Suasana malam terlihat cerah. Bulan yang menggantung di langit seolah mengucap selamat untuk Nina. Aku hanya berdiri sambil memandang keramaian. Sesekali teman Nina menyapaku, berbincang sebentar lalu pergi. Nina tertawa. Baguslah. Jika dibandingkan setahun lalu, keluarga Nina terlihat membaik. Tiba-tiba dari samping ada yang menyeggol tanganku. Gelas yang ku pegang jatuh dan pecah. Perempuan yang menyenggolku meminta maaf sambil buru-buru pergi. Lengan kemeja putih yang kukenakan terkena sedikit minuman yang ku pegang.
Ahh ayolah.
Ku kibaskan lengan kemejaku, membuka kancing dan menggulungnya hingga siku. "Kamu gapapa?" Nina datang sambil membawa serbet. "Lap dulu." Aku hanya bisa terdiam saat Nina membersihkan tanganku dengan serbet. Aku tersadar. Ingatan perempuan itu. Terlepas dari rasa kesal aku yakin perempuan tadi sedang dalam kesulitan.
"Nina. Itu temen kamu kan. Tolong dia." hanya ini yang bisa ku lakukan. Nina menatapku tak percaya.
"Nggak Rio. Aku nggak akan libatin kamu di masalah orang lain lagi." Nina masih menatapku jengkel.
"Tapi Nin, dia butuh bantuan cepat." aku mencoba mendesak Nina. Sejujurnya aku malu mengatakan detailnya.
"Rio! aku nggak akan mau." jawab Nina tegas. "Mendingan kamu ke kamar ganti pakaian dengan yang baru." Nina bersiap meninggalkanku.
" Nin sini deh." ku bisikkan kalimatku. Seketika muka Nina memerah menahan tawa.
"Bilang dari tadi dong. Bentar aku susul dia." Nina bergegas meninggalkanku yang masih kaku di tempat. Aish, aku tidak tahu ternyata perempuan bisa menertawakan hal seperti itu. Kasihan perempuan itu dia pasti sedang bingung sekarang. Tamu bulanan ternyata tak selalu menyenangkan.
Tanpa ku sadari orang-orang masih menatapku. Dengan rasa malu aku melangkah tergesa meninggalkan halaman menuju kamar. Kejadian seperti itupun menarik perhatian orang. Aneh. Setelah berganti pakaian aku kembali ke halaman. Acara belum selesai. Nina sudah bergabung dengan teman-temannya. Ia menoleh dan melihatku sambil memberi kode terima kasih. Perempuan tadi terselamatkan rupanya.
Di tengah-tengah acara, Bibi maju ke depan semua hadirin. Menepuk tangan seperti akan mengumumkan sesuatu. "Semuanya. Tante ucapkan banyak terima kasih karena sudah mau hadir di pesta ulang tahun Nina. Nina kemari nak, kita potong kuenya bersama." Pidato Bibi diakhiri dengan banyak tepuk tangan. Nina maju ke depan dan meraih pisau di samping kue. Semua orang menyanyikan lagu ulang tahun sebagai pengiringnya. Nina tersenyum cerah. Potongan pertama suapan pertama.
"Bunda." ucap Nina terkekeh sambil menyuapkan kue ke mulut Bibi. Bibi hanya tertawa. "Maklum tidak punya pasangan" lanjutnya. Serentak tamu bersorak menjaili Nina.
"Makanya jangan cuek doang"
"Hahahah. Akibat kelamaan jomblo jadi nyaman sendiri."
"Ayo dong dicari."
"Sini jadi pacar aku saja." kalimat bernada serupa juga banyak dilontarkan. Nina hanya tersenyum membalas kalimat-kalimat tersebut.
Suapan kedua. Semua tamu kembali terdiam saat Nina menyendok kue di piring.
"Hei bodoh." Semua orang terbelalak, tak percaya Nina akan mengeluarkan kata itu di saat seperti ini. "Kemarilah sepupu bodohku." Ucapnya terkekeh. Orang-orang melihatku melangkah maju sambil berbisik-bisik.
"Kenapa harus aku?" bisikku di telinganya. "Biar keliatan nggak jomblo" kekehnya lagi. Suapan kedua berhasil masuk ke mulutku. Aku langsung meninggalkan Nina setelah tersenyum tipis ke hadapan tamu.
