"Yo, Rio." tegur Andre di sampingku. "Nomor 5 jawabannya cepat." Andre sibuk dengan buku tulis di depannya. Aku yang sedari tadi melamun baru sadar ada tugas.
"Sejak kapan ada tugas?" Andre menatapku kesal. "Jangan pura-pura bodoh. Tiga puluh menit yang lalu Bu Henny ngasih tugas buat dikerjain. Siapa yang selesai duluan boleh pulang." Andre menjelaskan marah-marah. "Jadi mana nomor 5." Tagihnya lagi. "Cepatlah. 5 menit lagi bel pulang." Andre kembali menegurku. Dengan pikiran yang masih bingung aku malah merebut buku tugas Andre.
"Bentar. Bentar doang." jelasku sambil menulis cepat. Andre yang sepertinya mulai kesal sungguhan menahan diri. Tiga menit. Aku hanya butuh tiga menit untuk menyalin jawaban saja tentunya.
"Nih." Aku mengembalikan buku Andre dan menepuk bahu perempuan didepanku. Ia menoleh, menunjukkan wajah bertanya. "Pinjem buku kamu mau pegang bentaran aja." Ia menyerahkan bukunya tanpa banyak bicara. Kusentuh lalu mengembalikannya. "Udah nih. Makasih ya." Ia hanya mengangguk tak peduli sambil mengambil buku tugasnya. Dengan kecepatan yang sama aku kembali menyalin jawaban perempuan itu.
"Cepet salin. Biar kita pulang." Aku menyerahkan bukuku ke Andre bergegas menyalin dan mengembalikan buku tugas padaku.
"Nggak sia-sia kemampulan lo Yo. Thanks." Andre mengambil bukuku untuk di kumpulkan bersamaan. Aku menenteng tasku dan mengikuti Andre keluar kelas. Saat berjalan menuju parkiran Andre tiba-tiba berhenti.
"Lo beneran mau bantu gua kan?" Andre kembali memastikan. Aku mendekatinya merangkul bahunya. "Udah lo tenang aja. Selama itu ngebuat lo susah bakal gua bantuin." Andrea menatapku dengan mata berkaca-kaca.
"Jijik woi. Nggak usah natap gua pakai muka terharu lo." langsung saja ku timpuk wajahnya dengan tas ransel. Ia hanya balas tertawa puas sambil berlarian ke arah parkiran. Aku hanya bisa menggeleng menyaksikan tingkah kekanakan sohib ku itu.
"Yo, lu jangan banyak nanya ya kenapa gua minta bantuan lu. Gua cuma butuh kejelasan doang." Ucapan Andre barusan menunjukkan betapa besar kekhawatirannya. Membuat motor yang kami naiki seperti berjalan lambat. Atmosfer yang tadinya biasa saja seketika keruh. Kami tenggelam dalam diam. Aku tahu bukan saat yang tepat aku memberikan penghiburan atau semacamnya.
Saat itu siang. Panasnya terik matahari menembus baju seragam putih kami. Andre mengendarai motornya perlahan. Tidak seperti biasanya. Hingga panas yang terasa di kulit menjadi dua kali lipat. Motor melaju ke arah rumah yang tidak pernah ku datangi. Bukan rumah Andre juga bukan rumahku. Aku setengah mati ingin bertanya tapi aku memilih diam. Ingat permintaan Andre sebelumnya.
"Disini akar masalahnya Yo. Tolong bantu gua ya. Kalau sekiranya prasangka gua bener tolong kasih tahu gua dengan cara paling nggak menyakitkan." Disitu aku makin penasaran. Ada hubungannya dengan keluarganya? Aku memutuskan untuk tetap diam.
"Gua tinggal ya Yo. Gua nggak mau lu liat reaksia gua. Gua.."
"Oke Ndre, lo pulang aja nanti gua kabarin. Hati-hati di jalan lo. Jangan banyak pikiran." Aku dengan segera menyuruh Andre pulang. Sejujurnya baru kali ini ia meminta bantuanku dengan ekspresi sekacau itu. Sejujurnya juga aku takut membiarkannya pulang sendiri dengan kondisi seperti itu. Tapi ya sudahlah.
