Sesampainya di panti asuhan Cinta Kasih, kami segera turun dari bus.
Khusus untuk para murid yang memperoleh tanda tangan anggota OSIS di bawah 20 orang, termasuk aku, berhak mendapat hukuman mengangkat semua barang bawaan yang akan disumbangkan untuk anak panti.
Nggak peduli cewek maupun cowok, semua harus saling bantu angkat barang dan segera dimasukkan ke dalam aula panti.
Setelah semua bawaan diturunkan dari tiga truk pengangkut barang, mataku langsung membulat sempurna. Ini sih bukan sumbangan biasa namanya, melainkan lebih pantas disebut pameran barang mewah.
Mulutku terbuka lebar, takjub. Baru kali ini aku melihat sumbangan yang segini banyak dan mewahnya.
Mataku masih meneliti dan menghitung barang apa aja yang keluar dari truk-truk itu. Di antaranya ada sofa, tv layar datar 50 inchi, komputer, laptop, lemari, kipas angin besar,
magic com,
juicer, kulkas, AC, mesin cuci dan banyak lagi barang mewah lainnya.
Ck, ck, ck, begini, ya, jadinya kalau anak orang kaya lagi kumpul bareng, semua berlomba unjuk kekayaan.
Aku telusuri lagi satu per satu, sampai mataku hanya tertuju pada satu benda,
handphone keluaran terbaru yang sering aku pelototi iklannya di televisi, yang harganya sampai puluhan juta rupiah. Aku mengambilnya dan hampir berteriak histeris, jangan sampai ini mulut kelepasan seperti cewek katrok.
"Ehm!" Ada suara cowok berdeham di depanku.
Aku baru sadar, ternyata dari tadi aku lagi senyam-senyum sendiri sambil memegang kotak
handphone incaranku dan mengkhayalkan menjadi milikku, lalu aku pamerkan di depan Dara sepuasnya.
Huft ... memang kenyataan tak seindah khayalan. Hiks.
Masih sekitar jam sepuluh pagi, tapi sinar matahari kali ini memang tak bersahabat sama sekali. Sinarnya sangat terik dan panas.
Kulihat cowok itu berdiri mengangkat kotak besar yang ia letakkan di atas bahu. Kotak sebesar itu dengan mudahnya ia angkat sendiri tanpa bantuan siapa pun. Bajunya basah kuyup oleh keringat hingga otot-otot di badannya tercetak jelas. Aku sempat melihat dada bidangnya yang kekar. Tiba-tiba otak kotorku melalang buana.
Andai aja gue bisa menyentuhnya ... merabanya.... Hey, apa perutnya juga six pack? Apa boleh gue liat dikiiit, aja? Mencium keringat yang bercampur parfumnya, pasti rasanya.... Aku tersenyum malu nggak bisa bayangin lebih jauh lagi. Tubuhku bergoyang ke kiri kanan dengan tampang bodoh. Kulanjutkan pandanganku agak ke bagian bawahnya lagi. Tapi sebelum melihat bagian perutnya, ada dehaman keluar dari mulut yang sama.
Aku tersentak, lalu beralih memandang tepat di wajahnya. Aku kaget setengah mampus melihat siapa cowok yang ada di hadapanku. Dahinya berkerut, kemudian tergantikan satu alisnya terangkat dan menatapku tajam.
Aku gelagapan. "Ah, iya. Ng-nggak, kok. M-m-maksud gue, s-siapa bilang!" Kutabok bibirku. Kenapa tiba-tiba nih mulut jadi kayak Mpok Atik.
Ia berdecak tak suka. "Bahkan mulut lo itu nggak sinkron sama wajah lo." Ia semakin tajam menatapku.
Wajahku sudah merah padam kayak kepiting rebus. Duh, malunya!
"Sampai kapan lo mau berdiri di situ? Minggir!"
"Nggak usah pakai bentak segala bisa nggak, sih? Lo yang harusnya minggir. Lo kan cowok!" Aku berkacak pinggang, ikut berteriak.
"Enggak. Kalo gue cowok emang kenapa?" Minta ribut nih anak!