Setelah meninggalkan halaman, aku memutuskan duduk di ruang tamu. Waktu mendekati tengah malam. Acara hampir selesai. Sembari menunggu pikiran tentang benda kembali terngiang. Saat aku disuapi Nina dengan sendok tadi, ia berkata jangan meninggalkannya terlalu lama dalam keadaan kotor. Mungkin si sendok juga merasa risih dengan keadaan tubuhnya yang tidak bersih.
Perempuan tadi juga. Gaun yang ia kenakan menggerutu bilang si pemakai teledor. Ada noda darah di bagian belakang rok. Terkadang saat aku tak sengaja menyentuh benda-benda itu hanya berbicara sendiri. Mereka sangat jarang memberitahu ingatan secara langsung. Namun ketika aku benar-benar menyentuhnya secara ajaib benda-benda itu akan memberiku ingatan.
Lambat laun kemampuanku semakin berkembang. Bermula dari potongan-potongan hingga ingatan lengkap. Waktu kejadiannya pun menjadi beragam. Awalnya aku hanya mampu menyerap ingatan kejadian yang baru-baru terjadi. Lama kelamaan kejadian beberapa tahun yang lalupun dapat terbaca. Saat ini aku tidak tahu pasti kejadian yang selama ini dapat ku baca benar adanya atau tidak. Terkadang benda juga bisa berbohong. Tapi untung saja belum ada kejadian buruk yang dialami orang yang ku selamatkan.
Sesaat aku lupa sedang berada dimana. Waktu menunjukkan tengah malam. Langit kian pekat. Aku sesekali menengok ke luar. Nina sibuk mengucap salam perpisahan. Satu-persatu tamu undangan pergi. Meninggalkan sisa-sisa pesta. Gelas-gelas yang tergeletak tak berdaya diatas meja. Piring berisi kudapan. Nampan yang hampir kosong. Hingga halaman penuh sampah.
Aku sekali lagi terdiam. Menatap pekerja yang di sewa untuk pesta sibuk bolak balik mengantar piring dan gelas kotor ke dapur. Pesta tak selalu menyenangkan. Ah.. sepertinya terlalu banyak hal yang tak menyenangkan menurutku.
"Heh, kalau mau ngeliatin doang mending pulang ke rumahmu sana. Disini butuh banyak tenanga biar beres-beresnya kelar." Nina datang menepuk pundakku.
"Kamu nggak apa-apa kan?! Belakangan aku liat kamu sering melamun." Nina kembali menegurku yang masih terdiam.
"Ha-ha-ha." aku tertawa canggung. Cukup aneh memang tingkahku. "Sedang banyak yang aku pikirin Nin. Kamu tau kan.."
"Hustt. Jangan mulai diskusi denganku okey. Kita butuh beres-beres" Nina memotong kalimatku tegas.
"Jadi Nin.. Ini aku bantuin atau langsung tidur aja ya?" aku bertanya dengan maksud menggoda Nina. mendengar perkataanku wajahnya langsung geram.
"Ohh pura-pura nggak tahu ya. Sini kamu Rio. Sini!" Aku langsung berlari menghindari kejaran Nina yang kuyakin tidak akan menyerah sebelum berhasil memukulku.
"Okey, okey. I'm give up. Nih pukul." Aku menyodorkan bahuku yang di sambut Nina dengan tawa licik. Satu pukulan melayang. "Ugh! Dasar iblis." ringisku sambil menatap Nina sok kesal.
"Cup cup cup. Masa laki-laki lemah sih." Cibirnya lagi. "Ayolah bantu-bantu yang lain." Aku mengikuti Nina membereskan alat makan dan menyusunnya di ember besar. Selanjutnya kami mengutip sampah-sampah yang berserakan dan mengumpulkannya dalam plastik hitam besar.
"Jadi Yo. Gimana?" Nina memulai percakapan. Aku memandangnya bertanya. "Soal tadi. Ini ada hubungannya sama kemampuanmu?" Nina menyambung pertanyaannya.
"Nggak perlu khawatir Nin. Aku cuma kepikiran aja tadi." Sejujurnya aku enggan menjelaskan. Aku tak ingin membuka luka lama Nina yang mungkin perlahan sudah mulai merelakan.