Andre sempurna meninggalkanku sendiri. Rumah dengan pagar hitam tinggi menyambutku. Dari luar aku bisa melihat pohon kamboja yang mulai berbunga. Di sudut kanan rumah ada pohok mangga yang tak kalah tinggi. Daun-daun kering berguguran di tanah. Pintu putih itu terlihat menawan. Rumah ini terbilang sederhana. Tetapi penampilan yang disuguhkan sungguh menenangkan. Khas rumah-rumah jaman dahulu.
Aku menyentuh pagar hitamnya yang tampak baru saja dipoles. Ingatan dan kenangan satu per satu muncul. Untung saja di sekitar sini tampak sepi. Jadi aku bisa lebih leluasa memilah kira-kira ingatan mana yang sebenarnya Andre cari. Hingga ada satu ingatan yang membuatku terkesiap. Darahku seketika naik ke kepala. Andre ada dalam ingatan ini. Ia menangis tersedu. Tampak hancur. Menyedihkan sekali. Aku masih belum bisa mengambil kesimpulan sebenarnya apa telah terjadi. Suara derit pagar. Pintu mobil yang terbuka. Aku terkejut bukan main. Aku marah. Ingatan inikah...
"Nak, kamu cari siapa ya?" Wanita paruh baya menyapaku. Ia menatap aku yang bingung di depan pagar rumahnya. Pintu putih menawan itu terbuka. Wanita paruh baya itu mengenakan daster merah motif bunga-bunga.
"Kamu tersesat?" tanyanya lagi. Aku tak menyangka akan ada orang didalam.
"Sebenernya iya bu." langsung saja ku ambil kesempatan. "Saya sedang mencari rumah teman tapi saya kehilangan kertas alamatnya." Wanita itu berjalan mendekati pagar dan membukakannya untukku.
"Ada yang bisa Ibu bantu mungkin?" Tatapannya teduh khas Ibu-ibu rumah tangga biasa. Aku tersenyum kaku. "Kamu ingat alamatnya? atau sudah coba hubungi?" Wanita itu bertanya lagi. "Sudah saya hubungi tetapi tidak aktif Bu. Saya juga tidak ingat alamatnya." Lagi-lagi aku mengarang cerita. Tiba-tiba perutku keroncongan. Baru kali ini aku bersyukur saat alarm alam itu berbunyi di depan orang tak di kenal.
Dengan wajah pura-pura tak enakan aku tersenyum malu. "Maaf Bu, kalo begitu saya pulang saja." Aku balik badan bersiap pergi hingga wanita itu memanggil ku kembali. "Mau masuk sebentar? Saya masak kebanyakan. Ayo, kebetulan saya hanya berdua saja dengan anak saya." Aku menggangguk dan mengikuti langkah wanita itu masuk rumah.
"Rumah Ibu bagus sekali." komentarku saat melewati ruang tamu. Dengan hati-hati aku secara alami menyentuh benda-benda yang ada dalam jangkauanku. Sofa di ruang tengah, guci di sudut pintu masuk dan meja pigura diruang tamu. Wanita dihadapanku tertawa. "Ahahaha mana mungkin. Rumah ini sama saja seperti kebanyakan rumah keluarga lainnya." Ia sedang sibuk dengan beberapa piring berisik lauk.
"Tapi beneran kok Bu. Tadinya saat saya di depan pagar rumah Ibu secara tak sadar saya malah berdiri lama. Penampilan luarnya saja sudah menarik." Bantahku sambil duduk di meja makan.
"Kamu bisa saja. Ah iya namamu siapa nak?"
"Rio Bu."
"Kelas 2 SMA?"
"Iya Bu."
"Ya sudah nak Rio silahkan makan. Ibu mau panggil anak Ibu sebentar." Aku mengangguk sebagai ganti berbicara. Saat wanita itu meninggalkanku sendiri, aku mencoba menyentuh kembali benda-benda yang berpotensi memberika informasi paling akurat. Meja makan ku usap dari ujung ke ujung. Piring, sendok dan alat dapur lainnya ku sentuh asal saja. Sekedar memastika informasi mana yang benar-benar ku cari.
