Share

6. TENTANG LEA

last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-18 11:01:54

Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.

Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu.

"Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik.

"Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah cepat menuruni tangga ke lantaibawah.

Nina menunduk. Memainkan jemarinya cemas. Sesekali mengusap matanya yang sembab. Ia mendongakkan kepala saat melihatku diseberangnya.

"Rio..." Aku mendekat dan memeluknya. Ia terisak. Tangis yang mati-matian ia tahan pecah saat berada di pelukanku.

"Kak Lea.." ucapnya terbata-bata.

"Kak Lea.. nggak.. pulang.." sambungnya. Ku lepas pelukanku dan ku usap air matanya.

"Tenang ya. Aku dengerin kamu Nin." Nina memainkan jemarinya lagi. Cemas.

"Kak Lea." Mulainya lagi.

"Iya?" jawabku agar ia tahu aku masih mendengarnya.

"Kemarin dia pulang penuh lebam di badan tapi dia nggak mau cerita. Aku tahu dia nangis sendiri di kamar pas aku kebangun tengah malam." Nina bercerita dengan wajah sisa menangis.

"Malam ini dia nggak pulang. Ponselnya nggak bisa dihubungi. Mama sama Papa sekarang lagi di kantor polisi laporin kehilangan. Tapi mereka nggak mau cari karna mereka bilang belum pergi 2 hari. Aku.. aku.. tolong kami Rio.. " Nina terisak lagi. Ku rangkul bahunya sambil mengusap punggungnya. Berharap hal itu dapat menenangkannya.

"Nina ayo ke rumah kamu." Aku bangkit mengambil kunci mobil dan membawakan jaket untuk Nina.

"Rio pergi dulu Ma. Aku janji bakal jaga diri." Mama yang sedari tadi memperhatikan  kami memelukku erat. Mencium ubun-ubun kepalaku.

"Iya Mama tahu." Mama juga meraih bahu Nina memeluknya sama erat. "Kamu harus kuat sayang." Mama berbisik di telinga Nina. Ia mengusap matanya kasar sambil mengambil nafas panjang.

"Iya Tante." Sinar mata Nina berubah. Ia terlihat lebih kuat.

