Di sebuah ruang pemeriksaan kepolisian.
"Jadi benar bocah itu istrimu?"
Tuan Ridwan mau tidak mau harus mempertanggung jawabkan kebodohan yang telah dilakukannya terhadap Fatma. Kali ini bukan hanya tuntutan akibat kekerasan dan penganiayaan yang telah dilakukannya terhadap Fatma, melainkan juga tuntutan pernikahan yang dilakukannya terhadap anak di bawah umur.
Bukan hanya Tuan Ridwan yang terlibat, tetapi ayah kandung Fatma sendiri harus ikut terseret di dalam kasus ini. Karena akibat pria yang berstatus sebagai seorang ayah itulah yang membuat putri kecilnya harus menjalani pernikahan di bawah umur.
Sementara kondisi Fatma sudah mulai membaik, meskipun masih harus beristirahat secara total. Terlebih lagi saat ini kondisi kandungannya masih sangat lemah. Perempuan malang itu sempat terkejut setelah mengetahui bahwa saat ini dirinya sedang berbadan dua. Yang artinya, dalam waktu dekat dia akan menjadi seorang ibu. Ibu yang sangat muda tentunya.
Terdengar suara langkah memasuki ruang perawatan Fatma. Perempuan malang yang tengah berbadan dua itu mengerjap memperjelas pandangannya untuk memastikan siapa yang sedang berkunjung. Karena selama dia berada di dalam ruangan bernuansa putih itu tak seorang pun anggota keluarga yang mengunjungi. Hanya beberapa kali perawat ataupun dokter yang datang melakukan pemeriksaan secara berkala.
"Ekhem ..." Suara seorang pria terdengar jelas di indra pendengaran Fatma. Ternyata dia mengenal baik sosok itu.
"Apa kabar Nona Fatma?" Pria itu kembali membuka suara, menatap Fatma sejenak dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapannya menyiratkan sebuah kerinduan yang begitu besar. Namun, Fatma tidak sekalipun merasa aneh dengan tatapan yang dia terima.
"Baik, Tuan Ayyoub seperti yang Tuan lihat," jawab Fatma tersenyum sopan kepada pria yang dinilainya sebagai salah satu anggota sirkus yang dikelola oleh suaminya, Tuan Ridwan.
Ada perasaan khawatir yang Fatma rasakan, karena dia tahu bahwa Tuan Ayyoub merupakan orang kepercayaan suaminya. Mungkinkah pria itu akan melakukan sesuatu yang buruk seperti yang dilakukan Tuan Ridwan?
"Maafkan aku jika meninggalkanmu pada hari itu. Aku lah yang mengantarkanmu ke rumah sakit." Sejenak pria itu mengerling sambil memikirkan sesuatu.
"... Aku terpaksa harus meninggalkanmu karena khawatir jika Tuan Ridwan akan memberikan hukuman padaku," lanjutnya.
Pengakuan Tuan Ayyoub seolah menunjukkan bahwa dirinya memiliki ketakutan atas apa yang akan terjadi pada dirinya sendiri. Pada kenyataannya saat dia menjauh, dia justru sedang mempersiapkan sebuah langkah yang harus ditempuh untuk membawa Fatma pergi sejauh mungkin. Fatma membenarkan posisi tubuhnya yang setengah duduk di atas brankar berukuran kecil itu.
"Tidak apa-apa, Tuan. Aku justru sangat berterima kasih sudah diselamatkan." Fatma menunduk menatap jari jemari yang ia mainkan dengan sembarang demi mengalihkan perasaannya yang tidak menentu, 'ya, meskipun sebenarnya saat itu aku ingin tidak bangun lagi menghadapi hidupku yang rumit ini,' lirihnya nyaris tak terdengar.
"Aku ke sini untuk menyampaikan maksud, Nona." Pria itu sedikit merendahkan suaranya.
"Ada apa Tuan Ayyoub?" Fatma mencoba memperjelas pendengarannya.
