"Gue mau pesan soto ayam sama es teh. Lo, Frel?" Aku masih senyam-senyum sambil menatap Kak Kevan.
Memandang Kak Kevan yang tepat di depanku merupakan suatu anugerah terbesar. Aku mengagumi ketampanannya dan keburuntunganku hari ini. Hingga terdengar suara yang mengalun indah miliknya, menyadarkanku.
"Frel?" panggil Kak Kevan sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.
"Eh, i-iya, maaf," ucapku gugup. "Tadi Kak Kevan bilang apa?" tanyaku cengengesan.
Kak Kevan tersenyum lembut dan mengulang perkataannya. "Lo mau pesan apa?"
"Emm, bakso, deh. Minumnya jus melon."
"Oke, bentar gue pesankan dulu, ya." Aku mengangguk malu-malu.
Kak Kevan memanggil pelayan kantin dan menyebutkan pesanan kami. Sambil menunggu pesanan datang, aku memutuskan mulai mengorek informasi tentang Kak Kevan.
"Kak Kevan suka soto ayam?" tanyaku mencoba tenang.
"Nggak juga," jawab Kak Kevan, tersenyum kecil sambil menatapku.
"Wah, masa kalah sama Pak Joko, beliau suka banget soto ayam, loh."
Kening Kak Kevan berkerut samar, "Maksud lo, Pak Joko guru sejarah?"
"Yup. Pak Joko juga ngajar di kelas Kak Kevan?" tanyaku penasaran.
"Sekarang sih, nggak. Kalo kelas X, gue pernah diajar Pak Joko."
"Oh, ya? Beliau suka banget sama soto ayam, kan? Apalagi Soto Ayam Lamongan, katanya mantap," ucapku sambil mengacungkan kedua jempol.
Kak Kevan mengangguk dan tertawa geli melihat tingkahku.
Aku semakin semangat bercerita tentang beliau yang sukses dibikin gondok saat melihat acara perkenalan semua muridnya. Bagaimana tingkah temanku yang lebay, ajaib dan gokil saat memperkenalkan diri di depan kelas.
Aku memperagakan cara penyampaian dan intonasi gaya bicara mereka yang aku anggap gokil dan lucu, sampai-sampai Kak Kevan tertawa lepas.
Aku harus berterima kasih kepada Pak Joko, karena berkat topik mengenai beliau, obrolan kami semakin seru bahkan kami berdua tak sadar jika pesanan kami sudah ada di atas meja.
Kami bingung. Nah, loh! Sejak kapan makanan ini sampai di atas meja, ya? Kok nggak ada yang nyadar?
Kami saling pandang, lalu tertawa bersama.
Sedang asyik-asyiknya makan, tiba-tiba dua perusuh itu datang tanpa diundang.
"Wooyy ... gitu ya, gue sama Ari di sana mati-matian menghadang Farah, kalian malah enak-enakan makan," semprot Kak Alvin sembari berdiri di sebelah meja, sedangkan Kak Ari memilih duduk di sebelahku, mengambil garpu dan asal comot pentol jumbo yang sengaja aku sisakan untuk suapan terakhirku nanti.
Aku melongo, kepalaku sontak miring ke kiri mengikuti pentol jumbo itu masuk dengan sukses ke mulut Kak Ari.
Gleg! Aku menelan ludah. Sial, gagal deh makan tuh, pentol.
"
Sorry, Frel. Sayang kan kalo pentol paling gede dianggurin. Mending buat gue aja," ucap Kak Ari sambil cengengesan. Aku berdecak sebal.
Belum sempat Kak Kevan menjawab, aku sudah meluncurkan pertanyaan yang tiba-tiba melintas di kepalaku. "Emang Kak Farah ngamuk kenapa, Kak?"
"Ya, gitu ... tiap ada cewek lain yang coba merayu Kevan, bisa dipastikan mereka habis di tangan Farah. Untung aja tadi sebelum Farah ngamuk, kita berdua udah bekap mulut dan tubuhnya lebih dulu di dalam kelas. Bener-bener nyusahin!" jawab Kak Alvin, kali ini ia sudah duduk di sebelah Kak Kevan.
