Beranda / Fiksi Remaja / FREL. / 7. Hari Keberuntungan dan Penyelamat

Share

7. Hari Keberuntungan dan Penyelamat

Penulis: malapalas
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-20 03:27:47

"Gue mau pesan soto ayam sama es teh. Lo, Frel?" Aku masih senyam-senyum sambil menatap Kak Kevan.

 

Memandang Kak Kevan yang tepat di depanku merupakan suatu anugerah terbesar. Aku mengagumi ketampanannya dan keburuntunganku hari ini. Hingga terdengar suara yang mengalun indah miliknya, menyadarkanku.

 

"Frel?" panggil Kak Kevan sambil melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku.

 

"Eh, i-iya, maaf," ucapku gugup. "Tadi Kak Kevan bilang apa?" tanyaku cengengesan.

 

Kak Kevan tersenyum lembut dan mengulang perkataannya. "Lo mau pesan apa?"

 

"Emm, bakso, deh. Minumnya jus melon."

 

"Oke, bentar gue pesankan dulu, ya." Aku mengangguk malu-malu.

 

Kak Kevan memanggil pelayan kantin dan menyebutkan pesanan kami. Sambil menunggu pesanan datang, aku memutuskan mulai mengorek informasi tentang Kak Kevan.

 

"Kak Kevan suka soto ayam?" tanyaku mencoba tenang.

 

"Nggak juga," jawab Kak Kevan, tersenyum kecil sambil menatapku.

 

"Wah, masa kalah sama Pak Joko, beliau suka banget soto ayam, loh."

 

Kening Kak Kevan berkerut samar, "Maksud lo, Pak Joko guru sejarah?"

 

"Yup. Pak Joko juga ngajar di kelas Kak Kevan?" tanyaku penasaran.

 

"Sekarang sih, nggak. Kalo kelas X, gue pernah diajar Pak Joko."

 

"Oh, ya? Beliau suka banget sama soto ayam, kan? Apalagi Soto Ayam Lamongan, katanya mantap," ucapku sambil mengacungkan kedua jempol.

 

Kak Kevan mengangguk dan tertawa geli melihat tingkahku.

 

Aku semakin semangat bercerita tentang beliau yang sukses dibikin gondok saat melihat acara perkenalan semua muridnya. Bagaimana tingkah temanku yang lebay, ajaib dan gokil saat memperkenalkan diri di depan kelas.

 

Aku memperagakan cara penyampaian dan intonasi gaya bicara mereka yang aku anggap gokil dan lucu, sampai-sampai Kak Kevan tertawa lepas.

 

Aku harus berterima kasih kepada Pak Joko, karena berkat topik mengenai beliau, obrolan kami semakin seru bahkan kami berdua tak sadar jika pesanan kami sudah ada di atas meja.

 

Kami bingung. Nah, loh! Sejak kapan makanan ini sampai di atas meja, ya? Kok nggak ada yang nyadar?

 

Kami saling pandang, lalu tertawa bersama. 

***

 

Sedang asyik-asyiknya makan, tiba-tiba dua perusuh itu datang tanpa diundang.

 

"Wooyy ... gitu ya, gue sama Ari di sana mati-matian menghadang Farah, kalian malah enak-enakan makan," semprot Kak Alvin sembari berdiri di sebelah meja, sedangkan Kak Ari memilih duduk di sebelahku, mengambil garpu dan asal comot pentol jumbo yang sengaja aku sisakan untuk suapan terakhirku nanti.

 

Aku melongo, kepalaku sontak miring ke kiri mengikuti pentol jumbo itu masuk dengan sukses ke mulut Kak Ari.

 

Gleg! Aku menelan ludah. Sial, gagal deh makan tuh, pentol.

 

"Sorry, Frel. Sayang kan kalo pentol paling gede dianggurin. Mending buat gue aja," ucap Kak Ari sambil cengengesan. Aku berdecak sebal.

 

DIANGGURIN, MBAHMU!

 

Belum sempat Kak Kevan menjawab, aku sudah meluncurkan pertanyaan yang tiba-tiba melintas di kepalaku. "Emang Kak Farah ngamuk kenapa, Kak?"

 

"Ya, gitu ... tiap ada cewek lain yang coba merayu Kevan, bisa dipastikan mereka habis di tangan Farah. Untung aja tadi sebelum Farah ngamuk, kita berdua udah bekap mulut dan tubuhnya lebih dulu di dalam kelas. Bener-bener nyusahin!" jawab Kak Alvin, kali ini ia sudah duduk di sebelah Kak Kevan.