"Ayo Rio." Aku mengangguk mengendarai mobil kearah rumah Nina. Jalanan yang kosong seolah menggambarkan perasaan kami saat ini. Tak satupun yang berani memulai percakapan. Kami terdiam menyelami pikiran masing-masing.

~~~

Kami sampai dengan selamat. Rumah Nina terang di kegelapan malam yang kian pekat. Paman dan Bibi sibuk menelepon sana sini. Saat melihatku masuk bersama Nina, mereka mengucap syukur.

"Terima kasih sudah mau datang Rio." Paman yang pertama kali bersuara.

"Nggak apa-apa Paman. Aku mau ke kamar Lea. Boleh ya." Bibi langsung mengangguk tanpa pikir panjang.

Kuikuti Nina di depanku. Ia memutar kunci gagang pintu dan terlihatlah kamar putih polos di hadapanku. Sangat sederhana untuk ukuran anak orang kaya. Saat pertama kali dibuka ntah mengapa mataku langsung tertuju ke sebuah lemari di sudut kamar. Ku usap pelan. Ingatan itu muncul tak tertahankan. Lea benar-benar tidak baik-baik saja.

Ia bolak balik sambil menggenggam ponsel. Dering pesan masuk beruntun. Ia cemas. Menggigit kuku-kuku tangannya. Tak lama satu telpon masuk.

"Iya. Aku.. bakal.. kesana.." suaranya lirih sekali. Wajahnya benar-benar pias. Tanpa pikir panjang ia kenakan jaket dan bergegas keluar lewat jendela.

Terhenti. Ingatannya hanya sampai disitu.

Aku lanjut menyentuh jendela dan dinding putih kamar ini. Lea berhasil keluar lewat jendela. Ia terlihat merapal sesuatu. Alamat? Nama tempat? Ku lihat lagi. Nina yang berada di sampingku sama cemasnya. Aku kembali menyentuh dinding kamar.

Terbaca. Ia tak jauh dari sini.

"Pabrik lama di belokan." aku berhasil membaca gerakan bibirnya. Nina tanpa jeda langsung berlari keluar. Diikuti Paman dan Bibi. Aku yang tertinggal ikut berlari. Nina menangis dalam langkahnya. Aku berhasil menyusul Nina.

"Rio.. Rio.. Cepatttt. Cepat!!" Ia meneriakiku marah. Aku tahu betapa besar  kekhawatirannya.

"Di depan. Di depan. Itu Kak Lea." Nina yang kesetanan menunjuk-nunjuk pabrik. Ia tak lagi peduli sekitar . Ia bahkan lupa memakai sandal. Paman dan Bibi tak mampu menyusul kami. Mereka tertinggal jauh.

"Nina tenang. Tenang." Aku menahan Nina. Ia dengan kasar menepis tanganku. "Tenang katamu?" Matanya merah. "Kita nggak pernah tahu apa Kak Lea bakal baik-baik aja." Ia kembali berlari sambil meneriaki nama Lea. Kami berkeliling mencari Lea.

Malam semakin larut. Beberapa warga datang ikut membantu. Paman dan Bibi yang meminta pertolongan. Tiga puluh menit berlalu tanpa hasil. Beberapa orang menyerah. Sebagian lagi tetap mencari. Aku menyentuh setiap benda yang kutemui tapi nihil. Tempat ini tak memiliki jejak. Seperti ada kekuatan yang lebih besar menaunginya. Aku tak heran. Sebab ada beberapa benda yang tak memiliki ingatan. Dihapus atau memang tak pernah ada aku tak tahu.

Tiba-tiba dari arah belakang pabrik ada yang berteriak histeris. Kami serentak menghampiri suara. Disana Nina bersimpuh memeluk seseorang. Tangisnya pecah.

"Ambulan. Tolong hubungi ambulan!!" Nina berteriak marah. Lea yang tak sadarkan diri terkulai lemah dengan badan penuh luka. Paman dan Bibi yang datang paling akhir menatap lemah anak sulung mereka. Paman jatuh terduduk. Bibi yang tak sanggup menahan rasa terkejutnya jatuh pingsan. Warga yang membantu, menggotong tubuh Bibi dan mencoba pertolongan pertama.

Lututku lemas. Kejadian ini begitu cepat. Ambulan yang dipanggil datang. Suara sirinenya yang memekakkan telinga dan lampu yang berkedip-kedip menyilaukan mata. Sejenak pikiranku kosong. Kepalaku berdenyut nyeri. Detik berikutnya aku  jatuh ke tanah tak sadarkan diri.

