Beranda / Fiksi Remaja / FREL. / 59. Setelah Kepergiannya

Share

59. Setelah Kepergiannya

Penulis: malapalas
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sedari tadi tanganku sibuk memencet-mencet remot televisi. Mencari saluran yang menurutku pantas untuk ditonton, bukan berita tentang dia lagi.

Sudah enam hari berturut-turut tayangan televisi selalu memberitakan segala hal tentangnya—Claretta Maharani—membuatku muak.

Seakan menjadi sebuah trending topic, berbagai macam informasi dan kemungkinan-kemungkinan terdengar dari para penyiar di layar kaca televisi tanpa ada pembuktian yang jelas. Bahkan, sampai sekarang pun Claretta masih bungkam tiap ada pertanyaan yang ditujukan padanya tentang status Abel dan Reno.

Aku mendengkus. Katanya menyesal, mana buktinya?

Kutekan kuat tombol off dan kulempar asal remot ke atas meja kayu di depanku.

Mood-ku selalu

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • FREL.   60. Tentang Hubungan

    Ketika aku sampai di ruang tamu, kulihat Kak Kevan duduk di sofa sambil menunduk. Baru aja aku hendak menyapanya, tak tahunya Kak Kevan tiba-tiba mendongak dan langsung memelukku. Aku terkesiap detik itu juga."Aku kangen banget sama kamu," ucapnya sambil memelukku erat.Beberapa saat tubuhku kaku. Aku meringis mendengar ucapan Kak Kevan di telingaku. Tanganku pelan-pelan terangkat membalas pelukannya. "Kak Kevan juara 1 kan di kelas?" Kurasakan anggukan Kak Kevan ketika menjawab pertanyaanku. "Udah kuduga. Selamat ya, Kak."Tak berapa lama, Kak Kevan melepas pelukan kami dan tersenyum melihatku. "Makasih. Kamu juga, selamat buat perolehan peringkatnya." Aku mengangguk pelan dan ikut tersenyum.Kami sama-sama terdiam. Kutilik Kak Kevan yang menatapku lekat. Seperti ada kerinduan yang mendalam dari sorot matanya,

  • FREL.   61. Jujur atau Melepas?

    Suara dentingan piano itu mengusik pendengaranku. Menyadarkan bahwa aku kini sudah sampai di depan ruang musik—mencari sosoknya—aku perlahan membuka pintu yang tak terkunci.Sudah kuduga. Dia pasti berada di ruangan ini.Aku bersandar pada dinding seraya menatap wajah Kenn yang terlihat dari samping. Mataku terpejam mencoba menyelami dan menyatu pada nada yang Kenn ciptakan. Aku tidak tahu itu lagu apa, tapi dengan mendengarkannya aja aku bisa merasakan paduan dari rendah dan tingginya terasa pas di telingaku. Serasa aku tengah berdiri di depan sebuah hamparan laut yang tenang.Aku menghirup udara sebanyak mungkin. Menikmati keindahan suara instrumen itu. Entah sejak kapan, mendengarkan permainan pianonya sudah menjadi bagian dari kegemaranku. Aku selalu merasa tenang.Beberapa menit kemudian, permai

  • FREL.   62. Kenn Membuktikan Ucapannya

    Kalian tahu labirin? Sebuah jalur yang begitu rumit dengan lorong yang berliku-liku, dan mempunyai banyak jalan buntu.Mungkin akan terdengar seru dan menantang jika dilakukan pada sebuah permainan, tetapi apakah akan tetap seru jika labirin itu berpindah pada otak kita?Jawabannya tentu tidak. Karena aku tengah merasakannya sekarang. Aku kini telah terjebak dalam labirin otakku sendiri.Selepas pembicaraanitu, aku berusaha seperti tidak terjadi apa-apa. Mencoba memerankan sebagai sosok yang ceria seperti sediakala. Namun, ternyata semua menjadi serba kebalikannya.Otakku dipenuhi oleh Kenn, Kenn dan Kenn. Pikiranku tak pernah mau jauh darinya. Mengingat kembali tiap kata yang ia ucapkan terakhir kali. Membayangkan lagi raut wajahnya yang bagai dihiasi langit mendung dalam tatapannya. Seakan-akan

  • FREL.   63. Kacau

    Duduk di bangku taman favoritku dan menikmati hembusan angin yang menerpa wajah, harusnya menjadi sebuah kegiatan santai yang sangat menyenangkan. Tetapi nyatanya, kali ini aku tidak bisa menikmatinya.Aku mencoba mengayun-ayunkan kakiku sembari mengamati danau kecil di depanku. Melihat berbagai ikan berwarna-warni berenang dengan mengibas-ngibaskan ekor cantiknya. Berusaha ikut larut dalam tingkah lucunya, namun, pengalihan yang aku lakukan lagi-lagi tak membuahkan hasil.Aku masih aja memikirkannya.Kilasan peristiwa di dalam kelas tadi selalu menari-nari di kepalaku. Aku tak akan pernah lupa, bagaimana canggungnya aku tiap kali mataku tak sengaja bertemu dengan mata hitam Kenn. Aku juga nggak bisa melupakan raut muka dingin dan datarnya setiap berpapasan denganku. Ia bersandiwara, aku pun sama. Bedanya, aku hanya bisa mendiaminya, sedangkan Kenn telah sukses menjalankan segala perannya untuk