 

"Segitunya? Emang biasanya diapain aja tuh, para cewek?"

 

"Ngeri banget, Frel. Pernah gue liat tanpa sengaja di belakang gudang sekolah, Farah sama gengnya nyiram pakai telur, tepung, nginjak telapak tangannya, ngejambak rambutnya, nabok pipi juga. Kalo waktu itu nggak gue pergoki, nasib cewek itu bisa lebih parah lagi. Malah sempat gue denger, ada beberapa cewek yang langsung pindah sekolah saking takutnya." Kali ini Kak Ari yang jawab, sedangkan Kak Alvin memanggil pelayan kantin, memesan makanan untuk mereka berdua.

 

Aku jadi bergidik ngeri mendengarnya. Bagaimana jika aku diserang juga seperti cewek itu? Andai kata aku pindah, aku kan nggak bisa lihat Kak Kevan lagi.

 

Kak Kevan sepertinya mulai menangkap raut wajah gelisahku. Ia menatapku dalam dan serius, lalu tersenyum menenangkanku.

 

"Lo tenang aja. Ari cuma bercanda tadi." Kak Kevan beralih menatap Kak Ari. "Ya, kan, Ar?" lanjutnya dengan sedikit penekanan.

 

"I-iya, kok. Jangan dianggap serius ucapan gue tadi, Frel." Kak Ari tersenyum kikuk kayak orang bego.

 

Aku tertawa dalam hati. Ini cowok, Kak Kevan baru ngomong gitu aja takutnya bukan main.

 

"Lo, sih, Ar. Mau nyari perkara lo!" sahut Kak Alvin setelah puas tertawa dan dibalas Kak Ari dengan memukul kepalanya pakai sendok. Kak Alvin membalas memukul pakai garpu, dan begitu seterusnya.

 

Aku tertawa ngakak, sementara Kak Kevan hanya geleng-geleng kepala melihat dua sahabatnya yang pada stres semua.

 

Kami makan bersama sambil bersenda gurau. Saling melempar ledekan dan dibalas dengan ledekan yang lain.

 

Kak Ari dan Kak Alvin benar-benar lucu jika sedang beradu mulut. Kalau salah satu ada yang kalah telak, yang jawab bukan mulut lagi, tapi tangan, bahkan sendok. Atau mungkin sayur bakso punya Kak Ari bisa bersarang di atas rambut Kak Alvin kali ya, hahaha. 

 

Beberapa menit kemudian aku baru tersadar akan sesuatu. "Ya, ampuuuuun...," teriakku.

 

"Ada apa?" tanya mereka serentak.

 

"Gue lupa, gue punya janji sama Dara, teman gue." Aku menepuk jidatku dan buru-buru pamit undur diri kepada mereka bertiga.

 

Duh, gawat! Kok aku lupa sama Dara? Yang aku bilang punya janji sama Dara, itu sebenarnya cuma alasan. Yang benar saat mau ke kelas Kak Kevan, aku barengnya sama Dara tadi. Nah, ini malah aku lupa, main tinggal gitu aja.

 

Gawat, gawat, gawat!

 

Bisa-bisa Dara ngamuk. Ya, kalau ngamuknya cuma nendang atau mecahin gelas. Tuh anak, kalau lagi marah, kita bisa diceramahi sepanjang hari tanpa henti. Nggak boleh bergerak kemana-mana, harus dengerin Dara sampai selesai ngomong, nggak boleh dipotong, dan rasanya seperti mendengar kaset rusak yang diputar berulang kali. Bikin telinga budeg sejenak.

 

Kupercepat langkah lariku mencari sosok Dara. Sedikit berlebihan memang, tapi aku bisa apa. Dara adalah teman seperjuanganku dari dulu, teman sekaligus sahabat yang mengerti baik buruknya diriku. Dan aku nggak mau kehilangan dia sampai kapan pun.

 

Soal Kak Farah? Mau nendang kek, mau ngancem kek, mau nyantet kek, aku nggak peduli. Bodo amat! Lagian, aku sudah kebal dengar kata "bully".

 

Dari dulu yang namanya di-bully sama cewek yang sok berkuasa di sekolah, sudah menjadi makananku sehari-hari. Tapi jangan salah, dari dulu aku nggak pernah sudi jadi korban bully mereka.

