"Wah ... Tuan hebat sekali!" Fatma berteriak kegirangan ketika melihat Tuan Ridwan begitu lihai menunggangi seekor harimau yang berukuran sangat besar. Sungguh pertunjukan yang tak biasa. Bukankah hewan itu adalah hewan pemangsa. Namun, kehebatan Tuan Ridwan seolah membuat hewan buas itu menjadi selayaknya seekor kucing penurut.
Kedua bibir Fatma terbuka menganga tak henti karena begitu takjub menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan yang ditampilkan di panggung. Baru kali ini remaja cantik itu merasakan dunia luar yang sesungguhnya, yang tidak pernah diperoleh sejak dia kecil.
Riuh tepuk tangan dari pengunjung yang menyaksikan pertunjukan seolah membuat para pemain merasa semakin bersemangat untuk mempertontonkan keahlian mereka. Mulai dari aksi panjat memanjat akrobatik, interaksi dengan hewan buas, bahkan interaksi dengan benda-benda berbahaya seperti lingkaran besi panas berapi.
Beberapa saat setelahnya, pertunjukan berakhir seiring berakhirnya tepukan riuh pengunjung yang sedari tadi terdengar meramaikan suasana. Beberapa pemain terlihat berbenah dan berkemas. Tak terkecuali Tuan Ridwan sendiri. Sementara Fatma ragu untuk melakukan apapun jika tidak mendapatkan instruksi sama sekali dari pria tua yang berstatus sebagai suaminya itu.
Seperti itulah hari-hari baru yang dilalui Fatma. Seolah mempunyai jadwal kegiatan yang teratur, setiap pagi Fatma disibukkan dengan kegiatannya 'mencuri ilmu' di sekolah hingga siang hari. Kembali ke rumah setelahnya untuk sekedar mencuci atau membersihkan rumah, hingga malam menjelang dia kembali melayani kebutuhan sang suami seperti biasanya sebelum mereka kembali menuju tempat pertunjukan.
Dalam waktu singkat, Fatma berhasil mewujudkan salah satu mimpinya. Kini remaja cantik yang telah menikah itu memiliki kemampuan membaca dengan sempurna. Bahkan kini dia bisa menulis dan berhitung.
Namun, hal itu tidak serta-merta membuat seorang Fatma puas. Dia tetap bertekad untuk berusaha lebih baik lagi mempelajari hal-hal apa saja yang perlu dia ketahui. Meskipun tidak sekolah, setidaknya dia tidak ingin digelari sebagai wanita bodoh.
Seiring waktu berlalu, Fatma akhirnya resmi bergabung dengan grup sirkus milik suaminya sendiri, setelah sebelumnya dia berlatih secara otodidak layaknya seorang akrobatik. Hingga dalam waktu singkat dia memiliki kemampuan yang patut diacungi jempol. Sebagai satu-satunya perempuan yang menjadi performer di antara anggota grup yang seluruhnya adalah laki-laki, Fatma menampilkan kemampuannya bak seorang primadona.
"Fatma, tolong ambilkan aku pecut." Pria tua itu menatap Fatma dengan tatapan yang sulit diartikan. Dari gesture yang dia tunjukkan, Tuan Ridwan terlihat bersikap sedikit aneh hari ini. Bahkan sejak semalam raut wajah pria tua itu seolah memendam sebuah perasaan yang Fatma sendiri pun tidak mengerti. Atas perintah sang suami, Fatma memindai ruang ganti yang biasa digunakan para performer sirkus untuk berganti pakaian, mencoba menemukan pecut yang dimaksud oleh Tuan Ridwan.
Sepertinya Tuan Ridwan ingin berlatih dengan hewan-hewan buas peliharaannya. Fatma melongok ke dalam sebuah peti yang berisikan perlengkapan sirkus, berharap menemukan benda itu. Tiba-tiba saja, dari arah belakang Tuan Ridwan muncul dan membuat Fatma terkejut bukan main.