"Saya tidak bisa terima."

"Anda juga orang tua. Pasti tau bagaimana rasanya."

"Tidak. Tidak. Saya akan menuntut."

Sayup-sayup ku dengar suara dari luar. Paman seperti berbicara di telepon. Aku terbangun saat suara Paman mulai meninggi.

"Lea anak sayang yang paling berharga. Saya tekankan sekali lagi. Kalau kalian tidak bisa menyelesaikan masalah ini. Saya akan menuntut."

Aku tertegun. Kepalaku masih nyeri. Apakah kemampuanku mulai bermasalah? Aku menatap telapak tanganku. Atau jangan-jangan kemampuanku hilang? Tidak mungkin! Ku sentuh kasur yang ku duduki. Ahh.. ternyata masih berfungsi. Kemarin malam aku pingsan. Langsung di bopong beberapa warga.

Ha? Sudah pagi? Nina. Mana Nina? Aku bangkit dengan terburu-buru dan keluar kamar. Kulihat Paman duduk memangku kepalanya.

"Paman, Nina?" hanya kalimat singkat itu yang keluar dari mulutku. Paman menatapku sendu. Ada banyak kekhawatiran disana.

"Nina di rumah sakit Yo. Sama Bibi" sebelum aku bertanya lagi Paman kembali menyambung kalimatnya. "Lea baik-baik aja. Tapi belum sadarkan diri." Paman tersenyum kecut mengusap frustasi rambut berubannya.

"Ayo kita kesana Paman." celetukku. Paman balas menatap ragu. "Kamu udah nggak apa-apa?" Aku mengangguk. "Aku baik-baik aja. Yang terpenting sekarang kita tuntaskan masalah ini bersama."

Semenit kemudian kami sudah berada di jalan menuju rumah sakit. Aku yang menyetir. Saat ini Paman tak akan bisa fokus. Berkali-kali ia mengusap wajar, menyisir rambut dengan tangan. Air mukanya cemas.

"Paman. Semua pasti baik-baik saja." hiburku berkali-kali. Jalanan pagi ini padat. Akibat jam masuk kerja. Kami sempat terjebak macet beberapa kali. Tapi untungnya tak memakan waktu lama. Setelah kurang lebih dua puluh lima menit kami sampai di tujuan. Segera saja kami menuju kamar inap Lea.

Didepan daun pintu kamar inap langkahku malah terhenti. Bibi terlihat kusut. Tak ubahnya Nina. Lebih kacau dari Bibi. Matanya bengkak. Rambutnya berantakan. Tanpa sendal. Paman yang lebih dulu masuk menepuk bahu Bibi yang tertidur di sofa.  Menyerahkan tas berisi pakaian bersih. Bibi tersenyum lemah meraih tas itu dan melangkah ke kamar mandi.

Nina yang tertidur di samping Lea dengan posisi duduk dipindahkan paman dengan hati-hati ke sofa. Aku masuk perlahan. Duduk di kursi samping ranjang Lea. Menggenggam tangannya dan berbisik menyemangati.

"Lea, kamu perempuan hebat. Ayo bangun. Nanti kita bisa jalan-jalan kemana pun yang kamu mau." kata orang berbicara dengan mereka yang tak sadarkan diri akan mempengaruhi tekad mereka untuk bangun.

Kuraih kain di meja samping, membasuhnya dengan air hangat dan memerasnya. Kuusap pelan-pelan ke lengan Lea. Bibi yang selesai bebersih menyapaku dengan senyum hangat.

"Makasih udah datang Rio." Aku balas tersenyum. "Nggak apa-apa Bi. Aku udah janji buat bantu sampai masalah ini selesai." Bibi memelukku haru. Sudut matanya basah.

"Udah Ma. Jangan nangis terus-terusan. Nanti cantikny hilang." Paman yang ku tahu juga sama khawatirnya dengan Bibi mencoba mencairkan suasana. Bibi terkekeh lemah. "Iya Pa. Nggak bakal nangis lagi."

Aku memperhatikan keluarga kecil ini. Seketika ingat dengan Andre. Apa kabar bocah itu. Sejak semalam aku lupa ia juga butuh bantuan.

"Paman, Bibi aku keluar dulu mau ngehubungin temen." Paman dan Bibi mengiyakan. Di lorong rumah sakit ku hubungi Andre. Tetap saja. Sampai dering terakhir tetap tak di jawab.

Saat aku akan masuk ke kamar inap satu panggilan masuk. Nomor tak dikenal. Setelah menimbang-nimbang di dering ketiga kujawab panggilan itu.

