"Sisir tempat ini, dan pastikan kalian menemukan istriku!" perintah Tuan Ridwan dengan nada datar, "juga si Brengsek itu!"
"Baik, Tuan." Serempak anak buah yang datang bersama Tuan Ridwan menyahut. Satu per satu anak buah Tuan Ridwan menyusuri setiap bangsal. Tak terkecuali kamar kecil sekalipun. Akan tetapi keberadaan Fatma dan tuan Ayyoub tidak ditemukan sama sekali. Hingga salah satu ruangan dibuka dengan paksa. Ruangan itu adalah tempat perawatan Fatma sebelumnya. Ya, Fatma masih berada di dalam ruangan itu.
Namun, kondisinya saat ini sedang berpura-pura meninggal. Pada saat pintu kamar dibuka, saat itu pula brankar didorong oleh Dokter Farouk. Rencananya, mereka baru saja akan bergerak untuk meninggalkan tempat itu. Namun, pergerakannya harus terhenti disebabkan oleh kedatangan para perusuh yang dikepalai oleh Tuan Ridwan.
Tuan Ridwan juga berada di dalam ruangan yang sama. Hanya ruangan itulah yang tersisa setelah ruangan lain telah mereka periksa satu
"Kita mungkin sudah terbebas dari orang-orang itu, tapi bagaimana dengan nasib Tuan Ayyoub?" Fatma menunjukkan ekspresi cemas di wajahnya. Sesaat setelahnya, pria yang dimaksud tiba-tiba saja muncul di hadapan Fatma, namun penampilannya nyaris tak dapat dikenali. Pria itu lebih cocok disebut sebagai mummy yang berasal dari tanah Giza. Fatma tercengang sesaat sebelum pria itu membuka suara, "Senang melihatmu dalam keadaan selamat, Fatma." Fatma tahu benar suara siapa yang baru saja terdengar. Tentu saja pria itu adalah Tuan Ayyoub. Apa lagi ini? Mengapa Tuan Ayyoub membalut seluruh tubuhnya dengan kain kasa. Tuan Ayyoub tertawa renyah, "beruntung kita diselamatkan oleh Nona Soraya. Dia benar-benar pandai mengelabui penjahat-penjahat itu. Bahkan si Tua Tuan Ridwan mengira aku adalah korban yang selamat dari kebakaran. Tuan Ayyoub terkekeh. "Bibi, apakah dirimu yang mengajari putrimu untuk berakting. Kalian berdua adalah sepasang ibu dan anak yang
Dokter Farouk membisu dalam lamunannya sendiri. Tangannya mungkin terlihat sibuk membuka lilitan perban di tubuh Tuan Ayyoub. Akan tetapi pikirannya berada di tempat lain. Fatma akan segera pergi dari tempat itu. Namun wanita muda yang sudah menyisakan tempat di hati Dokter Farouk itu meninggalkan kesan yang berbeda di matanya. "Semua akan ada waktunya, Dok." Ucapan Tuan Ayyoub secara tiba-tiba membuyarkan lamunan Dokter Farouk. "Hah?" Pria yang sejak tadi memikirkan Fatma itu menyatukan kedua alis hitamnya, "Maksud Anda?" Tuan Ayyoub tersenyum, "Aku mengerti perasaanmu, Dok. Siapapun pasti bisa melihat seperti apa dirimu memandang Fatma." Dokter Farouk tersenyum getir. Dia tidak sanggup mengucapkan apapun saat ini. "Sejak kecil Fatma mengalami begitu banyak kejadian buruk, dan semua itu dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Jadi wajar jika dia mengalami trauma." Tuan Ayyoub menceritakan kehidupan Fatma sejak wanita itu ditinggal pergi
Tidak butuh waktu lama untuk tiba di Kota Tangier. Estimasi yang seharusnya mencapai kurang lebih enam jam, dapat mereka tempuh hanya dalam waktu empat jam. Wajar saja, mobil jenazah yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Tangier, merupakan kota sejarah yang terkenal dengan segala keindahannya. Kota dengan bangunan yang bernuansa Eropa karena di antara kota ini dan negara Spanyol hanya dipisahkan oleh Selat Gibraltar. Kebudayaan kental Maghribi berpadu dengan akulturasi gaya arsitektur Moor khas Spanyol membuat kota paling utara Benua Afrika ini terlihat sangat unik. "Aku pernah mendengar betapa cantiknya kota ini saat aku bertemu dengan seseorang di pasar." Wajah cantik Fatma berbinar menatap sekeliling kota yang menjadi persinggahannya saat ini. Dia memejamkan mata dan menghirup udara kebebasan dalam-dalam sebelum kembali menatap keindahan di sekitar, "ternyata apa yang dia ucapkan tidak begitu indah dibandingkan dengan apa yang aku lihat sekarang.
