Tak begitu jauh dari lokasi rumah sakit, Tuan Ayyoub menunggu Fatma dalam kegelapan. Perlahan Fatma mendekati posisi Tuan Ayyoub dengan cara mengendap-ngendap. Khawatir jika ada yang melihatnya, Fatma menutup rambut dengan kerudung hingga sebagian wajahnya yang hanya nampak di bagian mata.
"Tuan ...!" ucap Fatma sedikit berbisik.
Tuan Ayyoub meletakkan jari telunjuknya tepat di permukaan bibirnya, memberi isyarat kepada Fatma agar tak berisik. Matanya mengerling ke arah kiri dan kanan, kalau-kalau saja ada orang lain yang mengetahui rencana mereka berdua.
"Ayo, Nona." Dia meraih tangan Fatma, menggandeng tangan kurus itu agar segera beranjak pergi secepat mungkin.
Spanyol, negara itulah yang akan dijadikan tujuan. Negara terdekat yang dapat mereka tuju untuk sementara waktu. Tanpa identitas apapun yang mereka miliki. Terutama bagi Fatma, tak satupun dokumen yang dia bawa untuk menunjukkan identitasnya jika sewaktu-waktu tertangkap oleh pihak imigrasi yang berjaga di setiap pelabuhan. Sebelum menuju Spanyol, mereka harus menempuh perjalan ke kota Tangier terlebih dahulu. Di sana terdapat sebuah pelabuhan tepi laut Mediterania yang menghubungkan negara Maghribi dengan Spanyol.
Jarak kota Assouira menuju pelabuhan Tangier membutuhkan waktu kurang lebih enam jam jika menggunakan kendaraan roda empat. Akan tetapi, sebelumnya mereka harus melewati pusat kota Marrakech terlebih dahulu. Berarti, bagi mereka yang tidak memiliki kendaraan harus bersedia menempuh waktu yang lebih lama. Belum lagi penyeberangan dari Kota Tangier menuju Spanyol memakan waktu sekitar lima puluh menit menggunakan boat dengan kecepatan tinggi. Perjalanan yang cukup melelahkan jika harus dibayangkan seberapa jauh jaraknya.
"Makanlah ..." Tuan Ayyoub menyerahkan sebungkus roti sambil berjalan beriringan dengan Fatma di dalam kegelapan. Melintasi hutan yang jika dipikir-pikir hutan itu terlihat menyeramkan. Namun, bagi Fatma wajah Tuan Ridwan jauh lebih menyeramkan dari apapun yang dia takutkan, terlebih lagi ketika peristiwa penganiayaan itu terjadi.
Hanya melalui hutan itulah akses teraman bagi keduanya agar tidak mudah terlacak oleh siapa pun. Jarak yang ditempuh untuk keluar menemukan tumpangan di jalan raya membutuhkan setidaknya delapan jam dengan berjalan kaki. Setelahnya, mereka berdua akan mencari tumpangan gratis untuk bisa sampai ke pelabuhan Tangier sebelum menyeberang ke Spanyol. Berbekal sedikit uang dan beberapa lembar roti yang dibawa oleh Tuan Ayyoub, mereka berharap tiba tepat waktu dan tanpa ada rintangan yang berarti.
Sesekali Fatma berjongkok di tengah-tengah perjalanan. Kondisi kesehatan yang belum sepenuhnya pulih, membuat perempuan berbadan dua itu mudah kelelahan. Belum lagi kehamilannya yang masih muda membuat beberapa bagian tubuhnya terasa tidak nyaman. Namun, sekuat tenaga dia mencoba untuk bertahan. Beruntung Tuan Ayyoub dengan sabar mengimbangi langkah-langkah Fatma yang lambat sehingga membutuhkan waktu lebih lama agar segera keluar dari hutan itu menuju jalan utama.
"Mau kugendong?" tawar Tuan Ayyoub. Fatma menggeleng menolaknya, meskipun dia merasakan lelah yang teramat sangat.
"Aku masih sanggup, Tuan. Terimakasih," ucapnya dengan suara melemah bersamaan dengan ulasan senyum yang dipaksakan.
Wajah Fatma semakin memucat. Bulir-bulir keringat berjatuhan seiring hentakan langkah kaki kecilnya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Ayyoub. Pelarian mereka akan sia-sia jika hidup Fatma berakhir di tempat ini. Khawatir jika kondisi Fatma semakin lemah, tanpa persetujuan Fatma, pria itu tiba-tiba memanggulnya ke atas punggung. Fatma yang terkejut dan tak mampu menolak hanya terdiam menerima bantuan Ayyoub. Tubuh lemahnya tak sanggup untuk memberikan reaksi untuk dilepaskan.