"Nak Rio, maaf lama menunggu. Ini anak Ibu paling kecil. Namanya Freya masih duduk di bangku SD. Ayo Freya kenalan sama bang Rio." perempuan kecil itu mendekatiku dengan sikap paskribra.
"Lapor! Saya Freya kelas 5 SD Nusa ingin berkenalan dengan abang. Laporan selesai." Ia masih tegak berdiri di hadapan ku. Aku terkekeh menyaksikan tingkah konyolnya. Namun karena tak ingin kalah akupun bersiap siaga. Menyambut tingkahnya sama konyol.
"Baik! Saya Rio, kelas 2 SMA. Perkenalan diterima. Silahkan kembali ke barisan." Seketika tawa kami pecah.
"Nak Rio sebenarnya tidak perlu menanggapi tingkah aneh Freya." Wanita itu berkomentar dengan sisa-sisa tawa tadi. "Karena pasti ada saja tingkahnya yang membuat Ibu geleng kepala sangking herannya dari mana ia tahu semua itu." katanya sambil menyendok nasi ke piring. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan wanita tersebut. "Freya sini duduk. Ini piring kamu. Rio kamu ambil aja apa yang kamu mau." Aku menggangguk dan menyendokkan nasi ke piringku.
Tidak ada yang bersuara saat semua mulai makan. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang bersahutan. Bocah perempuan itu juga terlihat makan dengan tenang. Keluarga yang luarbiasa. Pendidikan sejak dini yang sangat baik. Hingga rasanya tidak dapat dipercaya apabila mereka dapat menyakiti orang lain. Sejauh ini infomasi yang kudapatkan masih samar-samar. Setidaknya aku dapat kepastian dari salah satu mereka. Setelah itu aku akan langsung ke rumah Andre memberitahunya.
"Bagaimana masakan saya, Rio?" Wanita itu menatapku bertanya. "Enak Bu." jawabku tersenyum. Freya yang masih makan ikut bersuara. " Ayah nggak pulang lagi Bun?" Pertanyaan yang sangat tidak di sangka-sangka. "Abang tahu Ayah Freya sangatttt sibuk. Kalau bisa dihitung cuma pulang sebulan sekali." ceritanya sambil menghitung lewat jari-jarinya.
"Dan dari satu hari ayah hanya menghabiskan waktu sebentar dengan kami. Bentar Freya hitung." Aku memperhatikan gadis itu sambil memangku tangan.
"Satu.. dua.. tiga.. Ah dua deh dua" Bocah itu mengoceh sendiri masih dengan jari-jari mungilnya menghitung.
"Cuma 9000 detik, 150 menit jadi dua setengah jam." Jelasnya rinci. Wanita itu tersenyum-senyum mendengar cerita anaknya. Sedangkan aku tertegun. Benar-benar tertegun. Sebenarnya apa yang terjadi.
"Ayah pulang..." Kami bertiga serentak menoleh ke arah suara. Freya segera berlari duluan. "Kalau begitu saya pamit Bu. Barusan juga teman saya sudah mengabari akan menjemput saya." Dengan segera akupun pamit. Situasi ini sangat-sangat tidak kuperhitungkan. "Oh.. eh.. ohh iya iya Rio. Saya antar kedepan." Wanita itu terbata-bata seperti tak menyangka suaminya akan pulang. Aku tidak peduli. Kutenteran ranselku dan berjalan cepat ke pintu depan.
"Ayah, Bunda udah masak. Ayo temenin Freya makan." Bocah itu menarik-narik ayahnya ke meja makan. Sebisa mungkin aku menjauhi kontak dan pergi tanpa suara. Namun renacanaku ternyata tak semudah adegan di film-film.
"Lho? Rio kan. Temennya Andre." Sial. Dengan secepat mungkin aku berlari keluar meninggalkan mereka yang pasti menyisakan banyak pertanyaan. Andre. Aku harus menghubungi Andre.
Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku."Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre."Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tangan
Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu."Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik."Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah ce
Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia
Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini
Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela
Selama perjalanan kembali, penjelasan Mama tentang Papa tiba-tiba mengusikku lagi. Setelah mengucapkan kalimat itu Mama terdiam lama. Aku mengacak rambutku frustasi."Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku menatap mata Mama berani. Mama memalingkan wajahnya. "Maafin Mama, Rio. Mama nggak mau mengingatkan kembali kenangan yang kamu lupakan." Mama kembali terdiam. Aku menatap Mama marah. Mama terlihat kelabakan menghadapiku. Ia tak berani menatap mataku. "Hari itu saat menolong Papa kamu tiba-tiba pingsan. Awalnya Mama nggak tahu kalo kamu pingsan gara-gara kehabisan energi." Mama diam sebentar. Aku terus menatap Mama menuntut penjelasan lebih."Hari itu Papa berangkat kerja seperti biasa dan pulang di jam biasa. Lalu satu panggilan masuk ke ponsel Papa. Katanya salah satu karyawannya ditemukan babak- belur." Mama berkali-kali mengusap wajahnya. "Harusnya Mama larang Papa pergi. Tapi tanpa sedikitpun curiga Mama membiarkan Papa pergi." Mama tercekat lagi. S
Duarrr duarrrr..... suara kembang api di ledakkan ke langit."Kembang api! kembang api hanya 10.000 rupiah untuk 10 pelanggan tercepat!!""Pertunjukkan topeng monyet 5 menit lagi. Ayo datang dan saksikan!!""Kalungnya mas mbak, sepasang 5.000 rupiah""Hanya hari ini......Suasana yang ramai ini memekak telinga. Penjual yang berteriak heboh, orang-orang yang berlalu lalang hingga peserta sirkus yang setia menampilkan keepikan acaranya. Tetapi di sisi lain dadaku berdebar. Debar aneh nan familiar.Teng teng teng.. bunyi lonceng yang memenuhi area festival menenangkan keriuhan. Orang-orang yang berdesak-desakan ikut berhenti. Sejenak keramaian menjadi hening. Semua mata tertuju ke satu arah. Seorang pria dengan topeng aneh berbicara diatas panggung."Berkumpullah dan saksikan acara utama malam hari ini. Tarian topeng !!!! " suara pemandu acara diiringi tabuh gendang semakin mendebarkan dadaku. Seketika
"Tidak Rio, mama tidak akan beri izin kamu ke tempat saudaramu itu. ", mama lagi-lagi melarangku karena hal sepele."Kamu tau kan, perjalanan kerumah Nina butuh waktu setidaknya 30 menit", lanjut mama. Nina mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Tentu saja aku setuju. Sejauh ini hanya dia yang bisa ku andalkan."Rio janji hanya 2 hari. Mama tidak perlu khawatir, okay?" pintaku memelas pada mama. Setelah menimbang-nimbang mama akhirnya buka suara."Baiklah 2 hari Rio. Tidak lebih. Tapi dengan syarat kamu jangan pernah terlibat lagi untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan kamu." Aku mengangguk dan mengemas pakaianku siap untuk berangkat.Selagi mengemasi pakaian, aku tersenyum lalu sedih kemudian tertawa. Menyentuh sesuatu membuatku bahagia dan tersakiti. Selama ini aku kira hal yang wajar seseorang mengingat kenangan hanya dengan melihat benda yang akrab baginya. Contohnya saja, beberapa waktu yang lalu papa membelikanku bolpoint uni