 

Ada dua cara yang dapat dilakukan jika kita di-bully. Kita bisa membiarkan hal itu menghancurkan kita, atau kita berdiri dan melawannya.

 

Dan tentunya aku lebih memilih bangkit dan melawannya. Karena aku tahu, jika aku membiarkan pem-bully itu menindasku, maka dapat dipastikan mereka bakalan melakukannya lagi dan lagi.

 

***

 

Hampir satu jam aku disuruh berdiri di kamar Dara seperti patung. Rasanya ini kaki sudah mulai kesemutan. Ia dari tadi mondar-mandir di depanku kayak setrikaan, berceloteh membahas bagaimana pentingnya persahabatan dan nggak boleh di nomor duakan.

 

Setelah jam istirahat usai, Dara tiba-tiba mendiamiku. Aku dikacangi sepanjang jam pelajaran.

 

Saat kuminta bantuan Tomi, ia malah menjawab, "Udah biarin aja, entar juga balik sendiri." Tomi emang kampret, bukannya ngasih solusi malah bikin orang frustrasi.

 

Akhirnya, terpaksa saat pulang sekolah aku ikut mobil jemputannya Dara dan begini nasibku.

 

"Gue tau, Frel, Kak Kevan itu cowoknya ganteng, super keren sama kayak Kenn pujaan gue, tapi nggak gitu juga, kali. Masa cuma demi cowok, lo tega ninggalin gue, sahabat lo sendiri."

 

Huh, kayak dia nggak pernah ninggalin gue demi cowok lain, aja! Dulu sama Doni, gue malah dijadikan obat nyamuk.

 

"Kan lo juga pernah jadiin gue pajangan plus pengusir setan saat lo kencan sama Doni dulu, Ra."

 

Aduh, keceplosan. Mati, aku!

 

"Apa lo bilang? Tetap aja beda, Frel. Lo masih gue kasih makan, minum. Nah, sedangkan gue, lo tinggalin gitu aja di belakang tanpa menoleh sama sekali." Dara berjalan ke arahku dan melotot tajam.

 

Iya, dikasih makan minum, tapi disuruh duduk ngenes di pojokan.

 

Kalian masih ingat ada ucapan, "Kalau ada orang berdua, yang ketiga itu setan?" Nah, ya, itu, aku yang bagian pengganti setan saat mereka kencan berdua.

 

Tiap Dara kencan, aku yang selalu dijadikan kambing hitam. Alasan paling logis supaya dia bisa lolos dari rentetan pertanyaan kedua orangtuanya.

 

"Udah gue bilang berulang kali, kalo gue lagi marah, jangan motong ucapan gue. Lo lupa ya, Frel?" Aku meringis, lalu menggeleng cepat. "Ingat, jangan lupa lagi!" Kepalaku mengangguk-angguk otomatis.

 

"Lo nggak bakalan ngerti gimana perasaan gue saat lo tinggal sendirian tadi. Gue hancur, Frel. HANCUR. Lo lebih milih Kak Kevan ketimbang gue. Lo tega, Frel. TEGA. Hiks, hiks...." Kuputar bola mataku. Kumat lagi, deh, lebaynya. Ratu drama.

 

Aku masih diam menunggu kelanjutan sesi berikutnya. "Gue, gitu! Adara Salsabila, cewek termanis sejagat raya. Masa gue ditinggalin gitu, aja!"

 

Ajaib!

 

Sehabis nangis sesenggukan, tiba-tiba ini anak memproklamirkan dirinya sebagai cewek termanis dengan semangat membara.

 

Kemana tangisannya tadi? Hebat kan, sahabatku?

 

Aktingnya sungguh luar biasa, sedangkan aku, dari tadi cuma manggut-manggut menyetujui semua ucapannya seperti orang teler. 

 

Kulirik jam yang menggantung di dinding kamar, aku menghela napas kasar. Masih kurang dua jam lagi penyelamatku datang.

 

Sesekali aku menguap dan sukses mendapat death glare dari Dara. Tapi tiba-tiba terdengar pintu terbuka dan terlihat kepala menyembul dari sana.

Wajah itu tersenyum jenaka melihat kami.

 

"Ada yang mau martabak telur?" tanya Kak Rian. 

 

Yeay ... penyelamatku datang!

 

Dara yang mendengar kata martabak telur, sontak tersenyum cerah dan beranjak ke luar kamar sambil menggandeng tanganku. "Ayo, Frel."