"Mungkin Nona sudah mengetahui bahwa saat ini Tuan Ridwan berada di dalam penjara. Kondisinya sedang tidak baik, Nona," jelas Tuan Ayyoub.
"Ya, aku sudah mendengarnya, Tuan. Sebenarnya aku sudah memaafkan dia, tapi aku sangat takut jika harus bertemu lagi dengan pria itu. Aku takut jika dia akan menyakitiku lebih dari ini." Nampak kedua mata perempuan cantik itu penuh dengan genangan air mata yang sepertinya sudah hampir menetes. Sangat jelas raut ketakutan di wajah cantiknya setelah mendengar nama pria itu lagi.
"Aku prihatin dengan apa yang sudah menimpamu. Sebagai orang yang cukup mengenal Tuan Ridwan, aku tidak menyangka jika suamimu itu berbuat hal demikian lagi. Setahuku dia sudah berubah." Tuan Ayyoub memejamkan mata sejenak bersamaan dengan kedua pundak yang terangkat seiring berembusnya napas kasar dari indra penciumannya.
"Berubah? Maksud Tuan?" Fatma mengernyit.
Suasana tiba-tiba hening. Tuan Ayyoub nampak ragu-ragu untuk menyampaikan sebuah fakta tentang Tuan Ridwan. Pria tampan yang usianya 25 tahun lebih tua dari Fatma itu terlihat merenung sejenak.
"Maaf..." ucap Tuan Ayyoub singkat dan terdengar penuh penyesalan.
"Adakah yang perlu kuketahui, Tuan." Fatma terlihat penasaran.
Meskipun ragu, Tuan Ayyoub membenarkan jika hal ini tidak seharusnya disembunyikan dari Fatma. Dia berhak mengetahui seperti apa masa lalu suaminya itu.
"Baiklah." Tuan Ayyoub mengembuskan napasnya sejenak, "Sebelum menikahimu, Tuan Ridwan pernah menikah dengan seorang gadis dari keluarga yang sangat miskin. Setelah beberapa tahun, gadis itu menghilang."
Tuan Ayyoub kembali menghela napas. Pandangannya kosong seolah menatap masa yang sudah berlalu, "Berita tentangnya seolah sengaja ditutupi. Tapi ... tidak ada yang bisa membuktikan bahwa gadis itu tewas setelah dianiaya oleh Tuan Ridwan."
Panjang lebar dia menceritakan sesuatu yang seharusnya tidak pernah diungkapkan. Karena sebelumnya dia berharap hal itu tidak akan pernah terjadi lagi di kehidupan Tuan Ridwan selanjutnya. Namun, pada akhirnya apa yang dia khawatirnya akhirnya kembali terulang, dan sungguh malang bagi wanita muda yang bernama Fatma. Karena dia lah yang menjadi korban kebengisan Tuan Ridwan.
Fatma ternganga setelah mendengar pernyataan Tuan Ayyoub. Dia menutupi mulutnya dengan kedua telapak tangan yang ditangkup menjadi satu. Tubuhnya seolah menegang setelah mendengarkan pernyataan Tuan Ayyoub. Dia begitu khawatir dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi nantinya.
Panik ... kata itu pantas sekali menggambarkan seerti apa suasana hati Fatma. Bahkan nampak jelas bibirnya memucat dan bergetar, seiring tetesan peluh yang menghiasi wajah cantiknya.
"Tuan ... Anda tidak sedang bercanda, 'kan?" tanya Fatma untuk memastikan tentang apa yang sudah dia dengar, sementara Tuan Ayyoub hanya menjawab dengan gelengan kepalanya.
Sontak saja Fatma semakin panik. Dengan kedua tangan, dia meremas selimut yang sejak tadi menutupi tubuh. Belum juga rasa terkejutnya mendengar kejadian yang menimpa mendiang istri dari suaminya itu, kini dia kembali dikejutkan bahwa pria yang sudah menyiksanya tersebut akan segera dibebaskan.
"Lalu aku harus bagaimana?" bibir Fatma bergetar.
