Pagi yang cerah. Mobil Kak Kevan membelah jalan raya dengan santai tanpa terkesan terburu-buru. Dari balik kaca kulihat pohon, bunga serta tanaman lain terlihat segar nan indah. Wajar aja semalam hujan begitu deras sehingga pagi ini pun sisa titik-titik hujan masih melekat di daun dan tangkainya.Kubuka sedikit jendela kaca mobil di sampingku. Kuhirup udara dan angin yang membelai wajahku. Mataku terpejam merasakan semilirnya, seakan-akan kedamaian tengah menyapaku dan membisikkan kalimat terindah di telingaku.Di sepanjang perjalanan kulihat Kak Kevan lebih fokus menyetir dan sesekali mengikuti alunan musik jazz di radio. Aku pun ikut tertarik mendengarkan lagunya. Ah, musik lembut seperti ini memang sangat mendukung dengan cuaca pagi sekarang. Lagunya seolah-olah memberi rasa kenyamanan bagi setiap orang yang mendengarnya."Hati rasanya tenang, ya, Kak, denger musik kayak gini," ujarku sambil
Untuk menebus rasa bersalahku kepada Kak Kevan karena tadi di kantin membuatnya lama menunggu, terlebih-lebih saat kutahu ia tak menyentuh makanan pesanannya sedikit pun sebelum aku datang, akhirnya sepulang sekolah aku mampir ke rumah Kak Kevan dan menghabiskan waktuku bersamanya.Setelah aku dan Kak Kevan selesai bermain ular tangga yang sengaja aku bawakan dari hasil merampok kepunyaan Udin, aku kini lanjut membaca komik kesukaanku sambil tidur-tiduran pada paha Kak Kevan sebagai alas bantal kepalaku, sementara Kak Kevan memainkan rambutku dengan lembut sembari sesekali ia tertawa ketika kuceritakan beberapa adegan lucu.Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar pintu kamar terdorong kuat hingga menimbulkan bunyi keras. Refleks aku terlonjak kaget dan melihat seorang nenek yang masih terlihat bugar berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang.Kalau dilihat dari wajahnya kemungkinan us
Sudah berminggu-minggu aku tak pernah bertegur sapa dengan Kenn, tepatnya Kenn yang terlihat selalu menjauhiku.Bukan hanya di kelas ia mendiamiku, di luar juga ia seperti itu padaku. Setiap kami berpapasan di koridor sekolah, ia berlaku seakan-akan tak mengenalku. Tiap kali aku akan mendekatinya—entah ini hanya perasaanku atau bukan—ia seolah-olah menghindar sebelum aku berada tepat di depannya.Pernah aku bertanya langsung pada Tomi mengenai perubahan sikap Kenn, bukannya menjawab ia malah bertanya balik, "Lo belum nyadar juga?"Astaga ini anak! Jika aku tahu mana mungkin aku bertanya. Waktu itu aku hanya bisa memutar bola mataku atas pertanyaan bodoh Tomi."Lebih baik lo pikirkan lagi, siapa sebenernya cowok yang ada di hati lo sekarang," lanjut Tomi, lantas meninggalkanku sendiri dengan sebuah pertanyaan baru yang tak kumengerti apa maksudnya.