 

Tanpa sepengetahuan Dara, aku mengkode Kak Rian dengan membentuk huruf "o" dari jempol dan telunjuk tanganku, dan dibalas Kak Rian mengacungkan jari jempolnya.

 

Kami segera menuju ruang tengah dan menemukan sekotak martabak telur di atas meja. Melihat itu Dara langsung menyantapnya dengan rakus, seorang diri. Melahapnya habis tanpa sisa.

 

"Ehm!" Aku berdeham sambil melipat tangan di depan dada.

 

Dara yang masih mengunyah suapan terakhirnya, menatapku polos tanpa rasa bersalah sedikit pun.

 

"Enak, ya, martabaknya? Jadi gitu yang namanya sahabat? Masa cuma demi martabak telur ada yang lupa sama sahabat sendiri."

 

Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah begitu mendengar sindiranku. Ia baru sadar dan sedikit tersedak. Mati-matian aku menahan semburan tawa yang hampir lolos.

 

"Eee ... i-itu, maksud gue—" Dara menjawabnya dengan gelagapan.

 

"Maksud lo apa, hah?" tanyaku dan kini aku yang berbalik melotot tajam ke arahnya.

 

"I-itu, Frel, hehehe ... iya deh, gue minta maaf, kali ini gue yang salah."

 

Yes, satu sama sekarang! Terbersit ide bagus untuk mengerjainya.

 

"Maafin gue, ya, Frel. Pliiisss."

 

"Lo pikir segampang itu minta maaf? Dari tadi gue juga udah minta maaf, tapi apa tanggapan lo, Ra? Lo tetap marah-marah sama gue, kan?" Aku menatapnya garang. Tampangku kupasang sejutek mungkin.

 

"Tap-tapi, Frel, gue kan, aduuuuh ... kok jadi kebalik gini, sih?" Aku menatap Dara geli, ia mulai terlihat bingung dan serba salah. Ia lalu mengacak rambutnya asal.

 

Kena lo, Ra. Rasain gue kerjain. Dalam hati aku ketawa cekikikan.

 

"Jangan marah lagi ya, Frel. Gini aja deh, tiap lo sama Kak Kevan boleh kok lo ngelupain gue, lo juga boleh ninggalin gue kayak tadi. Gue nggak bakalan marah lagi, beneran! Tapi, lo jangan marah lagi ya, Frel. Maafin gue, ya. Ayo, dong Frel jawab, pliiiiisssss...."

 

Tawaku meledak, sedangkan Dara mengernyitkan keningnya.

 

"Tampang lo bener-bener lucu, Ra." Aku terus tertawa sambil memegang perutku.

 

"Maksud lo?" tanya Dara bingung.

 

Aku masih nggak berhenti tertawa. "Ekspresi lo tadi itu lucu banget, sumpah."

 

"Jadi, lo ngerjain gue? Hah?!" teriak Dara kalap. Ia mulai sadar.

 

Aku berhenti tertawa setelah melihat wajah Dara yang err ... menyeramkan.

 

Aku menyengir kuda dan berjalan mundur, saat hitungan langkah ketiga, aku sontak berbalik dan kabur dari hadapan Dara.

 

Dara makin emosi dan mengejarku saat itu juga. Kami saling berteriak dan main kejar-kejaran seperti anak kecil, hingga aku ambruk di depan tv karena kelelahan, dan sukses mendapat hadiah gelitikan dari Dara.

 

Kami berdua akhirnya sibuk bercerita, bercanda dan tertawa bersama sambil nonton tv.

 

Untung aja di perjalanan tadi, aku sempat kirim pesan Kak Rian melalui W******p, agar dibelikan martabak telur untuk Dara.

 

Kak Rian memang selalu menjadi penyelamatku tiap kali Dara marah.

 

Dari kecil Dara memang sangat menyukai jajanan sederhana ini. Tiap Dara marah, martabak telur adalah sogokan paling jitu untuk meredam kemarahannya. Ya ... seperti tadi, nggak ada beberapa menit kemarahannya menguar entah ke mana.

 

.......................***.............................