Baru kali ini ada cowok yang nggak mau mengalah sama cewek. Ingin rasanya kubanting tubuhnya, tapi apa daya, tubuhku terlalu kecil. Ini aja aku melotot sambil mendongak sampai leher ini rasanya mau copot.
"Kenapa lo bilang?" Aku menggertakkan gigi geram, sengaja aku menatapnya dari bawah ke atas. "Oh, gue tau. Emang lo dasarnya
banci." Kutekankan kata terakhir untuk menyulut kemarahannya.
"Lo bilang apa? Lo nggak liat seberapa besar barang yang gue angkat, hah?!" Bagus. Ia mulai terpancing.
Beberapa murid yang ikut kena hukuman, sudah mulai berhenti dan melihat kami, bahkan semua yang sudah masuk ke dalam aula kembali keluar ketika mendengar ada keributan.
"Enggak. Kalo gue liat emang kenapa?" Sengaja kubalik pertanyaan yang pernah ia lontarkan padaku.
Raut wajahnya mendadak tegang, memerah menahan marah. Matanya menatapku sengit. "Dasar cewek mesum, cewek kacang atom! Minggir nggak lo!"
APA? CEWEK MESUM? CEWEK KACANG ATOM??
Sebutan apa lagi, itu? Sialan, sialan, sialan, sialaaaaaan.
Emang brengsek, tuh cowok. Seumur-umur aku nggak pernah dapat dua panggilan selaknat itu. Aku benar-benar marah sekarang.
"Lo...!" Kutunjuk tepat di depan wajahnya.
"Apa lo?" tantangnya. Ingin rasanya kucakar wajah songongnya biar sampai bonyok.
Kutarik kedua lengan seragamku ke atas, bergaya kayak orang yang mau lagi berantem. Sebenarnya, aku mau aja disuruh minggir, dengan senang hati malah, asalkan sama cowok yang bicaranya lembut, ramah, nggak kayak cowok di depanku ini. Pedes!
"Lo denger ini baik-baik. Lo itu banci, cowok brengsek, terkutuk, bajingan, mulut pohon cabe, bedebah, sok banget tau nggak, lo!" Aku berteriak kalap, memaki cowok terkampret di depanku dengan membabi buta, sekencang yang aku bisa. Ingin rasanya aku mencari kapak dan memenggal kepalanya.
Tiba-tiba ia menurunkan kotak besar itu dan kembali berdiri, lalu mendekat ke arahku dengan tatapan yang begitu tajam. "Lo—"
"Apa lo?" Kupotong aja langsung ucapannya.
Kami sama-sama adu mulut, saling melempar
death glare. Kemudian datanglah beberapa OSIS termasuk Kak Kevan melerai kami, memaksa kami untuk masuk ke dalam aula.
Sebelum acara inti dimulai, tanganku ditarik paksa oleh Dara dan Tomi ke taman kecil di belakang panti.
"Ada masalah apa lo sama dia?" tanya Tomi.
"Lo kenapa nggak bilang sama gue kalo dia juga ikut dihukum, Frel?" tanya Dara.
Baru aja aku mau jawab, mereka berdua sudah sahut-sahutan sambil berjalan mondar-mandir di depanku kayak setrikaan.
"Ngapain lagi main sinetron sama dia di panti? Bikin malu!" ucap Tomi, berjalan ke arah kanan.
"Astaga, Freeel. Lo kenapa milih berantem sama dia, Freeeeel?" tanya Dara geregetan, berjalan ke arah kiri, berlawanan arah dengan Tomi.
"Lo ngapain cari masalah sama dia? Emang lo kenal sama dia?" Kini giliran Tomi bertanya tanpa memandangku, berjalan balik ke kiri.
"Lo curang, Frel. Lo mencuri
start dari gue." Berjalan balik ke kanan.
"Mulai sekarang lo harus jauhi dia!" perintah Tomi, balik ke kanan lagi.
"Dia itu cowok idaman gue, Frel. Kenn. Lo dengar, Frel? Cowok itu namanya Kenn. Kenn Alvaro Pratama. Cowok terkeren sepanjang masa. Sejagat Raya. Seluruh dunia. Se—"
"
Stop!" potongku. Kuputar bola mataku malas. Dasar lebay. "Kalian berdua bisa diam nggak, sih. Nyerocos terus kayak tawon. Ini kuping gue panas, tau nggak."
