"Tidak Rio, mama tidak akan beri izin kamu ke tempat saudaramu itu. ", mama lagi-lagi melarangku karena hal sepele.
"Kamu tau kan, perjalanan kerumah Nina butuh waktu setidaknya 30 menit", lanjut mama. Nina mengundangku ke pesta ulang tahunnya. Tentu saja aku setuju. Sejauh ini hanya dia yang bisa ku andalkan.
"Rio janji hanya 2 hari. Mama tidak perlu khawatir, okay?" pintaku memelas pada mama. Setelah menimbang-nimbang mama akhirnya buka suara.
"Baiklah 2 hari Rio. Tidak lebih. Tapi dengan syarat kamu jangan pernah terlibat lagi untuk hal-hal yang tidak berhubungan dengan kamu." Aku mengangguk dan mengemas pakaianku siap untuk berangkat.
Selagi mengemasi pakaian, aku tersenyum lalu sedih kemudian tertawa. Menyentuh sesuatu membuatku bahagia dan tersakiti. Selama ini aku kira hal yang wajar seseorang mengingat kenangan hanya dengan melihat benda yang akrab baginya. Contohnya saja, beberapa waktu yang lalu papa membelikanku bolpoint unik. Seminggu kemudian temanku menghilangkannya. Setelah kejadian itu setiap melihat bolpoint yang serupa entah dimanapun perasaanku akan kehilangan bolpoint itu tetap terasa.
Benarkah perasaan manusia sedalam itu hanya untuk hal-hal kecil? Atau bisa jadi hal-hal kecil berupa benda sederhana yang kita temui malah memberikan pengaruh besar terhadap sesuatu yang tidak kita sadari. Seperti mengubah dunia mungkin?! Ini hanya dugaanku. Sebab akibat benar adanya bukan. Hubungan timbal balik. Dasar fisika hukum Newton 3 aksi reaksi. Hingga kini aku tahu aku ada bukan tanpa sebab. Kenangan yang aku ingat bisa menyelamatkan seseorang. Membuatku semakin yakin bahwa jalan yang aku pilih tidak salah.
"Rio, mau berangkat jam berapa?" mama meneriakiku dari dapur. Pikiran apa itu tadi? bodoh. Mana mungkin menyelamatkan orang. Aku tertawa miris sambil melangkah keluar kamar. "Sudah siap ma. Rio pergi dulu." ucapanku membuat mata mama berkaca-kaca. "Rio akan baik-baik saja ma. Tenang dan percayakan anak mama ini." lanjutku menghibur mama. Mama memelukku erat. "Hati-hati Rio. Ingat pesan mama."
Inilah gambaranku ketika berpamitan pergi. Terlihat berlebihan mungkin. Tetapi begitulah alur hidupku, dijaga sebab menimbulkan rasa sakit. Aku berbeda dan aku tahu itu. Namun aku ingin mama mengerti aku bisa hidup dengan perbedaan ini. Mungkin nanti, mungkin juga tidak akan.
Aku melangkah keluar sambil menyampirkan tas dipunggung dan masuk mobil. Mengendarainya dengan kecepatan normal sambil tersenyum, sedih dan tertawa.. Rasa sakit dan bahagia yang muncul bergantian. Aku pikir aku sudah gila.
Jalan yang ku lalui tidak sepadat biasanya. Hanya beberapa kendaraan bermotor dan mobil yang lalu lalang. Tiga puluh menit kemudian aku tiba di rumah Nina. Ia dengan senyum jenakanya melambaikan tangan. Aku turun dari mobil dan masuk rumah.
"Hai cebol." sapaku yang di sambut pukulan di bahu. Nina cemberut namun terlihat senang.
"Dasar bodoh" ejeknya lalu berlari ke dalam rumah. Aku hanya terkekeh melihat tingkah konyolnya. Saat melangkah ke kamar tamu. Ibu Nina menyambutku dengan senyum teduhnya.
"Rio, maaf ya bibi pikir kamu tiba nanti malam. Ya sudah, masuk kamar saja bereskan pakaian kamu terus istirahat. Bibi ke kamar dulu." aku hanya mengangguk setelah bibi menyelesaikan kalimatnya dan melangkah masuk kamar.
