Tidak butuh waktu lama untuk tiba di Kota Tangier. Estimasi yang seharusnya mencapai kurang lebih enam jam, dapat mereka tempuh hanya dalam waktu empat jam. Wajar saja, mobil jenazah yang mereka tumpangi melaju dengan kecepatan di atas rata-rata. Tangier, merupakan kota sejarah yang terkenal dengan segala keindahannya. Kota dengan bangunan yang bernuansa Eropa karena di antara kota ini dan negara Spanyol hanya dipisahkan oleh Selat Gibraltar. Kebudayaan kental Maghribi berpadu dengan akulturasi gaya arsitektur Moor khas Spanyol membuat kota paling utara Benua Afrika ini terlihat sangat unik.
"Aku pernah mendengar betapa cantiknya kota ini saat aku bertemu dengan seseorang di pasar." Wajah cantik Fatma berbinar menatap sekeliling kota yang menjadi persinggahannya saat ini. Dia memejamkan mata dan menghirup udara kebebasan dalam-dalam sebelum kembali menatap keindahan di sekitar, "ternyata apa yang dia ucapkan tidak begitu indah dibandingkan dengan apa yang aku lihat sekarang.
"Di sini kita tidak akan kelaparan. Banyak orang-orang baik di kota ini." setelah mengakhiri santapan mereka. Tuan Ayyoub memilih untuk bersantai sejenak menikmati kenangan yang pernah menjadi masa lalunya di tempat ini. Di sisi luar kedai terdapat banyak pedagang emperan yang menjual berbagai macam sayuran segar. Wajah cantik wanita yang begitu ia cintai sekilas melintas di hadapannya. Wanita itu terlihat sedang menawar belanjaan dari seorang pedagang dengan senyum manisnya. Ya, itu hanyalah bayangan masa lalu yang pernah dialami Tuan Ayyoub di tempat yang sama. "Ya, aku bisa melihatnya, Tuan. Tentu saja Tuan sangat mengenal tempat ini. Bahkan sangat wajar jika Tuan memiliki banyak teman di sini." Tuan Ayyoub: "..." "Jadi, apa yang akan kita lakukan setelah ini?" lanjut Fatma. Pria itu mengembuskan nafasnya perlahan, "Tempat ini sangat nyaman, Fatma. Jika aku boleh memilih, aku ingin mengajakmu menetap di sini. Tapi, sepertinya ini tidak mungkin. Aku
Fatma masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Perjalanan selama berada di dalam kapal ferry terasa begitu cepat. Seharusnya wanita muda itu sedang menikmati moment kebebasan bersama Tuan Ayyoub saat ini. Akan tetapi, pria itu tiba-tiba saja memutuskan untuk meninggalkan tanpa penjelasan apapun. Tak lama setelah kapal menepi ke daratan, sesuai perkataan Tuan Ayyoub sebelumnya, seseorang telah menunggu Fatma di sisi loket imigrasi. Proses pengecekan dokumen pun berlangsung cepat. Tidak ada kecurigaan sama sekali bagi petugas ketika memeriksa dokumen milik Fatma. "Nona, Fatma?" Seorang pria sedikit lebih muda dari usia Tuan Ayyoub sedang menyapanya dengan suara yang terdengar cukup ramah. Pria itu memiliki kulit cerah, dengan iris mata berwarna kebiruan. Tubuh tegap dan tinggi besar seperti seorang pengawal pribadi orang-orang penting. Pakaian yang dia kenakan mecetak dengan jelas bentuk tubuh atletisnya. "Maghriby?" Fatma memberanikan diri memberikan pertanya
Papper bag diletakkan begitu saja oleh Faissal tanpa meninggalkan pesan apapun. Hal itu membuat Fatma enggan untuk menyentuh benda yang pria itu tinggalkan. Langkah kecilnya mulai menapaki lantai kamar yang terbuat dari batu marmer. Fatma melepas alas kaki usangnya. Lantai ini terlalu berharga jika hanya untuk diinjak dengan alas kaki usang itu. Jemarinya menyentuh satu per satu furnitur di dalam kamar dan tidak menemukan setitik debu sama sekali. Dia beralih menyentuh dinding kamar dan merasakan betapa halusnya permukaan dinding itu setelah bersentuhan dengan kulitnya. Luas ruang kamar terlihat dua kali lebih besar dari rumah milik Tuan Ridwan. Bisa dibayangkan jika Fatma membersihkan kamar seorang diri akan membuat tenaganya cukup terkuras. "Siapa sebenarnya pemilik kemewahan ini?" Fatma bergumam menuju sebuah ranjang berwarna keemasan yang berukuran king size. Alasnya terbuat dari bahan sutra berkualitas tinggi. Begitu lembut disentuh dan
"Pastikan dia tetap dalam pantauan! Jaga keselamatannya dengan nyawamu sendiri!" Seseorang berucap dari kejauhan. Percakapan yang terhubung melalui telpon genggam milik Faissal, tak lain adalah suara dari seseorang yang dipanggil 'Tuan Muda Tertua'. Selama pemeriksaan di klinik kandungan, tidak ada sesuatu yang serius. Fatma menatap lekat layar monitor ultrasonografi yang menunjukkan sebuah titik kecil berwarna hitam. Itu adalah janin yang dia kandung. Seulas senyum mengembang di bibir manis wanita berbadan dua itu. Dia tak peduli, jika janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya adalah keturunan dari seorang iblis bernama Tuan Ridwan. Kabar bahagianya adalah, iblis berwujud manusia itu memberikan seorang malaikat kecil yang sedang Fatma tatap melalui monitor tak berwarna. Janin itu masih sangat kecil. Jika dilihat, ukurannya tidak lebih besar dari sebuah biji kacang hijau. "Jangan lupa untuk rutin meminum vitaminnya, Nona. Meskipun kondisi kalian berdua sehat, kandun