"Segitunya? Emang biasanya diapain aja tuh, para cewek?"
"Ngeri banget, Frel. Pernah gue liat tanpa sengaja di belakang gudang sekolah, Farah sama gengnya nyiram pakai telur, tepung, nginjak telapak tangannya, ngejambak rambutnya, nabok pipi juga. Kalo waktu itu nggak gue pergoki, nasib cewek itu bisa lebih parah lagi. Malah sempat gue denger, ada beberapa cewek yang langsung pindah sekolah saking takutnya." Kali ini Kak Ari yang jawab, sedangkan Kak Alvin memanggil pelayan kantin, memesan makanan untuk mereka berdua.
Aku jadi bergidik ngeri mendengarnya. Bagaimana jika aku diserang juga seperti cewek itu? Andai kata aku pindah, aku kan nggak bisa lihat Kak Kevan lagi.
Kak Kevan sepertinya mulai menangkap raut wajah gelisahku. Ia menatapku dalam dan serius, lalu tersenyum menenangkanku.
"Lo tenang aja. Ari cuma bercanda tadi." Kak Kevan beralih menatap Kak Ari. "Ya, kan, Ar?" lanjutnya dengan sedikit penekanan.
"I-iya, kok. Jangan dianggap serius ucapan gue tadi, Frel." Kak Ari tersenyum kikuk kayak orang bego.
Aku tertawa dalam hati. Ini cowok, Kak Kevan baru ngomong gitu aja takutnya bukan main.
"Lo, sih, Ar. Mau nyari perkara lo!" sahut Kak Alvin setelah puas tertawa dan dibalas Kak Ari dengan memukul kepalanya pakai sendok. Kak Alvin membalas memukul pakai garpu, dan begitu seterusnya.
Aku tertawa ngakak, sementara Kak Kevan hanya geleng-geleng kepala melihat dua sahabatnya yang pada stres semua.
Kami makan bersama sambil bersenda gurau. Saling melempar ledekan dan dibalas dengan ledekan yang lain.
Kak Ari dan Kak Alvin benar-benar lucu jika sedang beradu mulut. Kalau salah satu ada yang kalah telak, yang jawab bukan mulut lagi, tapi tangan, bahkan sendok. Atau mungkin sayur bakso punya Kak Ari bisa bersarang di atas rambut Kak Alvin kali ya, hahaha.
Beberapa menit kemudian aku baru tersadar akan sesuatu. "Ya, ampuuuuun...," teriakku.
"Ada apa?" tanya mereka serentak.
"Gue lupa, gue punya janji sama Dara, teman gue." Aku menepuk jidatku dan buru-buru pamit undur diri kepada mereka bertiga.
Duh, gawat! Kok aku lupa sama Dara? Yang aku bilang punya janji sama Dara, itu sebenarnya cuma alasan. Yang benar saat mau ke kelas Kak Kevan, aku barengnya sama Dara tadi. Nah, ini malah aku lupa, main tinggal gitu aja.
Bisa-bisa Dara ngamuk. Ya, kalau ngamuknya cuma nendang atau mecahin gelas. Tuh anak, kalau lagi marah, kita bisa diceramahi sepanjang hari tanpa henti. Nggak boleh bergerak kemana-mana, harus dengerin Dara sampai selesai ngomong, nggak boleh dipotong, dan rasanya seperti mendengar kaset rusak yang diputar berulang kali. Bikin telinga budeg sejenak.
Kupercepat langkah lariku mencari sosok Dara. Sedikit berlebihan memang, tapi aku bisa apa. Dara adalah teman seperjuanganku dari dulu, teman sekaligus sahabat yang mengerti baik buruknya diriku. Dan aku nggak mau kehilangan dia sampai kapan pun.
Soal Kak Farah? Mau nendang kek, mau ngancem kek, mau nyantet kek, aku nggak peduli. Bodo amat! Lagian, aku sudah kebal dengar kata "
bully".
Dari dulu yang namanya di-
bully sama cewek yang sok berkuasa di sekolah, sudah menjadi makananku sehari-hari. Tapi jangan salah, dari dulu aku nggak pernah sudi jadi korban
bully mereka.