"Ikut aku, Nona," tawar Tuan Ayyoub. Fatma menatap wajah Tuan Ayyoub. Dia khawatir jika Tuan Ayyoub juga memiliki niat buruk. Tentu saja pria itu memahami isi pikiran Fatma.
"Besok aku akan meninggalkan negara ini. Aku mendengar kesempatan di luar lebih menjanjikan dari pada terus berada di sini. Jika Nona mau, Nona boleh ikut. Pergi menjauh dari Tuan Ridwan dan mencari peruntungan di tempat lain. Dengan begitu, dia pasti tidak bisa menemukanmu, Nona," lanjutnya.
"Tapi ..." Fatma sedikit ragu, "Em, maksudku bagaimana jika Tuan Ridwan berhasil menemukan kita?"
Fatma ingin benar-benar memastikan seperti apa rencana Tuan Ayyoub. Meskipun perasaannya masih belum yakin apakah tawaran yang diberikan Tuan Ayyoub adalah jalan yang terbaik. Di satu sisi benar adanya, jika dia tetap bersikukuh untuk bertahan di negara itu, bisa saja sang suami akan kembali menyakitinya tanpa belas kasihan, bahkan mungkin lebih buruk dari pada sebelumnya.
"Tidak perlu khawatir, Nona. Seperti yang kukatakan tadi, dia tidak akan bisa menemukanmu jika kita bergerak lebih cepat. Sebaiknya persiapkan dirimu, karena malam ini kita berangkat."
Tidak ada pilihan selain meninggalkan negara itu beserta seluruh kenangan di dalamnya. Fatma tidak ingin hidupnya berakhir di tangan pria tua itu. Terlebih lagi saat ini dia dihadapkan kenyataan bahwa dirinya yang sedang mengandung, yang berarti ada dua nyawa yang harus dipertahankan. Dengan berat hati Fatma mencoba untuk pergi dari kehidupan kelamnya. Meskipun di tempat ini sebagian besar hidup yang dijalaninya sangat menyedihkan. Namun masih ada kenangan yang akan selalu dia ingat.
Di tempat inilah seorang wanita tegar telah melahirkannya ke dunia. Meskipun belum sempat mengenal sosok sang ibu, Fatma yakin mendiang ibunya itu adalah seorang wanita yang kuat. Kuat menghadapi sikap sang ayah yang benar-benar tidak berperi kemanusiaan.
"Tuhan, apakah keputusanku sudah benar?" lirihnya. Seolah memori itu kembali berputar. Bayangan tentang bagaimana Tuan Ridwan menyakitinya kembali berlari-lari di dalam ingatan. Rasa takut kembali menyerang perasaan perempuan malang itu. Bagaimanapun juga rasa sakit itu tidak akan pernah bisa dia lupakan dengan mudah.
Dia menerima hukuman tanpa melakukan kesalahan. Bagaimana bila suatu hari nanti dia benar-benar melakukan kesalahan? Mungkin saja Tuan Ridwan akan menyiksanya lebih parah lagi atau mungkin akan menghabisi nyawanya dengan cara yang tak biasa. Dengan berbagai pertimbangan, Fatma memantapkan diri dan bertekad sepenuh hati, bersiap untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk. Setidaknya dia sudah berusaha.
Malam itu, sesuai kesepakatan bersama Tuan Ayyoub. Mereka akan pergi secara diam-diam menuju negara yang dimaksud. Sebenarnya, kondisi kesehatan Fatma saat ini terbilang belum cukup baik mengingat usia kandungannya yang masih terlalu muda, sementara usianya sendiri juga masih terlalu dini untuk mengandung seorang janin. Namun, tekadnya sudah bulat dan tidak akan berubah.