Ku buka pintu kamar dan mataku langsung tertuju ke sebuah lemari kayu. Ahh ternyata masih ada, batinku. Kususun pakaianku di dalam lemari sembari menyambut kenangan dan ingatan yang hadir. Tentang coretan di pintu lemari, benda-benda yang menghiasi bagian atasnya juga isi lemari yang penuh pakaian sebelumnya.
Aku ingat, kamar ini dulunya ditempati Lea, kakak Nina. Setelah setahun tak berpenghuni kamar ini selalu ku tempati setiap datang berkunjung. Benda-benda yang sebelumnya ada di pindahkan atau di buang entahlah aku pun tak tahu pasti. Aku bisa merasakan melalui benda lain yang mengirim sinyal kepadaku. Kata mereka penghuni lama sering menangis. Terkadang hampir mencoba bunuh diri. Lemari dihadapanku menjadi saksi bisu persembunyiannya setiap malam di tengah isaknya agar keluarga tidak mendengar. Langit-langit kamar dan dinding putih ikut bersedih melihatnya. Aku terhanyut dalam rasa sakit ini. Tanpa sadar airmataku ikut jatuh.
"Sial. Lagi-lagi aku menangis." tak mau berlama-lama terhanyut aku memutuskan naik ke kasur dan merebahkan badanku. Hari yang melelahkan. Tak lama aku tertidur diiringin dongeng dari kasur yang di tiduri. Katanya kenangan bisa menjadi pengingat. Tapi setidaknya aku tak perlu ikut bersedih. Sebab bukan salahku menjadi tahu.
Ya.. bukan salahku menjadi berbeda.
"Rio! Rio! Kenapa kamu tinggalin aku saat itu. Kenapa kamu pergi. " perempuan di hadapanku menangis tersedu-sedu.
"Siapa..." lirih sekali suaraku. Melihat perempuan ini membuat dadaku sakit. Tetapi siapa dia?
"Rio! lihat aku, aku tahu kamu mengenalku. Rio.."
"Rio!!!"
"Rio!"
Tok tok tok
"Rio.."
Tok tok tok
"Rio bangun. Acaranya akan di mulai, bersiaplah."
Astaga. Aku terbangun. Mimpi itu..
"Rio, buka pintunya." Bibi masih mengetuk pintu kamar. "Baik bi." jawabku sambil bangkit dari tempat tidur dan membuka pintu. Bibi mengernyit dahinya saat melihatku. "Kamu gapapa?" tanyanya. "Kamu abis liat hantu?" tanyanya lagi.
"Aku baru bangun tidur bi. Tadi mimpi aneh." jawabku singkat. Bibi hanya menggelengkan kepala lalu menepuk bahuku. " Yaudah siap-siap sana. Acara sebentar lagi."
Aku keluar kamar menenteng handuk dan beberapa alat mandi saat melihat keluar rumah hari sudah mulai gelap. Aku tertidur cukup lama. Setidaknya aku tidak menghabiskan waktu dengan menyentuh benda-benda.
"Hei bodoh. Cepatlah bersiap. Tamuku sebentar lagi datang. Masa mereka harus liat saudaraku yang masih kucel dan bau ini." Nina tiba-tiba datang entah dari mana.
"Iya bawel." balasku menoyor kepala Nina dan berlari ke kamar mandi.