"Yo, untuk sementara lu hubungin gua lewat nomor ini ya. Ponsel gua ketinggalan di rumah." Belum sempat aku menjawab panggilan terputus.

Sialan Andre.

Bab terkait

  • Festival Kembang Api   7. PERTANYAAN-PERTANYAAN

    Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-20
  • Festival Kembang Api   8. JALAN PINTAS

    Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22
  • Festival Kembang Api   9. KEPUTUSAN

    Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-22
  • Festival Kembang Api   10. PAPA

    Selama perjalanan kembali, penjelasan Mama tentang Papa tiba-tiba mengusikku lagi. Setelah mengucapkan kalimat itu Mama terdiam lama. Aku mengacak rambutku frustasi."Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku menatap mata Mama berani. Mama memalingkan wajahnya. "Maafin Mama, Rio. Mama nggak mau mengingatkan kembali kenangan yang kamu lupakan." Mama kembali terdiam. Aku menatap Mama marah. Mama terlihat kelabakan menghadapiku. Ia tak berani menatap mataku. "Hari itu saat menolong Papa kamu tiba-tiba pingsan. Awalnya Mama nggak tahu kalo kamu pingsan gara-gara kehabisan energi." Mama diam sebentar. Aku terus menatap Mama menuntut penjelasan lebih."Hari itu Papa berangkat kerja seperti biasa dan pulang di jam biasa. Lalu satu panggilan masuk ke ponsel Papa. Katanya salah satu karyawannya ditemukan babak- belur." Mama berkali-kali mengusap wajahnya. "Harusnya Mama larang Papa pergi. Tapi tanpa sedikitpun curiga Mama membiarkan Papa pergi." Mama tercekat lagi. S

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-25
  • Festival Kembang Api   PROLOG

    Duarrr duarrrr..... suara kembang api di ledakkan ke langit."Kembang api! kembang api hanya 10.000 rupiah untuk 10 pelanggan tercepat!!""Pertunjukkan topeng monyet 5 menit lagi. Ayo datang dan saksikan!!""Kalungnya mas mbak, sepasang 5.000 rupiah""Hanya hari ini......Suasana yang ramai ini memekak telinga. Penjual yang berteriak heboh, orang-orang yang berlalu lalang hingga peserta sirkus yang setia menampilkan keepikan acaranya. Tetapi di sisi lain dadaku berdebar. Debar aneh nan familiar.Teng teng teng.. bunyi lonceng yang memenuhi area festival menenangkan keriuhan. Orang-orang yang berdesak-desakan ikut berhenti. Sejenak keramaian menjadi hening. Semua mata tertuju ke satu arah. Seorang pria dengan topeng aneh berbicara diatas panggung."Berkumpullah dan saksikan acara utama malam hari ini. Tarian topeng !!!! " suara pemandu acara diiringi tabuh gendang semakin mendebarkan dadaku. Seketika

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-14
  • Festival Kembang Api   1. KILAS MIMPI

    "Tidak Rio, mama tidak akan beri izin kamu ke tempat saudaramu itu. ", mama lagi-lagi melarangku karena hal sepele."Kamu tau kan, perjalanan kerumah Nina butuh waktu setidaknya 30 menit", lanjut mama. Nina mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Tentu saja aku setuju. Sejauh ini hanya dia yang bisa ku andalkan."Rio janji hanya 2 hari. Mama tidak perlu khawatir, okay?" pintaku memelas pada mama. Setelah menimbang-nimbang mama akhirnya buka suara."Baiklah 2 hari Rio. Tidak lebih. Tapi dengan syarat kamu jangan pernah terlibat lagi untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan kamu." Aku mengangguk dan mengemas pakaianku siap untuk berangkat.Selagi mengemasi pakaian, aku tersenyum lalu sedih kemudian tertawa. Menyentuh sesuatu membuatku bahagia dan tersakiti. Selama ini aku kira hal yang wajar seseorang mengingat kenangan hanya dengan melihat benda yang akrab baginya. Contohnya saja, beberapa waktu yang lalu papa membelikanku bolpoint uni

