Kota Assouira ...
Sebuah kota pelabuhan di selatan Negara Maroko yang terkenal dengan sebutan 'Negara Maghribi' yang berarti 'tempat matahari terbenam'. Assouira merupakan kota kecil yang terkenal dengan industri perikanan. Meski hanya sebuah kota kecil, akan tetapi Assouira menawarkan pemandangan pantai berpasir putih Samudera Atlantik, dengan semburat jingga di langit yang menyimpan sebaris misteri, berpadu dengan pesona kecantikan, secantik seorang gadis kecil yang bernama FATMA BOUSSETTA.
***
Brukk!
Seorang gadis kecil dengan mata indah terpental setelah hampir saja sebuah mobil mewah menabraknya. Dia berdiri dan membersihkan sikunya yang terlihat berpasir. Ada luka lecet di sana yang nampak kemerahan. Bahkan hal yang sama juga terlihat di salah satu bagian lutut. Begitu kontras dengan kulit gadis itu yang seputih susu. Tidak seorang pun menyangka jika usia gadis itu masih belia. Tempaan hidup yang begitu keras membuatnya terlihat lebih dewasa jika dibandingkan dengan usia gadis itu yang sesungguhnya.
"Kamu tidak apa-apa?" ucap seorang pemuda yang baru saja keluar dari pintu kemudi membuat gadis itu mendongak. Pemuda itu menatapnya dengan sorot kekaguman. Dia memiliki tubuh atletis dengan dua warna iris mata yang berbeda. Meskipun tidak dipungkiri, dapat jelas terlihat dari wajah pria itu bahwa dia masih berusia muda, tapi karismatiknya seolah sudah terpancar dan mampu membius siapa pun yang memiliki keberanian diri menatap wajah tampannya yang ditumbuhi rambut-trambut halus itu.
Bagi sang gadis, wajah tampan pria yang berdiri di hadapannya terlihat begitu memukau seperti artis-artis terkenal yang biasa dia lihat di spanduk iklan di sisi jalan. Sangat mustahil orang dengan status sosial rendahan memiliki penampilan seperti pria itu.
Sang gadis mengerjap sesaat, setelah sempat membayangkan dirinya bak Cinderella yang bertemu dengan pangeran tampan impian. Namun, sekelebat khayalan itu harus berakhir setelah dirinya menyadari siapa dia dan siapa pria itu.
"A-aku baik-baik saja, Tuan. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku." Matanya memancarkan paduan rasa takut dan takjub secara bersamaan. Dia menunduk dan berlari dengan langkah yang timpang akibat luka di lutut, sebelum pemuda itu sempat menanyakan namanya.
***
"FATMA!" Suara bariton seorang pria terlihat berumur menggema sejak Fatma kembali ke rumah, membuat para tamu terperangah di tengah-tengah sebuah pesta. Entah apa yang terjadi sehingga tiba-tiba saja Tuan Gamal berteriak kepada putrinya. Fatma melangkah terseok-seok akibat lututnya yang terkilir. Sesorang tadi menyuruhnya untuk segera pulang ke rumah saat dirinya masih disibukkan bekerja di kaki bukit, sehingga dia tidak memperhatikan jalan hingga terjadilah insiden kecelakaan itu.
Cantik adalah kata yang tepat untuk disematkan kepada gadis berusia lima belas tahun itu. Kecantikan yang diturunkan oleh sang ibu, wanita yang telah pergi untuk selamanya di kala Fatma baru saja belajar merangkak. Kecantikan Fatma tentu menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pria yang tertarik untuk mendekati meskipun usianya masih terlalu muda.
"Kau terlalu lama hanya untuk berjalan!" Tuan Gamal menelisik pakaian yang sedang dikenakan Fatma. Terlihat berantakan dan tidak layak untuk dikenakan. Pria berumur itu tidak peduli jika ada banyak pasang mata memperhatikan, "kamu berniat mempermalukan saya?!" bentaknya.
Ini bukanlah hal baru bagi Fatma. Gadis malang itu terlalu sering mendapatkan bentakan yang serupa. Bahkan, kerap kali dia mendapatkan perlakuan kasar. Goresan-goresan di tubuh kecilnya merupakan saksi bisu yang dia terima setiap kali sang ayah dan kedua ibu tirinya memberikan cambukan serta pukulan hanya karena Fatma melakukan kesalahan-kesalahan kecil. Luka-luka basah yang menyakitkan itu mengering seiring waktu dengan sendirinya. Kebencian sang ayah yang tak lazim terhadap Fatma merupakan sebuah tanda tanya besar bagi gadis itu.