Tak begitu jauh dari lokasi rumah sakit, Tuan Ayyoub menunggu Fatma dalam kegelapan. Perlahan Fatma mendekati posisi Tuan Ayyoub dengan cara mengendap-ngendap. Khawatir jika ada yang melihatnya, Fatma menutup rambut dengan kerudung hingga sebagian wajahnya yang hanya nampak di bagian mata. "Tuan ...!" ucap Fatma sedikit berbisik. Tuan Ayyoub meletakkan jari telunjuknya tepat di permukaan bibirnya, memberi isyarat kepada Fatma agar tak berisik. Matanya mengerling ke arah kiri dan kanan, kalau-kalau saja ada orang lain yang mengetahui rencana mereka berdua. "Ayo, Nona." Dia meraih tangan Fatma, menggandeng tangan kurus itu agar segera beranjak pergi secepat mungkin. Spanyol, negara itulah yang akan dijadikan tujuan. Negara terdekat yang dapat mereka tuju untuk sementara waktu. Tanpa identitas apapun yang mereka miliki. Terutama bagi Fatma, tak satupun dokumen yang dia bawa untuk menunjukkan identitasnya jika sewaktu-waktu tertangkap oleh pihak imigrasi
*** Tiga tahun yang lalu. Tubuh ringkih Mauza babak belur berkali-kali dicambuk oleh sang suami. Tuan Ridwan yang memiliki gangguan Bipolar Disorder sejak kecil itu tanpa rasa bersalah terus saja melayangkan cambukannya kepada istrinya yang baru berusia lima belas tahun. Wanita muda itu bahkan sudah tersengal-sengal dengan tenaganya yang semakin melemah. Mauza berulang kali memohon ampun untuk terbebas dari siksaan yang mendera. Ini bukanlah pengalaman pertama bagi Mauza mendapatkan penyiksaan dari sang suami. Namun, untuk kali ini sepertinya Tuan Ridwan sudah terlalu kalap. Dia sendiri pun tak mampu lagi mengontrol emosinya. Setiap kali cambukan mengenai tubuh Mauza, ada perasaan puas yang membuat Tuan Ridwan ingin melakukannya lagi dan lagi. Sejak dulu, Tuan Ridwan memang menyukai gadis yang berusia jauh lebih muda darinya untuk dijadikan sebagai istri. Menurutnya, menikahi gadis muda akan lebih baik. Karena biasanya gadis-gadis muda dari k
Di Sebuah ruang bawah tanah, di mana tidak ada sinar matahari yang dapat menembus, disertai udara lembab yang berasal dari permukaan tanah yang sedikit tergenang. Di sinilah seseorang sedang mengalami penyiksaan. Bukkkk! Tubuh tua Tuan Gamal terhempas ke tanah, menyebabkan genangan air di permukaannya menyembur. Dentuman keras ikut terdengar ketika Tuan Ridwan mendaratkan sebuah tongkat tepat ke rahang dengan rambut-rambut memutih miliknya. Sudut bibirnya terluka dan mengeluarkan cairan merah segar. Pria itu berlutut memohon belas kasihan. "A-ampun ... Sungguh aku tidak tahu di mana Fatma berada saat ini." Tuan Gamal memelas dengan tubuh gemetar. Tuan Ridwan melayangkan tinjuan berkali-kali, hingga Tuan Gamal merasakan posisi tulang rahangnya seolah bergeser dari tempat yang seharusnya. Tuan Ridwan mendengkus, "Jelas kamu tidak tahu apa-apa! Karena ketidak tahuanmu itulah membuat kamu berada di tempat ini." Dengan sedikit cahaya