"Di sini kita tidak akan kelaparan. Banyak orang-orang baik di kota ini." setelah mengakhiri santapan mereka. Tuan Ayyoub memilih untuk bersantai sejenak menikmati kenangan yang pernah menjadi masa lalunya di tempat ini. Di sisi luar kedai terdapat banyak pedagang emperan yang menjual berbagai macam sayuran segar. Wajah cantik wanita yang begitu ia cintai sekilas melintas di hadapannya. Wanita itu terlihat sedang menawar belanjaan dari seorang pedagang dengan senyum manisnya. Ya, itu hanyalah bayangan masa lalu yang pernah dialami Tuan Ayyoub di tempat yang sama. "Ya, aku bisa melihatnya, Tuan. Tentu saja Tuan sangat mengenal tempat ini. Bahkan sangat wajar jika Tuan memiliki banyak teman di sini." Tuan Ayyoub: "..." "Jadi, apa yang akan kita lakukan setelah ini?" lanjut Fatma. Pria itu mengembuskan nafasnya perlahan, "Tempat ini sangat nyaman, Fatma. Jika aku boleh memilih, aku ingin mengajakmu menetap di sini. Tapi, sepertinya ini tidak mungkin. Aku
Fatma masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Perjalanan selama berada di dalam kapal ferry terasa begitu cepat. Seharusnya wanita muda itu sedang menikmati moment kebebasan bersama Tuan Ayyoub saat ini. Akan tetapi, pria itu tiba-tiba saja memutuskan untuk meninggalkan tanpa penjelasan apapun. Tak lama setelah kapal menepi ke daratan, sesuai perkataan Tuan Ayyoub sebelumnya, seseorang telah menunggu Fatma di sisi loket imigrasi. Proses pengecekan dokumen pun berlangsung cepat. Tidak ada kecurigaan sama sekali bagi petugas ketika memeriksa dokumen milik Fatma. "Nona, Fatma?" Seorang pria sedikit lebih muda dari usia Tuan Ayyoub sedang menyapanya dengan suara yang terdengar cukup ramah. Pria itu memiliki kulit cerah, dengan iris mata berwarna kebiruan. Tubuh tegap dan tinggi besar seperti seorang pengawal pribadi orang-orang penting. Pakaian yang dia kenakan mecetak dengan jelas bentuk tubuh atletisnya. "Maghriby?" Fatma memberanikan diri memberikan pertanya
Papper bag diletakkan begitu saja oleh Faissal tanpa meninggalkan pesan apapun. Hal itu membuat Fatma enggan untuk menyentuh benda yang pria itu tinggalkan. Langkah kecilnya mulai menapaki lantai kamar yang terbuat dari batu marmer. Fatma melepas alas kaki usangnya. Lantai ini terlalu berharga jika hanya untuk diinjak dengan alas kaki usang itu. Jemarinya menyentuh satu per satu furnitur di dalam kamar dan tidak menemukan setitik debu sama sekali. Dia beralih menyentuh dinding kamar dan merasakan betapa halusnya permukaan dinding itu setelah bersentuhan dengan kulitnya. Luas ruang kamar terlihat dua kali lebih besar dari rumah milik Tuan Ridwan. Bisa dibayangkan jika Fatma membersihkan kamar seorang diri akan membuat tenaganya cukup terkuras. "Siapa sebenarnya pemilik kemewahan ini?" Fatma bergumam menuju sebuah ranjang berwarna keemasan yang berukuran king size. Alasnya terbuat dari bahan sutra berkualitas tinggi. Begitu lembut disentuh dan
"Pastikan dia tetap dalam pantauan! Jaga keselamatannya dengan nyawamu sendiri!" Seseorang berucap dari kejauhan. Percakapan yang terhubung melalui telpon genggam milik Faissal, tak lain adalah suara dari seseorang yang dipanggil 'Tuan Muda Tertua'. Selama pemeriksaan di klinik kandungan, tidak ada sesuatu yang serius. Fatma menatap lekat layar monitor ultrasonografi yang menunjukkan sebuah titik kecil berwarna hitam. Itu adalah janin yang dia kandung. Seulas senyum mengembang di bibir manis wanita berbadan dua itu. Dia tak peduli, jika janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya adalah keturunan dari seorang iblis bernama Tuan Ridwan. Kabar bahagianya adalah, iblis berwujud manusia itu memberikan seorang malaikat kecil yang sedang Fatma tatap melalui monitor tak berwarna. Janin itu masih sangat kecil. Jika dilihat, ukurannya tidak lebih besar dari sebuah biji kacang hijau. "Jangan lupa untuk rutin meminum vitaminnya, Nona. Meskipun kondisi kalian berdua sehat, kandun
Fatma tersentak, kesadarannya berangsur-angsur pulih. Suara berat seorang pria yang tidak melepaskan tatapan dari wajah cantiknya, membuat Fatma tersadar. "Apa yang kamu lakukan disini?" Pria itu memberikan pertanyaan untuk kedua kalinya. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas karena pencahayaan yang kurang. Namun, sekilas terlihat tampan. Dari penampilannya, usianya berkisar di bawah 25 tahun. Setampan apapun itu, bagi Fatma semua pria sama saja. Wajah tampan tak lebih hanya sebuah topeng. Ketampanan sebenar-benarnya dapat dinilai dengan sebaik apa hati yang dimiliki. Tapi, sejauh ini belum ada pria yang seperti itu bagi Fatma. Fatma memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut, "A-aku ..." Tak mampu memberikan alasan yang masuk akal, Fatma justru terlihat linglung. "Aku pikir, aku hanya salah masuk. Maaf ... " Wanita cantik itu meraba-raba pintu mobil untuk segera meninggalkan tempat persembunyiannya. "Ingin kabur?" Seringai licik tercetak di wajah