"Bagaimana bisa benda sebesar ini tidak kamu temukan, padahal sudah jelas menggantung di ujung pintu." Dengan menggenggam sebuah pecut yang terlihat kusam, Tuan Ridwan menatap sinis Fatma yang berada di hadapannya. Tatapannya terlihat menyimpan misteri, seolah ada luapan lahar yang sebentar lagi menyembur dari puncak gunung yang tadinya terlihat tenang.
"Ma-maaf ..." Hanya kata itulah yang mampu diucapkan oleh Fatma. Ucapan tulus dari bibir manisnya. Namun, seolah tidak berpengaruh terhadap suasana hati Tuan Ridwan yang terlihat menyimpan amarah.
"Aku pikir kamu merasa nyaman berada disini, bukan?" Pertanyaan Tuan Ridwan terdengar ringan. Namun, sorot matanya menyiratkan kemarahan. Fatma tidak mengerti ke mana arah pembicaraan suaminya itu. Langkah demi langkah terayun dari kedua tungkai kaki pria itu. Menambah kengerian di dalam benak Fatma kala jaraknya semakin mendekat.
"Ma-maksud Tuan?" Fatma mengernyit dengan langkah mundur dengan kaku.
"Percayalah, aku sangat pandai menggunakan pecut ini. Bukankah kamu tahu betapa ahlinya suamimu ini bermain-main dengan binatang buas, hem?"
Fatma semakin tak mengerti apa yang diucapkan suaminya, yang dia tahu bahwa sikap sang suami terlihat akan membahayakan dirinya. Sorot mayata pria itu terlihat menggelap dan tentu itu bukanlah pertanda baik. Fatma hanya mampu mendengarkan tanpa membalas perkataan Tuan Ridwan. Meskipun gusar, dia mencoba untuk tetap bersikap tenang. Namun, pergerakan kakinya yang melangkah mundur menyiratkan bahwa rasa takut itu tak mampu dia sembunyikan.
Sementara itu, langkah demi langkah terdengar dari tapak kaki Tuan Ridwan yang semakin mendominasi suasana.
"Kenapa? Bingung? Lontarkan saja pertanyaan sialanmu jika kamu memang benar-benar penasaran!" Lagi-lagi sikap Tuan Ridwan tidak dapat diprediksi. Tiba-tiba saja pria tua itu bersikap demikian, bahkan selama usia pernikahan mereka, tak sekalipun Fatma menyaksikan sikap kasar Tuan Ridwan, berbeda dari apa yang dia saksikan saat ini.
"Bagaimana menurutmu penampilan semalam, hem? Tuan Ridwan bertanya sambil melanjutkan langkahnya mendekati sang istri yang saat ini benar-benar semakin bingung.
"Ke-kenapa Tuan bertanya soal semalam?" ucap Fatma dengan wajah yang memucat, sementara dia mencoba untuk mengatur embusan napasnya yang pendek. Langkah mundurnya semakin cepat sehingga tersisa jarak kurang dari dua meter di antara kedua pasangan menikah itu.
"Hm ... Bukankah semalam begitu menyenangkan, Fatma? Kamu terlihat sangat cantik. Dan ..." Tiba-tiba saja pecut itu menyentuh tubuh Fatma dengan keras.
Syut!
"Aw ...!" Fatma memekik bersamaan dengan kulit pahanya yang robek akibat pecutan yang dilayangkan sang suami secara tiba-tiba.
"Aku pikir kamu bukan perempuan murahan. Ternyata, kamu berperilaku tak lebih dari seorang jalang." Sekali lagi Tuan Ridwan memecut Fatma layaknya seekor binatang yang biasa dipertontonkan dalam pertunjukan sirkus. Suara pecutan itu nampak menakutkan bagi siapa pun yang mendengar. Namun, bagi Tuan Ridwan suara yang dihasilkan benda panjang di tangannya justru terdengar merdu di indra pendengarannya.
Cambukan kasar diiringi ringisan kesakitan dari mulut Fatma, napas wanita malang itu terengaah-engah menahan perih. Namun, tetap saja dia tidak mampu melawan laju air matanya yang tertumpah.
"Berteriaklah! sebelum pria lain yang membuatmu berteriak di atas ranjang mereka! Bukankah ini juga nikmat, Fatma?"