"Ma-maaf, Ayah. Tadi ..." Belum juga Fatma menyelesaikan kalimatnya, pria tua itu melayangkan tamparan keras ke permukaan kulit wajah Fatma. Seketika pandangannya menjadi kabur akibat kerasnya tamparan dari sang ayah, bahkan nampak jelas warna kemerahan membekas di wajah. Hidup di zaman apakah gadis malang itu, hingga nasibnya bak dongeng-dongeng seorang putri yang malang. Bukankah seharusnya dia tumbuh seperti gadis-gadis pada umumnya. Gadis-gadis yang mendapatkan dekapan hangat seorang ibu dan pelukan kasih sayang seorang ayah.
Dalam rintihan yang terdengar samar dari mulut Fatma, Tuan Gamal menjambak rambut panjang gadis malang itu yang tergerai tak beraturan sambil menyeretnya. Langkahnya menuju sebuah tempat yang terpajang sebuah papan di sana, dihiasi ornamen sederhana khas pernikahan yang bertuliskan 'Fatma dan Ridwan'. Di sisinya juga terdapat rangkaian bunga segar yang indah. Namun, tidak seindah perasaan Fatma saat ini. Fatma hanya memandangi papan itu dengan wajah bingung. Dia menatap lesu tulisan-tulisan yang tercetak tanpa mengerti harus bereaksi seperti apa.
Membaca? Bukankah itu hanya sebuah angan yang tak kesampaian bagi gadis malang itu. Masa kecilnya hanya dihabiskan untuk bekerja dan menghasilkan pundi-pundi dirham untuk keluarganya. Jadi bagaimana mungkin Fatma bisa mengerti apa yang tertulis di sana.
"Lihat itu baik-baik!" ucap Tuan Gamal tanpa melepaskan jambakan di rambut gadis malang itu. Fatma menatap papan yang bertuliskan kata-kata yang tidak dia pahami. Ekor matanya sesekali melirik ke arah sang ayah dengan wajah ketakutan.
Tiba-tiba seorang pria tua yang hampir seusia dengan Tuan Gamal mendekat dan meraih tangan Fatma begitu lembut. Dia melihat ke arah Tuan Gamal dan memberikan sebuah tatapan tajam sebagai isyarat yang membuat pria itu menghentikan aksinya.
"Sudahlah, ini acara kami. Lagi pula di sini masih banyak tamu," ucap Tuan Ridwan kepada Tuan Gamal yang tidak bisa mengontrol diri.
"Paman ..." Binar bahagia seketika menjalar di wajah cantik Fatma. Dia merasa bersyukur bahwa kini Paman Ridwan seolah menjelma sebagai malaikat penolong yang membuatnya terbebas dari cengkraman sang ayah. Sebuah harapan terbangun kala pria tua itu menghampiri sebelum kata-kata yang keluar dari mulut sang paman membuat Fatma kembali kehilangan raut bahagia di wajah seketika.
"Manis, jangan pernah memanggilku dengan sebutan 'Paman' lagi," pinta Tuan Ridwan sambil menghela napas sejenak. Wajahnya terlihat sedikit menunjukkan ketidak sukaan, sementara Fatma mengernyit terlihat kebingungan.
"... Mulai sekarang, aku adalah suamimu!" Tuan Ridwan menegaskan setiap kata-katanya, agar Fatma mengerti akan posisinya saat ini.
"Su-suami?" lanjut Fatma kemudian. Matanya melebar dan hampir saja cairan bening yang mulai menggenang itu tumpah.
"Ya! Dia suamimu." Suara Tuan Gamal terdengar seperti sebuah bentakan. Ucapan Tuan Gamal membuat perasaan Fatma seolah hancur tak berbentuk. Seolah badai kehidupan yang baru akan datang menerpa. Meskipun tidak memiliki pertalian darah, bagaimana bisa pria yang selama ini dia panggil dengan sebutan Paman harus dia akui sebagai suami? Apakah ini hanya lelucon?