"Jika Tuan lelah, turunkan saja aku." bisiknya dengan embusan napas yang pendek. Tak ada jawaban dari Tuan Ayyoub atas ucapan Fatma. Pria itu tetap melangkah secepat mungkin agar tidak membuang-buang waktu. Sesaat setelahnya, terdengar napas yang berangsur teratur di telinga Tuan Ayyoub. Senyum tipis terukir dari pria baik hati itu manakala menyadari bahwa wanita berbadan dia yang kini berada di atas punggungnya seolah sedang tertidur.
Entah terbuat dari apa hati seorang Tuan Ayyoub. Pria bertubuh tegap dengan wajah tampan itu benar-benar tulus memberikan pertolongan kepada Fatma. Di mata Fatma, meski mereka tidak memiliki ikatan pertalian darah sama sekali, akan tetapi Tuan Ayyoub tak mampu menyaksikan jika Fatma kembali mengalami penyiksaan dari suaminya. Tuan Ayyoub sangat mengenal Tuan Ridwan. Pria paruh baya yang menjadi suami Fatma itu terkenal dengan sifatnya yang dingin, dan hanya orang-orang terdekat lah yang mengetahui karakter Tuan Ridwan yang sesungguhnya, termasuk Tuan Ayyoub sendiri sebagai orang kepercayaannya.
Kejadian dimana mendiang istri Tuan Ridwan meregang nyawa, masih jelas terbayang di mata Tuan Ayyoub yang saat itu menjadi saksi mata. Dia tak ingin kejadian serupa kembali terulang, terutama jika itu terjadi dengan Fatma.
Setelah beberapa jam berlalu, Tuan Ayyoub yang sudah kelelahan memilih untuk berhenti sejenak. Mencari tempat yang nyaman untuk sekedar beristirahat, sebelum melanjutkan perjalanan yang masih jauh itu. Diletakkannya tubuh Fatma di sisi akar pohon yang batangnya menjulang tinggi. Tuan Ayyoub mendongak ke atas, samar-samar telihat langit yang hanya diterangi cahaya bulan dari sela-sela dedaunan. Dia mengarahkan pandangan ke arah pantulan cahaya yang mengenai wajah Fatma. Napas kasar terdengar berembus sejenak dari indra penciuman Tuan Ayyoub. Seolah memikirkan sesuatu, guratan wajahnya menyiratkn bahwa betawa wanita malang itu kini sedang berlarian di dalam pikiran Tuan Ayyoub. Tanpa dia sadari matanya tiba-tiba berkabut dan basah dengan dagu yang gemetar.
Fatma yang masih dalam kondisi tertidur perlahan mengerjap karena merasakan posisi tubuhnya telah berubah.
"Tuan?" ucapnya sambil melemparkan pandangan kepada Tuan Ayyoub yang deru napasnya terlihat tersengal-sengal. Cepat-cepat Tuan Ayyoub berpaling dan menghapus sisa air mata yang sempat hadir danmasih menempel di sudut matanya.
Dia berdehem mengalihkan perhatian Fatma yang sempat mendengar suara isak yang tertahan. Tuan Ayyoub kemudian mengeluarkan sisa bekal yang dia bawa. Menyerahkan selembar roti yang tersisa kepada Fatma dengan air minum yang sudah hampir habis.
"Kita belum sampai ke tujuan, Nona. Kau pasti lapar!" ucapnya dengan tulus.
"Panggil aku Fatma saja, Tuan. Jangan panggil saya Nona," jawab Fatma.
Tanpa berucap, Tuan Ayyoub hanya mengangguk. Pria itu mengalungkan kedua lengan di sisi lututnya yang menekuk. Sisa makanan yang dia miliki telah diserahkannya untuk Fatma. Sementara jika boleh jujur, saat ini perutnya juga tengah meronta-ronta untuk diisi makanan.
Fatma merobek selembar roti di tangannya menjadi dua bagian, "Makanlah Tuan."
"Tidak, Nona. Eh, maksudku Fatma. Makan saja. Kamu membutuhkannya. Kamu sedang mengandung, dan anakmu itu pasti kelaparan juga." Tuan Ayyoub menolak meski suara perutnya tiba-tiba saja terdengar.
"Kita makan bersama, lagi pula aku tidak terlalu lapar. Aku hanya sedikit lelah," pinta Fatma bersikeras dengan menjulurkan tanganntya yang memegangi roti. Hal itu membuat Tuan Ayyoub tak mampu lagi menolak.
