"Woy, ngelamun terus dari tadi." Aku tersentak mendengar seruan Kak Alvin yang berada di samping kananku. Ia tertawa ketika menyadari kebingunganku. "Kesurupan setan penunggu ruangan ini, tau rasa lo, Frel!"
"Garing lo, Vin," sahut Kak Ari dari samping kiriku.
"Biarin!"
Aku hanya diam.
"Palingan setannya maunya sama lo doang," celetuk Kak Ari, lagi.
"Enak aja, lo kira gue nggak laku sampai setan pada nempel di gue," balas Kak Alvin sembari menimpuk Kak Ari dengan penggaris besi dari depan wajahku, sedangkan aku sedari tadi masih enggan bersuara.
Aku menunduk sambil memilin rok seragamku. Entahlah, rasa-rasanya aku tak punya semangat lagi walaupun hanya sekadar menanggapi candaan mereka berdua.
Segalanya berubah semenjak kejadian di taman beberapa hari yang lalu. Semua tak sama dan tak akan pernah sama dengan hari-hari sebelumnya.Sejak kejadian di taman waktu itu, besoknya aku memilih diam, mencoba memaksa diri untuk tidak bertanya pada siapa pun mengenai keadaan Kenn. Meski akhirnya Dara tetap aja bercerita tentang Kenn yang tidak mau dibawa ke rumah sakit maupun UKS, dan lebih memilih pergi begitu aja tanpa mengatakan apa pun.Aku hanya diam mendengarkan Dara yang berceloteh bagaimana ekspresi Kenn saat aku pergi meninggalkannya. Tatapan tajam tetapi sarat akan luka, tangan terkepal kuat menyalurkan emosinya, hingga tetesan darah yang tak ia hiraukan sama sekali.Namun, sekali lagi, aku tetap memilih bungkam meski Dara dan Tomi memprotes respons dariku yang tak sesuai keinginannya. Aku memasang wajah datar, tak menyahut sedikit pun ucapan
Suara riuh rendah bergemuruh memecah kesunyian, aura semangat yang tinggi menebar membawa keceriaan, berbagai teriakan silih berganti menembus gendang para pendengar, mengantarkan decak kagum untuk kami semua.Bunyi khas tepuk tangan pun tidak luput dari segala penjuru yang memadati lapangan besar di tengah-tengah sekolah SMA Bakti Airlangga, sementara pemandu acara yang dipimpin oleh Kak Alvin berkoar-koar di atas panggung guna menyemangati para peserta lomba dan meneriakkan petuahnya untuk para peserta agar tetap menjunjung tinggi sportifitas.Ya, setelah berakhirnya ujian semester, seakan sudah menjadi tradisi, kini pihak sekolah melaksanakanclass meetingguna menghilangkan kejenuhan dan penat para siswa selepas berkutat pada soal-soal ujian.Berbagai lomba antar kelas diselenggarakan. Tak tanggung-tanggung tiga belas lebih jenis
"Gue nggak mau buat keributan. Singkirin tangan lo, kecuali lo emang senang buat dia sakit."Serta-merta Kak Kevan melepas tangannya. Wajahnya penuh rasa bersalah. "Maaf, Sayang. Aku nggak sengaja."Aku tersenyum mencoba memahami perasaan Kak Kevan. "Nggak apa-apa, Kak. Aku ngerti." Aku menghela napas sejenak sebelum beralih ke arah Kenn. "Kenn, gue kayaknya nggak—""Reno kritis," sela Kenn cepat."A-apa?" Mataku membulat. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari mengepalkan tanganku "Nggak. Nggak mungkin!"Wajah Kenn mengeras. Tatapannya berubah menjadi sedih, "Reno ditemukan pingsan di depan kamar mandi panti. Waktu kami larikan ke rumah sakit, di sana Reno langsung dimasukkan dalam ruang gawat darurat. Gue cuma nggak mau lo meny