"Udahlah kayak sama siapa aja. Kamu tahu kan kamu orang yang paling berjasa di keluarga aku. Kalau seandainya saat itu kamu nggak ada mungkin.. " suaranya bergetar. Aku berhasil membuka lukanya.
"Nin.."
"Mungkin.. Kakak bakal lebih hancur." Langsung saja ku peluk Nina. Ku tepuk-tepuk pundaknya menenangkan.
"Aku udah ikhlas Yo. Jadi kamu jangan merasa bersalah kalau mau cerita apapun ke aku." Aku mengangguk mengiyakan.
"Bakal aku ingat Nin. Nanti aku bakal cerita. Sekarang kamu masuk duluan gih. Bersih-bersih terus istirahat. Kamu pasti capek kan?!" Ia mundur beberapa langkah. Mengusap sudut matanya yang basah. "Makasih Yo." ucapnya tulus. Aku tersenyum mengibaskan tangan menyuruh Nina bergegas masuk. Ia balas tersenyum lalu meninggalkan ku sendiri di halaman luas rumahnya.
Ku pandang rumah ini dari sudut ke sudut. Dari yang ku ingat, setiap datang hanya atmosfer suram yang menggantung di langit-langit rumah. Rasanya sesak tiap berada disini. Namun Nina maupun orang tuanya tidak dapat berbuat apa-apa. Hal itu yang mendorongku kukuh menawarkan diri menolong. Lea. Gadis ceria kakak Nina, anak pertama dikeluarga mereka. Pembawaannya yang ceria dan terlihat tanpa beban membuat semua orang tertipu dengan keadaannya yang sebenarnya. Termasuk keluarganya sendiri. Ia lihai sekali menutupi deritanya selama ini.
Hingga setahun yang lalu aku tak sengaja mengetahui rahasinya. Awalnya aku ragu. Lea pun ngotot tidak ingin memberitahu siapapun apalagi keluarga yang menjadi orang-orang terdekatnya. Aku yang tahu langsung saja membujuk Lea untuk mau buka suara. Tapi nihil. Ia bilang ia sudah pernah melapor ke sekolah dan tidak ada satupun yang percaya. Karena tak ingin kejadian yang sama terjadi aku memperkenalkan Lea dan Andre.
Tak disangka-sangka mereka saling jatuh cinta. Perbedaan umur tak menghalangi mereka untuk mendukung satu sama lain. Lea yang ceria dan Andre yang pengertian. Kombinasi yang sangat pas. Siapapun yang tahu bagaimana hubungan mereka pasti akan iri. Berbulan-bulan lewat hubungan mereka, tak ada sedikitpun kekhawatiranku akan mereka. Lea perlahan menikmati hidup. Andre dengan sekuat tenaga melindungi Lea dari apapun yang mengganggunya.
Namun kenyataan tetaplah kenyataan. Lea tak pernah membaik. Andre juga tak pernah benar-benar bisa menyembuhkan Lea. Mereka ibarat buah simalakama. Bagaimana pun mereka bertindak, semua berakhir kesalahan. Tetap sakit. Tetap terpuruk. Sekuat apapun melindungi satu sama lain, manusia tetap memiliki batasnya. Dan mereka berdua telah mencapai batas tanpa siapapun tahu.
Aku mendongakkan wajahku ke langit. Bulan sabit masih menggantung terang. Bintang-bintang yang jarang terlihat di kota malah banyak bertebaran. Udara malam semakin dingin dan menusuk kulit. Besok pasti akan terasa panas. Aku mengambil plastik besar penuh sampah, menetengnya di kedua tangan. Dipojokan pagar ku letakkan sampah itu sambil termenung. Sepertinya aku pun harus mulai merelakan. Tentang Kakak Nina. Juga tentang sahabat baikku. Hidup pasti berputar. Namun yang kurasakan aku terus berjalan di tempat. Entah sejak kapan kehidupanku terhenti. Sejak kejadian itukah? Atau sejak aku tahu kemampuanku?
"Rio, ngapain disana? Sini masuk rumah." Bibi meneriakiku dari depan pintu. "Iya Bi." Aku melangkah kedalam menutup pagar dan menghampiri Bibi. "Sudah malam Rio. Istiratlah. Sisanya biarkan mereka yang membereskan." Bibi menepuk pundakku hangat. Matanya tampak lelah. "Bibi juga jangan sampai kelelahan." Bibi mengangguk. Aku melangkah ke kamar dan bersiap memutar gagang pintu.
