Untuk menebus rasa bersalahku kepada Kak Kevan karena tadi di kantin membuatnya lama menunggu, terlebih-lebih saat kutahu ia tak menyentuh makanan pesanannya sedikit pun sebelum aku datang, akhirnya sepulang sekolah aku mampir ke rumah Kak Kevan dan menghabiskan waktuku bersamanya.Setelah aku dan Kak Kevan selesai bermain ular tangga yang sengaja aku bawakan dari hasil merampok kepunyaan Udin, aku kini lanjut membaca komik kesukaanku sambil tidur-tiduran pada paha Kak Kevan sebagai alas bantal kepalaku, sementara Kak Kevan memainkan rambutku dengan lembut sembari sesekali ia tertawa ketika kuceritakan beberapa adegan lucu.Tak berapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar pintu kamar terdorong kuat hingga menimbulkan bunyi keras. Refleks aku terlonjak kaget dan melihat seorang nenek yang masih terlihat bugar berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang.Kalau dilihat dari wajahnya kemungkinan us
Sudah berminggu-minggu aku tak pernah bertegur sapa dengan Kenn, tepatnya Kenn yang terlihat selalu menjauhiku.Bukan hanya di kelas ia mendiamiku, di luar juga ia seperti itu padaku. Setiap kami berpapasan di koridor sekolah, ia berlaku seakan-akan tak mengenalku. Tiap kali aku akan mendekatinya—entah ini hanya perasaanku atau bukan—ia seolah-olah menghindar sebelum aku berada tepat di depannya.Pernah aku bertanya langsung pada Tomi mengenai perubahan sikap Kenn, bukannya menjawab ia malah bertanya balik, "Lo belum nyadar juga?"Astaga ini anak! Jika aku tahu mana mungkin aku bertanya. Waktu itu aku hanya bisa memutar bola mataku atas pertanyaan bodoh Tomi."Lebih baik lo pikirkan lagi, siapa sebenernya cowok yang ada di hati lo sekarang," lanjut Tomi, lantas meninggalkanku sendiri dengan sebuah pertanyaan baru yang tak kumengerti apa maksudnya.
"A-anda?" Mataku melotot dengan mulut terbuka lebar begitu mengetahui siapa yang berdiri di depanku."M-m-maaf, tadi saya nggak sengaja." Ya. Dia barusan menabrakku, tapi aku tetap berdiri layaknya patung tanpa menjawab permintaan maafnya. "Saya sedang buru-buru. Maaf sekali lagi."Aku baru tersadar selepas wanita itu hilang dari pandanganku meski sempat kulihat ia beberapa kali menoleh ke belakang untuk menatapku.Mataku mengerjap. "Dia ... di sini? Di Indonesia?""Lo kenapa?" tanya Kenn."Di-dia?" Aku masih syok. Sedetik kemudian aku berteriak histeris, "Aaaaaaaaaaaa—"Serta-merta Kenn membekap mulutku. "Lo bisa diem, nggak? Ini panti."Kuangguk-anggukkan kepalaku. Seketika Kenn melepaskan tangannya dan aku langsung cengengesan."Lo tau tadi sia
Sejak beberapa puluh menit yang lalu, aku tak henti-hentinya bergerak dan terkagum-kagum melihat apa yang ada di depanku sekarang.Kepalaku memutar kiri, kanan, belakang, lalu ke depan lagi, seakan tidak percaya atas apa yang sedang kulihat. Mencoba membuktikan bahwa ini bukan khayalan semata, jemariku pun seolah-olah mempunyai nyawa sendiri dan tanpa kusuruh, ia mulai menelusuri setiap benda mewah yang ada di hadapanku.Halus, mulus, elegan, dan wow ... kereeen. Tapi tunggu! Hey ... aku bisa menyentuhnya. Jadi ini nyata?"Lo bisa nggak biasa aja?"Seketika aku tersentak lantas menoleh ke samping dan berdecak sebal menatap Kenn yang kini tengah mengemudi mobil dengan santainya. Tanpa membalas ucapannya, segera aku melengos sewot ke bagian samping tepat di jendela kaca mobil.Dahiku mengernyit, tatapan mataku menajam, kemudian berganti mel