Tidak ada pilihan lain kecuali untuk tetap berada di dalam hutan sebelum orang-orang yang berwajah masam itu menghilang dari pandangan Fatma dan Tuan Ayyoub. Hal itu bukan masalah besar bagi Tuan Ayyoub, namun tidak bagi Fatma. Wanita hamil itu sedang dalam kondisi benar-benar lemah. Bibirnya nampak sangat pucat. "Fatma ..!" "..." "Fatma! Kumohon!" Urat-urat kebiruan terlihat jelas di pelipis Tuan Ayyoub. Pria itu menggertakkan giginya dengan wajah yang memerah. Sementara Fatma tidak sekalipun menjawab, bahkan tubuhnya terkulai lemas. Melihat situasi seperti ini, Tuan Ayyoub ingin menjerit saat itu juga untuk meminta pertolongan, akan tetapi kondisinya tidak memungkinkan sama sekali. Orang-orang suruhan Tuan Ridwan sepertinya masih terdengar berkeliaran, dan ini bukan pertanda baik. Lagi-lagi Tuan Ayyoub menepuk-nepuk pipi Fatma secara bergantian, "Tidak, aku tidak ingin melihat ini untuk kedua kalinya. Fatma, kumohon! Fatma, bangunlah!" Tuan
Fatma mengerjap, bulu mata lentiknya bergerak-gerak ketika wanita berparas cantik itu berusaha membuka kedua kelopak mata. Dia membuka matanya yang terasa berat. Sisa rasa sakit menjalar di tubuh mungilnya. Dia tidak tahu sejak kapan dirinya kehilangan kesadaran. Namun, yang pasti dia merasa sudah cukup lama tertidur. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan yang bernuansa putih yang seolah familiar di dalam ingatan. Beberapa hari yang lalu dirinya pernah mengalami kejadian yang sama seperti saat ini. Tidak salah lagi, Fatma mendapati dirinya terbaring di brankar rumah sakit dengan pergelangan tangan yang terpasang selang infus. Ingatannya berputar pada kejadian sebelum dirinya berada di tempat ini. Satu orang yang paling dia ingat adalah sosok Tuan Ayyoub yang selalu melindunginya. Dengan memaksakan diri untuk bangkit, Fatma mencoba mencari keberadaan pria itu di dalam ruangan. Namun, dirinya tidak menemukan siapapun. Pintu ruang perawatan terbuka, Fatma
Deru napas menggema di dalam ruang bawah tanah tanpa penerangan yang memadai. Tuan Gamal mencoba menggali untuk melarikan diri. Berharap dirinya dapat keluar dari penjara bawah tanah milik si Iblis, Tuan Ridwan. Tak seorang pun penduduk mengetahui wujud asli Tuan Ridwan yang tak ubahnya seperti iblis berwujud manusia, kecuali anak buah dan orang-orang yang pernah bermasalah dengannya. Tuan Gamal bergidik ngeri setelah melihat begitu banyak tulang belulang manusia berserakan di dalam ruang pengap itu. Tak hanya satu atau dua tengkorak manusia yang dia lihat, melainkan puluhan atau mungkin lebih dari itu. Sangat memungkinkan tak ada satu orang pun yang berhasil terbebas dari penyiksaan Tuan Gamal. Andaipun ada, sudah pasti kedoknya akan terbongkar. Tidak, Tuan Gamal tidak ingin berakhir dengan mengenaskan seperti korban-korban yang lain. Sungguh dia menyesali akan tindakan yang dia ambil sebelumnya untuk terlibat dengan kehidupan pria kejam itu. Meski demikian, tidak a
Sepertinya Soraya sudah salah memprediksi jika tindakan yang dia ambil akan menguntungkan dirinya. Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang dia harapkan. Apabila Dokter Farouk mengetahui bahwa dirinya sudah membocorkan keberadaan Fatma kepada Tuan Ridwan, pria yang dia cintai itu pasti akan benar-benar membencinya. Tidak, Soraya harus bertindak dengan benar kali ini. Setidaknya dia masih memiliki sisi baik. Dia merutuki dirinya sendiri yang sudah bertindak bodoh tanpa mempertimbangkan akibat yang akan terjadi. Andai saja waktu bisa diulang kembali, tentu Soraya akan memperbaiki kekacauan yang telah ia ciptakan. Setelah mendengar pernyataan Fatma sebelumnya, Soraya justru malu dan menyesal karena telah berprasangka buruk. Fatma tidak seharusnya menanggung semua ini hanya karena Dokter Farouk memberikan perhatian lebih terhadap wanita itu. "Apa yang terjadi padamu?" Fatma melihat kegugupan di mata Soraya yang terjadi secara tiba-tiba. Soraya