Rupanya Tuan Ridwan tersulut rasa cemburu karena beberapa pria yang menyaksikan penampilan istrinya di atas panggung memuja bahkan beberapa dari mereka memberikan hadiah. Tanpa peduli, Tuan Ridwan mengacuhkan sebuah fakta bahwa sebenarnya Fatma sama sekali tidak bersalah. Bahkan, Fatma sendiripun beberapa kali menolak pemberian tersebut karena merasa sungkan.
Tuan Ridwan yang kalap memecut istri kecilnya berkali-kali seperti seorang yang sedang kesetanan. Berkali-kali pula Fatma memohon ampun, berteriak kesakitan, berlutut dan menangis pilu. Malang benar nasib seorang Fatma yang harus menanggung hukuman dari kesalahan yang sama sekali tidak ia lakukan. Pria tua itu seakan tidak memiliki hati nurani. Semakin istrinya memohon, semakin bersemagat pula dia memberikan siksaan.
Di dalam ruang berukuran tak terlalu luas itulah yang menjadi saksi bisu ketika Fatma menerima hukuman demi hukuman yang dijatuhkan oleh suaminya sendiri. Fatma tak henti-hentinya memohon, bahkan terdengar sangat menyayat bagi siapa pun yang mendengar.
Tak sampai di situ saja, puas dengan memecut tubuh istrinya, Tuan Ridwan kembali melakukan kekerasan dengan cara yang lain. Si cantik Fatma yang begitu malang dipaksa untuk menuntaskan hasratnya dalam keadaan sekujur tubuh penuh dengan bekas luka cambukan yang terlihat masih basah dan pastinya begitu perih. Perlakuan yang tak pantas dan tak terhormat bahkan lebih buruk dari perilaku binatang buas.
"Rasakan!"ucap Tuan Ridwan dengan seringai kepuasan yang tercetak jelas di wajah tuanya yang masih terlihat tampan tapi menakutkan itu.
Beberapa saat kemudian Fatma yang malang pada akhirnya kehilangan kesadarannya. Miris, iblis berwujud manusia itu justru meninggalkan Fatma dalam keadaan entah masih hidup atau mungkin sudah tidak bernyawa dengan perasaan puas. Fata tergeletak tak berdaya dengan keadaan yang memprihatinkan untuk beberapa saat.
Setelah kepergiannya meninggalkan Fatma begitu saja, salah seorang anggota sirkus yang tak sengaja kembali ke camp menemukan Fatma dengan kondisi tragis. Dia berinisiatif untuk melarikan Fatma ke rumah sakit. Dari kondisi tubuhnya yang seperti itu, jelas sekali menunjukkan bahwa perempuan malang itu telah mengalami penyiksaan di sekujur tubuh. Bahkan sangat jelas tumpahan darah membasahi lantai yang berasal dari area sensitifnya. Tak seorang pun menyangka jika perempuan cantik itu baru saja mengalami penganiayaan oleh suaminya sendiri.
Sesampainya di rumah sakit, dengan sigap seorang dokter memberikan tindakan kepada Fatma yang sudah tidak sadarkan diri. Sementara salah seorang anggota sirkus yang tadinya membawa Fatma ke sana kini sudah meninggalkan bocah malang itu di rumah sakit.
"Keluarga pasien?" Dokter itu pun keluar dari ruangan pemeriksaan untuk memastikan jika ada salah satu anggota keluarga yang menunggu Fatma disana. Namun tak seorang pun menyahut.
Secara kebetulan seorang aparat keamanan melintas di depan pintu pemeriksaan. Dia berada di sana untuk menjaga seorang narapidana yang kehilangan kesadaran akibat serangan dari narapidana lain saat berada di dalam tahanan. Usianya berkisar kurang lebih empat puluh tahun. Pria itu berhenti sejenak menatap sang dokter.
Keduanya bingung dikarenakan tak ada seorang pun yang menyahut, sementara sang dokter masih terus memanggil dengan sebutan 'keluarga pasien'.
Pria yang berprofesi sebagai aparat keamanan itu merasa penasaran. Dia mencoba meminta penjelasan kepada dokter tentang kondisi pasien yang tidak didampingi keluarganya.
