Beberapa hari ini aku benar-benar menuruti semua saran Dara dan Tomi. Mencoba bertanya pada diriku sendiri serta menyelami perasaan hatiku yang terdalam.Aku juga berusaha tak hanya fokus dalam satu titik. Tidak memihak pada siapa pun. Susah memang, tapi itu harus.Aku yakin kalian pasti tahu siapa yang aku maksud. Ya, kalian benar. Aku memang sedang membicarakan Kenn dan Kak Kevan.Kak Kevan. Nama yang selalu aku ingat sejak pertama kali aku meminta tanda tangannya saat MOS berlangsung. Waktu itu dengan hanya menatap mata dan senyumannya aja membuatku langsung ingin memilikinya. Mencari segala cara agar bisa berdekatan dengannya. Dan saat ada kesempatan mendatangiku, tanpa pikir panjang aku berubah menjadi cewek yang tak tahu malu dengan berani mengutarakan perasaanku di depannya. Yeah, meskipun akhirnya tetap aja Kak Kevan yang mengambil alih acara penembakan itu.
Sesampainya di taman yang cukup sepi, aku mulai menceritakan semuanya, dari mencoba bertanya pada diriku sendiri kayak orang bego yang kehilangan akan jati diri, berupaya agar aku bisa memilih antara dua pilihan dengan hanya mengandalkan sebuah perasaan, meski perasaan itu kerap aku singkirkan setiap kali bayangan Kenn yang hadir memenuhi kepalaku. Sampai pada sebuah kejadian tadi tatkala pandangan Kenn mengarah pada Gita, membuatku paham betul siapa yang selama ini singgah di hati. Memang, logikaku ingin tetap memilih Kak Kevan, tetapi hatiku mempunyai jalan sendiri untuk menentukan siapa pemiliknya. "Tapi siapa tau Kenn cuma berniat menolong Gita, Frel? Gue yakin Kenn cintanya ke lo, bukan Gita. Udah, lo jangan nangis, ya. Yang penting lo sekarang udah sadar sama perasaan lo sendiri," ujar Dara yang duduk menyamping menghadapku. Ti
Dari kejauhan Kenn dan Tomi sedang membicarakan sesuatu. Pintu masuk lift berada di sudut kiri, sementara mereka berada pada sisi pagar pembatas bagian tengah, sehingga aku tak bisa mendengar jelas pembicaraan mereka.Rooftopini ternyata nggak sesuai ekspektasi horor yang muncul di kepalaku. Kukira yang namanyarooftop sekolah akan ada banyak balok kayu bekas bangunan atau barang-barang yang sudah tak terpakai akan teronggok tak beraturan di sekitar tempat ini.Yeah, kurang lebih seperti gudanglah.Tetapi ternyata semuanya bersih dan rapi. Malahan di sini terkesan sejuk karena adanya beberapa pohon kecil dan tanaman indah yang menambah keasrian pemandangannya.Dan lihat, astaga, kenapa ada gazebo di tempat seperti ini? Memangnya hotel berbintang, apa?! Bahkan, gazebo itu terdapat beberapa sofa dan meja juga.E
Kutilik kembali tingkah Kenn. Ia terdiam sejenak, lalu diketup-ketupkan lagi rokoknya di asbak."Menurut lo?" Setelahnya ia menyesap batang terbakar itu dengan santai."Sialan lo! Ditanya bukan dijawab, malah tanya balik." Aku nggak tahu ekspresi Tomi kali ini seperti apa, yang jelas ia pasti jengkel setengah mati sebagaimana suaranya yang terdengar jutek.Suasana kini berubah sunyi. Tak kudengar suara apa pun dari Tomi maupun Kenn. Tatapanku sekarang mengarah pada bagian belakang kepala Tomi yang terlihat menyembul dari balik sofa yang ia duduki. Asap putih juga mengepul kuat di sana. Aku menghela napas berat. Sampai kapan ia bisa berhenti merusak dirinya sendiri seperti ini? Menunggu sampai pabrik rokok tutup semua?Bah, mana mungkin!"Kalo emang lo suka beneran sama Frel, kejar dia, Kenn. Jangan pernah lo lepasin dia. Jangan sampai lo nyesel kayak gu