Fatma tersentak, kesadarannya berangsur-angsur pulih. Suara berat seorang pria yang tidak melepaskan tatapan dari wajah cantiknya, membuat Fatma tersadar. "Apa yang kamu lakukan disini?" Pria itu memberikan pertanyaan untuk kedua kalinya. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas karena pencahayaan yang kurang. Namun, sekilas terlihat tampan. Dari penampilannya, usianya berkisar di bawah 25 tahun. Setampan apapun itu, bagi Fatma semua pria sama saja. Wajah tampan tak lebih hanya sebuah topeng. Ketampanan sebenar-benarnya dapat dinilai dengan sebaik apa hati yang dimiliki. Tapi, sejauh ini belum ada pria yang seperti itu bagi Fatma. Fatma memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut, "A-aku ..." Tak mampu memberikan alasan yang masuk akal, Fatma justru terlihat linglung. "Aku pikir, aku hanya salah masuk. Maaf ... " Wanita cantik itu meraba-raba pintu mobil untuk segera meninggalkan tempat persembunyiannya. "Ingin kabur?" Seringai licik tercetak di wajah
Setelah diyakini bahwa saat ini mereka sudah berada jauh dari jangkauan Faissal. Pria itu menghentikan mobil dengan tiba-tiba. "Pindah ke depan!" tegasnya sambil kemudian membuka pintu dengan otomatis, "Jangan bersikap seolah-olah aku ini sopir pribadimu." Wajah wanita cantik itu sangat muram. Di balik tatapannya yang gelap, dia sesekali melirik wajah pria itu dengan geram. Namun, dengan wajah seperti itu, Fatma justru terlihat menggemaskan. "Mengapa tak kau turunkan saja aku di sini?" ujar Fatma sambil membenarkan posisi duduknya. "Sudah aku katakan bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Aku sudah menyelamatkanmu dari kejaran pria itu tadi, jika kamu lupa." "Tapi..." Pria itu memikirkan sesuatu, "Jika kamu yakin dengan keputusanmu, tidak apa-apa." Pria itu menyipitkan mata ke arah Fatma. Jendela mobil dibuka sebagian. Dia memberikan isyarat agar Fatma memandang ke arah luar jendela. Dan benar saja, pada saat yang bersamaan wa
Fatma tersadar dari lamunannya setelah mobil itu berhenti di tempat yang tidak semestinya. "Jadi kamu benar-benar membawaku kesini? Dengar pria mesum, aku bukan wanita gampangan seperti yang ada di otak kotormu itu." "Jikapun aku harus mengganti kerugian atas jok mobilmu yang tergores, tentu bukan seperti ini caranya!" "Ya, aku akui aku memang tidak mempunyai uang, tapi aku bisa bekerja sepanjang waktu untuk menghasilkan uang dan memberikannya padamu!" "Atau aku akan mengabdi kepadamu menjadi seorang asisten rumah tangga kurasa bukan ide yang buruk. Dari pada harus berakhir di tempat ini." "Dengar, meskipun aku hidup di jalan, aku bukan wanita murahan yang bersedia tidur dengan pria tak dikenal." Fatma kelelahan, lalu menghentikan ucapannya dengan napas terengah-engah setelah mengucapkan kata-kata itu tanpa jeda. Dia terlalu emosional dengan prasangkanya sendiri. "Kamu sudah selesai dengan kata-katamu?" Omar bersikap santai namun di da
Setelah kepergian Omar, Fatma mencoba mengatur napasnya yang sempat tersengal. Degupan jantung masih saja terasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa dia tetaplah seorang wanita normal yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Namun, hatinya tidak semudah itu untuk mengkhianati janjinya pada diri sendiri. Setampan dan semendebarkan apapun Omar ketika berada di hadapannya, pria itu tetaplah pria. Makhluk Tuhan yang selalu menjadi alasan bagi setiap wanita untuk menangis. Fatma mulai menghembuskan napas pendek. Dia pun melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri untuk kemudian dapat mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang lelah. Di bawah guyuran air yang berada di dalam shower room, Fatma terpejam menikmati tiap sentuhan air yang membasahi tubuh dan mencoba untuk merilekskan seluruh beban yang sejak tadi dia tanggung. Melupakan kegundahan hati untuk sejenak. Meskipun dia tahu, saat ini mungkin Faissal masih berada di jalan untuk mencarinya. A