BLAAM!!Pintu kututup kuat-kuat. Aku bersandar pada pintu rumah sambil memegang dadaku yang berdebar tak karuan. Aku mengembuskan napas berkali-kali untuk menormalkan jantungku kembali.Tadi itu apa, ya?Argh... siiiaaaaaall!Aku terdiam. Ingatanku kembali mencerna kejadian beberapa menit yang lalu. Saat Kenn mengantarku pulang dan ketika Kenn menawarkan tangannya untuk kusambut waktu akan turun dari mobil."Makasih, Kenn," ucapku dengan senyum canggung.Kenn mengangguk singkat, masih memegang tanganku. Ia menatapku intens. Aku meneguk ludah, tak tahu harus bersikap bagaimana."Perlu gue antar sampai dalam?""Nggak, nggak perlu, Kenn." Kubasahi bibirku, aku mendadak diserang gugup yang luar biasa.Per
Pagi ini kurasa wajahku tak sesuai dengan keinginanku. Tenagaku juga seakan-akan ikut mengempis. Saat bangun tidur, sempat kulihat di cermin wajahku yang luar biasa mengerikan. Wajah kucel, rambut yang berantakan dengan kantung mata hitam seperti panda.Aku hampir mengira semalam ada tante kunti yang menginap di rumahku dan ia lupa untuk kembali ke peraduannya.Aish, nyatanya aku baru tersadar itu bukan siapa-siapa melainkan diriku sendiri!Oke, mungkin ini efek samping dari kurangnya tidur. Aku tak tahu jam berapa mulai terlelap, yang kuingat saat rasa kantuk mulai menguasai, aku sempat mendengar sayup-sayup azan subuh berkumandang.Huft ..., jika aja aku tak mendengar seruan nenek akan datangnya Kak Kevan yang menungguku, bisa jadi aku akan tetap meringkuk di kasur dan memilih bolos ketimbang melawan setan kantuk yang begitu kuat.Aku m
Sesampainya di kelas seperti biasa, suasana layaknya pasar setiap ada pekerjaan rumah. Aku tercengang menyaksikan Adam kejar-kejaran dengan Andika yang tengah membawa lari bukunya, Udin sendiri sedang konser menyanyikan lagu dangdut yang berjudul "Begadang" dengan membawa sapu dibuat sebagai gitar, sementara yang lain asyik berkerumun membentuk sebuah lingkaran di beberapa tempat untuk menyalin dan menyontek milik teman-teman yang sudah selesai mengerjakan.Termasuk Tomi dan Dara. Mereka kulihat rebutan buku tulis di meja paling belakang, menggeser sang tuan rumah yang sekarang mengungsi di bangku tempatku duduk.Eh, omong-omong soal mengungsi, itu kan Kenn. Kalau begitu Dara dan Tomi menyontek jawaban Kenn, dong!Aku berjalan cepat menuju bangku. Dara yang melihatku datang langsung menyerbuku, mengambil buku tugas fisika dan menyalin jawabanku di sebelahnya Tomi."R
Beberapa hari ini aku benar-benar menuruti semua saran Dara dan Tomi. Mencoba bertanya pada diriku sendiri serta menyelami perasaan hatiku yang terdalam.Aku juga berusaha tak hanya fokus dalam satu titik. Tidak memihak pada siapa pun. Susah memang, tapi itu harus.Aku yakin kalian pasti tahu siapa yang aku maksud. Ya, kalian benar. Aku memang sedang membicarakan Kenn dan Kak Kevan.Kak Kevan. Nama yang selalu aku ingat sejak pertama kali aku meminta tanda tangannya saat MOS berlangsung. Waktu itu dengan hanya menatap mata dan senyumannya aja membuatku langsung ingin memilikinya. Mencari segala cara agar bisa berdekatan dengannya. Dan saat ada kesempatan mendatangiku, tanpa pikir panjang aku berubah menjadi cewek yang tak tahu malu dengan berani mengutarakan perasaanku di depannya. Yeah, meskipun akhirnya tetap aja Kak Kevan yang mengambil alih acara penembakan itu.