Dua hari kemudianDressyang dipesankan Kak Kevan datang. Saat aku lagi diajak Om Aditya nonton siaran ulang sepak bola di sore hari, tiba-tiba Kak Kevan memelukku dari belakang dan menunjukkan sebuah bungkusan tepat di depan mataku."Apa ini, Kak?""Coba kamu tebak."Aku berpikir sebentar. "Cokelat? Kue?"Kak Kevan menggeleng sembari tersenyum padaku."Masa gitu nggak tau, Frel?" ucap Om Aditya yang kini sebelah tangannya terangkat ke atas sandaran sofa dan melingkari bahu Tante Viona."Emang apaan, Om?""Itu isinya bom, entar meledak waktu kamu buka.""Hah?" Aku terperanjat, ketakutan."Masa, sih?"Seketika Om Aditya tertawa keras dan Tante Viona langsung melayangkan pukulan
Sudah hampir seminggu ini aku berpacaran dengan Kak Kevan, sikap dan tingkahku juga sudah kembali seperti semula. Tidak ada gagu ataupun rasa canggung yang menyelimutiku di saat kami berduaan, bahkan aku mulai berani beberapa kali menggoda Kak Kevan dan mencium pipinya dari belakang sembari tanganku melingkar di lehernya saat ia sedang seriusnya menonton televisi.Yeah, walaupun aku masih beberapa kali salah tingkah di depan Kak Kevan ketika ia mulai menatapku dalam, dengan senyuman manis dan melancarkan kata-kata romantisnya, tetapi paling tidak, aku tidak terlihat segagu dan secanggung saat di awal hubungan kami.Kak Kevan juga sepertinya sudah terbiasa denganku, nggak menunjukkan gugup atau malu berlebihan saat digoda Om aditya.Kalian tahu, aku merasa hidupku kali ini semakin berwarna sejak kehadiran Kak Kevan. Ia selalu rela memberikan seluruh waktunya untukku ketika aku membutuhkan.
Pagi yang cerah. Mobil Kak Kevan membelah jalan raya dengan santai tanpa terkesan terburu-buru. Dari balik kaca kulihat pohon, bunga serta tanaman lain terlihat segar nan indah. Wajar aja semalam hujan begitu deras sehingga pagi ini pun sisa titik-titik hujan masih melekat di daun dan tangkainya.Kubuka sedikit jendela kaca mobil di sampingku. Kuhirup udara dan angin yang membelai wajahku. Mataku terpejam merasakan semilirnya, seakan-akan kedamaian tengah menyapaku dan membisikkan kalimat terindah di telingaku.Di sepanjang perjalanan kulihat Kak Kevan lebih fokus menyetir dan sesekali mengikuti alunan musik jazz di radio. Aku pun ikut tertarik mendengarkan lagunya. Ah, musik lembut seperti ini memang sangat mendukung dengan cuaca pagi sekarang. Lagunya seolah-olah memberi rasa kenyamanan bagi setiap orang yang mendengarnya."Hati rasanya tenang, ya, Kak, denger musik kayak gini," ujarku sambil
Untuk menebus rasa bersalahku kepada Kak Kevan karena tadi di kantin membuatnya lama menunggu, terlebih-lebih saat kutahu ia tak menyentuh makanan pesanannya sedikit pun sebelum aku datang, akhirnya sepulang sekolah aku mampir ke rumah Kak Kevan dan menghabiskan waktuku bersamanya.Setelah aku dan Kak Kevan selesai bermain ular tangga yang sengaja aku bawakan dari hasil merampok kepunyaan Udin, aku kini lanjut membaca komik kesukaanku sambil tidur-tiduran pada paha Kak Kevan sebagai alas bantal kepalaku, sementara Kak Kevan memainkan rambutku dengan lembut sembari sesekali ia tertawa ketika kuceritakan beberapa adegan lucu.Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar pintu kamar terdorong kuat hingga menimbulkan bunyi keras. Refleks aku terlonjak kaget dan melihat seorang nenek yang masih terlihat bugar berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang.Kalau dilihat dari wajahnya kemungkinan us
Sudah berminggu-minggu aku tak pernah bertegur sapa dengan Kenn, tepatnya Kenn yang terlihat selalu menjauhiku.Bukan hanya di kelas ia mendiamiku, di luar juga ia seperti itu padaku. Setiap kami berpapasan di koridor sekolah, ia berlaku seakan-akan tak mengenalku. Tiap kali aku akan mendekatinya—entah ini hanya perasaanku atau bukan—ia seolah-olah menghindar sebelum aku berada tepat di depannya.Pernah aku bertanya langsung pada Tomi mengenai perubahan sikap Kenn, bukannya menjawab ia malah bertanya balik, "Lo belum nyadar juga?"Astaga ini anak! Jika aku tahu mana mungkin aku bertanya. Waktu itu aku hanya bisa memutar bola mataku atas pertanyaan bodoh Tomi."Lebih baik lo pikirkan lagi, siapa sebenernya cowok yang ada di hati lo sekarang," lanjut Tomi, lantas meninggalkanku sendiri dengan sebuah pertanyaan baru yang tak kumengerti apa maksudnya.
