Pesta Nina berakhir dengan baik. Ini hari kedua aku berada di rumah Nina. Lupakan soal benda-benda yang memberiku infomasi. Ya. Aku bisa mendengar benda berbicara. Bisa tahu lewat sentuhan. Sayangnya aku tidak bisa mengetahui pikiran manusia dari menyentuh mereka. Mungkin jika bisa aku boleh dikatakan sangat beruntung? Tetapi benda yang memberiku informasi tidak semuanya bisa sedetail yang aku mau. Karena benda sendiripun punya ingatan yang ia tak ingin bagi dengan siapapun.
Kemampuan ini aku sadari saat aku menginjak bangku sekolah dasar. Di usiaku yang ke 5 aku sudah dapat membaca ingatan benda. Namun itu semua hanya berupa informasi-informasi yang berseliweran di kepalaku tanpa aku peduli sedikitpun. Maklum saja usiaku belum selihai itu untuk tahu mana hal yang penting atau tidak. Semakin bertambah usia, kemampuanku pun semakin berkembang. Seperti yang aku ceritakan di awal.
Sikapku pun perlahan berubah. Bukankah aneh laki-laki begitu perasa? Sejak kemampuan bertambah, aku lebih sering menghindari kontak dengan orang-orang sekitar. Benda-benda yang tak sengaja bersentuhan dengan ku bisa saja berbicara. Lebih baik mencegah daripada harus terlibat. Ya aku bilang begitu bukan? Tetapi kenyataan berkata lain. Hingga suatu hari teman baikku meminta bantuan. Disinilah semua hal yang kupertahankan hancur satu-persatu.
Di suatu hari yang dingin. Hujan di luar seperti enggan berhenti. Anak-anak kelas sibuk berbisik bilang susah pulang. Bilang bisa menunggu lama. Padahal ini masih jam pelajaran kedua. Masih ada waktu 2 jam pelajaran lagi hingga pukul 1 siang bel pulang berdenting.
"Yo, entar temenin gua ya. Bisakan?!" Andre berbisik dari meja sebelah.
"Aman Ndre. Lu jangan kemana-mana aja abis ini." Aku balik berbisik menjawab tawaran Andre. Sejauh ini hanya Andre yang tahu kemampuanku. Jadi aku yakin ia bisa dipercaya untuk hal ini. Kami sudah berteman sejak sekolah dasar. Saat ini aku dan Andre telah duduk di bangku kelas 11 SMA. Hampir 10 tahun pertemanan kami. Ya aku rasa hal itu cukup untuk membuatnya dipercaya.
Saat pertama kali masuk SD semua tampak berjalan normal. Aku bisa berteman dengan anak-anak lainnya. Bisa menjadi kehidupan normal anak kecil yang baru merasakan pendidikan pertama. Andre menjadi teman sebangkuku. Pertemuan pertama kami juga berjalan normal seperti anak lainnya. Waktu pun berlalu hingga kejadian itu membuatku bersumpah tidak akan pernah lagi memberitahu kemampuan bodoh ini.
Seperti permainan anak-anak kecil di usianya, kami sepakat untuk bermain kelereng. Permainan berjalan baik. Andre menang dan aku tentu saja kalah. Tiga teman kami lainnya pun tidak ada masalah. Kelereng yang di dapat sudah adil sesuai permainan. Saat akan pulang salah satu teman dari tiga teman kami kehilangan kelerang favoritnya. Mulailah saling tuduh-menuduh.
"Hei Andre! Pasti kamu yang ambil kelerengku kan. Ngaku kamu!" Tanpa memeriksa dulu anak ini langsung menuduh Andre.
"Aku tahu kamu nggak bisa beli. Tapi jangan mencuri dong." Sambung anak itu. Dua temannya yang lain ikut menuduh Andre.
"Dasar miskin." Celetuk anak di samping kanannya. Seketika darahku mendidih. Aku yang masih berusia 12 tahun saat itu tahu bahwa menjelekkan kondisi hidup seseorang tidaklah baik. Langsung saja ku rampas kantong berisi kelereng miliknya. Seketika ingatan itu muncul.
"Hei apa-apaan ini. Kenapa kamu malah ambil kantongku." Teriak anak itu lagi. Aku menatapnya tajam sambil meremas ujung kantong.
"Diam!!" teriakku tak kalah kencang. "Kelerengmu tidak diambil Andre. Aku bisa jamin." sambungku masih dengan perasaan marah.
"Temanmu itu diam-diam mengambilnya dari dalam kantongmu saat kamu bermain." kutunjuk teman disamping kanannya. Si anak melirik temannya. Mereka terdiam.
