Ada nggak yang sesial aku hari ini? Gara-gara tantangan bodoh itu semalaman aku nggak bisa tidur, sibuk memikirkan kalimat apa yang cocok kugunakan untuk merayu Kak Kevan. Akhirnya hari ini aku
fix telat.
Nggak tanggung-tanggung, telatku sudah melewati batas wajar. Hampir 1 jam.
Kalian mau tahu aku sekarang di mana?
Aku sekarang berada di ruang OSIS dan dikepung 35 anggota OSIS, lengkap.
Di depanku ada Kak Farah yang berkacak pinggang, gayanya seperti mau ngajak berantem. "Sengaja lo ya, mentang-mentang hari ini hari terakhir acara MOS, lo mau buat sensasi datang semaumu, hah!"
Cara bicaranya sudah nggak seformal seperti kemarin-kemarin. Sudah pakai elo, gue, sama kayak Kak Alvin dan Kak Ari. Lalu matanya melirik ke arah kalungku yang berbahan tali rafia.
Wajahku langsung pias. Habislah aku!
Matanya melotot. "Lo kemanain kerupuk uyelnya? Kok tinggal 2?" Mak lampir ini matanya benar-benar awas!
Aku gelagapan. "Ee ... i-itu, Kak, yang 2 saya makan di perjalanan tadi. Saya ... bangun kesiangan dan belum sempat sarapan, Kak."
Tiba-tiba matanya membelalak dan mulutnya terbuka lebar. Kuperhatikan ada beberapa dari mereka yang frontal tertawa, terkikik geli, melongo, dan ada juga beberapa cewek yang menatapku tajam, setajam silet.
Semalam di rumah cuma ada aku. Kakek dan nenek sudah memberiku pesan, kalau malam ini mereka akan menginap di rumah teman yang sedang sakit parah. Tapi sayangnya, wekerku nggak mau berbunyi di saat yang tepat. Saat aku periksa ternyata baterai habis total. Aku sukses bangun kesiangan.
Sehabis mandi kilat, aku segera berangkat. Tapi sialnya, aku harus berlari kencang mengejar angkot yang kata sopirnya, ia nggak lihat kalau ada orang di halte.
Memangnya, aku dikira jin?
Perutku mulai keroncongan, terpaksa di dalam angkot kumakan 2 kerupuk uyel putih yang menggantung di leher. Toh kerupuknya tiap hari selalu kuganti. Masih bersih dan aman. Kan sayang, kerupuk uyel itu harusnya buat dimakan bareng sama gado-gado, bukan malah digantungin di leher buat acara beginian.
"Elo tuh, ya!" ucap Kak Farah geram.
Ketika ia berniat mencekikku, tangannya segera ditahan Kak Kevan. Kak Farah sontak menurunkan kedua tangan, berubah tersenyum genit ala tante-tante yang ada di emperan. Huek!
"Biar gue yang kasih hukuman," ucap Kak Alvin mengambil alih.
Dengan santai ia menarik tanganku, mengajakku ke lapangan. Ia mengambil
mic dan menyerukan agar semua murid segera berkumpul di lapangan.
"Ada teman kalian terlambat sekolah hampir 1 jam. Dan untuk kali ini, hukuman yang pantas buatnya akan dipersembahkan untuk kalian semua."
Suara tepuk tangan dan sorakan terdengar riuh dari semua murid.
Kemudian ia berbisik di telingaku, "Gue harap lo masih ingat tantangan kita kemarin. Dan sekarang saatnya."
Kak Alvin kembali bersuara, "Kalian akan terkejut karena tidak hanya teman kalian ini saja yang ikut berperan, melainkan Ketua OSIS kita sendiri."
Seketika para siswi berteriak histeris begitu melihat Kak Kevan berjalan memasuki lapangan. Ia mengambil napas sejenak sebelum meraih
mic. Ia menoleh ke arahku, memandangku lembut seakan-akan mengatakan semua akan baik-baik aja.