"Siapa yang sakit, Dok?" Pria itu bertanya dan mendekat.
Sang dokter membuka masker penutup mulut dan hidung dengan segera, untuk membalas pertanyaan aparat itu, "Pasien perempuan. Sepertinya dia sendiri, Sir. Tidak ada keluarga yang mendampingi. Dari kondisinya terlihat pasien baru saja mengalami penyiksaan."
"Penyiksaan?" Sang aparat menyipitkan kedua matanya dengan dahi yang membentuk garis kerutan tajam. Tentu saja ini sudah termasuk ranah hukum, dan sebagai seorang aparat, tentu dia berhak untuk ikut campur.
"Perkenalkan, saya Sir Badr. Bisa katakan apa yang Anda ketahui?" ucap pria yang mengenakan seragam aparat itu. Dokter Harun mempersilahkan Sir Badr masuk ke dalam ruangan kerjanya untuk membicarakan hal ini secara pribadi.
Keduanya saling berjabat tangan ...
"Maaf, sebelumnya. Perkenalkan, saya Dokter Harun. Tadi ada seseorang membawa perempuan muda itu kemari. Kondisinya memprihatinkan. Saya sendiri tidak tega ketika melihat kondisinya pertama kali dengan luka-luka di tubuhnya." Sejenak Dokter Harun mengamati berkas hasil pemeriksaan yang berada di atas meja kerja. Wajah lelahnya terlihat menunjukkan mimik miris dengan apa yang sudah dia saksikan hari ini.
"Saya pikir luka-luka itu berasal dari cambukan, dan yang lebih parah lagi, sepertinya perempuan muda itu telah mengalami kekerasan seksual. Dia mengalami pendarahan yang cukup hebat. Ini sangat riskan terhadap kehamilannya, apalagi sepertinya dia masih belum cukup umur," jelas Dokter Harun lagi.
"Hamil? Apa dia sudah bersuami? Bukankah dia belum cukup umur seperti yang Anda sampaikan barusan?" Sir Badr mengangkat kedua alisnya seolah tidak menyangka dengan apa yang sedang ia dengar saat ini. "Baiklah, saran saya sebaiknya Anda membuat laporan jika tidak ada seorang pun yang mau bertanggung jawab atas kejadian ini. Seperti yang Anda bilang, bahwa pasien tidak didampingi siapa pun saat ini. Lakukan visum secepatnya, Dok. Saya akan membantu prosesnya, yang terpenting Anda bersedia," ucap Sir Badr.
Tak butuh waktu lama, laporan pun dibuat oleh Dokter Harus dengan mengatas namakan dirinya sebagai masyarakat Desa Assouira, tempat di mana Fatma juga berdomisili. Secepat mungkin pihak berwenang bertindak, dan tentu saja hal ini merupakan masalah besar bagi kehidupan Tuan Ridwan di masa mendatang.
Di sebuah ruang pemeriksaan kepolisian. "Jadi benar bocah itu istrimu?" Tuan Ridwan mau tidak mau harus mempertanggung jawabkan kebodohan yang telah dilakukannya terhadap Fatma. Kali ini bukan hanya tuntutan akibat kekerasan dan penganiayaan yang telah dilakukannya terhadap Fatma, melainkan juga tuntutan pernikahan yang dilakukannya terhadap anak di bawah umur. Bukan hanya Tuan Ridwan yang terlibat, tetapi ayah kandung Fatma sendiri harus ikut terseret di dalam kasus ini. Karena akibat pria yang berstatus sebagai seorang ayah itulah yang membuat putri kecilnya harus menjalani pernikahan di bawah umur. Sementara kondisi Fatma sudah mulai membaik, meskipun masih harus beristirahat secara total. Terlebih lagi saat ini kondisi kandungannya masih sangat lemah. Perempuan malang itu sempat terkejut setelah mengetahui bahwa saat ini dirinya sedang berbadan dua. Yang artinya, dalam waktu dekat dia akan menjadi seorang ibu. Ibu yang sangat muda tentunya.