"A-anda?" Mataku melotot dengan mulut terbuka lebar begitu mengetahui siapa yang berdiri di depanku."M-m-maaf, tadi saya nggak sengaja." Ya. Dia barusan menabrakku, tapi aku tetap berdiri layaknya patung tanpa menjawab permintaan maafnya. "Saya sedang buru-buru. Maaf sekali lagi."Aku baru tersadar selepas wanita itu hilang dari pandanganku meski sempat kulihat ia beberapa kali menoleh ke belakang untuk menatapku.Mataku mengerjap. "Dia ... di sini? Di Indonesia?""Lo kenapa?" tanya Kenn."Di-dia?" Aku masih syok. Sedetik kemudian aku berteriak histeris, "Aaaaaaaaaaaa—"Serta-merta Kenn membekap mulutku. "Lo bisa diem, nggak? Ini panti."Kuangguk-anggukkan kepalaku. Seketika Kenn melepaskan tangannya dan aku langsung cengengesan."Lo tau tadi sia
Sejak beberapa puluh menit yang lalu, aku tak henti-hentinya bergerak dan terkagum-kagum melihat apa yang ada di depanku sekarang.Kepalaku memutar kiri, kanan, belakang, lalu ke depan lagi, seakan tidak percaya atas apa yang sedang kulihat. Mencoba membuktikan bahwa ini bukan khayalan semata, jemariku pun seolah-olah mempunyai nyawa sendiri dan tanpa kusuruh, ia mulai menelusuri setiap benda mewah yang ada di hadapanku.Halus, mulus, elegan, dan wow ... kereeen. Tapi tunggu! Hey ... aku bisa menyentuhnya. Jadi ini nyata?"Lo bisa nggak biasa aja?"Seketika aku tersentak lantas menoleh ke samping dan berdecak sebal menatap Kenn yang kini tengah mengemudi mobil dengan santainya. Tanpa membalas ucapannya, segera aku melengos sewot ke bagian samping tepat di jendela kaca mobil.Dahiku mengernyit, tatapan mataku menajam, kemudian berganti mel
BLAAM!!Pintu kututup kuat-kuat. Aku bersandar pada pintu rumah sambil memegang dadaku yang berdebar tak karuan. Aku mengembuskan napas berkali-kali untuk menormalkan jantungku kembali.Tadi itu apa, ya?Argh... siiiaaaaaall!Aku terdiam. Ingatanku kembali mencerna kejadian beberapa menit yang lalu. Saat Kenn mengantarku pulang dan ketika Kenn menawarkan tangannya untuk kusambut waktu akan turun dari mobil."Makasih, Kenn," ucapku dengan senyum canggung.Kenn mengangguk singkat, masih memegang tanganku. Ia menatapku intens. Aku meneguk ludah, tak tahu harus bersikap bagaimana."Perlu gue antar sampai dalam?""Nggak, nggak perlu, Kenn." Kubasahi bibirku, aku mendadak diserang gugup yang luar biasa.Per
Pagi ini kurasa wajahku tak sesuai dengan keinginanku. Tenagaku juga seakan-akan ikut mengempis. Saat bangun tidur, sempat kulihat di cermin wajahku yang luar biasa mengerikan. Wajah kucel, rambut yang berantakan dengan kantung mata hitam seperti panda.Aku hampir mengira semalam ada tante kunti yang menginap di rumahku dan ia lupa untuk kembali ke peraduannya.Aish, nyatanya aku baru tersadar itu bukan siapa-siapa melainkan diriku sendiri!Oke, mungkin ini efek samping dari kurangnya tidur. Aku tak tahu jam berapa mulai terlelap, yang kuingat saat rasa kantuk mulai menguasai, aku sempat mendengar sayup-sayup azan subuh berkumandang.Huft ..., jika aja aku tak mendengar seruan nenek akan datangnya Kak Kevan yang menungguku, bisa jadi aku akan tetap meringkuk di kasur dan memilih bolos ketimbang melawan setan kantuk yang begitu kuat.Aku m
Sesampainya di kelas seperti biasa, suasana layaknya pasar setiap ada pekerjaan rumah. Aku tercengang menyaksikan Adam kejar-kejaran dengan Andika yang tengah membawa lari bukunya, Udin sendiri sedang konser menyanyikan lagu dangdut yang berjudul "Begadang" dengan membawa sapu dibuat sebagai gitar, sementara yang lain asyik berkerumun membentuk sebuah lingkaran di beberapa tempat untuk menyalin dan menyontek milik teman-teman yang sudah selesai mengerjakan.Termasuk Tomi dan Dara. Mereka kulihat rebutan buku tulis di meja paling belakang, menggeser sang tuan rumah yang sekarang mengungsi di bangku tempatku duduk.Eh, omong-omong soal mengungsi, itu kan Kenn. Kalau begitu Dara dan Tomi menyontek jawaban Kenn, dong!Aku berjalan cepat menuju bangku. Dara yang melihatku datang langsung menyerbuku, mengambil buku tugas fisika dan menyalin jawabanku di sebelahnya Tomi."R
Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me
Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di
Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel
'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi
Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela
"Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang
Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw
Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.
Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.