"Saya sebenarnya nggak pernah ingin terlibat dalam hal menghukum seseorang, saya biasanya memilih memberikan tugas untuk mereka yang lebih mendidik." Semua diam, menunggu kelanjutan dari Kak Kevan. "Tanpa sepengetahuan saya, wakil saya sendiri telah membuat keputusan secara sepihak. Dan saya putuskan, hukuman ini sudah tidak berlaku lagi."
"Huuuuuuu!" Kontan semua murid berseru menolak.
Amaaan ... aman. Aku mengelus dada beberapa kali. Seakan batu besar terangkat dari pundakku. Tapi ketika aku melirik Kak Alvin, senyum miringnya menunjukkan betapa pengecutnya aku. Aku buru-buru menunduk, menyembunyikan wajahku.
Beberapa detik kemudian aku segera menghampiri Kak Kevan, menyampaikan niatku.
"Kamu yakin?" tanya Kak Kevan.
Aku tersenyum sembari mengangguk.
Kuraih
mic pemberiannya. Kusapu pandangan ke seluruh murid yang ada di depanku. "Maafkan saya. Karena saya yang salah, saya akan terima hukumannya."
Preet! Hukuman apaan?! Yang ada hanya tantangan konyol! Kesepakatan brengsek!!
Riuh suara tepuk tangan terdengar kembali. Buset dah. Ada orang dapat hukuman, malah dikasih tepuk tangan. Ck, ck, ck....
Oke, puas-puasin deh kalian. Setelah tahu hukuman apa yang aku maksud, dijamin kalian para cewek pasti mewek berjamaah, hahaha....
Aku berusaha mengingat-ingat kalimat apa yang sudah aku rangkai semalam. Aku berpikir keras, alisku sampai berkerut berkali-kali lipat.
Aku baru ingat semalaman aku sudah menghabiskan berpuluh-puluh kertas untuk merangkai kata indah, bukannya jadi karya indah, malah jadi seperti rayuan cewek genit yang malu-malu nista.
Ujung-ujungnya semua kertas nasibnya berakhir di tong sampah.
Aaaarrrrrggh! Apa yang harus aku perbuat sekarang?
Tiba-tiba aku dilanda kecemasan yang luar biasa. Keringat dingin mulai bercucuran di dahi, pipi, bahkan di belakang leherku. Wajahku memerah. Aku menggigit bibirku, biarlah, sampai jontor pun masa bodoh.
"Wooy, sampai kapan berdiri terus?! Panas, woy, panas!"
Tomi sialaaaaan. Dasar setan alas!
"Cepetan dong, panas nih," keluh salah satu cewek dan disetujui yang lainnya.
Aku berdeham. Ayo, dong, mikir, mikir! Ke mana nih, otak. Duh, kenapa kakiku ikut gemetaran begini?
Mataku menari ke sana kemari untuk mencari bala bantuan dari wajah asing yang berada di depanku. Beberapa dari wajah itu ternyata sudah aku kenal, teman-teman satu sekolah di SMP-ku dulu. Tapi, hanya 2 orang yang akrab denganku, siapa lagi kalau bukan Tomi dan Dara.
Ah, iya, Dara! Siapa tahu dia bisa membantu.
Aku mencari sosok itu, ternyata nggak jauh dari tempatku berdiri. Aku menoleh ke arahnya yang berada di depan, baris pertama sebelah kanan. Ia menangkap sinyal daruratku, tapi ia malah menggeleng dan mengedikkan bahu, bertanya balik tanpa suara.
Oh, Tuhan! Kenapa aku benar-benar bodoh, Dara kan belum tahu tantangan laknat ini.
Aku menarik napas panjang. Suasana saat ini benar-benar sunyi senyap karena semua sedang menantikanku membuka suara. Kualihkan tatapanku ke arah Kak Kevan. Tepat di sana, cowok yang mempunyai mata sayu dan indah. Kutatap mata itu, mata yang sekarang juga menatapku.