Enak aja nyeret aku ke sini cuma buat dengerin ocehan mereka berdua. Bukannya khawatir kondisiku gimana, malah marah-marah nggak jelas.
Ck, apalagi Dara. Tuh anak dari dulu lebaynya nggak hilang-hilang.
"Dan lo, Ra, gue udah tau itu cowok namanya Kenn. Nggak perlu diulang-ulang, deh. Lagian kalian nggak ngerti kan gimana rasanya jadi gue. Tuh cowok omongannya pedes banget, persis kayak pohon cabe."
"Emang Kenn ngomong apa sama lo?" tanya Dara, sedangkan Tomi menatapku penuh selidik.
Wajar aja mereka nggak tahu, karena mereka baru menonton pertunjukan kami usai dua sebutan itu meluncur dari mulut Kenn.
"Emm, i-itu—" Aku berhenti sejenak sekadar untuk menghela napas. Tiba-tiba aku teringat sebutan cowok brengsek itu lagi. Kepalaku serasa pengin meledak. "Dia itu bener-bener cowok brengsek! Baru kali ini gue denger sebutan selaknat itu. Terkutuklah mulutnya. Masa gue dibilang cewek m-mesum sama kayak k-kacang atom." Aku gelagapan ketika mau menyebut dua sebutan yang benar-benar memalukan.
Aneh, kenapa mereka berdua malah melongo?
1 detik. 2 detik. 3 detik.
"Bwahahaha ... hwahahahahaha ... hahahahaha...."
Asli, wajahku sekarang pasti seperti cewek idiot.
Mereka berdua ketawa ngakak, kencang banget.
Sepasang sepatuku mendarat sukses di kepala mereka berdua. Dasar teman kurang ajar!
Kuambil tongkat kayu yang bersender di sebuah pohon mangga dan kuarahkan ke mereka. Seketika mereka lari tunggang langgang, kabur entah ke mana. Persis kayak orang yang lagi dikejar setan.
Banyak kegiatan yang kami lakukan bersama anak-anak panti. Bermain
game, saling berbagi cerita, mendongeng, bernyanyi dan bahkan ikut kejar-kejaran sambil tersenyum bahagia bersama mereka semua.
Sebelum balik kembali ke sekolah, kami diberikan izin untuk melihat seluruh kondisi ruangan yang ada di panti.
Ada yang ikut berkeliling, ada juga yang secara terang-terangan menolak keras ajakan itu terutama Kak Farah dan cewek-cewek manja lainnya dengan alasan kotor dan bau.
Nggak heran, awal datang aja mereka sudah nunjukin wajah tak suka, bahkan saat anak-anak panti berlari ingin minta dipeluk, mereka segera menjauh dengan pandangan jijik.
Mereka berpura-pura baik hanya pada saat cowok ganteng berada di dekat mereka. Dasar perempuan-perempuan bermuka dua.
Bangunan ini tak begitu besar, terdapat 2 lantai untuk menampung kurang lebih 90 penghuni.
Aku mulai menaiki tangga itu satu per satu sambil mengamati ruangan di sekeliling. Coretan tinta berbentuk tulisan dan gambar terlihat di setiap sisi tembok. Beberapa foto anak panti terpasang di kanan kiri dinding disertai tempelan lembaran kertas yang ada tulisan tangannya.
Aku berhenti sejenak lalu berjalan maju mendekati satu lembaran yang menarik perhatianku. Di barisan pertama tertulis, "KAMI SEMUA SAUDARA".
Bagaikan air pegunungan yang saat kita pegang akan terasa sejuknya, seperti itu juga hatiku saat membaca satu baris sederhana ini. Mungkin mereka banyak yang kehilangan atau terpisah dari keluarga kandungnya, namun hanya membaca satu baris kalimat tersebut, kita bisa mengetahui bahwa di panti asuhan mereka diajari untuk saling menjaga layaknya saudara sesungguhnya.
Sesampainya di lantai dua, aku dan rombongan yang memilih ikut melihat suasana di lantai atas, menelusuri koridor menuju kamar-kamar yang akan kami datangi.
