Hari- hari berjalan tanpa ada sesuatu yang istimewa. Fatma kini sudah berstatus sebagai istri sah dari Tuan Ridwan, pemilik usaha pertunjukan sirkus yang berusia 59 tahun.
Tempaan hidup yang dilalui Fatma tak lantas membuat dirinya hanya berserah dan pasrah dengan keadaan. Fatma yakin suatu hari nanti dia akan bangkit dari keterpurukan yang tidak ada habis-habisnya ini.
Diam-diam gadis malang itu pergi ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan. Lebih tepatnya mengintip pelajaran yang berlangsung di dalam kelas melalui celah-celah di sudut ruangan yang terbuat dari kayu.
Selama hidup bersama sang ayah, Fatma tidak mendapatkan kebebasan untuk menuntut ilmu. Sepertinya dia sengaja dibiarkan menjadi bodoh, yang buta akan pendidikan oleh ayah kandungnya sendiri. Sesekali dia mencatat apa yang tertulis di papan tulis. Merapalkan bacaan yang ditirunya dari seorang guru yang diam-diam dia curi ilmunya. Pantaskah Fatma disebut sebagai pencuri ilmu? Yang pasti apapun itu, Fatma hanya ingin ada perubahan di dalam hidupnya yang terlanjur menyedihkan.
Selama hidup bersama Tuan Ridwan, hari-hari yang dilalui Fatma tidaklah semenyedihkan seperti yang dia jalani ketika dia tinggal bersama sang ayah. Namun, hal itu bukan berarti bisa dikatakan sebagai kehidupan impian bagi seorang Fatma. Tuan Ridwan memang tak sekalipun menyiksa fisik Fatma ataupun berkata kasar kepada wanita muda itu.
Namun, sikap Tuan Ridwan sebagai pria dewasa yang selalu meminta haknya sebagai seorang suami, membuat Fatma merasa jijik dengan tubuhnya sendiri. Meskipun awalnya dia tidak mengerti apa yang dilakukan suaminya itu, dia tetap bersedia diperlakukan demikian. Hingga seiring waktu, dia pun memahami bahwa seperti itulah jalannya sebuah pernikahan, sampai pada fase dirinya mampu menerima dan terbiasa dengan ritme rutinitas itu.
Tak sekali pun Fatma berani menolak meski jauh di lubuk hati, dia tidak menginginkan hal seperti itu terus berulang. Menatap wajah Tuan Ridwan yang semakin banyak kerutan itu saja terkadang terasa menjijikkan, apalagi harus saling bersentuhan.
Ya, mungkin berdamai dengan takdir adalah salah satu pilihan agar dia mampu menjalani kehidupan dengan penuh rasa syukur. Manusia mana yang tak pernah bermimpi hidup bahagia layaknya seorang putri raja? Namun, tak jarang ekspetasi justru bertolak belakang dengan realita. Lalu apakah ironi hidup yang Fatma jalani lantas memadamkan mimpi-mimpi yang telah terukir? Realita tetaplah realita, tidak peduli jika Fatma ingin menghindarinya atau tidak. Semua itu tidak akan mengubah kenyataan yang ada, kecuali jika mencoba untuk tegar dan bersyukur.
Dan ... Seperti inilah Fatma. Menjalani lika-liku hidup dengan badai yang tidak ada habis-habisnya. Bersamaan dengan kepasrahan, dia berusaha memantaskan dan memantapkan diri untuk melangkah menuju kehidupan yang lebih baik. Tak sekali pun terbelesit di dalam benaknya untuk menyalahkan keadaan. Karena jalannya sebuah kehidupan sungguh di luar kuasa manusia untuk memprediksi.
Hari-hari sudah berlalu hingga tanpa terasa kehidupan berumah tangga bersama Tuan Ridwan sudah berjalan selama dua tahun. Di mana usia Fatma sudah beranjak tujuh belas tahun. Masih tergolong terlalu muda jika disandingkan dengan statusnya yang kini merupakan seorang wanita bersuami.
