Fatma masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Perjalanan selama berada di dalam kapal ferry terasa begitu cepat. Seharusnya wanita muda itu sedang menikmati moment kebebasan bersama Tuan Ayyoub saat ini. Akan tetapi, pria itu tiba-tiba saja memutuskan untuk meninggalkan tanpa penjelasan apapun.
Tak lama setelah kapal menepi ke daratan, sesuai perkataan Tuan Ayyoub sebelumnya, seseorang telah menunggu Fatma di sisi loket imigrasi. Proses pengecekan dokumen pun berlangsung cepat. Tidak ada kecurigaan sama sekali bagi petugas ketika memeriksa dokumen milik Fatma.
"Nona, Fatma?" Seorang pria sedikit lebih muda dari usia Tuan Ayyoub sedang menyapanya dengan suara yang terdengar cukup ramah. Pria itu memiliki kulit cerah, dengan iris mata berwarna kebiruan. Tubuh tegap dan tinggi besar seperti seorang pengawal pribadi orang-orang penting. Pakaian yang dia kenakan mecetak dengan jelas bentuk tubuh atletisnya.
"Maghriby?" Fatma memberanikan diri memberikan pertanya
Papper bag diletakkan begitu saja oleh Faissal tanpa meninggalkan pesan apapun. Hal itu membuat Fatma enggan untuk menyentuh benda yang pria itu tinggalkan. Langkah kecilnya mulai menapaki lantai kamar yang terbuat dari batu marmer. Fatma melepas alas kaki usangnya. Lantai ini terlalu berharga jika hanya untuk diinjak dengan alas kaki usang itu. Jemarinya menyentuh satu per satu furnitur di dalam kamar dan tidak menemukan setitik debu sama sekali. Dia beralih menyentuh dinding kamar dan merasakan betapa halusnya permukaan dinding itu setelah bersentuhan dengan kulitnya. Luas ruang kamar terlihat dua kali lebih besar dari rumah milik Tuan Ridwan. Bisa dibayangkan jika Fatma membersihkan kamar seorang diri akan membuat tenaganya cukup terkuras. "Siapa sebenarnya pemilik kemewahan ini?" Fatma bergumam menuju sebuah ranjang berwarna keemasan yang berukuran king size. Alasnya terbuat dari bahan sutra berkualitas tinggi. Begitu lembut disentuh dan
"Pastikan dia tetap dalam pantauan! Jaga keselamatannya dengan nyawamu sendiri!" Seseorang berucap dari kejauhan. Percakapan yang terhubung melalui telpon genggam milik Faissal, tak lain adalah suara dari seseorang yang dipanggil 'Tuan Muda Tertua'. Selama pemeriksaan di klinik kandungan, tidak ada sesuatu yang serius. Fatma menatap lekat layar monitor ultrasonografi yang menunjukkan sebuah titik kecil berwarna hitam. Itu adalah janin yang dia kandung. Seulas senyum mengembang di bibir manis wanita berbadan dua itu. Dia tak peduli, jika janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya adalah keturunan dari seorang iblis bernama Tuan Ridwan. Kabar bahagianya adalah, iblis berwujud manusia itu memberikan seorang malaikat kecil yang sedang Fatma tatap melalui monitor tak berwarna. Janin itu masih sangat kecil. Jika dilihat, ukurannya tidak lebih besar dari sebuah biji kacang hijau. "Jangan lupa untuk rutin meminum vitaminnya, Nona. Meskipun kondisi kalian berdua sehat, kandun
Fatma tersentak, kesadarannya berangsur-angsur pulih. Suara berat seorang pria yang tidak melepaskan tatapan dari wajah cantiknya, membuat Fatma tersadar. "Apa yang kamu lakukan disini?" Pria itu memberikan pertanyaan untuk kedua kalinya. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas karena pencahayaan yang kurang. Namun, sekilas terlihat tampan. Dari penampilannya, usianya berkisar di bawah 25 tahun. Setampan apapun itu, bagi Fatma semua pria sama saja. Wajah tampan tak lebih hanya sebuah topeng. Ketampanan sebenar-benarnya dapat dinilai dengan sebaik apa hati yang dimiliki. Tapi, sejauh ini belum ada pria yang seperti itu bagi Fatma. Fatma memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut, "A-aku ..." Tak mampu memberikan alasan yang masuk akal, Fatma justru terlihat linglung. "Aku pikir, aku hanya salah masuk. Maaf ... " Wanita cantik itu meraba-raba pintu mobil untuk segera meninggalkan tempat persembunyiannya. "Ingin kabur?" Seringai licik tercetak di wajah