Ada beberapa kamar di sini. Tiap kamar berisi empat sampai lima tempat tidur bertingkat. Jangan tanya bagaimana keadaan kamarnya. Yang jelas kalian akan berucap syukur dibanding harus melihat kondisi kamar yang penuh sesak ini.
Tahu-tahu terdengar suara tangis anak kecil yang amat kencang. Mbak Siti—pemandu kami—sontak berlari ke kamar paling pojok. Kami semua ikut berlari mencari sumber suara.
Tampak ada dua anak di kamar itu. Kira-kira usianya antara empat atau lima tahun. Satunya, cewek yang terlihat usai bangun tidur dan masih menangis keras di atas kasur. Sedangkan yang satunya lagi, seorang anak cowok sedang duduk dan bermain mobil-mobilan sendirian di lantai.
Mbak Siti berusaha menenangkan, tapi si anak bukannya diam, ia malah menggeleng keras dan berteriak mencari mamanya.
"Mama mana, mama mana? Aku mau mama...."
Aku terenyuh melihatnya. Apa sebegitu rindukah ia terhadap mamanya?
Tiba-tiba anak itu turun dan melihat kami satu per satu. Wajahnya tampak imut di mataku. Matanya bulat, pipi
chubby, putih dan rambut ikal.
Ia berjalan ke arahku, diperhatikannya wajahku lekat penuh selidik dan kemudian ia tersenyum cerah. "Kak, itu mama...," teriaknya sambil berlari dan memeluk erat pinggangku.
Aku belum bisa berpikir apa yang sedang terjadi.
"Kenapa mama ninggalin aku dan kakak?"
Apakah ia mengira aku mamanya? Seperti itukah?
Ia mendongak menatapku. Air mata mengalir deras di kedua pipinya. Rasa sedih bercampur iba menyeruak di sanubariku. Sungguh, rasanya hati ini ikut menangis pilu.
Tak kuasa jika harus melihat kesedihannya lebih lama, membuatku segera menunduk dan menggendongnya. Ia anak yang sangat mungil dan lucu. Ia membenamkan wajahnya di leherku, memelukku erat.
Semua pun hanya terdiam melihat kami, sedangkan anak kecil cowok yang satunya—aku rasa adalah kakaknya—mulai tersenyum dan berlari ikut memelukku. Aku hampir terjengkang menerima terjangan dari pelukannya. Tak sengaja kuraba rambut itu, ada benjolan besar di kepalanya.
Ya, Tuhan ... apa ini? Apa ini tumor? Seberat itukah beban hidup yang harus ia jalani?
Sontak kubekap mulutku. Aku tak sanggup berkata apa-apa selain genangan air mataku yang bisa menjawab.
Kuturunkan si kecil dari gendonganku, kuusap air mata mereka satu per satu, lalu kukecup kedua kening mereka bergantian. Mereka menatapku sendu penuh rindu dan sedetik kemudian mereka kembali memelukku seraya menangis tersedu-sedu.
Oh, Tuhan, kenapa semua ini harus terjadi pada si kecil yang belum tahu apa-apa? Apa salah mereka? Tidak cukupkah hanya aku yang merasa menjadi yatim piatu di sini?
Aku sudah tak bisa membayangkan lagi bagaimana caranya mereka bisa menjalani hari-hari tanpa belaian kasih orangtua. Hatiku sudah hancur mendapati wajah manis dan tatapan polos mereka saat memanggilku dengan sebutan mama.
Dan ketika rombongan sekolah kami akan balik, dua anak kecil tadi—Abel dan Reno—yang namanya sudah aku tanyakan Mbak Siti, masih memelukku erat, sampai-sampai aku tak kuasa untuk bergerak.
Karena hari sudah beranjak sore, aku mencoba melepaskan paksa kedua tangan mereka, bahkan Dara dan Tomi sempat membantu. Bukannya terlepas, dekapan mereka malah semakin erat memelukku.
"Jangan tinggalin kami lagi, Ma," kata Abel seraya mengusap pipinya yang kembali basah.