Sekian menit hanya keheningan yang tercipta di antara kami. Aku duduk terdiam di sebuah bangku taman rumah sakit, menyalurkan seluruh emosi pada tanganku yang memegang kuat-kuat bangku di kedua sisi tubuhku. Memandang satu arah pada tanaman merambat di depanku seraya berusaha menekan segala perasaan marah yang sempat meluap.Aku menghela napas panjang, mengatur napasku yang memburu."Emosinya belum turun juga?" Aku menoleh ke arah Kenn yang duduk sebangku denganku. Tatapannya menunjukkan kekhawatirannya padaku. "Lo mau ngomong sesuatu? Kalo itu bisa bikin lo lebih tenang, keluarkan semuanya."Aku menunduk sembari tersenyum getir. "Gue cuma nggak nyangka aja, wanita yang gaya busananya sering gue jadiin panutan serta fotonya juga sering gue buat rebutan sama Dara, selama ini ternyata mamanya Abel dan Reno. Gue nggak habis pikir sama dia, segitu teganya
Sedari tadi tanganku sibuk memencet-mencet remot televisi. Mencari saluran yang menurutku pantas untuk ditonton, bukan berita tentangdialagi.Sudah enam hari berturut-turut tayangan televisi selalu memberitakan segala hal tentangnya—Claretta Maharani—membuatku muak.Seakan menjadi sebuahtrending topic, berbagai macam informasi dan kemungkinan-kemungkinan terdengar dari para penyiar di layar kaca televisi tanpa ada pembuktian yang jelas. Bahkan, sampai sekarang pun Claretta masih bungkam tiap ada pertanyaan yang ditujukan padanya tentang status Abel dan Reno.Aku mendengkus. Katanya menyesal, mana buktinya?Kutekan kuat tomboloffdan kulempar asal remot ke atas meja kayu di depanku.Mood-ku selalu
Ketika aku sampai di ruang tamu, kulihat Kak Kevan duduk di sofa sambil menunduk. Baru aja aku hendak menyapanya, tak tahunya Kak Kevan tiba-tiba mendongak dan langsung memelukku. Aku terkesiap detik itu juga."Aku kangen banget sama kamu," ucapnya sambil memelukku erat.Beberapa saat tubuhku kaku. Aku meringis mendengar ucapan Kak Kevan di telingaku. Tanganku pelan-pelan terangkat membalas pelukannya. "Kak Kevan juara 1 kan di kelas?" Kurasakan anggukan Kak Kevan ketika menjawab pertanyaanku. "Udah kuduga. Selamat ya, Kak."Tak berapa lama, Kak Kevan melepas pelukan kami dan tersenyum melihatku. "Makasih. Kamu juga, selamat buat perolehan peringkatnya." Aku mengangguk pelan dan ikut tersenyum.Kami sama-sama terdiam. Kutilik Kak Kevan yang menatapku lekat. Seperti ada kerinduan yang mendalam dari sorot matanya,
Suara dentingan piano itu mengusik pendengaranku. Menyadarkan bahwa aku kini sudah sampai di depan ruang musik—mencari sosoknya—aku perlahan membuka pintu yang tak terkunci.Sudah kuduga. Dia pasti berada di ruangan ini.Aku bersandar pada dinding seraya menatap wajah Kenn yang terlihat dari samping. Mataku terpejam mencoba menyelami dan menyatu pada nada yang Kenn ciptakan. Aku tidak tahu itu lagu apa, tapi dengan mendengarkannya aja aku bisa merasakan paduan dari rendah dan tingginya terasa pas di telingaku. Serasa aku tengah berdiri di depan sebuah hamparan laut yang tenang.Aku menghirup udara sebanyak mungkin. Menikmati keindahan suara instrumen itu. Entah sejak kapan, mendengarkan permainan pianonya sudah menjadi bagian dari kegemaranku. Aku selalu merasa tenang.Beberapa menit kemudian, permai
Kalian tahu labirin? Sebuah jalur yang begitu rumit dengan lorong yang berliku-liku, dan mempunyai banyak jalan buntu.Mungkin akan terdengar seru dan menantang jika dilakukan pada sebuah permainan, tetapi apakah akan tetap seru jika labirin itu berpindah pada otak kita?Jawabannya tentu tidak. Karena aku tengah merasakannya sekarang. Aku kini telah terjebak dalam labirin otakku sendiri.Selepas pembicaraanitu, aku berusaha seperti tidak terjadi apa-apa. Mencoba memerankan sebagai sosok yang ceria seperti sediakala. Namun, ternyata semua menjadi serba kebalikannya.Otakku dipenuhi oleh Kenn, Kenn dan Kenn. Pikiranku tak pernah mau jauh darinya. Mengingat kembali tiap kata yang ia ucapkan terakhir kali. Membayangkan lagi raut wajahnya yang bagai dihiasi langit mendung dalam tatapannya. Seakan-akan