Ada dua cara yang dapat dilakukan jika kita di-
bully. Kita bisa membiarkan hal itu menghancurkan kita, atau kita berdiri dan melawannya.
Dan tentunya aku lebih memilih bangkit dan melawannya. Karena aku tahu, jika aku membiarkan pem-
bully itu menindasku, maka dapat dipastikan mereka bakalan melakukannya lagi dan lagi.
Hampir satu jam aku disuruh berdiri di kamar Dara seperti patung. Rasanya ini kaki sudah mulai kesemutan. Ia dari tadi mondar-mandir di depanku kayak setrikaan, berceloteh membahas bagaimana pentingnya persahabatan dan nggak boleh di nomor duakan.
Setelah jam istirahat usai, Dara tiba-tiba mendiamiku. Aku dikacangi sepanjang jam pelajaran.
Saat kuminta bantuan Tomi, ia malah menjawab, "Udah biarin aja, entar juga balik sendiri." Tomi emang kampret, bukannya ngasih solusi malah bikin orang frustrasi.
Akhirnya, terpaksa saat pulang sekolah aku ikut mobil jemputannya Dara dan begini nasibku.
"Gue tau, Frel, Kak Kevan itu cowoknya ganteng, super keren sama kayak Kenn pujaan gue, tapi nggak gitu juga, kali. Masa cuma demi cowok, lo tega ninggalin gue, sahabat lo sendiri."
Huh, kayak dia nggak pernah ninggalin gue demi cowok lain, aja! Dulu sama Doni, gue malah dijadikan obat nyamuk. "Kan lo juga pernah jadiin gue pajangan plus pengusir setan saat lo kencan sama Doni dulu, Ra."
Aduh, keceplosan. Mati, aku!
"Apa lo bilang? Tetap aja beda, Frel. Lo masih gue kasih makan, minum. Nah, sedangkan gue, lo tinggalin gitu aja di belakang tanpa menoleh sama sekali." Dara berjalan ke arahku dan melotot tajam.
Iya, dikasih makan minum, tapi disuruh duduk ngenes di pojokan. Kalian masih ingat ada ucapan, "Kalau ada orang berdua, yang ketiga itu setan?" Nah, ya, itu, aku yang bagian pengganti setan saat mereka kencan berdua.
Tiap Dara kencan, aku yang selalu dijadikan kambing hitam. Alasan paling logis supaya dia bisa lolos dari rentetan pertanyaan kedua orangtuanya.
"Udah gue bilang berulang kali, kalo gue lagi marah, jangan motong ucapan gue. Lo lupa ya, Frel?" Aku meringis, lalu menggeleng cepat. "Ingat, jangan lupa lagi!" Kepalaku mengangguk-angguk otomatis.
"Lo nggak bakalan ngerti gimana perasaan gue saat lo tinggal sendirian tadi. Gue hancur, Frel. HANCUR. Lo lebih milih Kak Kevan ketimbang gue. Lo tega, Frel. TEGA. Hiks, hiks...." Kuputar bola mataku. Kumat lagi, deh, lebaynya. Ratu drama.
Aku masih diam menunggu kelanjutan sesi berikutnya. "Gue, gitu! Adara Salsabila, cewek termanis sejagat raya. Masa gue ditinggalin gitu, aja!"
Sehabis nangis sesenggukan, tiba-tiba ini anak memproklamirkan dirinya sebagai cewek termanis dengan semangat membara.
Kemana tangisannya tadi? Hebat kan, sahabatku?
Aktingnya sungguh luar biasa, sedangkan aku, dari tadi cuma manggut-manggut menyetujui semua ucapannya seperti orang teler.
Kulirik jam yang menggantung di dinding kamar, aku menghela napas kasar. Masih kurang dua jam lagi penyelamatku datang.
Sesekali aku menguap dan sukses mendapat
death glare dari Dara. Tapi tiba-tiba terdengar pintu terbuka dan terlihat kepala menyembul dari sana.
Wajah itu tersenyum jenaka melihat kami.
"Ada yang mau martabak telur?" tanya Kak Rian.