Setiap hari, Tuan Ridwan jarang terlihat di rumah karena disibukkan dengan grup sirkus miliknya, yang menampilkan berbagai atraksi dari beberapa anggotanya, termasuk Tuan Ridwan sendiri yang terlibat. Usaha pertunjukan sirkus itulah yang menjadi salah satu penghasilan bagi Tuan Ridwan. Pendapatan yang dihasilkan dari usaha tersebut terbilang cukup menjanjikan. Bahkan rumah megah yang mereka tempati saat ini adalah bentuk dari hasil jerih payah Tuan Ridwan dalam menjalankan usahanya itu.
Sebagai seorang suami yang tidak menampakkan rasa sayangnya dengan terang-terangan, Tuan Ridwan hanya akan berkomunikasi terhadap istrinya ketika pria berumur itu sedang membutuhkan sang istri untuk menuntaskan kebutuhan seksualnya saja. Namun, di balik sikapnya yang tak biasa, Tuan Ridwan tetap melaksanakan kewajiban untuk menafkahi Fatma, memenuhi segala kebutuhan istrinya dengan nominal yang terbilang lebih dari cukup.
Malam ini, tak berbeda dari malam-malam sebelumnya. Fatma menjalankan tugas sebagai istri sah seorang pria tua yang hanya membutuhkannya ketika berada di atas ranjang. Tak sedikit pun Fatma menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh pria berumur itu. Pikirannya menerawang entah ke mana. Setiap detik berlalu seakan terlalu lamban. Rasa jijik kini sudah diabaikan karena suka tidak suka, hal itu akan tetap terjadi. Saat aktifitas itu berakhir, saat itu pula Fatma seolah menemukan kembali kebebasannya. Berbeda dengan pasangan suami istri pada umumnya yang menjadikan aktifitas malam sebagai sesuatu yang begitu dinantikan, bersama-sama menuju ke tujuan yang sama, yakni mencapai puncak yang diusahakan bersama dengan kerja keras yang sebanding dengan apa yang mereka harapkan.
Membersihkan tubuh adalah pilihan yang akan dilakukan Fatma saat ini. Namun, tangan berkerut milik pria itu seketika menahan pergerakan Fatma. "Jangan ke mana-mana, ada yang ingin aku bicarakan." Suara pria itu terputus-putus dengan napasnya yang masih tak beraturan, seiring dengan pergerakan dadanya yang menembang dan mengempis. Namun, kata-katanya masih jelas terdengar. Fatma mengurungkan niatnya untuk menjauh, tapi wanita cantik itu tak sekalipun menjawab. Hanya menunggu sang suami mengungkapkan maksudnya.
"Sebaiknya mulai besok kamu ikut aku bekerja." Tuan Ridwan membuka pembicaraan, sementara Fatma tak sekali pun menjawab atau bahkan sekedar bertanya. Yang dia tahu, jika Tuan Ridwan memerintahkan sesuatu, maka tak ada alasan baginya untuk membantah. Diam adalah tindakan terbaik, karena dia tahu apapun yang dia ucapkan nantinya tak akan berpengaruh sama sekali.
Tuan Ridwan membenarkan posisi dan menatap istri kecilnya, "Aku tidak memintamu untuk bekerja jika kamu belum siap, Fatma. Sebaiknya kamu ikut saja dan saksikan seperti apa orang-orangku mengumpulkan uang. Dan kamu bisa sambil belajar melakukannya. Jika kamu sudah mampu, maka kamu bisa ikut bergabung."
Tuan Ridwan mengusap wajahnya dengan kasar, "Sebenarnya aku membutuhkan setidaknya satu orang perempuan untuk meramaikan pertunjukan. Karena minat pengunjung sepertinya sudah mulai berkurang." Pria itu kemudian pergi meninggalkan Fatma sendiri di atas tempat tidur. Masih dengan kondisi tanpa busana. Tubuh Gadis itu masih terlihat khas seperti bocah ingusan yang baru saja tumbuh menjadi seorang remaja.