"Nggak mungkin. Kamu pasti bohong." Si anak malah membantah bergantian melirik temannya seperti meminta pembenaran.
"Hei. Mengakulah." ucapku dingin. Andre yang berada disampingku hanya bisa termangu menatap kami. Ia, anak disamping kanannya tiba-tiba menunduk. Matanya berkaca-kaca. Sambil mengorek isi kantong celananya.
"Ini kelereng milikmu. Aku... aku.. minta maafffff..." ucapnya tersedak diiringi tangis khas anak kecil yang ketahuan mencuri. Si anak menatap temannya tak percaya sambil mengambil kelereng miliknya dari telapak tangan temannya. Setelah itu temannya berlari pergi masih dengan tangisannya.
Aku mendekati si anak. "Minta maaf." ucapku. Matanya membesar tak percaya. "Sudahlah Rio. Nggak apa-apa asal udah tahu siapa yang ambil." Andre menarikku kebelakang mencoba mengalah.
"Minta maaf. Cepat!!" Bentakku di wajah anak itu. Ia terkejut. Mukanya pias. Namun perlahan mendekati Andre dan meminta maaf. Aku mendelik temannya satu lagi. Ia tanpa di suruh langsung bergerak mendekati Andre dan ikut minta maaf.
Setelah itu, aku melangkah pergi meninggalkan mereka diikuti Andre di sampingku.
"Yo. Makasih ya." ucap Andre tulus. Aku tahu saat itu hatinya sakit tetapi aku tak ingin menanggapi. Sepanjang jalan aku hanya terdiam. Andre yang tahu aku tak ingin diganggu ikut diam. Sesaat aku tersadar, barusan aku menggunakan kemampuanku. Apakah Andre akan mencurigaiku? Atau anak-anak lain akan mencurigaiku? Aku rasa tidak. Jangan sampai.
"Akhhhh. " gerutuku frustasi. Andre yang berjalan si sampingku terkejut. "Tidak apa-apa." jelasku. "Kamu pulang saja." Ucapku kelewat dingin. Ah sudahlah. Dengan tergesa-gesa kutinggalkan Andre yang masih berdiri diam dan memilih pulang.
Tak disangka-sangka keesokan harinya saat aku masuk kelas anak-anak kelas menatapku ngeri. Sebagian berlari menjauh ketakutan sebagian lain berbisik-bisik. Andre yang duduk di bangku kami menatapku prihatin. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya. Ia mencoba tersenyum. Senyum yang dipaksakan.
"Kamu nggak papa kan sampai rumah kemarin?" tanyanya memulai percakapan. Canggung. Sangat canggung.
"Ah iya." jawabku singkat. Sepertinya Andre enggan membahas apa yang terjadi sekarang. Setelah mendengar jawabanku ia hanya ber-oh panjang melanjutkan membaca buku yang ku tahu tak ia baca sama sekali.
"Andre, apa yang.. " ucapanku terpotong saat segerombol anak laki-laki memasuki kelasku sambil ribut-ribut.
"Monster!!!" Teriak mereka bersahutan. "Rio monster!!" Teriak mereka lagi. Andre yang mendengar teriakan itu maju meninju muka anak yang kemarin bermain bersama kami. Bisa di bilang ketua geng mereka.
Aku terpana. Bocah cupu itu maju membelaku. Tak mau ketinggalan aku ikut maju meninju mereka. Aku tahu akar masalahnya dimana. Kejadian kemarin pasti menjadi pemicu. Dasar anak-anak kecil bodoh. Mereka pikir dengan menyebarkan rumor aku akan menjadi lemah di benci semua orang. Anak-anak kelas lain berteriak heboh. Anak perempuan menangis ketakutan yang laki-laki malah menyemangati.
"Andre ayo kita bantai mereka." aku tersenyum licik. Andre tertawa mengiyakan tawaranku. Pertengkaran yang lebih tepatnya terlihat seperti sekelompok bocah sok kuat yang saling pukul tak jelas berlangsung panas. Tak lama wali kelas kami datang tergopoh-gopoh membawa rol kayu panjang di tangannya. Kami yang melihatnya tak peduli. Harga diri lebih penting.
Teman-teman lain mencoba memisahkan kami. Walau terbilang lam akhirnya kami dapat dipisahkan. Kami saling menatap benci.
"Dasar miskin, monster." celetuknya lagi. Seketika amarahku kembali memuncak. Untung saja beberapa anak menahanku. Wali kelas menatap kami lelah.