Setelah diyakini bahwa saat ini mereka sudah berada jauh dari jangkauan Faissal. Pria itu menghentikan mobil dengan tiba-tiba. "Pindah ke depan!" tegasnya sambil kemudian membuka pintu dengan otomatis, "Jangan bersikap seolah-olah aku ini sopir pribadimu." Wajah wanita cantik itu sangat muram. Di balik tatapannya yang gelap, dia sesekali melirik wajah pria itu dengan geram. Namun, dengan wajah seperti itu, Fatma justru terlihat menggemaskan. "Mengapa tak kau turunkan saja aku di sini?" ujar Fatma sambil membenarkan posisi duduknya. "Sudah aku katakan bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Aku sudah menyelamatkanmu dari kejaran pria itu tadi, jika kamu lupa." "Tapi..." Pria itu memikirkan sesuatu, "Jika kamu yakin dengan keputusanmu, tidak apa-apa." Pria itu menyipitkan mata ke arah Fatma. Jendela mobil dibuka sebagian. Dia memberikan isyarat agar Fatma memandang ke arah luar jendela. Dan benar saja, pada saat yang bersamaan wa
Fatma tersadar dari lamunannya setelah mobil itu berhenti di tempat yang tidak semestinya. "Jadi kamu benar-benar membawaku kesini? Dengar pria mesum, aku bukan wanita gampangan seperti yang ada di otak kotormu itu." "Jikapun aku harus mengganti kerugian atas jok mobilmu yang tergores, tentu bukan seperti ini caranya!" "Ya, aku akui aku memang tidak mempunyai uang, tapi aku bisa bekerja sepanjang waktu untuk menghasilkan uang dan memberikannya padamu!" "Atau aku akan mengabdi kepadamu menjadi seorang asisten rumah tangga kurasa bukan ide yang buruk. Dari pada harus berakhir di tempat ini." "Dengar, meskipun aku hidup di jalan, aku bukan wanita murahan yang bersedia tidur dengan pria tak dikenal." Fatma kelelahan, lalu menghentikan ucapannya dengan napas terengah-engah setelah mengucapkan kata-kata itu tanpa jeda. Dia terlalu emosional dengan prasangkanya sendiri. "Kamu sudah selesai dengan kata-katamu?" Omar bersikap santai namun di da
Setelah kepergian Omar, Fatma mencoba mengatur napasnya yang sempat tersengal. Degupan jantung masih saja terasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa dia tetaplah seorang wanita normal yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Namun, hatinya tidak semudah itu untuk mengkhianati janjinya pada diri sendiri. Setampan dan semendebarkan apapun Omar ketika berada di hadapannya, pria itu tetaplah pria. Makhluk Tuhan yang selalu menjadi alasan bagi setiap wanita untuk menangis. Fatma mulai menghembuskan napas pendek. Dia pun melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri untuk kemudian dapat mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang lelah. Di bawah guyuran air yang berada di dalam shower room, Fatma terpejam menikmati tiap sentuhan air yang membasahi tubuh dan mencoba untuk merilekskan seluruh beban yang sejak tadi dia tanggung. Melupakan kegundahan hati untuk sejenak. Meskipun dia tahu, saat ini mungkin Faissal masih berada di jalan untuk mencarinya. A
"Kita akan membicarakan ini nanti. Bersiap-siaplah, sebentar lagi matahari mulai naik," ucap Omar dengan wajah yang berbeda dari sebelumnya. Fatma berlalu dengan wajah yang masih menunjukkan kegelisahan. Dia ingin membahas ini dengan Omar. Mungkin saja pria yang bersamanya saat ini bisa membantunya untuk melakukan pelarian. Namun, benar apa yang dikatakan pria itu. Ini adalah saatnya untuk menjalankan kewajiban sebagai makhluk Tuhan. Meminta pertolongan kepada satu-satunya Sang Maha Bijaksana adalah sebuah keharusan. Sementara Omar diliputi berbagai pertanyaan yang masih berputar di kepalanya. Fatma, wanita muda yang dia temui secara tidak sengaja telah membuatnya merasa nyaman. Dia bahkan tidak memungkiri jika si kucing liar ini sudah membuatnya tertarik. Namun, kehadiran Fatma secara tiba-tiba dengan cara yang tak biasa membuat Omar begitu penasaran tentang jati diri Fatma yang sebenarnya. Dia mencoba membunuh pikirannya yang sejak tadi mengatakan bahwa Fatma adala
Setelah melalui diskusi singkat, Fatma dan Omar memutuskan untuk segera meninggalkan kota itu. Mereka memilih untuk pergi dengan menggunakan mobil. Dengan pertimbangan jika menggunakan pesawat komersial, kemungkinan posisi Fatma dapat dengan mudah terlacak oleh Faissal. Di perjalanan, sesekali Fatma menjelaskan siapa pria yang mengejarnya, dan alasan mengapa dirinya memutuskan untuk pergi. Tanpa membahas masa lalu yang membawanya masuk ke dalam kemelut yang saat ini ia hadapi. Pandangan buruk Omar terhadap Fatma sebelumnya telah dipatahkan dengan penjelasan dari wanita itu. Omar merasa jauh lebih tenang setelah mendengar penuturan dari si kucing liar yang menggemaskan itu. Pagi ini langit Marbella cukup cerah. Wajar saja, saat ini sudah memasuki musim panas. Momen dimana banyak pelancong berdatangan dari berbagai negara. Bahkan bukan hal aneh lagi jika menyaksikan berbagai jenis plat kendaraan yang berbeda berseliweran di jalan-jalan. Seperti mobil yang mereka kendar