"Di sini kita tidak akan kelaparan. Banyak orang-orang baik di kota ini." setelah mengakhiri santapan mereka. Tuan Ayyoub memilih untuk bersantai sejenak menikmati kenangan yang pernah menjadi masa lalunya di tempat ini. Di sisi luar kedai terdapat banyak pedagang emperan yang menjual berbagai macam sayuran segar. Wajah cantik wanita yang begitu ia cintai sekilas melintas di hadapannya. Wanita itu terlihat sedang menawar belanjaan dari seorang pedagang dengan senyum manisnya. Ya, itu hanyalah bayangan masa lalu yang pernah dialami Tuan Ayyoub di tempat yang sama.
"Ya, aku bisa melihatnya, Tuan. Tentu saja Tuan sangat mengenal tempat ini. Bahkan sangat wajar jika Tuan memiliki banyak teman di sini."
Tuan Ayyoub: "..."
"Jadi, apa yang akan kita lakukan setelah ini?" lanjut Fatma.
Pria itu mengembuskan nafasnya perlahan, "Tempat ini sangat nyaman, Fatma. Jika aku boleh memilih, aku ingin mengajakmu menetap di sini. Tapi, sepertinya ini tidak mungkin. Aku
Fatma masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Perjalanan selama berada di dalam kapal ferry terasa begitu cepat. Seharusnya wanita muda itu sedang menikmati moment kebebasan bersama Tuan Ayyoub saat ini. Akan tetapi, pria itu tiba-tiba saja memutuskan untuk meninggalkan tanpa penjelasan apapun. Tak lama setelah kapal menepi ke daratan, sesuai perkataan Tuan Ayyoub sebelumnya, seseorang telah menunggu Fatma di sisi loket imigrasi. Proses pengecekan dokumen pun berlangsung cepat. Tidak ada kecurigaan sama sekali bagi petugas ketika memeriksa dokumen milik Fatma. "Nona, Fatma?" Seorang pria sedikit lebih muda dari usia Tuan Ayyoub sedang menyapanya dengan suara yang terdengar cukup ramah. Pria itu memiliki kulit cerah, dengan iris mata berwarna kebiruan. Tubuh tegap dan tinggi besar seperti seorang pengawal pribadi orang-orang penting. Pakaian yang dia kenakan mecetak dengan jelas bentuk tubuh atletisnya. "Maghriby?" Fatma memberanikan diri memberikan pertanya
Papper bag diletakkan begitu saja oleh Faissal tanpa meninggalkan pesan apapun. Hal itu membuat Fatma enggan untuk menyentuh benda yang pria itu tinggalkan. Langkah kecilnya mulai menapaki lantai kamar yang terbuat dari batu marmer. Fatma melepas alas kaki usangnya. Lantai ini terlalu berharga jika hanya untuk diinjak dengan alas kaki usang itu. Jemarinya menyentuh satu per satu furnitur di dalam kamar dan tidak menemukan setitik debu sama sekali. Dia beralih menyentuh dinding kamar dan merasakan betapa halusnya permukaan dinding itu setelah bersentuhan dengan kulitnya. Luas ruang kamar terlihat dua kali lebih besar dari rumah milik Tuan Ridwan. Bisa dibayangkan jika Fatma membersihkan kamar seorang diri akan membuat tenaganya cukup terkuras. "Siapa sebenarnya pemilik kemewahan ini?" Fatma bergumam menuju sebuah ranjang berwarna keemasan yang berukuran king size. Alasnya terbuat dari bahan sutra berkualitas tinggi. Begitu lembut disentuh dan
"Pastikan dia tetap dalam pantauan! Jaga keselamatannya dengan nyawamu sendiri!" Seseorang berucap dari kejauhan. Percakapan yang terhubung melalui telpon genggam milik Faissal, tak lain adalah suara dari seseorang yang dipanggil 'Tuan Muda Tertua'. Selama pemeriksaan di klinik kandungan, tidak ada sesuatu yang serius. Fatma menatap lekat layar monitor ultrasonografi yang menunjukkan sebuah titik kecil berwarna hitam. Itu adalah janin yang dia kandung. Seulas senyum mengembang di bibir manis wanita berbadan dua itu. Dia tak peduli, jika janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya adalah keturunan dari seorang iblis bernama Tuan Ridwan. Kabar bahagianya adalah, iblis berwujud manusia itu memberikan seorang malaikat kecil yang sedang Fatma tatap melalui monitor tak berwarna. Janin itu masih sangat kecil. Jika dilihat, ukurannya tidak lebih besar dari sebuah biji kacang hijau. "Jangan lupa untuk rutin meminum vitaminnya, Nona. Meskipun kondisi kalian berdua sehat, kandun
Fatma tersentak, kesadarannya berangsur-angsur pulih. Suara berat seorang pria yang tidak melepaskan tatapan dari wajah cantiknya, membuat Fatma tersadar. "Apa yang kamu lakukan disini?" Pria itu memberikan pertanyaan untuk kedua kalinya. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas karena pencahayaan yang kurang. Namun, sekilas terlihat tampan. Dari penampilannya, usianya berkisar di bawah 25 tahun. Setampan apapun itu, bagi Fatma semua pria sama saja. Wajah tampan tak lebih hanya sebuah topeng. Ketampanan sebenar-benarnya dapat dinilai dengan sebaik apa hati yang dimiliki. Tapi, sejauh ini belum ada pria yang seperti itu bagi Fatma. Fatma memegangi kepalanya yang masih terasa berdenyut, "A-aku ..." Tak mampu memberikan alasan yang masuk akal, Fatma justru terlihat linglung. "Aku pikir, aku hanya salah masuk. Maaf ... " Wanita cantik itu meraba-raba pintu mobil untuk segera meninggalkan tempat persembunyiannya. "Ingin kabur?" Seringai licik tercetak di wajah