Pria itu sudah berumur, akan tetapi masih nampak jelas ketampanannya. Bisa dibayangkan ketika usianya masih muda, pria itu dapat memikat wanita manapun hanya dengan bermodalkan wajah tampan yang ia miliki. Namun tetap saja, dia adalah seorang pria tua yang semestinya melindungi Fatma seperti anak sendiri.
"Sejak kapan aku menikah dengannya, Ayah?" Fatma berharap jawaban yang akan dia dengar akan membuat kekonyolan ini segera berakhir.
"Aku baru saja menikahkanmu. Ini tidak main-main, Fatma! Tuan Ridwan sudah sah menjadi suamimu." Meskipun kalimat itu diucapkan Tuan Gamal dengan suara yang sedikit melunak dari pada sebelumnya, tapi cukup memberikan efek perih di dalam hati gadis malang itu.
"Saya sudah memperingatkanmu untuk kembali ke rumah lebih awal, bukan?"
Fatma : "..."
"Cepat bersihkan dirimu! Jangan jatuhkan harga diri kami dengan penampilan seperti itu. Segera kembali dengan pakaian yang lebih layak!" Tuan Gamal melanjutkan ucapannya dengan membuang muka ke arah lain.
Fatma terpaku sejenak, mencoba mencerna kejadian yang baru saja membuatnya terperanjat, sebelum dia melakukan apa yang telah diperintahkan sang ayah. Sungguh benar-benar sebuah kekonyolan yang luar biasa.
Suami? Menikah?
Gila! Di usia yang terbilang masih dini, seharusnya Fatma menghabiskan waktu mudanya bersama teman-teman yang seusia. Bukannya menikah dengan pria berumur yang lebih pantas dipanggil dengan sebutan 'Paman'. Meskipun belum pernah mengenal cinta, tapi bukankah setidaknya Fatma berhak untuk menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya.
Beberapa saat kemudian, pesta berakhir. Para tamu meninggalkan tempat itu dan berjalan beriringan. Banyak di antara mereka yang berkomentar setelah meninggalkan tempat itu.
["Bocah itu lebih cocok dijadikan sebagai anaknya!"]
["Malang sekali, nasib bocah itu. Dia pasti sudah dijual ayahnya sendiri. Aku tidak yakin jika Tuan Gamal adalah ayah kandungnya."]
["Jika aku berada di posisi Fatma, aku lebih memilih untuk kabur."]
["Ah, untuk apa kalian memikirkan perasaannya. Gadis seperti dia pasti suka rela menjual tubuh dengan pria tua itu hanya karena uang."]
Kata-kata itu terdengar di telinga pemuda yang sempat menabrak Fatma tadi. Dia mencoba menyusul Fatma Namun kekecewaan dia alami saat menyaksikan pesta pernikahan itu. Baru saja dia percaya dengan adanya cinta pada pandangan pertama. Namun, kenyataan itu menghapuskan persepsinya tentang sebuah definisi tentang cinta.
"Cih! Aku pikir dia wanita baik-baik," gumamnya dengan tangan mengepal yang menunjukkan buku-buku jemari yang kemerahan.
"Cantik!" Tuan Ridwan bergumam. Dia terlihat begitu bersemangat memandangi gadis muda yang menjadi pengantinnya itu. Sungguh menjijikkan seorang pria yang sudah berumur menikahi seorang bocah, dan di sinilah harapan Fatma berakhir menjadi istri seseorang yang sama sekali tidak dia cintai. Kehidupan pernikahan yang tidak pernah sekali pun dia impikan. Namun, suka tidak suka kenyataan itu harus tetap dia jalani.