Tiba-tiba ilham datang di kepalaku. "Emm ... baiklah." Tanpa sadar aku sudah berjalan maju mendekati Kak Kevan. Aku mendongak dan tatapanku tak pernah lepas darinya. Ia masih berdiri di tempat yang sama. Menatapku.
"Kak Kevan tau, pertama kali aku liat mata kakak, aku merasakan beribu-ribu kenyamanan dan ketenangan yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Entah kenapa saat liat senyum kakak, serasa ada sesuatu yang hangat mengaliri dadaku, namun juga luar biasa membuatku senang, Kak. Bahkan, aku merasa ikut bahagia ketika melihat tawa kakak." Aku terdiam sesaat. "Mungkin ini aneh, tapi, emm ... aku merasa kita udah lama saling kenal. Seperti déjà vu." Aku menatap lekat Kak Kevan. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Kak? Siapa tau di kehidupan lain atau jangan-jangan di kehidupan yang akan datang? Hehehe ... Ehm, tapi kuharap bukan aku sendiri yang merasakannya, melainkan ... Kak Kevan juga."
Aku menajamkan indra pendengarku, tak ada suara apa pun. Sepi.
Apa mereka terkesima? Atau akan mengejek dan mentertawaiku?
Aku nggak berani menoleh sedikit pun. Rasanya kepalaku susah digerakkan. Terlintas di hati ingin mengetahui apa yang dipikirkan Kak Kevan.
Aku menatap Kak Kevan penuh selidik. Ekspresinya kayak orang yang sedang kaget dan tegang. Tatapannya seperti ... ah, susah sekali menebak raut wajah seseorang. Sebaiknya aku harus menyelesaikan ini semua sebelum aku pingsan karena malu.
Aku meringis lebar. "Kak, pasti akan sangat menyenangkan menghabiskan liburan akhir pekan nanti bersama-sama. Kak Kevan mau, kan?"
Kak Kevan menatapku bingung ketika kuarahkan
mic kepadanya. Namun sedetik kemudian ia tergelak pelan, lalu menjawab, "Ya. Akhir pekan nanti aku bakal jemput kamu."
Hah? Aku nggak salah dengar, kan? Ini bukan mimpi di siang bolong, kan?
Dengan mata yang berbinar-binar aku memandangnya. "Benar, Kak?" Tanyaku sekali lagi, untuk memastikan.
Kak Kevan mengangguk sambil tersenyum geli.
Yes. Aku bersorak kegirangan, melompat-lompat di tempat.
Aku langsung berhenti melompat dan menciut ketika semua cewek menatapku tajam, seakan-akan ingin menerkamku saat ini juga.
Acara selanjutnya pergi ke panti asuhan "CINTA KASIH". Kami bersama-sama naik kendaraan yang telah disediakan pihak sekolah.
Jadwal hari ini bertemakan "Berbagi Antar Sesama".
Setiap anak diminta membawa barang apa aja selain uang. Barang harus dalam kondisi baru, bukan bekas pakai dan nantinya akan diberikan ke anak-anak panti.
"Lo hebat banget tadi, Frel. Itu kalimat dapat dari mana? Kapan-kapan lo ajari gue ya, buat nembak Kenn," serbu Dara saat kami baru memasuki
bus dan duduk di nomor dua dari belakang.
Ya. Sekarang aku sudah tahu siapa nama cowok cuek itu. Namanya, Kenn Alvaro Pratama.
Semalam sehabis pusing mikirin rayuan buat Kak Kevan, aku langsung nelpon Dara minta penjelasan siapa tuh cowok yang bisa buat cewek sekelas diam berjamaah.
"Dari mbah dukun," jawabku asal jeplak.
"Hah! Yang benar lo? Mana, mana alamatnya?"