"Sudah cukup. Sekarang ikut saya ke ruang BK." ucapnya tenang.
Kami berlima melangkah bersama diawasi Wali kelas dari belakang. Di fuang BK kami diceramahi panjang lebar tentang betapa pentingnya memiliki hubungan baik dengan orang-orang sekitar. Aku hanya menatap malas. Ini bukan tentang hubungan baik atau semancamnya. Ini soal kebenaran. Tapi ya sudahlah aku memilih mendengarkan daripada harus memberi pembenaran.
Akhir dari ceramah panjang itu kami berlima dihukum menulis surat permintamaafan dan pemanggilan orang tua pastinya. Dan sejak itu aku memilih menyembunyikan kemampuanku.
"Yo, Rio." tegur Andre di sampingku. "Nomor 5 jawabannya cepat." Andre sibuk dengan buku tulis di depannya. Aku yang sedari tadi melamun baru sadar ada tugas."Sejak kapan ada tugas?" Andre menatapku kesal. "Jangan pura-pura bodoh. Tiga puluh menit yang lalu Bu Henny ngasih tugas buat dikerjain. Siapa yang selesai duluan boleh pulang." Andre menjelaskan marah-marah. "Jadi mana nomor 5." Tagihnya lagi. "Cepatlah. 5 menit lagi bel pulang." Andre kembali menegurku. Dengan pikiran yang masih bingung aku malah merebut buku tugas Andre."Bentar. Bentar doang." jelasku sambil menulis cepat. Andre yang sepertinya mulai kesal sungguhan menahan diri. Tiga menit. Aku hanya butuh tiga menit untuk menyalin jawaban saja tentunya."Nih." Aku mengembalikan buku Andre dan menepuk bahu perempuan didepanku. Ia menoleh, menunjukkan wajah bertanya. "Pinjem buku kamu mau pegang bentaran aja." Ia menyerahkan bukunya tanpa banyak bicara. Kusentuh lalu mengem
Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku."Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre."Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tangan
Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu."Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik."Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah ce
Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia
Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini
Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela
Selama perjalanan kembali, penjelasan Mama tentang Papa tiba-tiba mengusikku lagi. Setelah mengucapkan kalimat itu Mama terdiam lama. Aku mengacak rambutku frustasi."Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku menatap mata Mama berani. Mama memalingkan wajahnya. "Maafin Mama, Rio. Mama nggak mau mengingatkan kembali kenangan yang kamu lupakan." Mama kembali terdiam. Aku menatap Mama marah. Mama terlihat kelabakan menghadapiku. Ia tak berani menatap mataku. "Hari itu saat menolong Papa kamu tiba-tiba pingsan. Awalnya Mama nggak tahu kalo kamu pingsan gara-gara kehabisan energi." Mama diam sebentar. Aku terus menatap Mama menuntut penjelasan lebih."Hari itu Papa berangkat kerja seperti biasa dan pulang di jam biasa. Lalu satu panggilan masuk ke ponsel Papa. Katanya salah satu karyawannya ditemukan babak- belur." Mama berkali-kali mengusap wajahnya. "Harusnya Mama larang Papa pergi. Tapi tanpa sedikitpun curiga Mama membiarkan Papa pergi." Mama tercekat lagi. S
Duarrr duarrrr..... suara kembang api di ledakkan ke langit."Kembang api! kembang api hanya 10.000 rupiah untuk 10 pelanggan tercepat!!""Pertunjukkan topeng monyet 5 menit lagi. Ayo datang dan saksikan!!""Kalungnya mas mbak, sepasang 5.000 rupiah""Hanya hari ini......Suasana yang ramai ini memekak telinga. Penjual yang berteriak heboh, orang-orang yang berlalu lalang hingga peserta sirkus yang setia menampilkan keepikan acaranya. Tetapi di sisi lain dadaku berdebar. Debar aneh nan familiar.Teng teng teng.. bunyi lonceng yang memenuhi area festival menenangkan keriuhan. Orang-orang yang berdesak-desakan ikut berhenti. Sejenak keramaian menjadi hening. Semua mata tertuju ke satu arah. Seorang pria dengan topeng aneh berbicara diatas panggung."Berkumpullah dan saksikan acara utama malam hari ini. Tarian topeng !!!! " suara pemandu acara diiringi tabuh gendang semakin mendebarkan dadaku. Seketika