Hari- hari berjalan tanpa ada sesuatu yang istimewa. Fatma kini sudah berstatus sebagai istri sah dari Tuan Ridwan, pemilik usaha pertunjukan sirkus yang berusia 59 tahun. Tempaan hidup yang dilalui Fatma tak lantas membuat dirinya hanya berserah dan pasrah dengan keadaan. Fatma yakin suatu hari nanti dia akan bangkit dari keterpurukan yang tidak ada habis-habisnya ini. Diam-diam gadis malang itu pergi ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan. Lebih tepatnya mengintip pelajaran yang berlangsung di dalam kelas melalui celah-celah di sudut ruangan yang terbuat dari kayu. Selama hidup bersama sang ayah, Fatma tidak mendapatkan kebebasan untuk menuntut ilmu. Sepertinya dia sengaja dibiarkan menjadi bodoh, yang buta akan pendidikan oleh ayah kandungnya sendiri. Sesekali dia mencatat apa yang tertulis di papan tulis. Merapalkan bacaan yang ditirunya dari seorang guru yang diam-diam dia curi ilmunya. Pantaskah Fatma disebut sebagai pencuri ilmu? Yang pasti apapun itu
"Wah ... Tuan hebat sekali!" Fatma berteriak kegirangan ketika melihat Tuan Ridwan begitu lihai menunggangi seekor harimau yang berukuran sangat besar. Sungguh pertunjukan yang tak biasa. Bukankah hewan itu adalah hewan pemangsa. Namun, kehebatan Tuan Ridwan seolah membuat hewan buas itu menjadi selayaknya seekor kucing penurut. Kedua bibir Fatma terbuka menganga tak henti karena begitu takjub menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan yang ditampilkan di panggung. Baru kali ini remaja cantik itu merasakan dunia luar yang sesungguhnya, yang tidak pernah diperoleh sejak dia kecil. Riuh tepuk tangan dari pengunjung yang menyaksikan pertunjukan seolah membuat para pemain merasa semakin bersemangat untuk mempertontonkan keahlian mereka. Mulai dari aksi panjat memanjat akrobatik, interaksi dengan hewan buas, bahkan interaksi dengan benda-benda berbahaya seperti lingkaran besi panas berapi. Beberapa saat setelahnya, pertunjukan berakhir seiring berakhirnya tepukan ri
Di sebuah ruang pemeriksaan kepolisian. "Jadi benar bocah itu istrimu?" Tuan Ridwan mau tidak mau harus mempertanggung jawabkan kebodohan yang telah dilakukannya terhadap Fatma. Kali ini bukan hanya tuntutan akibat kekerasan dan penganiayaan yang telah dilakukannya terhadap Fatma, melainkan juga tuntutan pernikahan yang dilakukannya terhadap anak di bawah umur. Bukan hanya Tuan Ridwan yang terlibat, tetapi ayah kandung Fatma sendiri harus ikut terseret di dalam kasus ini. Karena akibat pria yang berstatus sebagai seorang ayah itulah yang membuat putri kecilnya harus menjalani pernikahan di bawah umur. Sementara kondisi Fatma sudah mulai membaik, meskipun masih harus beristirahat secara total. Terlebih lagi saat ini kondisi kandungannya masih sangat lemah. Perempuan malang itu sempat terkejut setelah mengetahui bahwa saat ini dirinya sedang berbadan dua. Yang artinya, dalam waktu dekat dia akan menjadi seorang ibu. Ibu yang sangat muda tentunya.
Tak begitu jauh dari lokasi rumah sakit, Tuan Ayyoub menunggu Fatma dalam kegelapan. Perlahan Fatma mendekati posisi Tuan Ayyoub dengan cara mengendap-ngendap. Khawatir jika ada yang melihatnya, Fatma menutup rambut dengan kerudung hingga sebagian wajahnya yang hanya nampak di bagian mata. "Tuan ...!" ucap Fatma sedikit berbisik. Tuan Ayyoub meletakkan jari telunjuknya tepat di permukaan bibirnya, memberi isyarat kepada Fatma agar tak berisik. Matanya mengerling ke arah kiri dan kanan, kalau-kalau saja ada orang lain yang mengetahui rencana mereka berdua. "Ayo, Nona." Dia meraih tangan Fatma, menggandeng tangan kurus itu agar segera beranjak pergi secepat mungkin. Spanyol, negara itulah yang akan dijadikan tujuan. Negara terdekat yang dapat mereka tuju untuk sementara waktu. Tanpa identitas apapun yang mereka miliki. Terutama bagi Fatma, tak satupun dokumen yang dia bawa untuk menunjukkan identitasnya jika sewaktu-waktu tertangkap oleh pihak imigrasi