Aku melotot tak percaya. "Lo serius?" Begitu melihat Dara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyatukan kedua tangan memohon, aku geleng-geleng kepala. Makin yakin, nih anak pasti habis kesurupan setan jomblo. "Sinting lo, Ra."
"Ayolah, Frel. Pliiisss...." Aku makin syok melihat Dara seserius ini.
"Lo percaya sama omongan gue? Serius lo??" Aku menepuk jidatku. "Tadi kan gue cuma bercanda, Ra. Lagian, gue anti sama begituan."
Mendengar perkataanku, Dara yang beberapa saat lalu semangat 45, sekarang berubah drastis tampak lesu dan loyo. Aku mengerutkan dahi, bingung sama sikap nih anak.
Dara itu anaknya manis, rambut sebahu, kaya, tinggi. Ya, iyalah tinggi, selisihnya sama aku aja sampai 15cm.
Oh, anaknya ceria dan yang bikin kami kompak, kami itu sama-sama cuek kalau sudah ngobrol bareng, nggak peduli apa kata dunia, somplak, mata kami langsung
ijo begitu ketemu cowok cakep dikit aja, tapi kami juga alergi sama cowok yang suka mainin cewek alias
playboy.
Yang bikin aku PD saat jalan bareng dengannya itu cuma warna kulit kami. Kalau kulitku putih cerah, sedangkan Dara kulitnya agak hitam.
"Elo sih, enak. Belum apa-apa udah dikasih lampu
ijo sama Kak Kevan. Nah, kalo gue?"
Aku ingat cerita Dara waktu itu—saat hari pertama MOS—ada cewek kelas X-4 yang hampir ditampar Kak Farah hanya karena penampilan cupu si cewek, tapi sebelum ia melayangkan tamparan, tangannya keburu ditahan Kenn.
"Sekali lagi lo berani nyakitin dia, gue nggak bakal lepasin lo. Lo camkan ini baik-baik," ucap Kenn dingin dan dihempaskan tangan itu dengan kasar, sampai-sampai Kak Farah meringis kesakitan.
Dan kata Dara, hampir semua siswa-siswi menyaksikan kejadian itu saat jam istirahat berlangsung. Banyak para cewek terkagum-kagum atas sikap
gentle dan ketampanan Kenn.
"Lo yang sabar ya, Ra. Jangan patah semangat gitu, dong. Pepet terus, Ra, pepeeet...."
"Pepet, pepet, lo pikir angkot!" ketus Dara.
Aku sebenarnya pengin banget ketawa ngakak, berhubung aku sadar diri ini di mana, jadi dari tadi bisanya cekikak-cekikik ngetawain Dara.
Ada satu lagi yang lucu saat Dara ingin PDKT sama Kenn. Ceritanya gini nih, ya, waktu Kenn jalan dari ujung koridor, Dara sudah siap siaga mengeluarkan rencana terselubungnya. Saat nanti Kenn lewat, ia mau pura-pura terpeleset dan jatuh, pikir Dara, Kenn akan simpatik dan nolongin. Seperti di drama-drama.
Kalian tahu nggak apa yang terjadi selanjutnya?
Rencana tinggal rencana. Perkiraan Dara melenceng jauh, saudara-saudara!
Boro-boro Kenn nolongin, lewat aja nggak. Kenn bukannya jalan lurus menuju Dara, eh, dia malah belok ke kanan ambil jalan samping, hahaha.
"Udah, ah, masa cuma gitu doang udah nyerah. Mana Dara yang gue kenaaal...." Aku berusaha kasih semangat lagi buat Dara sambil tetap menahan senyum.
"Jadi?" tanya Dara kemudian. Alisku berkerut bingung dengan pertanyaannya. "Lo dapat dari mana rayuan maut tadi? Kan lo biasanya demen banget nyontek kutipan rayuan kayak gini, bahkan puisi dari Chairil Anwar, Aan mansyur, Gunawan Maryanto dan penyair lainnya udah lo embat karyanya buat nembak mangsa lo. Jadi, sekarang dari siapa lagi?"