Selama perjalanan kembali, penjelasan Mama tentang Papa tiba-tiba mengusikku lagi. Setelah mengucapkan kalimat itu Mama terdiam lama. Aku mengacak rambutku frustasi."Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku menatap mata Mama berani. Mama memalingkan wajahnya. "Maafin Mama, Rio. Mama nggak mau mengingatkan kembali kenangan yang kamu lupakan." Mama kembali terdiam. Aku menatap Mama marah. Mama terlihat kelabakan menghadapiku. Ia tak berani menatap mataku. "Hari itu saat menolong Papa kamu tiba-tiba pingsan. Awalnya Mama nggak tahu kalo kamu pingsan gara-gara kehabisan energi." Mama diam sebentar. Aku terus menatap Mama menuntut penjelasan lebih."Hari itu Papa berangkat kerja seperti biasa dan pulang di jam biasa. Lalu satu panggilan masuk ke ponsel Papa. Katanya salah satu karyawannya ditemukan babak- belur." Mama berkali-kali mengusap wajahnya. "Harusnya Mama larang Papa pergi. Tapi tanpa sedikitpun curiga Mama membiarkan Papa pergi." Mama tercekat lagi. S
Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela
Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini
Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia
Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu."Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik."Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah ce
Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku."Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre."Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tangan
"Yo, Rio." tegur Andre di sampingku. "Nomor 5 jawabannya cepat." Andre sibuk dengan buku tulis di depannya. Aku yang sedari tadi melamun baru sadar ada tugas."Sejak kapan ada tugas?" Andre menatapku kesal. "Jangan pura-pura bodoh. Tiga puluh menit yang lalu Bu Henny ngasih tugas buat dikerjain. Siapa yang selesai duluan boleh pulang." Andre menjelaskan marah-marah. "Jadi mana nomor 5." Tagihnya lagi. "Cepatlah. 5 menit lagi bel pulang." Andre kembali menegurku. Dengan pikiran yang masih bingung aku malah merebut buku tugas Andre."Bentar. Bentar doang." jelasku sambil menulis cepat. Andre yang sepertinya mulai kesal sungguhan menahan diri. Tiga menit. Aku hanya butuh tiga menit untuk menyalin jawaban saja tentunya."Nih." Aku mengembalikan buku Andre dan menepuk bahu perempuan didepanku. Ia menoleh, menunjukkan wajah bertanya. "Pinjem buku kamu mau pegang bentaran aja." Ia menyerahkan bukunya tanpa banyak bicara. Kusentuh lalu mengem
Pesta Nina berakhir dengan baik. Ini hari kedua aku berada di rumah Nina. Lupakan soal benda-benda yang memberiku infomasi. Ya. Aku bisa mendengar benda berbicara. Bisa tahu lewat sentuhan. Sayangnya aku tidak bisa mengetahui pikiran manusia dari menyentuh mereka. Mungkin jika bisa aku boleh dikatakan sangat beruntung? Tetapi benda yang memberiku informasi tidak semuanya bisa sedetail yang aku mau. Karena benda sendiripun punya ingatan yang ia tak ingin bagi dengan siapapun.Kemampuan ini aku sadari saat aku menginjak bangku sekolah dasar. Di usiaku yang ke 5 aku sudah dapat membaca ingatan benda. Namun itu semua hanya berupa informasi-informasi yang berseliweran di kepalaku tanpa aku peduli sedikitpun. Maklum saja usiaku belum selihai itu untuk tahu mana hal yang penting atau tidak. Semakin bertambah usia, kemampuanku pun semakin berkembang. Seperti yang aku ceritakan di awal.Sikapku pun perlahan berubah. Bukankah aneh laki-laki begitu per
Suasana malam terlihat cerah. Bulan yang menggantung di langit seolah mengucap selamat untuk Nina. Aku hanya berdiri sambil memandang keramaian. Sesekali teman Nina menyapaku, berbincang sebentar lalu pergi. Nina tertawa. Baguslah. Jika dibandingkan setahun lalu, keluarga Nina terlihat membaik. Tiba-tiba dari samping ada yang menyeggol tanganku. Gelas yang ku pegang jatuh dan pecah. Perempuan yang menyenggolku meminta maaf sambil buru-buru pergi. Lengan kemeja putih yang kukenakan terkena sedikit minuman yang ku pegang.Ahh ayolah.Ku kibaskan lengan kemejaku, membuka kancing dan menggulungnya hingga siku. "Kamu gapapa?" Nina datang sambil membawa serbet. "Lap dulu." Aku hanya bisa terdiam saat Nina membersihkan tanganku dengan serbet. Aku tersadar. Ingatan perempuan itu. Terlepas dari rasa kesal aku yakin perempuan tadi sedang dalam kesulitan."Nina. Itu temen kamu kan. Tolong dia." hanya ini yang bisa ku lakukan. N