Mereka berdua makan dalam keheningan. Hanya cahaya temaram yang berasal dari sinar rembulan menerangi keduanya. Suara-suara binatang malam sesekali membuat suasana sedikit menakutkan. Namun, tekad mereka berdua sudah tak terkalahkan dengan rasa takut dengan suasana malam itu. Hanya ada pengharapan yang menghiasi setiap langkah keduanya. Pengharapan yang mungkin saja membawa nasib mereka berdua jauh lebih baik dari pada sebelumnya.
"Tuan, mengapa kau mau bersusah-susah membantuku?" Fatma membuka suaranya. Jujur saja masih ada rasa khawatir di dalam hati Fatma. Selama ini ia selalu saja dihadapkan dengan orang-orang yang berhati jahat seperti ayahnya sendiri, kedua ibu tiri, dan suaminya. Lalu tiba-tiba saja hadir seseorang yang berhati mulia bak pahlawan, padahal hubungan mereka tak lebih dari sekedar partner kerja ketika keduanya masih menjadi anggota sirkus milik Tuan Ridwan.
Cukup lama tak terdengar jawaban dari mulut Tuan Ayyoub. Selama itu pula Fatma menantikan reaksi dari pria yang saat ini berada di dekatnya. Sorotan matanya tak putus mengarah ke wajah Tuan Ayyoub yang setia menunduk memandangi permukaan tanah dengan tatapan kosong. Hingga saat itu tiba, Tuan Ayyoub pada akhirnya menjawab.
"Aku tidak memiliki alasan untuk itu, Fatma. Aku hanya menyayangimu." Kedua mata Fatma melebar mendengar ucapan Tuan Ayyoub. Tidak mungkin jika pria ini menyukainya sebagai lawan jenis.
"Jangan menyimpulkan sesuatu yang kamu belum yakini. Aku menyayangimu seperti anak kandungku sendiri," lanjut Tuan Ayyoub.
"... Apa kamu mau mendengarkan ceritaku?" tanya Tuan Ayyoub.
Fatma hanya mengangguk. Sejenak Tuan Ayyoub tidak melanjutkan ucapannya. Nampak berpikir atau mungkin sedang mengingat-ingat sebuah kejadian.
"Apa kamu tahu, aku ini adalah orang yang paling setia dengan suamimu?" lanjut pria itu.
Fatma tidak menunjukkan reaksi apapun. Tentu saja dia sedikit khawatir dengan ucapan singkat dari Tuan Ayyoub. Sebagai seorang yang paling setia terhadap Tuan Ridwan, bukankah bisa saja Tuan Ayyoub memihak suami tuanya itu dan melancarkan rencana buruk terhadap Fatma. Atau bisa saja Tuan Ayyoub membawanya ke hutan ini untuk mengeksekusinya agar lenyap untuk selamanya atas perintah sang majikan.
Fatma sempat mengernyit. Entah apa yang akan dia lakukan setelah ini jika memang benar Tuan Ayyoub memiliki rencana buruk terhadapnya. Tiba-tiba tengkuknya meremang, khawatir dengan apa yang mungkin akan dia hadapi setelah ini.
"Tapi kesetiaanku itulah yang membuatku merasa begitu bersalah hingga saat ini." Pria itu terus saja melanjutkan ucapannya tanpa menatap wajah lawan bicaranya. Sementara Fatma begitu penasaran dengan maksud dan tujuan Tuan Ayyoub. Rasanya sedikit lega setelah Tuan Ayyoub meneruskan ucapannya.
"Aku yakin kamu khawatir, dan tentu saja hal itu sangat wajar, Fatma. Aku harap kamu tidak mudah percaya kepada siapa pun setelah ini. Kamu harus waspada. Jadilah wanita yang tangguh. Jangan lemah!" Tuan Ayyoub menekankan setiap kalimat yang dia ucapkan.
"... Tuan Ridwan sebenarnya adalah orang baik. Aku pikir, dia akan melindungimu seperti yang pernah dia lakukan padaku di masa lalu. Tapi ..."