Tak begitu jauh dari lokasi rumah sakit, Tuan Ayyoub menunggu Fatma dalam kegelapan. Perlahan Fatma mendekati posisi Tuan Ayyoub dengan cara mengendap-ngendap. Khawatir jika ada yang melihatnya, Fatma menutup rambut dengan kerudung hingga sebagian wajahnya yang hanya nampak di bagian mata. "Tuan ...!" ucap Fatma sedikit berbisik. Tuan Ayyoub meletakkan jari telunjuknya tepat di permukaan bibirnya, memberi isyarat kepada Fatma agar tak berisik. Matanya mengerling ke arah kiri dan kanan, kalau-kalau saja ada orang lain yang mengetahui rencana mereka berdua. "Ayo, Nona." Dia meraih tangan Fatma, menggandeng tangan kurus itu agar segera beranjak pergi secepat mungkin. Spanyol, negara itulah yang akan dijadikan tujuan. Negara terdekat yang dapat mereka tuju untuk sementara waktu. Tanpa identitas apapun yang mereka miliki. Terutama bagi Fatma, tak satupun dokumen yang dia bawa untuk menunjukkan identitasnya jika sewaktu-waktu tertangkap oleh pihak imigrasi
*** Tiga tahun yang lalu. Tubuh ringkih Mauza babak belur berkali-kali dicambuk oleh sang suami. Tuan Ridwan yang memiliki gangguan Bipolar Disorder sejak kecil itu tanpa rasa bersalah terus saja melayangkan cambukannya kepada istrinya yang baru berusia lima belas tahun. Wanita muda itu bahkan sudah tersengal-sengal dengan tenaganya yang semakin melemah. Mauza berulang kali memohon ampun untuk terbebas dari siksaan yang mendera. Ini bukanlah pengalaman pertama bagi Mauza mendapatkan penyiksaan dari sang suami. Namun, untuk kali ini sepertinya Tuan Ridwan sudah terlalu kalap. Dia sendiri pun tak mampu lagi mengontrol emosinya. Setiap kali cambukan mengenai tubuh Mauza, ada perasaan puas yang membuat Tuan Ridwan ingin melakukannya lagi dan lagi. Sejak dulu, Tuan Ridwan memang menyukai gadis yang berusia jauh lebih muda darinya untuk dijadikan sebagai istri. Menurutnya, menikahi gadis muda akan lebih baik. Karena biasanya gadis-gadis muda dari k
Di Sebuah ruang bawah tanah, di mana tidak ada sinar matahari yang dapat menembus, disertai udara lembab yang berasal dari permukaan tanah yang sedikit tergenang. Di sinilah seseorang sedang mengalami penyiksaan. Bukkkk! Tubuh tua Tuan Gamal terhempas ke tanah, menyebabkan genangan air di permukaannya menyembur. Dentuman keras ikut terdengar ketika Tuan Ridwan mendaratkan sebuah tongkat tepat ke rahang dengan rambut-rambut memutih miliknya. Sudut bibirnya terluka dan mengeluarkan cairan merah segar. Pria itu berlutut memohon belas kasihan. "A-ampun ... Sungguh aku tidak tahu di mana Fatma berada saat ini." Tuan Gamal memelas dengan tubuh gemetar. Tuan Ridwan melayangkan tinjuan berkali-kali, hingga Tuan Gamal merasakan posisi tulang rahangnya seolah bergeser dari tempat yang seharusnya. Tuan Ridwan mendengkus, "Jelas kamu tidak tahu apa-apa! Karena ketidak tahuanmu itulah membuat kamu berada di tempat ini." Dengan sedikit cahaya
Tidak ada pilihan lain kecuali untuk tetap berada di dalam hutan sebelum orang-orang yang berwajah masam itu menghilang dari pandangan Fatma dan Tuan Ayyoub. Hal itu bukan masalah besar bagi Tuan Ayyoub, namun tidak bagi Fatma. Wanita hamil itu sedang dalam kondisi benar-benar lemah. Bibirnya nampak sangat pucat. "Fatma ..!" "..." "Fatma! Kumohon!" Urat-urat kebiruan terlihat jelas di pelipis Tuan Ayyoub. Pria itu menggertakkan giginya dengan wajah yang memerah. Sementara Fatma tidak sekalipun menjawab, bahkan tubuhnya terkulai lemas. Melihat situasi seperti ini, Tuan Ayyoub ingin menjerit saat itu juga untuk meminta pertolongan, akan tetapi kondisinya tidak memungkinkan sama sekali. Orang-orang suruhan Tuan Ridwan sepertinya masih terdengar berkeliaran, dan ini bukan pertanda baik. Lagi-lagi Tuan Ayyoub menepuk-nepuk pipi Fatma secara bergantian, "Tidak, aku tidak ingin melihat ini untuk kedua kalinya. Fatma, kumohon! Fatma, bangunlah!" Tuan