Bagaimana bisa pria berumur seperti Tuan Ridwan memiliki gairah terhadap gadis polos seperti Fatma. Hingga setiap malam gadis cantik itu harus merelakan dirinya untuk selalu disentuh. Entah haruskah Fatma bersedih atau justru berbahagia. Hidup menderita bersama sang ayah kini sudah berakhir. Setidaknya perlakuan Tuan Ridwan lebih manusiawi dari pada orang tuanya sendiri.
Seperti biasanya, malam itu Tuan Ridwan dapat dipastikan tidak akan kembali ke kediaman mereka. Pertunjukan sirkus biasanya memang berlangsung di malam hari. Bahkan terkadang bisa berakhir hingga pagi menjelang.
Keesokan harinya.
"Kamu sudah siap, Fatma?" tanya Tuan Ridwan.
Fatma mengangguk. Pakaian yang dikenakannya pun berbeda dari sebelum gadis cantik itu menikah dengan Tuan Ridwan. Penampilannya terlihat lebih layak, tak ada lagi goresan-goresan di tubuh yang menjadi tanda penyiksaan yang selalu dilakukan sang ayah dengan istri-istrinya.
"Aku harap kamu tidak bosan nantinya. Jika kamu lelah, kamu boleh beristirahat di ruang ganti. Tapi ingat! Jangan sekali-kali kamu berbicara dengan pria lain. Jika tidak, aku tidak akan segan-segan memberimu pelajaran yang tidak bisa kamu lupakan seumur hidup. Kamu mengerti, Fatma?" Lagi-lagi Fatma mengangguki ucapan sang suami.
Fatma mengekori langkah suaminya. Pasangan menikah itu terlihat layaknya hubungan seorang ayah dengan anak. Usia mereka terpaut begitu jauh meskipun tidak dipungkiri penampilan Tuan Ridwan masih terbilang tampan dan bugar. Tubuhnya terlihat sehat dan terawat, berbeda dengan pria-pria lain yang seusia dengannya. Namun, Fatma tidak memedulikan pandangan orang-orang yang menatapnya dengan tatapan aneh. Beberapa dari mereka terlihat iba, dan selebihnya menatap jijik terhadap Fatma, hingga tibalah mereka di lokasi pertunjukan yang dimaksud.
Fatma, seorang bocah cantik yang kini tumbuh menjadi seorang wanita muda, dengan semangat menyaksikan pertunjukan yang ada di hadapannya. Layaknya seorang remaja berusia 17 tahun, sesekali dia bersorak dan bertepuk tangan dengan antusias. Selama ini yang dia tahu bahwa suaminya memiliki sebuah grup sirkus. Namun, tak sekalipun Fatma diajak untuk menyaksikan. Kali ini Fatma akan meminta izin kepada Tuan Ridwan agar dirinya diperbolehkan untuk diajak melihat pertunjukan itu setiap hari. Sungguh menyenangkan bisa menyaksikannya tanpa membayar, bukan?
"Wah ... Tuan hebat sekali!" Fatma berteriak kegirangan ketika melihat Tuan Ridwan begitu lihai menunggangi seekor harimau yang berukuran sangat besar. Sungguh pertunjukan yang tak biasa. Bukankah hewan itu adalah hewan pemangsa. Namun, kehebatan Tuan Ridwan seolah membuat hewan buas itu menjadi selayaknya seekor kucing penurut. Kedua bibir Fatma terbuka menganga tak henti karena begitu takjub menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan yang ditampilkan di panggung. Baru kali ini remaja cantik itu merasakan dunia luar yang sesungguhnya, yang tidak pernah diperoleh sejak dia kecil. Riuh tepuk tangan dari pengunjung yang menyaksikan pertunjukan seolah membuat para pemain merasa semakin bersemangat untuk mempertontonkan keahlian mereka. Mulai dari aksi panjat memanjat akrobatik, interaksi dengan hewan buas, bahkan interaksi dengan benda-benda berbahaya seperti lingkaran besi panas berapi. Beberapa saat setelahnya, pertunjukan berakhir seiring berakhirnya tepukan ri
Di sebuah ruang pemeriksaan kepolisian. "Jadi benar bocah itu istrimu?" Tuan Ridwan mau tidak mau harus mempertanggung jawabkan kebodohan yang telah dilakukannya terhadap Fatma. Kali ini bukan hanya tuntutan akibat kekerasan dan penganiayaan yang telah dilakukannya terhadap Fatma, melainkan juga tuntutan pernikahan yang dilakukannya terhadap anak di bawah umur. Bukan hanya Tuan Ridwan yang terlibat, tetapi ayah kandung Fatma sendiri harus ikut terseret di dalam kasus ini. Karena akibat pria yang berstatus sebagai seorang ayah itulah yang membuat putri kecilnya harus menjalani pernikahan di bawah umur. Sementara kondisi Fatma sudah mulai membaik, meskipun masih harus beristirahat secara total. Terlebih lagi saat ini kondisi kandungannya masih sangat lemah. Perempuan malang itu sempat terkejut setelah mengetahui bahwa saat ini dirinya sedang berbadan dua. Yang artinya, dalam waktu dekat dia akan menjadi seorang ibu. Ibu yang sangat muda tentunya.