"Sisir tempat ini, dan pastikan kalian menemukan istriku!" perintah Tuan Ridwan dengan nada datar, "juga si Brengsek itu!" "Baik, Tuan." Serempak anak buah yang datang bersama Tuan Ridwan menyahut. Satu per satu anak buah Tuan Ridwan menyusuri setiap bangsal. Tak terkecuali kamar kecil sekalipun. Akan tetapi keberadaan Fatma dan tuan Ayyoub tidak ditemukan sama sekali. Hingga salah satu ruangan dibuka dengan paksa. Ruangan itu adalah tempat perawatan Fatma sebelumnya. Ya, Fatma masih berada di dalam ruangan itu. Namun, kondisinya saat ini sedang berpura-pura meninggal. Pada saat pintu kamar dibuka, saat itu pula brankar didorong oleh Dokter Farouk. Rencananya, mereka baru saja akan bergerak untuk meninggalkan tempat itu. Namun, pergerakannya harus terhenti disebabkan oleh kedatangan para perusuh yang dikepalai oleh Tuan Ridwan. Tuan Ridwan juga berada di dalam ruangan yang sama. Hanya ruangan itulah yang tersisa setelah ruangan lain telah mereka periksa satu
Assalamu'alaykum Warahmatullah Wabarakatuh ... Salam Sejahtera ... Dear, Sahabat Readers. Terima kasih atas kesediaan kalian mengikuti kisah FATMA BOUSSETTA ini dari awal hingga akhir. Semoga ada banyak pesan moral yang bisa kalian ambil dari kisah ini. Kisah ini sebagian besar diambil dari kisah nyata kehidupan milik mertua Author yang berasal dari Negara Maroko (Maghriby). Fatma Boussetta kini sudah berusia 87 tahun dan masih terlihat bugar, meskipun saat ini hidupnya ditunjang dengan pacemaker (sebuah alat pacu jantung yang menggunakan tenaga baterai yang ditanamkan melalui pembedahan ke dalam dada). Mohon kiranya Sahabat Readers berkenan meluangkan waktu untuk memberikan doa kepada beliau agar memiliki kesehatan serta umur yang panjang. Kisah ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau untuk dipublikasikan oleh Author. Semoga para Sahabat Readers menyukai kisah ini dan jangan lupa untuk terus memberikan dukungan d
"Maju satu langkah lagi, maka aku akan melenyapkan nyawa istrimu." Tuan Gamal memberikan ancaman yang serius. Ujung kayu itu sudah menyentuh perut tawanannya. Dia siap menghujamkan benda itu jika dirinya merasa terancam. Salah satu penjaga mendekati Tuan Gamal, kemudian membisikkan sesuatu. "Bagus, kau sudah menyiapkan helikopter itu." Tuan Gamal tersenyum puas, dengan satu kibasan tangan dia mengisyaratkan penjaga itu untuk berdiri tepat di belakang tubuh tawanannya. "Brengs**k!" umpat Omran. Tidak ada yang bisa dia lakukan, selain mengikuti kemauan Tuan Gamal. "Jangan banyak mengulur waktu, lepaskan cucuku sekarang juga!" ucap Tuan Besar Benmoussa. Matanya melirik ke arah wanita yang bersimbah darah terduduk dan terikat di kursi tua itu. Tuan Benmoussa tidak bisa membayangkan betapa sakit yang dirasakan cucu kesayangannya. Tapi dia bisa memastikan wanita itu masih bergerak. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala saat ujung kayu terasa menyentuh perutnya. Se