Fatma mengerjap, bulu mata lentiknya bergerak-gerak ketika wanita berparas cantik itu berusaha membuka kedua kelopak mata. Dia membuka matanya yang terasa berat. Sisa rasa sakit menjalar di tubuh mungilnya. Dia tidak tahu sejak kapan dirinya kehilangan kesadaran. Namun, yang pasti dia merasa sudah cukup lama tertidur. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan yang bernuansa putih yang seolah familiar di dalam ingatan. Beberapa hari yang lalu dirinya pernah mengalami kejadian yang sama seperti saat ini. Tidak salah lagi, Fatma mendapati dirinya terbaring di brankar rumah sakit dengan pergelangan tangan yang terpasang selang infus. Ingatannya berputar pada kejadian sebelum dirinya berada di tempat ini. Satu orang yang paling dia ingat adalah sosok Tuan Ayyoub yang selalu melindunginya. Dengan memaksakan diri untuk bangkit, Fatma mencoba mencari keberadaan pria itu di dalam ruangan. Namun, dirinya tidak menemukan siapapun. Pintu ruang perawatan terbuka, Fatma
Deru napas menggema di dalam ruang bawah tanah tanpa penerangan yang memadai. Tuan Gamal mencoba menggali untuk melarikan diri. Berharap dirinya dapat keluar dari penjara bawah tanah milik si Iblis, Tuan Ridwan. Tak seorang pun penduduk mengetahui wujud asli Tuan Ridwan yang tak ubahnya seperti iblis berwujud manusia, kecuali anak buah dan orang-orang yang pernah bermasalah dengannya. Tuan Gamal bergidik ngeri setelah melihat begitu banyak tulang belulang manusia berserakan di dalam ruang pengap itu. Tak hanya satu atau dua tengkorak manusia yang dia lihat, melainkan puluhan atau mungkin lebih dari itu. Sangat memungkinkan tak ada satu orang pun yang berhasil terbebas dari penyiksaan Tuan Gamal. Andaipun ada, sudah pasti kedoknya akan terbongkar. Tidak, Tuan Gamal tidak ingin berakhir dengan mengenaskan seperti korban-korban yang lain. Sungguh dia menyesali akan tindakan yang dia ambil sebelumnya untuk terlibat dengan kehidupan pria kejam itu. Meski demikian, tidak a
Sepertinya Soraya sudah salah memprediksi jika tindakan yang dia ambil akan menguntungkan dirinya. Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang dia harapkan. Apabila Dokter Farouk mengetahui bahwa dirinya sudah membocorkan keberadaan Fatma kepada Tuan Ridwan, pria yang dia cintai itu pasti akan benar-benar membencinya. Tidak, Soraya harus bertindak dengan benar kali ini. Setidaknya dia masih memiliki sisi baik. Dia merutuki dirinya sendiri yang sudah bertindak bodoh tanpa mempertimbangkan akibat yang akan terjadi. Andai saja waktu bisa diulang kembali, tentu Soraya akan memperbaiki kekacauan yang telah ia ciptakan. Setelah mendengar pernyataan Fatma sebelumnya, Soraya justru malu dan menyesal karena telah berprasangka buruk. Fatma tidak seharusnya menanggung semua ini hanya karena Dokter Farouk memberikan perhatian lebih terhadap wanita itu. "Apa yang terjadi padamu?" Fatma melihat kegugupan di mata Soraya yang terjadi secara tiba-tiba. Soraya
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-