*** Tiga tahun yang lalu. Tubuh ringkih Mauza babak belur berkali-kali dicambuk oleh sang suami. Tuan Ridwan yang memiliki gangguan Bipolar Disorder sejak kecil itu tanpa rasa bersalah terus saja melayangkan cambukannya kepada istrinya yang baru berusia lima belas tahun. Wanita muda itu bahkan sudah tersengal-sengal dengan tenaganya yang semakin melemah. Mauza berulang kali memohon ampun untuk terbebas dari siksaan yang mendera. Ini bukanlah pengalaman pertama bagi Mauza mendapatkan penyiksaan dari sang suami. Namun, untuk kali ini sepertinya Tuan Ridwan sudah terlalu kalap. Dia sendiri pun tak mampu lagi mengontrol emosinya. Setiap kali cambukan mengenai tubuh Mauza, ada perasaan puas yang membuat Tuan Ridwan ingin melakukannya lagi dan lagi. Sejak dulu, Tuan Ridwan memang menyukai gadis yang berusia jauh lebih muda darinya untuk dijadikan sebagai istri. Menurutnya, menikahi gadis muda akan lebih baik. Karena biasanya gadis-gadis muda dari k
Di Sebuah ruang bawah tanah, di mana tidak ada sinar matahari yang dapat menembus, disertai udara lembab yang berasal dari permukaan tanah yang sedikit tergenang. Di sinilah seseorang sedang mengalami penyiksaan. Bukkkk! Tubuh tua Tuan Gamal terhempas ke tanah, menyebabkan genangan air di permukaannya menyembur. Dentuman keras ikut terdengar ketika Tuan Ridwan mendaratkan sebuah tongkat tepat ke rahang dengan rambut-rambut memutih miliknya. Sudut bibirnya terluka dan mengeluarkan cairan merah segar. Pria itu berlutut memohon belas kasihan. "A-ampun ... Sungguh aku tidak tahu di mana Fatma berada saat ini." Tuan Gamal memelas dengan tubuh gemetar. Tuan Ridwan melayangkan tinjuan berkali-kali, hingga Tuan Gamal merasakan posisi tulang rahangnya seolah bergeser dari tempat yang seharusnya. Tuan Ridwan mendengkus, "Jelas kamu tidak tahu apa-apa! Karena ketidak tahuanmu itulah membuat kamu berada di tempat ini." Dengan sedikit cahaya
Tidak ada pilihan lain kecuali untuk tetap berada di dalam hutan sebelum orang-orang yang berwajah masam itu menghilang dari pandangan Fatma dan Tuan Ayyoub. Hal itu bukan masalah besar bagi Tuan Ayyoub, namun tidak bagi Fatma. Wanita hamil itu sedang dalam kondisi benar-benar lemah. Bibirnya nampak sangat pucat. "Fatma ..!" "..." "Fatma! Kumohon!" Urat-urat kebiruan terlihat jelas di pelipis Tuan Ayyoub. Pria itu menggertakkan giginya dengan wajah yang memerah. Sementara Fatma tidak sekalipun menjawab, bahkan tubuhnya terkulai lemas. Melihat situasi seperti ini, Tuan Ayyoub ingin menjerit saat itu juga untuk meminta pertolongan, akan tetapi kondisinya tidak memungkinkan sama sekali. Orang-orang suruhan Tuan Ridwan sepertinya masih terdengar berkeliaran, dan ini bukan pertanda baik. Lagi-lagi Tuan Ayyoub menepuk-nepuk pipi Fatma secara bergantian, "Tidak, aku tidak ingin melihat ini untuk kedua kalinya. Fatma, kumohon! Fatma, bangunlah!" Tuan
Fatma mengerjap, bulu mata lentiknya bergerak-gerak ketika wanita berparas cantik itu berusaha membuka kedua kelopak mata. Dia membuka matanya yang terasa berat. Sisa rasa sakit menjalar di tubuh mungilnya. Dia tidak tahu sejak kapan dirinya kehilangan kesadaran. Namun, yang pasti dia merasa sudah cukup lama tertidur. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan yang bernuansa putih yang seolah familiar di dalam ingatan. Beberapa hari yang lalu dirinya pernah mengalami kejadian yang sama seperti saat ini. Tidak salah lagi, Fatma mendapati dirinya terbaring di brankar rumah sakit dengan pergelangan tangan yang terpasang selang infus. Ingatannya berputar pada kejadian sebelum dirinya berada di tempat ini. Satu orang yang paling dia ingat adalah sosok Tuan Ayyoub yang selalu melindunginya. Dengan memaksakan diri untuk bangkit, Fatma mencoba mencari keberadaan pria itu di dalam ruangan. Namun, dirinya tidak menemukan siapapun. Pintu ruang perawatan terbuka, Fatma