Yeay ... penyelamatku datang!
Dara yang mendengar kata martabak telur, sontak tersenyum cerah dan beranjak ke luar kamar sambil menggandeng tanganku. "Ayo, Frel."
Tanpa sepengetahuan Dara, aku mengkode Kak Rian dengan membentuk huruf "o" dari jempol dan telunjuk tanganku, dan dibalas Kak Rian mengacungkan jari jempolnya.
Kami segera menuju ruang tengah dan menemukan sekotak martabak telur di atas meja. Melihat itu Dara langsung menyantapnya dengan rakus, seorang diri. Melahapnya habis tanpa sisa.
"Ehm!" Aku berdeham sambil melipat tangan di depan dada.
Dara yang masih mengunyah suapan terakhirnya, menatapku polos tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Enak, ya, martabaknya? Jadi gitu yang namanya sahabat? Masa cuma demi martabak telur ada yang lupa sama sahabat sendiri."
Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah begitu mendengar sindiranku. Ia baru sadar dan sedikit tersedak. Mati-matian aku menahan semburan tawa yang hampir lolos.
"Eee ... i-itu, maksud gue—" Dara menjawabnya dengan gelagapan.
"Maksud lo apa, hah?" tanyaku dan kini aku yang berbalik melotot tajam ke arahnya.
"I-itu, Frel, hehehe ... iya deh, gue minta maaf, kali ini gue yang salah."
Yes, satu sama sekarang! Terbersit ide bagus untuk mengerjainya.
"Maafin gue, ya, Frel. Pliiisss."
"Lo pikir segampang itu minta maaf? Dari tadi gue juga udah minta maaf, tapi apa tanggapan lo, Ra? Lo tetap marah-marah sama gue, kan?" Aku menatapnya garang. Tampangku kupasang sejutek mungkin.
"Tap-tapi, Frel, gue kan, aduuuuh ... kok jadi kebalik gini, sih?" Aku menatap Dara geli, ia mulai terlihat bingung dan serba salah. Ia lalu mengacak rambutnya asal.
Kena lo, Ra. Rasain gue kerjain. Dalam hati aku ketawa cekikikan.
"Jangan marah lagi ya, Frel. Gini aja deh, tiap lo sama Kak Kevan boleh kok lo ngelupain gue, lo juga boleh ninggalin gue kayak tadi. Gue nggak bakalan marah lagi, beneran! Tapi, lo jangan marah lagi ya, Frel. Maafin gue, ya. Ayo, dong Frel jawab, pliiiiisssss...."
Tawaku meledak, sedangkan Dara mengernyitkan keningnya.
"Tampang lo bener-bener lucu, Ra." Aku terus tertawa sambil memegang perutku.
"Maksud lo?" tanya Dara bingung.
Aku masih nggak berhenti tertawa. "Ekspresi lo tadi itu lucu banget, sumpah."
"Jadi, lo ngerjain gue? Hah?!" teriak Dara kalap. Ia mulai sadar.
Aku berhenti tertawa setelah melihat wajah Dara yang err ... menyeramkan.
Aku menyengir kuda dan berjalan mundur, saat hitungan langkah ketiga, aku sontak berbalik dan kabur dari hadapan Dara.
Dara makin emosi dan mengejarku saat itu juga. Kami saling berteriak dan main kejar-kejaran seperti anak kecil, hingga aku ambruk di depan tv karena kelelahan, dan sukses mendapat hadiah gelitikan dari Dara.
Kami berdua akhirnya sibuk bercerita, bercanda dan tertawa bersama sambil nonton tv.
Untung aja di perjalanan tadi, aku sempat kirim pesan Kak Rian melalui W******p, agar dibelikan martabak telur untuk Dara.
Kak Rian memang selalu menjadi penyelamatku tiap kali Dara marah.
Dari kecil Dara memang sangat menyukai jajanan sederhana ini. Tiap Dara marah, martabak telur adalah sogokan paling jitu untuk meredam kemarahannya. Ya ... seperti tadi, nggak ada beberapa menit kemarahannya menguar entah ke mana.
.......................***.............................