"Kamu tidak perlu merasa bersalah Rio. Benar kata Nina kalau kamu nggak ada Lea bakal terlambat diselamatkan." Aku menundukkan kepala di depan pintu. Tanpa membalikkan badan aku tahu ekspresi Bibi sekarang. Pasti sama sedihnya dengan wajah Nina barusan.
"Terima kasih Rio." aku tersenyum pahit, memutar gagang pintu dan masuk dalam diam.
Pesta Nina berakhir dengan baik. Ini hari kedua aku berada di rumah Nina. Lupakan soal benda-benda yang memberiku infomasi. Ya. Aku bisa mendengar benda berbicara. Bisa tahu lewat sentuhan. Sayangnya aku tidak bisa mengetahui pikiran manusia dari menyentuh mereka. Mungkin jika bisa aku boleh dikatakan sangat beruntung? Tetapi benda yang memberiku informasi tidak semuanya bisa sedetail yang aku mau. Karena benda sendiripun punya ingatan yang ia tak ingin bagi dengan siapapun.Kemampuan ini aku sadari saat aku menginjak bangku sekolah dasar. Di usiaku yang ke 5 aku sudah dapat membaca ingatan benda. Namun itu semua hanya berupa informasi-informasi yang berseliweran di kepalaku tanpa aku peduli sedikitpun. Maklum saja usiaku belum selihai itu untuk tahu mana hal yang penting atau tidak. Semakin bertambah usia, kemampuanku pun semakin berkembang. Seperti yang aku ceritakan di awal.Sikapku pun perlahan berubah. Bukankah aneh laki-laki begitu per
"Yo, Rio." tegur Andre di sampingku. "Nomor 5 jawabannya cepat." Andre sibuk dengan buku tulis di depannya. Aku yang sedari tadi melamun baru sadar ada tugas."Sejak kapan ada tugas?" Andre menatapku kesal. "Jangan pura-pura bodoh. Tiga puluh menit yang lalu Bu Henny ngasih tugas buat dikerjain. Siapa yang selesai duluan boleh pulang." Andre menjelaskan marah-marah. "Jadi mana nomor 5." Tagihnya lagi. "Cepatlah. 5 menit lagi bel pulang." Andre kembali menegurku. Dengan pikiran yang masih bingung aku malah merebut buku tugas Andre."Bentar. Bentar doang." jelasku sambil menulis cepat. Andre yang sepertinya mulai kesal sungguhan menahan diri. Tiga menit. Aku hanya butuh tiga menit untuk menyalin jawaban saja tentunya."Nih." Aku mengembalikan buku Andre dan menepuk bahu perempuan didepanku. Ia menoleh, menunjukkan wajah bertanya. "Pinjem buku kamu mau pegang bentaran aja." Ia menyerahkan bukunya tanpa banyak bicara. Kusentuh lalu mengem
Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku."Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre."Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tangan
Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu."Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik."Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah ce
Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia
Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini
Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela
Selama perjalanan kembali, penjelasan Mama tentang Papa tiba-tiba mengusikku lagi. Setelah mengucapkan kalimat itu Mama terdiam lama. Aku mengacak rambutku frustasi."Kenapa Mama baru cerita sekarang?" Aku menatap mata Mama berani. Mama memalingkan wajahnya. "Maafin Mama, Rio. Mama nggak mau mengingatkan kembali kenangan yang kamu lupakan." Mama kembali terdiam. Aku menatap Mama marah. Mama terlihat kelabakan menghadapiku. Ia tak berani menatap mataku. "Hari itu saat menolong Papa kamu tiba-tiba pingsan. Awalnya Mama nggak tahu kalo kamu pingsan gara-gara kehabisan energi." Mama diam sebentar. Aku terus menatap Mama menuntut penjelasan lebih."Hari itu Papa berangkat kerja seperti biasa dan pulang di jam biasa. Lalu satu panggilan masuk ke ponsel Papa. Katanya salah satu karyawannya ditemukan babak- belur." Mama berkali-kali mengusap wajahnya. "Harusnya Mama larang Papa pergi. Tapi tanpa sedikitpun curiga Mama membiarkan Papa pergi." Mama tercekat lagi. S