Akibat dari perbuatanku memasuki kawasan terlarang, membuatku harus menanggung risiko untuk menjalani sebuah hukuman. Bukan hukuman dari para guru, melainkan dari Kenn dan Tomi.Aku bersandar pada dinding yang menghadap pintu toilet yang tertutup di depanku. Kupegang punggungku lalu kupijat pelan dengan sebelah tangan. Aku meringis tatkala rasa pegal dan ngilu menjalar ke seluruh anggota badanku. Duh, sakit semua rasanya!Kuusap keringat yang menetes dari dahi sembari melirik Tomi yang berdiri di sampingku sambil menyaksikan video dari hasil rekamannya saat menyiksaku.Aku nggak tahu itu hanya alasan mereka untuk mengerjaiku atau memang benar ingin membantuku. Kata mereka, hukuman menyuruhku mengepel toilet cowok dan cewek di lantai 3 kelas X, sudah cukup sebagai bukti bahwa aku sudah mendapat hukuman, jadi seumpama ada guru atau lebih parahnya sang pemilik sekolah berang dan ingin menghukumku l
Kami kini sedang berdiri di tengah taman yang terdapat air mancurnya.Dengan raut muka yang tak terbaca Kenn berkata, "Udah tau alasan gue kasih hukuman?""Ya. Tadi Tomi udah bilang ke gue," jawabku sambil mengalihkan pandanganku pada sekeliling taman."Gue harap ini terakhir kali lo membahayakan diri sendiri." Serta-merta aku berpaling dan mendapati Kenn tengah menatapku lekat."Mak-maksud lo?" Aku sadar benar apa yang ia katakan, akan tetapi otakku memerintahkan lebih baik aku berpura-pura tidak mengerti daripada salah menjawab karena serangan gugup.Langkahnya perlahan mendekat ke arahku. "Gue yakin lo paham apa yang gue maksud."Aku berdecak mendengar jawabannya. Ia selalu memberikan respons yang tak pernah sesuai dengan keinginanku."Ya, gue paham. Paham banget. Gue tuh cerobo
"Woy, ngelamun terus dari tadi." Aku tersentak mendengar seruan Kak Alvin yang berada di samping kananku. Ia tertawa ketika menyadari kebingunganku. "Kesurupan setan penunggu ruangan ini, tau rasa lo, Frel!""Garing lo, Vin," sahut Kak Ari dari samping kiriku."Biarin!"Aku hanya diam."Palingan setannya maunya sama lo doang," celetuk Kak Ari, lagi."Enak aja, lo kira gue nggak laku sampai setan pada nempel di gue," balas Kak Alvin sembari menimpuk Kak Ari dengan penggaris besi dari depan wajahku, sedangkan aku sedari tadi masih enggan bersuara.Aku menunduk sambil memilin rok seragamku. Entahlah, rasa-rasanya aku tak punya semangat lagi walaupun hanya sekadar menanggapi candaan mereka berdua.
Segalanya berubah semenjak kejadian di taman beberapa hari yang lalu. Semua tak sama dan tak akan pernah sama dengan hari-hari sebelumnya.Sejak kejadian di taman waktu itu, besoknya aku memilih diam, mencoba memaksa diri untuk tidak bertanya pada siapa pun mengenai keadaan Kenn. Meski akhirnya Dara tetap aja bercerita tentang Kenn yang tidak mau dibawa ke rumah sakit maupun UKS, dan lebih memilih pergi begitu aja tanpa mengatakan apa pun.Aku hanya diam mendengarkan Dara yang berceloteh bagaimana ekspresi Kenn saat aku pergi meninggalkannya. Tatapan tajam tetapi sarat akan luka, tangan terkepal kuat menyalurkan emosinya, hingga tetesan darah yang tak ia hiraukan sama sekali.Namun, sekali lagi, aku tetap memilih bungkam meski Dara dan Tomi memprotes respons dariku yang tak sesuai keinginannya. Aku memasang wajah datar, tak menyahut sedikit pun ucapan