Suasana malam terlihat cerah. Bulan yang menggantung di langit seolah mengucap selamat untuk Nina. Aku hanya berdiri sambil memandang keramaian. Sesekali teman Nina menyapaku, berbincang sebentar lalu pergi. Nina tertawa. Baguslah. Jika dibandingkan setahun lalu, keluarga Nina terlihat membaik. Tiba-tiba dari samping ada yang menyeggol tanganku. Gelas yang ku pegang jatuh dan pecah. Perempuan yang menyenggolku meminta maaf sambil buru-buru pergi. Lengan kemeja putih yang kukenakan terkena sedikit minuman yang ku pegang.Ahh ayolah.Ku kibaskan lengan kemejaku, membuka kancing dan menggulungnya hingga siku. "Kamu gapapa?" Nina datang sambil membawa serbet. "Lap dulu." Aku hanya bisa terdiam saat Nina membersihkan tanganku dengan serbet. Aku tersadar. Ingatan perempuan itu. Terlepas dari rasa kesal aku yakin perempuan tadi sedang dalam kesulitan."Nina. Itu temen kamu kan. Tolong dia." hanya ini yang bisa ku lakukan. N
Pesta Nina berakhir dengan baik. Ini hari kedua aku berada di rumah Nina. Lupakan soal benda-benda yang memberiku infomasi. Ya. Aku bisa mendengar benda berbicara. Bisa tahu lewat sentuhan. Sayangnya aku tidak bisa mengetahui pikiran manusia dari menyentuh mereka. Mungkin jika bisa aku boleh dikatakan sangat beruntung? Tetapi benda yang memberiku informasi tidak semuanya bisa sedetail yang aku mau. Karena benda sendiripun punya ingatan yang ia tak ingin bagi dengan siapapun.Kemampuan ini aku sadari saat aku menginjak bangku sekolah dasar. Di usiaku yang ke 5 aku sudah dapat membaca ingatan benda. Namun itu semua hanya berupa informasi-informasi yang berseliweran di kepalaku tanpa aku peduli sedikitpun. Maklum saja usiaku belum selihai itu untuk tahu mana hal yang penting atau tidak. Semakin bertambah usia, kemampuanku pun semakin berkembang. Seperti yang aku ceritakan di awal.Sikapku pun perlahan berubah. Bukankah aneh laki-laki begitu per
"Yo, Rio." tegur Andre di sampingku. "Nomor 5 jawabannya cepat." Andre sibuk dengan buku tulis di depannya. Aku yang sedari tadi melamun baru sadar ada tugas."Sejak kapan ada tugas?" Andre menatapku kesal. "Jangan pura-pura bodoh. Tiga puluh menit yang lalu Bu Henny ngasih tugas buat dikerjain. Siapa yang selesai duluan boleh pulang." Andre menjelaskan marah-marah. "Jadi mana nomor 5." Tagihnya lagi. "Cepatlah. 5 menit lagi bel pulang." Andre kembali menegurku. Dengan pikiran yang masih bingung aku malah merebut buku tugas Andre."Bentar. Bentar doang." jelasku sambil menulis cepat. Andre yang sepertinya mulai kesal sungguhan menahan diri. Tiga menit. Aku hanya butuh tiga menit untuk menyalin jawaban saja tentunya."Nih." Aku mengembalikan buku Andre dan menepuk bahu perempuan didepanku. Ia menoleh, menunjukkan wajah bertanya. "Pinjem buku kamu mau pegang bentaran aja." Ia menyerahkan bukunya tanpa banyak bicara. Kusentuh lalu mengem
Aku berlari dengan sekuat tenaga keluar dari rumah itu. Aku bahkan menenteng sepatu yang awalnya di taruh di depan pintu. Aku berlari seakan-akan takut dikejar. Namun dugaanku salah. Ibu tadi, Freya maupun suaminya tak ada satu pun yang mengejarku. Mungkin mereka masih di kelilingi perasaan bingung. Aku masih berlari saat sadar bahwa aku tersesat. Aku sama sekali tak tahu daerah ini. Ku periksa ponselku dan menyalakan GPS.Setelah memutar-mutar akhirnya aku keluar dari perumahan itu. Kulihat jalanan sepi. Ku hubungi Andre. Dering pertama. Dering kedua. Dering ketiga. Hingga dering kelima Andre baru menjawab telponku."Ndre, jemput gua." kataku memulai telpon. Tidak ada jawaban. "Ndre? lu dengerin gua kan?" Perasaan takut pelan-pelan merasuki. Sesuatu bisa saja terjadi pada Andre."Bokap pergi Yo. Dia.." suaranya lirih. Hampir tak terdengar. Tanganku terkepal. Apa yang kulihat tadi tak salah. Bahkan pria tadi juga mengenaliku. Tak salah lagi. Tangan