Deru napas menggema di dalam ruang bawah tanah tanpa penerangan yang memadai. Tuan Gamal mencoba menggali untuk melarikan diri. Berharap dirinya dapat keluar dari penjara bawah tanah milik si Iblis, Tuan Ridwan. Tak seorang pun penduduk mengetahui wujud asli Tuan Ridwan yang tak ubahnya seperti iblis berwujud manusia, kecuali anak buah dan orang-orang yang pernah bermasalah dengannya. Tuan Gamal bergidik ngeri setelah melihat begitu banyak tulang belulang manusia berserakan di dalam ruang pengap itu. Tak hanya satu atau dua tengkorak manusia yang dia lihat, melainkan puluhan atau mungkin lebih dari itu. Sangat memungkinkan tak ada satu orang pun yang berhasil terbebas dari penyiksaan Tuan Gamal. Andaipun ada, sudah pasti kedoknya akan terbongkar. Tidak, Tuan Gamal tidak ingin berakhir dengan mengenaskan seperti korban-korban yang lain. Sungguh dia menyesali akan tindakan yang dia ambil sebelumnya untuk terlibat dengan kehidupan pria kejam itu. Meski demikian, tidak a
Sepertinya Soraya sudah salah memprediksi jika tindakan yang dia ambil akan menguntungkan dirinya. Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang dia harapkan. Apabila Dokter Farouk mengetahui bahwa dirinya sudah membocorkan keberadaan Fatma kepada Tuan Ridwan, pria yang dia cintai itu pasti akan benar-benar membencinya. Tidak, Soraya harus bertindak dengan benar kali ini. Setidaknya dia masih memiliki sisi baik. Dia merutuki dirinya sendiri yang sudah bertindak bodoh tanpa mempertimbangkan akibat yang akan terjadi. Andai saja waktu bisa diulang kembali, tentu Soraya akan memperbaiki kekacauan yang telah ia ciptakan. Setelah mendengar pernyataan Fatma sebelumnya, Soraya justru malu dan menyesal karena telah berprasangka buruk. Fatma tidak seharusnya menanggung semua ini hanya karena Dokter Farouk memberikan perhatian lebih terhadap wanita itu. "Apa yang terjadi padamu?" Fatma melihat kegugupan di mata Soraya yang terjadi secara tiba-tiba. Soraya
"Sisir tempat ini, dan pastikan kalian menemukan istriku!" perintah Tuan Ridwan dengan nada datar, "juga si Brengsek itu!" "Baik, Tuan." Serempak anak buah yang datang bersama Tuan Ridwan menyahut. Satu per satu anak buah Tuan Ridwan menyusuri setiap bangsal. Tak terkecuali kamar kecil sekalipun. Akan tetapi keberadaan Fatma dan tuan Ayyoub tidak ditemukan sama sekali. Hingga salah satu ruangan dibuka dengan paksa. Ruangan itu adalah tempat perawatan Fatma sebelumnya. Ya, Fatma masih berada di dalam ruangan itu. Namun, kondisinya saat ini sedang berpura-pura meninggal. Pada saat pintu kamar dibuka, saat itu pula brankar didorong oleh Dokter Farouk. Rencananya, mereka baru saja akan bergerak untuk meninggalkan tempat itu. Namun, pergerakannya harus terhenti disebabkan oleh kedatangan para perusuh yang dikepalai oleh Tuan Ridwan. Tuan Ridwan juga berada di dalam ruangan yang sama. Hanya ruangan itulah yang tersisa setelah ruangan lain telah mereka periksa satu
"Kita mungkin sudah terbebas dari orang-orang itu, tapi bagaimana dengan nasib Tuan Ayyoub?" Fatma menunjukkan ekspresi cemas di wajahnya. Sesaat setelahnya, pria yang dimaksud tiba-tiba saja muncul di hadapan Fatma, namun penampilannya nyaris tak dapat dikenali. Pria itu lebih cocok disebut sebagai mummy yang berasal dari tanah Giza. Fatma tercengang sesaat sebelum pria itu membuka suara, "Senang melihatmu dalam keadaan selamat, Fatma." Fatma tahu benar suara siapa yang baru saja terdengar. Tentu saja pria itu adalah Tuan Ayyoub. Apa lagi ini? Mengapa Tuan Ayyoub membalut seluruh tubuhnya dengan kain kasa. Tuan Ayyoub tertawa renyah, "beruntung kita diselamatkan oleh Nona Soraya. Dia benar-benar pandai mengelabui penjahat-penjahat itu. Bahkan si Tua Tuan Ridwan mengira aku adalah korban yang selamat dari kebakaran. Tuan Ayyoub terkekeh. "Bibi, apakah dirimu yang mengajari putrimu untuk berakting. Kalian berdua adalah sepasang ibu dan anak yang