["Bu, aku tidak bisa menemuimu, ada banyak orang-orang suruhan Keluarga Benmoussa sedang berkeliran mencari keberadaanku."] Pesan singkat diterima oleh Meryem yang berasal dari ponsel milik Sabrina. Sebenarnya Meryem ingin menyiksa Fatma secara bergantian bersama Sabrina--putri kesayangannya. Namun, sepertinya hal itu tidak memungkinkan saat ini."Ibu akan memastikan kamu mendapatkan apa yang semestinya kamu dapatkan, Sayang." Maryem kemudian mengirimkan video rekaman penyiksaan yang dia lakukan terhadap tawanannya.["Aku serahkan semuanya kepadamu, Bu. Aku menyesal tidak bisa membalaskan dendam itu dengan tanganku sendiri. Maafkan aku."]"Tenanglah, Sayang ... Sepertinya Keluarga Ahbity dan Benmoussa sudah masuk ke dalam perangkap, sebentar lagi ayahmu akan bernegosiasi dengan mereka. Ibu bisa pastikan setelah ini kita bisa hidup bebas." Meryem begitu bangga dengan pencapaiannya hari ini. Suara ringisan dan penyiksaan itu seolah membuatnya semakin bersemangat m
Tuan Khaleed segera menghubungi Tuan Ayyoub melalui sambungan telepon untuk memastikan bahwa Fatma sudah tiba di kediaman mereka. Namun, sayangnya Tuan Ayyoub justru mengatakan bahwa putrinya dan Faissal tidak dapat dihubungi, setelah tadi Fatma sempat menghubunginya dan mengatakan bahwa mereka baru saja mendarat melalui bandara yang berada di Tangier.Kegelisahan tiba-tiba saja membuat semua orang kini tidak mampu mengenyahkan pikiran buruk mereka tentang Fatma. Sabrina mungkin belum lari terlalu jauh. Tapi, tidak menutup kemungkinan dia bisa melancarkan aksinya melalui orang lain.Kepanikan semakin menyerang membabi buta di dalam benak Omran kala cuaca buruk tiba-tiba saja menyelimuti langit Paris, sehingga tidak memungkinkan bagi Omran dan kedua orang tuanya untuk segera menyusul Fatma menggunakan jet pribadi yang mereka miliki. Waktu seolah tidak berpihak pada mereka. Di kala Fatma sedang terancam, seolah langkah mereka harus berhenti tanpa bisa melakukan apa-apa s
"Apa kamu tidak sedang bercanda, Omar?" tanya Nyonya Adeline yang kini merasakan sendi-sendinya melemah sehingga dia seolah tidak lagi mampu berpijak. "Maaf, Ma ... Kami memiliki sebuah alasan menyembunyikannya yang kini alasan itu sudah tidak penting lagi." Omran menatap ke arah Sabrina yang kikuk, secepat mungkin wanita itu merubah raut wajahnya seolah terlihat bersalah, sehingga Omran yakin untuk tidak perlu membuka jati diri Sabrina yang menyamar sebagai Cassandra. "Kami benar-benar menikah sejak beberapa bulan yang lalu." Omran meneruskan ucapannya. "Ja-jadi ... Fatma mengandung janin siapa?" tanya Nyonya Adeline. "Janin si brengsek ini!" Omran menoleh kasar ke arah Dokter Farouk. "... Dia pasti sudah menjebak Fatma, karena aku yakin Fatma tidak serendah itu jika bukan karena dijebak," lanjutnya. "Benarkah itu, Dok?" tanya Soraya berusaha tegar. "Ibu sering melihat kebersamaan mereka di kantin." Bibi Halima menegaskan opini yang belum dipastikan kebe
"Wanita itu meninggalkanku," ucap Omran dengan suara yang lemah."Wanita itu meninggalkanku!" Dia mengulangi kalimat itu dengan suara yang sedikit lebih keras. Sesaat kemudian dia bangkit sambil meneriakkan kalimat yang sama, " Wanita itu meninggalkanku!" Kali ini suara Omran terdengar lebih keras lagi, bersamaan dengan kerasnya suara pecahan kaca meja rias yang baru saya dia pukul menggunakan genggaman tangannya."Aaaakh ..." Nyonya Adeline yang terkejut ikut berteriak histeris sambil memejamkan mata dengan kedua tangan mengepal menutupi wajah. Ketika matanya terbuka, dia harus kembali berteriak untuk kedua kali. Darah segar mengalir dari kepalan tangan Omran. Namun, pria itu seolah-olah tidak merasakan sakit sama sekali. Tentu, jika dibandingkan dengan luka itu, hatinya merasakan sakit yang jauh lebih besar.Tuan Khaleed refleks memeluk Nyonya Adeline yang terlihat syok."Omran! Kamu sadar apa yang baru saja kamu lakukan?" Tuan Khaleed meninggikan inton