Di kamar ku yang temaram, aku termenung. Semenjak hari itu Andre tak lagi datang ke sekolah. Akupun sudah coba menghubunginya beberapa kali. Nihil. Ia tak pernah sekalipun menjawab telpon atau pesanku. Ku coba datang ke rumahnya. Kosong. Rumah itu tak berpenghuni. Ku tanyakan ke beberapa tetangga tetapi merekapun tak tahu. Aku kehilangan jejak. Saat ini aku hanya berharap agar Andre baik-baik saja.Lama aku termenung didepan balkon kamarku. Aku sadar kapasitasku sebagai manusia. Tidak seharusnya aku mencampuri urusan pribadi Andre. Kemampuanku pun pasti memiliki kekurangan. Saat aku sibuk dengan pikiran-pikiranku Mama mengetuk pintu."Rio, Kamu udah tidur?" Mama bertanya dari balik pintu. "Belum Ma. Tapi aku lagi nggak mau di ganggu." Terdengar sedikit lancang. Tapi sejujurnya aku memang sedang tidak berada dalam mood yang baik."Nina di ruang tamu. Matanya sembab dia mau ketemu kamu." Aku membalikkan badan membuka pintu. Langsung saja melangkah ce
Aku masih merebahkan badan di kasur saat masa lalu itu terlintas. Kesibukan masih saja mengerumuni rumah ini. Sisa pesta Nina tadi malam belum beres ternyata. Aku bangkit dan keluar kamar. Berharap bisa duduk sebentar di halaman depan. Nina ternyata lebih dulu disana. Menatap kedepan dengan buku sketsa di tangan kirinya."Nin. " Ia memalingkan wajahnya. "Tidurmu nyenyak?" Nina bertanya saat aku sudah duduk disampingnya. "Yah begitulah" Kujawab tanpa melihatnya. Ia hanya berhmm mengerti. Melanjutkan sketsanya."Yo. Mau temenin aku pergi nggak?" ia bertanya sambil sibuk dengan sketsanya. "Kemana?" Kali ini aku menatapnya, balik bertanya. "Kemaren temenku yang tinggal nggak jauh dari sini mesen gambar. Jadi rencana nanti sore aku bakal kesana nganterin gambarnya." Ia masih sibuk dengan sketsanya."Makanya aku ajak kamu. Biar ada temen aja. Di jalan g sendirian." Nina menjelaskan maksudnya sambil menatapku memohon. Ia
Aku memutuskan pulang saat benar-benar tenang. Paman kembali ke rumah sakit setelah mengantarku ke rumah. Ku pandangi sekeliling kamar. Ingatan Lea masih melekat disini. Ku tutup pintu kamar rapat-rapat. Ku keluarkan kunci mobil dari saku celana. Masuk mobil dan menghidupkannya. Kutinggalkan rumah berhalaman luas milih keluarga Nina bersama ingatan Lea yang belum tuntas. Kenyataan tentang Papa mengejutkanku. Aku tak tahu pasti apakah kejadian seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Sebab sejak aku kecil Papa dan Mama tak pernah benar-benar membiarkanku mengetahui segalanya. Hingga Papa menghilang hari itu. Tanpa jejak. Mama satu-satunya yang mengetahui semua. Tapi tampaknya ia pun tak siap memberitahu kebenarannya. Aku mengendai mobil dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan marah kepada Mama yang menyembunyikan semua ini dariku. Rasa khawatir dan cemas akan keluarga Nina dan Andre. Aku mencoba fokus. Jangan sampai perasaan-perasaan ini
Aku menjalankan mobil lagi melewati gerbang tinggi itu. Aku yang sedari tadi ditahan Nina akhirnya buka suara. "Kok makin kesini makin aneh aja kejadiannya?" Nina memiringkan kepalanya. "Ya aku juga bingung." Nina menoleh ke belakang namun gerbang itu tertutup. Belum ada kendaraan selanjutnya dibelakang kami."Apa ya maksudnya nggak ada hari selain Sabtu dan Minggu?" Aku sama sekali tak memiliki ide. Tak ada satupun hal terlintas yang merujuk pada kalimat yang dilontarkan lelaki penjaga gerbang tadi. "Ntah lah Nin. Aku juga nggak tahu."Sekitar 10 menit kami berkendara dan tak menemukan jalan berkelok. Tak ada persimpangan tak ada apa-apa. Sore akan berakhir berganti malam. "Nin kamu yakin ini jalan yang bener?" Nina tampak cemas. "Kata Langga harusnya setelah kita lewat gerbang tinggi itu harusnya ada simpang empat dan kita belok kiri." Ia menggigit kuku-kuku jarinya. Aku memandang sekeliling. Memang benar sejak tadi tak ada jalan lain sela