  • FREL.   64. Terkuak

    Dari balik jendela, aku memandang keluar. Mengawasi beberapa orang dan kendaraan berseliweran, sibuk sendiri meski dalam keadaan langit yang agak menggelap.Rumahku ini memang di pinggir jalan, walaupun bukan di pinggir jalan raya besar, tetapi merupakan akses yang bisa dilalui dua mobil, sehingga sering juga dilewati angkot dan beberapa kendaraan lainnya yang kerap menimbulkan kebisingan.Ah, sebenarnya aku tak pernah keberatan dengan suara bising apa pun, karena pada dasarnya aku memang lebih suka keramaian daripada kesunyian. Tapi entah mengapa, saat ini rasanya aku mau berada di sebuah tempat yang sangat sepi, jauh dari semua hiruk pikuk suara di sekitarku. Aku pengin menyatu bersama sepi, melebur dengan kesendirian.Suara nenek membuyarkanku dari segala sepi yang ingin kupeluk."Frel." Aku menoleh ke belaka

  • FREL.   65. Fakta Selanjutnya

    Tidak ada salahnya aku berdiri di sini. Memilih pergi ke rumah Kak Kevan, memenuhi permintaan Om Aditya serta nenek yang beberapa hari lalu—lewat pesan singkatnya—mengundangku datang kemari.Sebenarnya sudah beberapa kali mereka menghubungi melalui telepon, tapi selalu aku abaikan mengingat betapa kacaunya aku waktu itu.Kedua tanganku memegang jeruji pagar seraya melihat halaman luas yang di sisi kiri terdapat taman dan ditumbuhi berbagai macam tanaman hijau serta bunga kesayangan Tante Viona. Ada juga sebuah mobil mewah yang belum pernah kulihat, terparkir di halaman rumah.Apakah ada tamu penting?Sesaat aku ragu untuk masuk, apalagi dalam cuaca mendung seperti ini. Aku menghirup udara dalam-dalam. Mungkin, sebaiknya aku pulang.Namun, baru aja aku berbalik, terdengar suara Pak Satpam memanggilku. "Neng, kenapa balik?"

  • FREL.   66. Dijemput Kenn

    Aku menggigil di sudut gardu. Meringkuk seraya melipat lututku. Gemetar di tubuhku tak kunjung reda, membuatku harus menekan cengkeraman kedua kaki ini pada alas yang tengah kupijak.Kepalaku tenggelam ke dalam lipatan lutut. Kaku menjalar di seluruh ototku. Rasa takut pun makin bertambah setiap ada suara-suara di kepalaku yang berteriak histeris memaki kejahatan yang telah aku lakukan pada kakek dan nenek.Aku yang salah, meskipun aku bersikeras untuk tak mempercayai apa yang kini terjadi. Namun, perkataan Dara selalu saja terngiang di kepalaku, mematahkan segala hal yang kuanggap ilusi."Frel?" Tiba-tiba ada sebuah suara seperti memanggil namaku. "Frel? Apa itu lo?"Aku sontak mendongak di panggilan kedua. Kukerjapkan mataku untuk menghalau pandangan yang buram akan air mata.

  • FREL.   67. Berduka

    Beberapa detik setelahnya aku tertawa kecil dan menggeleng tak percaya. "Kakek dan nenek pasti bercanda. Aku tau kalian pasti pura-pura tidur kayak dulu waktu kalian marah sama Frel. Kalian nggak mau bicara sama aku, kan?"Aku menengadah dan mengerjapkan mataku sesaat, lalu kuusap kasar sisa air mata dengan punggung tanganku."Oke, Frel minta maaf. Aku tadi udah bentak kalian, nggak mau menuruti semua permintaan kalian. Frel ngaku salah. Frel nyesel. Frel janji setelah ini nggak bakalan bentak kalian lagi, Frel nggak bakalan marah lagi, Frel nggak bakalan pergi lagi, Frel nggak akan bandel lagi, Frel akan turutin semua ucapan kalian. Sekarang, kalian nggak marah sama Frel lagi, kan? Ayo, sekarang kalian bangun." Ketakutan mulai menyergapku tatkala tak ada pergerakan sekecil apa pun dari kakek dan nenek. "Kek? Nek? Ayo, bangun."Aku menggoyang-goyangkan

Bab terbaru

  • FREL.   84. BONUS (Surat Cinta dari Mama)

    Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me

  • FREL.   83. TAMAT

    Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di

  • FREL.   82. Bersama Lagi

    Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel

  • FREL.   81. Surat Kak kevan

    'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi

  • FREL.   80. Akan Ada Akhir

    Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela

  • FREL.   79. Bangkit

    "Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang

  • FREL.   78. Keajaiban

    Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw

  • FREL.   77. Kenn (3)

    Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.

  • FREL.   76. Kenn (2)

    Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.

DMCA.com Protection Status