Tak begitu jauh dari lokasi rumah sakit, Tuan Ayyoub menunggu Fatma dalam kegelapan. Perlahan Fatma mendekati posisi Tuan Ayyoub dengan cara mengendap-ngendap. Khawatir jika ada yang melihatnya, Fatma menutup rambut dengan kerudung hingga sebagian wajahnya yang hanya nampak di bagian mata. "Tuan ...!" ucap Fatma sedikit berbisik. Tuan Ayyoub meletakkan jari telunjuknya tepat di permukaan bibirnya, memberi isyarat kepada Fatma agar tak berisik. Matanya mengerling ke arah kiri dan kanan, kalau-kalau saja ada orang lain yang mengetahui rencana mereka berdua. "Ayo, Nona." Dia meraih tangan Fatma, menggandeng tangan kurus itu agar segera beranjak pergi secepat mungkin. Spanyol, negara itulah yang akan dijadikan tujuan. Negara terdekat yang dapat mereka tuju untuk sementara waktu. Tanpa identitas apapun yang mereka miliki. Terutama bagi Fatma, tak satupun dokumen yang dia bawa untuk menunjukkan identitasnya jika sewaktu-waktu tertangkap oleh pihak imigrasi
*** Tiga tahun yang lalu. Tubuh ringkih Mauza babak belur berkali-kali dicambuk oleh sang suami. Tuan Ridwan yang memiliki gangguan Bipolar Disorder sejak kecil itu tanpa rasa bersalah terus saja melayangkan cambukannya kepada istrinya yang baru berusia lima belas tahun. Wanita muda itu bahkan sudah tersengal-sengal dengan tenaganya yang semakin melemah. Mauza berulang kali memohon ampun untuk terbebas dari siksaan yang mendera. Ini bukanlah pengalaman pertama bagi Mauza mendapatkan penyiksaan dari sang suami. Namun, untuk kali ini sepertinya Tuan Ridwan sudah terlalu kalap. Dia sendiri pun tak mampu lagi mengontrol emosinya. Setiap kali cambukan mengenai tubuh Mauza, ada perasaan puas yang membuat Tuan Ridwan ingin melakukannya lagi dan lagi. Sejak dulu, Tuan Ridwan memang menyukai gadis yang berusia jauh lebih muda darinya untuk dijadikan sebagai istri. Menurutnya, menikahi gadis muda akan lebih baik. Karena biasanya gadis-gadis muda dari k
Di Sebuah ruang bawah tanah, di mana tidak ada sinar matahari yang dapat menembus, disertai udara lembab yang berasal dari permukaan tanah yang sedikit tergenang. Di sinilah seseorang sedang mengalami penyiksaan. Bukkkk! Tubuh tua Tuan Gamal terhempas ke tanah, menyebabkan genangan air di permukaannya menyembur. Dentuman keras ikut terdengar ketika Tuan Ridwan mendaratkan sebuah tongkat tepat ke rahang dengan rambut-rambut memutih miliknya. Sudut bibirnya terluka dan mengeluarkan cairan merah segar. Pria itu berlutut memohon belas kasihan. "A-ampun ... Sungguh aku tidak tahu di mana Fatma berada saat ini." Tuan Gamal memelas dengan tubuh gemetar. Tuan Ridwan melayangkan tinjuan berkali-kali, hingga Tuan Gamal merasakan posisi tulang rahangnya seolah bergeser dari tempat yang seharusnya. Tuan Ridwan mendengkus, "Jelas kamu tidak tahu apa-apa! Karena ketidak tahuanmu itulah membuat kamu berada di tempat ini." Dengan sedikit cahaya