*** Tiga tahun yang lalu. Tubuh ringkih Mauza babak belur berkali-kali dicambuk oleh sang suami. Tuan Ridwan yang memiliki gangguan Bipolar Disorder sejak kecil itu tanpa rasa bersalah terus saja melayangkan cambukannya kepada istrinya yang baru berusia lima belas tahun. Wanita muda itu bahkan sudah tersengal-sengal dengan tenaganya yang semakin melemah. Mauza berulang kali memohon ampun untuk terbebas dari siksaan yang mendera. Ini bukanlah pengalaman pertama bagi Mauza mendapatkan penyiksaan dari sang suami. Namun, untuk kali ini sepertinya Tuan Ridwan sudah terlalu kalap. Dia sendiri pun tak mampu lagi mengontrol emosinya. Setiap kali cambukan mengenai tubuh Mauza, ada perasaan puas yang membuat Tuan Ridwan ingin melakukannya lagi dan lagi. Sejak dulu, Tuan Ridwan memang menyukai gadis yang berusia jauh lebih muda darinya untuk dijadikan sebagai istri. Menurutnya, menikahi gadis muda akan lebih baik. Karena biasanya gadis-gadis muda dari k
Di Sebuah ruang bawah tanah, di mana tidak ada sinar matahari yang dapat menembus, disertai udara lembab yang berasal dari permukaan tanah yang sedikit tergenang. Di sinilah seseorang sedang mengalami penyiksaan. Bukkkk! Tubuh tua Tuan Gamal terhempas ke tanah, menyebabkan genangan air di permukaannya menyembur. Dentuman keras ikut terdengar ketika Tuan Ridwan mendaratkan sebuah tongkat tepat ke rahang dengan rambut-rambut memutih miliknya. Sudut bibirnya terluka dan mengeluarkan cairan merah segar. Pria itu berlutut memohon belas kasihan. "A-ampun ... Sungguh aku tidak tahu di mana Fatma berada saat ini." Tuan Gamal memelas dengan tubuh gemetar. Tuan Ridwan melayangkan tinjuan berkali-kali, hingga Tuan Gamal merasakan posisi tulang rahangnya seolah bergeser dari tempat yang seharusnya. Tuan Ridwan mendengkus, "Jelas kamu tidak tahu apa-apa! Karena ketidak tahuanmu itulah membuat kamu berada di tempat ini." Dengan sedikit cahaya
Tidak ada pilihan lain kecuali untuk tetap berada di dalam hutan sebelum orang-orang yang berwajah masam itu menghilang dari pandangan Fatma dan Tuan Ayyoub. Hal itu bukan masalah besar bagi Tuan Ayyoub, namun tidak bagi Fatma. Wanita hamil itu sedang dalam kondisi benar-benar lemah. Bibirnya nampak sangat pucat. "Fatma ..!" "..." "Fatma! Kumohon!" Urat-urat kebiruan terlihat jelas di pelipis Tuan Ayyoub. Pria itu menggertakkan giginya dengan wajah yang memerah. Sementara Fatma tidak sekalipun menjawab, bahkan tubuhnya terkulai lemas. Melihat situasi seperti ini, Tuan Ayyoub ingin menjerit saat itu juga untuk meminta pertolongan, akan tetapi kondisinya tidak memungkinkan sama sekali. Orang-orang suruhan Tuan Ridwan sepertinya masih terdengar berkeliaran, dan ini bukan pertanda baik. Lagi-lagi Tuan Ayyoub menepuk-nepuk pipi Fatma secara bergantian, "Tidak, aku tidak ingin melihat ini untuk kedua kalinya. Fatma, kumohon! Fatma, bangunlah!" Tuan
Fatma mengerjap, bulu mata lentiknya bergerak-gerak ketika wanita berparas cantik itu berusaha membuka kedua kelopak mata. Dia membuka matanya yang terasa berat. Sisa rasa sakit menjalar di tubuh mungilnya. Dia tidak tahu sejak kapan dirinya kehilangan kesadaran. Namun, yang pasti dia merasa sudah cukup lama tertidur. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan yang bernuansa putih yang seolah familiar di dalam ingatan. Beberapa hari yang lalu dirinya pernah mengalami kejadian yang sama seperti saat ini. Tidak salah lagi, Fatma mendapati dirinya terbaring di brankar rumah sakit dengan pergelangan tangan yang terpasang selang infus. Ingatannya berputar pada kejadian sebelum dirinya berada di tempat ini. Satu orang yang paling dia ingat adalah sosok Tuan Ayyoub yang selalu melindunginya. Dengan memaksakan diri untuk bangkit, Fatma mencoba mencari keberadaan pria itu di dalam ruangan. Namun, dirinya tidak menemukan siapapun. Pintu ruang perawatan terbuka, Fatma