"A-anda?" Mataku melotot dengan mulut terbuka lebar begitu mengetahui siapa yang berdiri di depanku."M-m-maaf, tadi saya nggak sengaja." Ya. Dia barusan menabrakku, tapi aku tetap berdiri layaknya patung tanpa menjawab permintaan maafnya. "Saya sedang buru-buru. Maaf sekali lagi."Aku baru tersadar selepas wanita itu hilang dari pandanganku meski sempat kulihat ia beberapa kali menoleh ke belakang untuk menatapku.Mataku mengerjap. "Dia ... di sini? Di Indonesia?""Lo kenapa?" tanya Kenn."Di-dia?" Aku masih syok. Sedetik kemudian aku berteriak histeris, "Aaaaaaaaaaaa—"Serta-merta Kenn membekap mulutku. "Lo bisa diem, nggak? Ini panti."Kuangguk-anggukkan kepalaku. Seketika Kenn melepaskan tangannya dan aku langsung cengengesan."Lo tau tadi sia
Sejak beberapa puluh menit yang lalu, aku tak henti-hentinya bergerak dan terkagum-kagum melihat apa yang ada di depanku sekarang.Kepalaku memutar kiri, kanan, belakang, lalu ke depan lagi, seakan tidak percaya atas apa yang sedang kulihat. Mencoba membuktikan bahwa ini bukan khayalan semata, jemariku pun seolah-olah mempunyai nyawa sendiri dan tanpa kusuruh, ia mulai menelusuri setiap benda mewah yang ada di hadapanku.Halus, mulus, elegan, dan wow ... kereeen. Tapi tunggu! Hey ... aku bisa menyentuhnya. Jadi ini nyata?"Lo bisa nggak biasa aja?"Seketika aku tersentak lantas menoleh ke samping dan berdecak sebal menatap Kenn yang kini tengah mengemudi mobil dengan santainya. Tanpa membalas ucapannya, segera aku melengos sewot ke bagian samping tepat di jendela kaca mobil.Dahiku mengernyit, tatapan mataku menajam, kemudian berganti mel
BLAAM!!Pintu kututup kuat-kuat. Aku bersandar pada pintu rumah sambil memegang dadaku yang berdebar tak karuan. Aku mengembuskan napas berkali-kali untuk menormalkan jantungku kembali.Tadi itu apa, ya?Argh... siiiaaaaaall!Aku terdiam. Ingatanku kembali mencerna kejadian beberapa menit yang lalu. Saat Kenn mengantarku pulang dan ketika Kenn menawarkan tangannya untuk kusambut waktu akan turun dari mobil."Makasih, Kenn," ucapku dengan senyum canggung.Kenn mengangguk singkat, masih memegang tanganku. Ia menatapku intens. Aku meneguk ludah, tak tahu harus bersikap bagaimana."Perlu gue antar sampai dalam?""Nggak, nggak perlu, Kenn." Kubasahi bibirku, aku mendadak diserang gugup yang luar biasa.Per