"Jangan pergi, Ma. Reno mohon," ucap Reno. Ia mengerjapkan matanya mencoba untuk menahan air yang akan keluar dari matanya. "Tiap malam Adik Abel manggil mama terus. Kasian Adik Abel, Ma."
Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar tak tega melihat kondisi mereka.
Mereka seperti cerminan diriku yang nyata. Bahkan sempat terlintas dipikiranku, apa jadinya jika selama ini nenek dan kakek nggak ada di sampingku? Bisa aja aku sekarang sudah menjadi seorang anak yatim piatu dan mungkin di tempat seperti inilah aku tumbuh besar.
Akhirnya kuberanikan diri menatap Kak Kevan, berharap semoga ia bisa mengerti. Syukurlah Kak Kevan memberikan aku waktu untuk menenangkan mereka.
Tapi tanpa disangka-sangka, cowok songong—Kenn—maju dengan angkuhnya, menawarkan diri untuk menemaniku dan berjanji akan mengantarkanku pulang sampai ke rumah dengan selamat.
Atau lebih tepatnya, ia dengan lancang mempertegas bahwa aku sangat aman jika berada bersamanya.
Berteduh di teras warung yang sudah tutup, di sebuah jalan agak sepi dilalui orang.
Derasnya hujan diiringi angin kencang membuat kami terpaksa harus berhenti dan menunggu hujan reda.
Gara-gara cowok sialan itu aku terjebak di sini. Jika bukan karena sikap sok pahlawannya, aku nggak bakalan terjebak hujan seperti ini.
Andai aja Kak Kevan menolak alasan konyol Kenn, pasti sekarang aku sudah berada di rumah.
Bila hujan begini, aku dan kakek biasanya bercengkerama sambil menikmati hidangan ketela pohon buatan nenek. Atau makan nasi goreng buatan nenek yang aku jamin nggak ada yang bisa ngalahin soal rasanya.
Kalian mau tahu alasan apa yang dibuat Kenn?
Waktu itu dengan santainya dia bilang, "Gue bawa motor. Dan gue pikir satu orang cukup, nggak perlu bikin repot banyak orang." Ia sempat melirikku sekilas, lalu berkata, "Kalian bisa pergi, gue yang bakal antar dia pulang."
Serta-merta para cewek di sana langsung berteriak histeris, bahkan ada yang sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Apalagi Dara. Ia sampai loncat-loncat kayak orang gila.
Itu mulut, lama-lama pengin kugampar pakai sepatu!
Memang siapa yang minta direpoti sama cowok nyebelin kayak dia? Mikir aja, nggak! Memangnya siapa yang minta diantar? Bayangin aja, males!
Aku mengembuskan napas panjang. Hujannya sangat deras, suara air yang terdengar membentur atap begitu keras dan menakutkan. Belum lagi anginnya kulihat kayak orang yang mau ngajak berantem. Kencang banget. Pohon-pohon di depanku bahkan seakan ikut melambai-lambai ke arahku. Membuatku takut mendadak.
Kugigit bibir bawahku dan memeluk diriku sendiri, tanpa menoleh sedikit pun pada cowok yang ada di sebelahku.
"Ini. Pakai jaket gue!" ucapnya sambil menyodorkan jaketnya kepadaku.
Entah kerasukan setan mana, tiba-tiba tuh cowok berubah jadi baik.
"Gue nggak mau jaket. Gue mau pulang," sahutku ketus.
Memangnya dengan hanya bermodal minjamin jaket rasa kesalku bisa hilang, apa!
"Lo nggak liat anginnya kayak gimana? Kalo lo mau mati, mati sendiri sana. Nggak usah ngajak orang."
Tuh kan, mulutnya mulai lagi.
"Lo aja sana! Lagian, siapa penyebab kita terdampar di sini? Siapa yang minta diantar sama lo, hah!"
"Lo pikir gue mau ngantar cewek mesum kayak lo! Apa yang lo banggain, badan kayak kacang atom, gini," ucapnya sambil melihatku dari atas sampai bawah.
Cowok ini benar-benar meremehkanku. Emosiku kembali tersulut. Kutendang betisnya dengan kesal.