Selama perjalanan kembali, penjelasan Mama tentang Papa tiba-tiba mengusikku lagi. Setelah mengucapkan kalimat itu Mama terdiam lama. Aku mengacak rambutku frustasi."Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku menatap mata Mama berani. Mama memalingkan wajahnya. "Maafin Mama, Rio. Mama nggak mau mengingatkan kembali kenangan yang kamu lupakan." Mama kembali terdiam. Aku menatap Mama marah. Mama terlihat kelabakan menghadapiku. Ia tak berani menatap mataku. "Hari itu saat menolong Papa kamu tiba-tiba pingsan. Awalnya Mama nggak tahu kalo kamu pingsan gara-gara kehabisan energi." Mama diam sebentar. Aku terus menatap Mama menuntut penjelasan lebih."Hari itu Papa berangkat kerja seperti biasa dan pulang di jam biasa. Lalu satu panggilan masuk ke ponsel Papa. Katanya salah satu karyawannya ditemukan babak- belur." Mama berkali-kali mengusap wajahnya. "Harusnya Mama larang Papa pergi. Tapi tanpa sedikitpun curiga Mama membiarkan Papa pergi." Mama tercekat lagi. S
Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela
Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini
Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia
Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu."Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik."Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah ce
Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku."Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre."Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tangan
"Yo, Rio." tegur Andre di sampingku. "Nomor 5 jawabannya cepat." Andre sibuk dengan buku tulis di depannya. Aku yang sedari tadi melamun baru sadar ada tugas."Sejak kapan ada tugas?" Andre menatapku kesal. "Jangan pura-pura bodoh. Tiga puluh menit yang lalu Bu Henny ngasih tugas buat dikerjain. Siapa yang selesai duluan boleh pulang." Andre menjelaskan marah-marah. "Jadi mana nomor 5." Tagihnya lagi. "Cepatlah. 5 menit lagi bel pulang." Andre kembali menegurku. Dengan pikiran yang masih bingung aku malah merebut buku tugas Andre."Bentar. Bentar doang." jelasku sambil menulis cepat. Andre yang sepertinya mulai kesal sungguhan menahan diri. Tiga menit. Aku hanya butuh tiga menit untuk menyalin jawaban saja tentunya."Nih." Aku mengembalikan buku Andre dan menepuk bahu perempuan didepanku. Ia menoleh, menunjukkan wajah bertanya. "Pinjem buku kamu mau pegang bentaran aja." Ia menyerahkan bukunya tanpa banyak bicara. Kusentuh lalu mengem
Pesta Nina berakhir dengan baik. Ini hari kedua aku berada di rumah Nina. Lupakan soal benda-benda yang memberiku infomasi. Ya. Aku bisa mendengar benda berbicara. Bisa tahu lewat sentuhan. Sayangnya aku tidak bisa mengetahui pikiran manusia dari menyentuh mereka. Mungkin jika bisa aku boleh dikatakan sangat beruntung? Tetapi benda yang memberiku informasi tidak semuanya bisa sedetail yang aku mau. Karena benda sendiripun punya ingatan yang ia tak ingin bagi dengan siapapun.Kemampuan ini aku sadari saat aku menginjak bangku sekolah dasar. Di usiaku yang ke 5 aku sudah dapat membaca ingatan benda. Namun itu semua hanya berupa informasi-informasi yang berseliweran di kepalaku tanpa aku peduli sedikitpun. Maklum saja usiaku belum selihai itu untuk tahu mana hal yang penting atau tidak. Semakin bertambah usia, kemampuanku pun semakin berkembang. Seperti yang aku ceritakan di awal.Sikapku pun perlahan berubah. Bukankah aneh laki-laki begitu per
Suasana malam terlihat cerah. Bulan yang menggantung di langit seolah mengucap selamat untuk Nina. Aku hanya berdiri sambil memandang keramaian. Sesekali teman Nina menyapaku, berbincang sebentar lalu pergi. Nina tertawa. Baguslah. Jika dibandingkan setahun lalu, keluarga Nina terlihat membaik. Tiba-tiba dari samping ada yang menyeggol tanganku. Gelas yang ku pegang jatuh dan pecah. Perempuan yang menyenggolku meminta maaf sambil buru-buru pergi. Lengan kemeja putih yang kukenakan terkena sedikit minuman yang ku pegang.Ahh ayolah.Ku kibaskan lengan kemejaku, membuka kancing dan menggulungnya hingga siku. "Kamu gapapa?" Nina datang sambil membawa serbet. "Lap dulu." Aku hanya bisa terdiam saat Nina membersihkan tanganku dengan serbet. Aku tersadar. Ingatan perempuan itu. Terlepas dari rasa kesal aku yakin perempuan tadi sedang dalam kesulitan."Nina. Itu temen kamu kan. Tolong dia." hanya ini yang bisa ku lakukan. N