Kuputar bola mataku sambil mendengus kesal. "Kali ini bukan dari siapa-siapa, Ra. Entah kenapa kalimat itu meluncur tiba-tiba." Aku terdiam sejenak. "Apa yang gue omongin di lapangan tadi jujur apa adanya. Gue juga nggak tau dari awal ketemu Kak Kevan, saat liat matanya, gue merasa pernah kenal dia." Kualihkan pandanganku ke luar jendela
bus dengan pikiran yang masih bingung.
Aku juga baru terpikirkan sekarang, kenapa semalam aku susah-susah belain ngarang, ya? Bukannya aku dan Dara sudah punya setumpuk deretan syair pengarang terkenal yang kami koleksi dari SMP?
"Kayaknya lo lagi jatuh cinta deh, Frel."
Di dua tempat berbeda pada waktu bersamaan, Kevan yang berada dalam bus khusus anggota OSIS, juga terdiam melihat ke arah luar jendela. Pikirannya berkecamuk memikirkan kejadian di lapangan beberapa puluh menit yang lalu.
"Lo kenapa, Kev? Gue perhatiin dari tadi lo diam terus," tanya Ari yang berada di sebelahnya.
Tiba-tiba kepala Alvin muncul dari kursi depan. "Lo masih mikirin kejadian tadi ya, Kev? Jujur lo! Nggak nyangka gue si kecebong bisa romantis juga." Ia geleng-geleng dengan wajah penuh kekaguman. "Lo harusnya bilang makasih sama gue, Kev. Sama tantangan yang gue buat. Daripada nungguin si Putri yang nggak ada kabarnya, nggak ada kejelasannya, kan?" cerocos Alvin, nggak mau berhenti bicara sebelum dipelototi Ari.
Alvin cengengesan setelah menyadari mulutnya yang nggak bisa direm.
Sudah menjadi rahasia umum, Kevan dan Putri adalah sepasang kekasih yang dulunya sangat serasi.
Sama-sama tampan dan cantik. Sama-sama kaya dan populer dalam prestasi akademik maupun non akademik. Namun sayangnya, hubungan mereka terpaksa kandas setelah Putri pindah sekolah ke luar negeri.
"Kalo boleh jujur, gue juga ngerasain apa yang Frel rasain. Gue seperti pernah ketemu sama dia sebelumnya dan gue merasa nyaman." Tanpa sadar Kevan tersenyum mengingat tingkah laku Frel yang menurutnya konyol dan lucu.
Sedangkan Ari dan Alvin saling pandang, sikap Kevan tidak seperti biasanya.
Setiap kali mendengar nama Putri disebut, seketika itu juga raut wajahnya akan berubah mendung dan kecewa. Tapi ini malah sebaliknya.
Di bangku lain, tepat di belakang kursi yang diduduki Kevan dan Ari, seorang cewek sedari tadi terlihat menguping pembicaraan mereka dengan sangat baik dan jelas.
Siapa lagi kalau bukan Farah!
Farah yang dulunya tidak bisa berkutik lantaran—Putri—saingannya lebih kaya dan cantik, ketika mendengar kabar mereka putus, ia langsung bersorak hore dan sok berkuasa di sekolah ini.
Ia menjadi lebih gencar mendekati Kevan meskipun tidak ada respons balik darinya. Tapi begitu mendengar satu nama lain yang disebut mereka akhir-akhir ini, ia kembali meradang. Apalagi saingannya kali ini hanya seorang cewek pendek dan dari kalangan kelas bawah. Ia merasa terhina.
Farah mengepalkan tangan erat, giginya gemeletuk saking marahnya dan darahnya semakin mendidih kala telinganya mendengar sendiri, Kevan mengucapkan kata nyaman untuk cewek pendek seperti dia.
............................***..............................