Setelah diyakini bahwa saat ini mereka sudah berada jauh dari jangkauan Faissal. Pria itu menghentikan mobil dengan tiba-tiba. "Pindah ke depan!" tegasnya sambil kemudian membuka pintu dengan otomatis, "Jangan bersikap seolah-olah aku ini sopir pribadimu." Wajah wanita cantik itu sangat muram. Di balik tatapannya yang gelap, dia sesekali melirik wajah pria itu dengan geram. Namun, dengan wajah seperti itu, Fatma justru terlihat menggemaskan. "Mengapa tak kau turunkan saja aku di sini?" ujar Fatma sambil membenarkan posisi duduknya. "Sudah aku katakan bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Aku sudah menyelamatkanmu dari kejaran pria itu tadi, jika kamu lupa." "Tapi..." Pria itu memikirkan sesuatu, "Jika kamu yakin dengan keputusanmu, tidak apa-apa." Pria itu menyipitkan mata ke arah Fatma. Jendela mobil dibuka sebagian. Dia memberikan isyarat agar Fatma memandang ke arah luar jendela. Dan benar saja, pada saat yang bersamaan wa
Fatma tersadar dari lamunannya setelah mobil itu berhenti di tempat yang tidak semestinya. "Jadi kamu benar-benar membawaku kesini? Dengar pria mesum, aku bukan wanita gampangan seperti yang ada di otak kotormu itu." "Jikapun aku harus mengganti kerugian atas jok mobilmu yang tergores, tentu bukan seperti ini caranya!" "Ya, aku akui aku memang tidak mempunyai uang, tapi aku bisa bekerja sepanjang waktu untuk menghasilkan uang dan memberikannya padamu!" "Atau aku akan mengabdi kepadamu menjadi seorang asisten rumah tangga kurasa bukan ide yang buruk. Dari pada harus berakhir di tempat ini." "Dengar, meskipun aku hidup di jalan, aku bukan wanita murahan yang bersedia tidur dengan pria tak dikenal." Fatma kelelahan, lalu menghentikan ucapannya dengan napas terengah-engah setelah mengucapkan kata-kata itu tanpa jeda. Dia terlalu emosional dengan prasangkanya sendiri. "Kamu sudah selesai dengan kata-katamu?" Omar bersikap santai namun di da
Setelah kepergian Omar, Fatma mencoba mengatur napasnya yang sempat tersengal. Degupan jantung masih saja terasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa dia tetaplah seorang wanita normal yang memiliki ketertarikan dengan lawan jenis. Namun, hatinya tidak semudah itu untuk mengkhianati janjinya pada diri sendiri. Setampan dan semendebarkan apapun Omar ketika berada di hadapannya, pria itu tetaplah pria. Makhluk Tuhan yang selalu menjadi alasan bagi setiap wanita untuk menangis. Fatma mulai menghembuskan napas pendek. Dia pun melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri untuk kemudian dapat mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang lelah. Di bawah guyuran air yang berada di dalam shower room, Fatma terpejam menikmati tiap sentuhan air yang membasahi tubuh dan mencoba untuk merilekskan seluruh beban yang sejak tadi dia tanggung. Melupakan kegundahan hati untuk sejenak. Meskipun dia tahu, saat ini mungkin Faissal masih berada di jalan untuk mencarinya. A
"Kita akan membicarakan ini nanti. Bersiap-siaplah, sebentar lagi matahari mulai naik," ucap Omar dengan wajah yang berbeda dari sebelumnya. Fatma berlalu dengan wajah yang masih menunjukkan kegelisahan. Dia ingin membahas ini dengan Omar. Mungkin saja pria yang bersamanya saat ini bisa membantunya untuk melakukan pelarian. Namun, benar apa yang dikatakan pria itu. Ini adalah saatnya untuk menjalankan kewajiban sebagai makhluk Tuhan. Meminta pertolongan kepada satu-satunya Sang Maha Bijaksana adalah sebuah keharusan. Sementara Omar diliputi berbagai pertanyaan yang masih berputar di kepalanya. Fatma, wanita muda yang dia temui secara tidak sengaja telah membuatnya merasa nyaman. Dia bahkan tidak memungkiri jika si kucing liar ini sudah membuatnya tertarik. Namun, kehadiran Fatma secara tiba-tiba dengan cara yang tak biasa membuat Omar begitu penasaran tentang jati diri Fatma yang sebenarnya. Dia mencoba membunuh pikirannya yang sejak tadi mengatakan bahwa Fatma adala
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-