Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela
'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi
Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel
Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di
Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me
Kalian pernah berpikir nggak, setiap pasangan kekasih di dunia ini kadang nggak adil buat kita. Ganteng sama cantik, gagah sama seksi, kaya sama kaya. Atau begini, cowok ganteng miskin sama cewek jelek, tapi kaya. Atau sebaliknya, cewek cantik miskin sama cowok jelek, tapi kaya. Nah, loh? Sampai di sini kalian bisa mikir nggak, ada kejanggalan yang sangat kentara dari ciri pasangan yang aku sebutkan? Kalau kalian masih belum mengerti, coba kalian lihat di salah satu tempat yang sangat terlihat jelas. Mall! Ya, Mall!! Dimall, kalian bisa lihat ratusan pasangan yang berjalan beriringan dan bergandengan tangan. Dari sekian banyak pasangan coba kalian perhatikan, yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi itu siapa?
Hari ini aku sampai di sekolah satu jam lebih awal. Aku berjalan santai seraya berkeliling melihat-lihat. Aku berdecak kagum karena sekolah ini sungguh megah dan besar. Kelasku ada di lantai 3, sedangkan sekolah ini ada 7 lantai. Ada liftnya juga, lagi.Wow kereeen....Sesungguhnya sampai sekarang aku nggak pernah nyangka bisa masuk di sekolah elit ini. Karena hampir semuanya di sini dari kalangan atas. Dengar-dengar sih siapa yang menjadi donatur terbesar, maka ia akan berada di urutan kelas pertama. Ketika ditanya akan kebenarannya, pihak sekolah sering membantah dengan berbagai alasan, tapi kenyataan selalu berkata lain. Anehnya, sekolah ini tetap menjadi salah satu sekolah yang paling diinginkan semua siswa, karena selain besar dan megah layaknya istana, fasilitas sekolah di sini sangat lengkap, semua gurunya pun teruji kualitas dan kemampuannya.Ada yang bingung kenapa aku bisa masuk
Ada nggak yang sesial aku hari ini? Gara-gara tantangan bodoh itu semalaman aku nggak bisa tidur, sibuk memikirkan kalimat apa yang cocok kugunakan untuk merayu Kak Kevan. Akhirnya hari ini akufix telat. Nggak tanggung-tanggung, telatku sudah melewati batas wajar. Hampir 1 jam. Kalian mau tahu aku sekarang di mana? Aku sekarang berada di ruang OSIS dan dikepung 35 anggota OSIS, lengkap. Di depanku ada Kak Farah yang berkacak pinggang, gayanya seperti mau ngajak berantem. "Sengaja lo ya, mentang-mentang hari ini hari terakhir acara MOS, lo mau buat sensasi datang semaumu, hah!" Cara bicaranya sudah nggak seformal seperti kemarin-kemarin. Sudah pakai elo, gue, sama kayak Kak Alvin dan Kak Ari. Lalu matanya melirik ke arah kalungku yang berbahan tali rafia.