"AKH!" Sontak ia menunduk, memegangi betisnya dan meringis kesakitan.
"Dasar cewek gila!" hardiknya.
"Lo yang gila! Siapa suruh pakai ngantar gue segala."
"Udah gue bilang, gue di sana bukan karena lo! Budeg lo, ya."
"Bukan gue, tapi lo yang budeg! Gue bilang nggak usah diantar, bukannya nekat nemani gue."
Ya, ya, ya, sejak rombongan sekolah balik, dari awal ia sudah tegasin, ia milih tinggal di panti menemaniku karena nggak tega sama Abel dan Reno.
Kelihatannya ini cowok tipe penyayang anak. Buktinya sekali kenal, Abel dan Reno langsung nempel dan akrab.
Kalau sudah sama anak kecil, sikapnya sangat hangat, berbeda jauh jika sudah berhadapan sama aku. Tuh mulut bikin emosi mulu. Bikin sakit jiwa mendadak.
Yang bikin aku kesal lagi, sekali lihat Kenn, Abel dan Reno secara spontan juga menyebut Kenn dengan panggilan Papa.
Kebetulan yang nggak aku suka!
Andaikan boleh milih, mending Kak Kevan aja yang menemaniku, biar kami sama-sama disebut sebagai pasangan suami istri, gitu.
Bukannya Kenn! Huek ... amit, amit.
"Gue udah janji dari awal bakal antar lo, jadi sekarang diem," lanjutnya.
"Bodo! Lagian motor lo nggak bisa nyelametin gue dari serbuan hujan." Kali ini ia tak membalasku, lebih memilih mengamati hujan sambil melipat tangan di depan dada.
Aku mondar-mandir ke sana kemari, kebingungan nggak bisa ngapa-ngapain.
Seumpama kakek nenek di rumah khawatir, gimana? Andai kata mereka nyariin aku, gimana? Baterai HP-ku koit, lagi. Mau pinjam Kenn, entar malah disangka modus.
Aku semakin memeluk tubuhku dengan erat. Dinginnya serasa menusuk tulang. Kugerak-gerakkan kakiku dan sesekali kutolehkan kepalaku ke kanan dan kiri, siapa tahu ada angkot lewat sini, atau barangkali penyedia jasa payung yang bisa kubayar murah. Namun lihatlah, tak satu pun orang lewat, semuanya sepi layaknya kuburan.
Nggak mungkin kan, aku nekat nantang hujan sama angin yang kompak banget bikin orang sakit kalau melawan?
"Sial! Nunggu sampai pocong berubah jalan pun, nih hujan nggak bakalan berhenti," umpatku sambil melihat air yang tak henti-hentinya jatuh dari langit.
"Kenapa hujannya belum berhenti juga, ya?" tanyaku pada diri sendiri. "Apa yang sebenernya dipikirin hujan, sih? Emang nggak capek apa, hampir satu jam turun terus," gerutuku.
"Lo bisa diem nggak? Berisik banget jadi cewek," sembur Kenn, menatapku tajam.
Aku menatapnya tak kalah sengit.
"Nggak ada yang nyuruh lo dengerin gue," ujarku, masa bodo.
"Diem nggak lo! Suara lo itu udah ngalahin suara hujan. Udah berisik, cempreng, lagi."
"Idih, kayak suara lo bagus aja. Suara kayak ayam bertelur aja bangga."
Dan suara petir bergemuruh di angkasa.
Ia melotot, "Masih mending ayam bertelur, daripada lo kayak monyet kesurupan."
Tiba-tiba ada sambaran cahaya kilat terang dan disusul dengan bunyi petir menggelegar lebih keras.
KRASAK ... GEDABUG, BRUUK! Ucapanku terpotong bersamaan dengan tumbangnya sebuah pohon besar di depan mata kami.
Aku menoleh, kaget. Bukan hanya aku, tapi juga Kenn. Kami melongo bersama.
Dan kabar baiknya, tiba-tiba derasnya hujan dan kencangnya angin tergantikan oleh gerimis yang bisa dihitung pakai jari.
Yang jadi pertanyaan, gimana motor mau jalan kalau jalannya aja terhalang pohon besar yang tumbang??
.........................***...........................