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-14
  • Festival Kembang Api   2. SEBUAH RAHASIA

    Suasana malam terlihat cerah. Bulan yang menggantung di langit seolah mengucap selamat untuk Nina. Aku hanya berdiri sambil memandang keramaian. Sesekali teman Nina menyapaku, berbincang sebentar lalu pergi. Nina tertawa. Baguslah. Jika dibandingkan setahun lalu, keluarga Nina terlihat membaik. Tiba-tiba dari samping ada yang menyeggol tanganku. Gelas yang ku pegang jatuh dan pecah. Perempuan yang menyenggolku meminta maaf sambil buru-buru pergi. Lengan kemeja putih yang kukenakan terkena sedikit minuman yang ku pegang.Ahh ayolah.Ku kibaskan lengan kemejaku, membuka kancing dan menggulungnya hingga siku. "Kamu gapapa?" Nina datang sambil membawa serbet. "Lap dulu." Aku hanya bisa terdiam saat Nina membersihkan tanganku dengan serbet. Aku tersadar. Ingatan perempuan itu. Terlepas dari rasa kesal aku yakin perempuan tadi sedang dalam kesulitan."Nina. Itu temen kamu kan. Tolong dia." hanya ini yang bisa ku lakukan. N

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-14
  • Festival Kembang Api   3. AWAL MULA

    Pesta Nina berakhir dengan baik. Ini hari kedua aku berada di rumah Nina. Lupakan soal benda-benda yang memberiku infomasi. Ya. Aku bisa mendengar benda berbicara. Bisa tahu lewat sentuhan. Sayangnya aku tidak bisa mengetahui pikiran manusia dari menyentuh mereka. Mungkin jika bisa aku boleh dikatakan sangat beruntung? Tetapi benda yang memberiku informasi tidak semuanya bisa sedetail yang aku mau. Karena benda sendiripun punya ingatan yang ia tak ingin bagi dengan siapapun.Kemampuan ini aku sadari saat aku menginjak bangku sekolah dasar. Di usiaku yang ke 5 aku sudah dapat membaca ingatan benda. Namun itu semua hanya berupa informasi-informasi yang berseliweran di kepalaku tanpa aku peduli sedikitpun. Maklum saja usiaku belum selihai itu untuk tahu mana hal yang penting atau tidak. Semakin bertambah usia, kemampuanku pun semakin berkembang. Seperti yang aku ceritakan di awal.Sikapku pun perlahan berubah. Bukankah aneh laki-laki begitu per

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-14

Bab terbaru

  • Festival Kembang Api   10. PAPA

    Selama perjalanan kembali, penjelasan Mama tentang Papa tiba-tiba mengusikku lagi. Setelah mengucapkan kalimat itu Mama terdiam lama. Aku mengacak rambutku frustasi."Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku menatap mata Mama berani. Mama memalingkan wajahnya. "Maafin Mama, Rio. Mama nggak mau mengingatkan kembali kenangan yang kamu lupakan." Mama kembali terdiam. Aku menatap Mama marah. Mama terlihat kelabakan menghadapiku. Ia tak berani menatap mataku. "Hari itu saat menolong Papa kamu tiba-tiba pingsan. Awalnya Mama nggak tahu kalo kamu pingsan gara-gara kehabisan energi." Mama diam sebentar. Aku terus menatap Mama menuntut penjelasan lebih."Hari itu Papa berangkat kerja seperti biasa dan pulang di jam biasa. Lalu satu panggilan masuk ke ponsel Papa. Katanya salah satu karyawannya ditemukan babak- belur." Mama berkali-kali mengusap wajahnya. "Harusnya Mama larang Papa pergi. Tapi tanpa sedikitpun curiga Mama membiarkan Papa pergi." Mama tercekat lagi. S

  • Festival Kembang Api   9. KEPUTUSAN

    Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela

  • Festival Kembang Api   8. JALAN PINTAS

    Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini

  • Festival Kembang Api   7. PERTANYAAN-PERTANYAAN

    Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia

  • Festival Kembang Api   6. TENTANG LEA

    Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu."Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik."Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah ce

  • Festival Kembang Api   5. ANDRE (2)

    Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku."Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre."Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tangan

  • Festival Kembang Api   4. ANDRE

    "Yo, Rio." tegur Andre di sampingku. "Nomor 5 jawabannya cepat." Andre sibuk dengan buku tulis di depannya. Aku yang sedari tadi melamun baru sadar ada tugas."Sejak kapan ada tugas?" Andre menatapku kesal. "Jangan pura-pura bodoh. Tiga puluh menit yang lalu Bu Henny ngasih tugas buat dikerjain. Siapa yang selesai duluan boleh pulang." Andre menjelaskan marah-marah. "Jadi mana nomor 5." Tagihnya lagi. "Cepatlah. 5 menit lagi bel pulang." Andre kembali menegurku. Dengan pikiran yang masih bingung aku malah merebut buku tugas Andre."Bentar. Bentar doang." jelasku sambil menulis cepat. Andre yang sepertinya mulai kesal sungguhan menahan diri. Tiga menit. Aku hanya butuh tiga menit untuk menyalin jawaban saja tentunya."Nih." Aku mengembalikan buku Andre dan menepuk bahu perempuan didepanku. Ia menoleh, menunjukkan wajah bertanya. "Pinjem buku kamu mau pegang bentaran aja." Ia menyerahkan bukunya tanpa banyak bicara. Kusentuh lalu mengem

  • Festival Kembang Api   3. AWAL MULA

    Pesta Nina berakhir dengan baik. Ini hari kedua aku berada di rumah Nina. Lupakan soal benda-benda yang memberiku infomasi. Ya. Aku bisa mendengar benda berbicara. Bisa tahu lewat sentuhan. Sayangnya aku tidak bisa mengetahui pikiran manusia dari menyentuh mereka. Mungkin jika bisa aku boleh dikatakan sangat beruntung? Tetapi benda yang memberiku informasi tidak semuanya bisa sedetail yang aku mau. Karena benda sendiripun punya ingatan yang ia tak ingin bagi dengan siapapun.Kemampuan ini aku sadari saat aku menginjak bangku sekolah dasar. Di usiaku yang ke 5 aku sudah dapat membaca ingatan benda. Namun itu semua hanya berupa informasi-informasi yang berseliweran di kepalaku tanpa aku peduli sedikitpun. Maklum saja usiaku belum selihai itu untuk tahu mana hal yang penting atau tidak. Semakin bertambah usia, kemampuanku pun semakin berkembang. Seperti yang aku ceritakan di awal.Sikapku pun perlahan berubah. Bukankah aneh laki-laki begitu per

  • Festival Kembang Api   2. SEBUAH RAHASIA

    Suasana malam terlihat cerah. Bulan yang menggantung di langit seolah mengucap selamat untuk Nina. Aku hanya berdiri sambil memandang keramaian. Sesekali teman Nina menyapaku, berbincang sebentar lalu pergi. Nina tertawa. Baguslah. Jika dibandingkan setahun lalu, keluarga Nina terlihat membaik. Tiba-tiba dari samping ada yang menyeggol tanganku. Gelas yang ku pegang jatuh dan pecah. Perempuan yang menyenggolku meminta maaf sambil buru-buru pergi. Lengan kemeja putih yang kukenakan terkena sedikit minuman yang ku pegang.Ahh ayolah.Ku kibaskan lengan kemejaku, membuka kancing dan menggulungnya hingga siku. "Kamu gapapa?" Nina datang sambil membawa serbet. "Lap dulu." Aku hanya bisa terdiam saat Nina membersihkan tanganku dengan serbet. Aku tersadar. Ingatan perempuan itu. Terlepas dari rasa kesal aku yakin perempuan tadi sedang dalam kesulitan."Nina. Itu temen kamu kan. Tolong dia." hanya ini yang bisa ku lakukan. N

DMCA.com Protection Status