitam itu.
Yang kulihat pria itu tercengang sambil memegang pelipisnya yang lebam. Ia memeriksa ponselnya sebentar ntah menghubungi siapa. Sesaat kemudian masuk mobil memutar arah dan pergi. Aku yang berada di boncengan sadar amarah Andre belum reda. Kukunci mulutku rapat-rapat hingga Andre tenang dan akan ku ceritakan apa yang telah kulihat.
Motor yang Andre kendarai menuju rumah besar kediamanku. Aku turun begitu juga Andre. Ia masuk rumah menyapa Mama dan memeluknya.
"Andre kangen Tante." ucapnya bak anak kecil yang minta dimanja. Ku pandang ia yang seolah tak terjadi apa-apa barusan. Ia kembali menjadi Andre yang ku kenal.
"Andre kesayangan Tante, tante juga kangen." Balas Mama memeluk Andre balik. Andre nyengir. Aku hanya menggangkat bahu tak mengerti.
"Aku keatas dulu Ma." ucapku menyela kegiatan berkasih-kasih mereka. Mama tertawa. "Kamu pasti cemburu kan. Makanya jadi anak jangan jaim-jaiman" Mama meledekku yang ku balas kerutan di dahi.
"Andre ayo makan malam disini aja. Tante udah masak banyak." Andre sejenak ragu. "Nggak deh Tan. Andre mau makan bareng Ibu aja." Mama terlihat kecewa namun tetap membiarkan Andre pulang.
"Andre pulang Tante." Andre sudah naik ke motornya. Mama melambaikan tangan dari depan pintu. "Salam buat Ibumu ya Ndre. Kalo Tante sempat pasti berkunjung ke rumah kamu." Andre menggangguk dan menyalakan motornya.
"Urusan kita belum selesai Ndre." teriakku saat ia keluar dari pagar rumahku. Andre mengiyakan dengan isyarat tangan. Ok.
Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu."Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik."Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah ce
Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia
Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini
Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela
Selama perjalanan kembali, penjelasan Mama tentang Papa tiba-tiba mengusikku lagi. Setelah mengucapkan kalimat itu Mama terdiam lama. Aku mengacak rambutku frustasi."Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku menatap mata Mama berani. Mama memalingkan wajahnya. "Maafin Mama, Rio. Mama nggak mau mengingatkan kembali kenangan yang kamu lupakan." Mama kembali terdiam. Aku menatap Mama marah. Mama terlihat kelabakan menghadapiku. Ia tak berani menatap mataku. "Hari itu saat menolong Papa kamu tiba-tiba pingsan. Awalnya Mama nggak tahu kalo kamu pingsan gara-gara kehabisan energi." Mama diam sebentar. Aku terus menatap Mama menuntut penjelasan lebih."Hari itu Papa berangkat kerja seperti biasa dan pulang di jam biasa. Lalu satu panggilan masuk ke ponsel Papa. Katanya salah satu karyawannya ditemukan babak- belur." Mama berkali-kali mengusap wajahnya. "Harusnya Mama larang Papa pergi. Tapi tanpa sedikitpun curiga Mama membiarkan Papa pergi." Mama tercekat lagi. S
Duarrr duarrrr..... suara kembang api di ledakkan ke langit."Kembang api! kembang api hanya 10.000 rupiah untuk 10 pelanggan tercepat!!""Pertunjukkan topeng monyet 5 menit lagi. Ayo datang dan saksikan!!""Kalungnya mas mbak, sepasang 5.000 rupiah""Hanya hari ini......Suasana yang ramai ini memekak telinga. Penjual yang berteriak heboh, orang-orang yang berlalu lalang hingga peserta sirkus yang setia menampilkan keepikan acaranya. Tetapi di sisi lain dadaku berdebar. Debar aneh nan familiar.Teng teng teng.. bunyi lonceng yang memenuhi area festival menenangkan keriuhan. Orang-orang yang berdesak-desakan ikut berhenti. Sejenak keramaian menjadi hening. Semua mata tertuju ke satu arah. Seorang pria dengan topeng aneh berbicara diatas panggung."Berkumpullah dan saksikan acara utama malam hari ini. Tarian topeng !!!! " suara pemandu acara diiringi tabuh gendang semakin mendebarkan dadaku. Seketika
"Tidak Rio, mama tidak akan beri izin kamu ke tempat saudaramu itu. ", mama lagi-lagi melarangku karena hal sepele."Kamu tau kan, perjalanan kerumah Nina butuh waktu setidaknya 30 menit", lanjut mama. Nina mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Tentu saja aku setuju. Sejauh ini hanya dia yang bisa ku andalkan."Rio janji hanya 2 hari. Mama tidak perlu khawatir, okay?" pintaku memelas pada mama. Setelah menimbang-nimbang mama akhirnya buka suara."Baiklah 2 hari Rio. Tidak lebih. Tapi dengan syarat kamu jangan pernah terlibat lagi untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan kamu." Aku mengangguk dan mengemas pakaianku siap untuk berangkat.Selagi mengemasi pakaian, aku tersenyum lalu sedih kemudian tertawa. Menyentuh sesuatu membuatku bahagia dan tersakiti. Selama ini aku kira hal yang wajar seseorang mengingat kenangan hanya dengan melihat benda yang akrab baginya. Contohnya saja, beberapa waktu yang lalu papa membelikanku bolpoint uni
Suasana malam terlihat cerah. Bulan yang menggantung di langit seolah mengucap selamat untuk Nina. Aku hanya berdiri sambil memandang keramaian. Sesekali teman Nina menyapaku, berbincang sebentar lalu pergi. Nina tertawa. Baguslah. Jika dibandingkan setahun lalu, keluarga Nina terlihat membaik. Tiba-tiba dari samping ada yang menyeggol tanganku. Gelas yang ku pegang jatuh dan pecah. Perempuan yang menyenggolku meminta maaf sambil buru-buru pergi. Lengan kemeja putih yang kukenakan terkena sedikit minuman yang ku pegang.Ahh ayolah.Ku kibaskan lengan kemejaku, membuka kancing dan menggulungnya hingga siku. "Kamu gapapa?" Nina datang sambil membawa serbet. "Lap dulu." Aku hanya bisa terdiam saat Nina membersihkan tanganku dengan serbet. Aku tersadar. Ingatan perempuan itu. Terlepas dari rasa kesal aku yakin perempuan tadi sedang dalam kesulitan."Nina. Itu temen kamu kan. Tolong dia." hanya ini yang bisa ku lakukan. N