***"Faissal, sepertinya rencana akan sedikit berubah. Aku pikir ada baiknya kita kembali ke Tangier bersama," ucap Fatma setelah membiarkan keheningan di antara mereka beberapa saat. Bukan tanpa sebab dia memutuskan ini. Dia sempat tersulut oleh sikap Sabrina sehingga harus memberikan beberapa petunjuk bagi wanita ular itu lebih cepat dari apa yang sudah dia rencanakan. Fatma yakin, Sabrina sudah bertindak dengan melibatkan Tuan Gamal dan Meryem dalam persoalan ini. Semestinya dia bisa menunda memberikan petunjuk, setidaknya sampai benar-benar siap. Namun, yang terpenting sekarang adalah berada satu langkah lebih cepat dari Sabrina dan kedua orang tuanya."Aku mengerti," jawab Faissal. Saat itu juga mereka menuju bandara. Ada beberapa itinerary yang dirubah melalui pemesanan tiket khusus yang dilakukan oleh Fatma. Sebenarnya ada cara yang lebih praktis, yakni dengan menggunakan jet pribadi milik Keluarga Besar Benmoussa, tapi sepertinya hal itu justru menjadi keputusa
"Apa? Aku berkata yang sesungguhnya, 'kan? Dengar Fatma, aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih egois dari pada kamu selama aku hidup. Jadi kamu pikir, dengan meminta perpisahan maka kamu akan bahagia?" Omran tak kuasa untuk mengungkapkan segala beban di dalam hatinya. Keberanian itu muncul begitu saja sejak dia mendengar pengakuan Fatma di hadapan kedua orang tuanya, meskipun mereka tidak mampu mencerna ucapan wanita itu.Sementara Fatma menutup kedua telinganya, Omran masih terus mencercanya dengan kenyataan yang tidak bisa terelakkan."Kamu berkhianat! Itu alasannya. Mari kita permudah ini, Omran! Hiduplah dengan normal bersama wanita ular itu.""... Kamu tahu kesalahanmu, kamu tahu siapa dia, dan kamu tahu semua ini tidak benar, lalu kamu dengan mudah melakukannya. Kamu tidak pantas untuk menerima cintaku!" Fatma menatap Omran dengan tatapan nyalang, seolah membuat lidah pria itu terkunci. Dia tahu, kesalahannya terhadap sang istri sulit untuk dimaafk
Wajah Sabrina memerah dengan rasa panik yang menguasai dirinya. Wanita itu merasa kecolongan dengan kenyataan yang baru saja dia dengar. Pantas saja sikap Omran terlihat berbeda ketika bersinggungan dengan Fatma. Rupanya mereka sudah merahasiakan pernikahan itu. Namun, hal yang masih belum dimengerti oleh Sabrina adalah bagaimana bisa Omran membiarkan istrinya yang sedang hamil pergi meninggalkan Paris. Tidak diragukan lagi bahwa Omran mengetahui kondisi Fatma yang sedang hamil. Akan tetapi, tampaknya pria itu tidak terlihat bahagia. Ada begitu banyak spekulasi di dalam kepala Sabrina, salah satunya adalah dugaan bahwa Omran tidak tahu bahwa janin yang dikandung Fatma adalah darah dagingnya sendiri. Meskipun selalu memandang rendah Fatma, hati kecil Sabrina tidak bisa mengelak bahwa Fatma tidak mungkin hamil dari pria lain selain dari suami sah nya. Kesetiaan wanita itu dalam ikatan pernikahan tidak bisa diragukan. Dugaan itulah yang paling masuk akal di antara dugaan-