Tidak ada pilihan lain kecuali untuk tetap berada di dalam hutan sebelum orang-orang yang berwajah masam itu menghilang dari pandangan Fatma dan Tuan Ayyoub. Hal itu bukan masalah besar bagi Tuan Ayyoub, namun tidak bagi Fatma. Wanita hamil itu sedang dalam kondisi benar-benar lemah. Bibirnya nampak sangat pucat. "Fatma ..!" "..." "Fatma! Kumohon!" Urat-urat kebiruan terlihat jelas di pelipis Tuan Ayyoub. Pria itu menggertakkan giginya dengan wajah yang memerah. Sementara Fatma tidak sekalipun menjawab, bahkan tubuhnya terkulai lemas. Melihat situasi seperti ini, Tuan Ayyoub ingin menjerit saat itu juga untuk meminta pertolongan, akan tetapi kondisinya tidak memungkinkan sama sekali. Orang-orang suruhan Tuan Ridwan sepertinya masih terdengar berkeliaran, dan ini bukan pertanda baik. Lagi-lagi Tuan Ayyoub menepuk-nepuk pipi Fatma secara bergantian, "Tidak, aku tidak ingin melihat ini untuk kedua kalinya. Fatma, kumohon! Fatma, bangunlah!" Tuan
Fatma mengerjap, bulu mata lentiknya bergerak-gerak ketika wanita berparas cantik itu berusaha membuka kedua kelopak mata. Dia membuka matanya yang terasa berat. Sisa rasa sakit menjalar di tubuh mungilnya. Dia tidak tahu sejak kapan dirinya kehilangan kesadaran. Namun, yang pasti dia merasa sudah cukup lama tertidur. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan yang bernuansa putih yang seolah familiar di dalam ingatan. Beberapa hari yang lalu dirinya pernah mengalami kejadian yang sama seperti saat ini. Tidak salah lagi, Fatma mendapati dirinya terbaring di brankar rumah sakit dengan pergelangan tangan yang terpasang selang infus. Ingatannya berputar pada kejadian sebelum dirinya berada di tempat ini. Satu orang yang paling dia ingat adalah sosok Tuan Ayyoub yang selalu melindunginya. Dengan memaksakan diri untuk bangkit, Fatma mencoba mencari keberadaan pria itu di dalam ruangan. Namun, dirinya tidak menemukan siapapun. Pintu ruang perawatan terbuka, Fatma
Deru napas menggema di dalam ruang bawah tanah tanpa penerangan yang memadai. Tuan Gamal mencoba menggali untuk melarikan diri. Berharap dirinya dapat keluar dari penjara bawah tanah milik si Iblis, Tuan Ridwan. Tak seorang pun penduduk mengetahui wujud asli Tuan Ridwan yang tak ubahnya seperti iblis berwujud manusia, kecuali anak buah dan orang-orang yang pernah bermasalah dengannya. Tuan Gamal bergidik ngeri setelah melihat begitu banyak tulang belulang manusia berserakan di dalam ruang pengap itu. Tak hanya satu atau dua tengkorak manusia yang dia lihat, melainkan puluhan atau mungkin lebih dari itu. Sangat memungkinkan tak ada satu orang pun yang berhasil terbebas dari penyiksaan Tuan Gamal. Andaipun ada, sudah pasti kedoknya akan terbongkar. Tidak, Tuan Gamal tidak ingin berakhir dengan mengenaskan seperti korban-korban yang lain. Sungguh dia menyesali akan tindakan yang dia ambil sebelumnya untuk terlibat dengan kehidupan pria kejam itu. Meski demikian, tidak a