 

Bab terkait

  • FREL.   8. Misi Baru

    Selagi Dara asyik menonton drama kesukaannya, aku menyelinap naik ke lantai atas menemui Kak Rian. Aku mengetuk pelan pintu kamarnya dan dari dalam terdengar suara yang menyuruhku masuk."Hai, Kak Rian...," sapaku dengan senyum manis terpampang di wajah."Sini, Frel," ujar Kak Rian sembari tersenyum.Aku menatap Kak Rian yang sedang serius membaca beberapa tumpukan berkas di meja kerjanya. Aku mencoba mendekat. "Sibuk, ya, Kak?""Hmm, lumayan. Ada apa, Frel?" tanya Kak Rian balik setelah melihatku sekilas.Kak Rian kembali menghadap tumpukan berkas itu, sesekali menandatangani beberapa lembar kertas. Dahiku berkerut ketika melihat Kak Rian yang baru pulang kerja tapi sudah bergelut lagi dengan pekerjaannya.Harusnya masih ada dua jam lagi kan, sebelum waktu pulang Kak Rian dari kantor? Apa karena

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • FREL.   9. Rencana terselubung

    Kuhitung sudah tiga kali lebih aku menguap. Ngantuk banget. Ini gara-gara ide Kak Rian yang sungguh gila. Dara lebih gila lagi, mau aja nurutin saran Kak Rian. Padahal dari kemarin ia tolak mentah-mentah ide darinya.Dan tadi, di pagi-pagi buta dengan seenak jidatnya Dara menggedor pintu rumahku kayak orang kesetanan, memaksaku mandi agar berangkat sekolah bersamanya."Hoooooaaaaaammm...." Sekali lagi aku menguap lebar dan kutepuk-tepuk mulutku.Kujulurkan leher, melihat Dara yang masih di depan gerbang menunggu Tomi datang. Aku menghela napas panjang, lalu kulipat kedua tangan di atas meja sambil memandang Pak Satpam yang lagi asyik memakan roti holland pemberian Dara.Lebih tepatnya, Dara dengan sengaja menyuap beliau supaya mengizinkan kami menunggu Tomi di sini.Gleg!Ini orang lagi doyan apa raku

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • FREL.   10. Persiapan

    Untuk acara malam ini aku memilihdresssantai warna hitam selutut lengan pendek, kupadukansneakersputih kesayanganku dan jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Rambut panjang hitam lurusku, aku biarkan tergerai untuk menambah kesan manis pada gaya busanaku.Aku paling nggak suka dandanan terlalu ribet dan ramai. Aku lebih sukasimpletapi tetapelegant. Seperti ini,girlynamun tetap tampakcasual.Kutolehkan kepala ke kanan, tepat di sampingku ada Dara yang semobil denganku. Ia terlihat melepas jaket yang sebelumnya menutupi beberapa bagian tubuhnya.Kupandangi Dara dari ujung kaki sampai atas. Dahiku berkerut dan sontak melotot setelah melihat penampilan Dara.Ia memakaihigh heelssuper tinggi, tas tangan kecil be

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • FREL.   11. Mendekati Rencana

    Kupandangi restoran mewah di depanku. Restoran 3 lantai dan tiap lantai mempunyai ruangan khusus masing-masing.Lantai 1, ada dapur dan tempat makan bernuansa anak muda.Lantai 2, khusus family room, ruangan dengan nuansa santai penuh kekeluargaan.Lantai 3, ruangan dengan tampilan eksklusif dalam tatanan interior mewah, ditujukan untuk kalangan profesional yang hendak menjamu rekan bisnisnya atau bahkan menyelenggarakan kegiatan meetinginternal perusahaan yang ruangannya bisa mencapai kapasitas 50 orang lebih.Meskipun sudah beberapa kali datang kemari, tapi tetap aja responsku tak pernah berubah. Takjub danwow ... amazing. Nggak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Aku masih ingat pertama kali datang kemari, sungguh memalukan. Memakai sandal jepit dan kaus oblong dengan tatanan rambut awut

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • FREL.   12. Rencana Dimulai

    "Aaaaaaaaaaaaaaaa!!!" Aku dan Dara berteriak sekencang-kencangnya begitu kami masuk ke dalam ruangan.Aku mengusap dadaku yang hampir jantungan karena kaget.Tomi benar-benar sialan! Ia sengaja menunggu kami di balik pintu dengan memakai topeng Ghostface untuk menutupi wajahnya.Siapa coba yang nggak takut kalau topengnya seseram itu?Melihat topeng Ghostface, membuatku selalu teringat film horor "Scream", di mana ceritanya sang pembunuh memakai topeng Ghostface dalam setiap melakukan aksi untuk menutupi jati dirinya.Tadinya kukira kami yang akan menjadi korban pembunuhan selanjutnya. Hiiii ... amit-amit!Tomi malah tertawa terbahak-bahak memegangi perutnya sambil membungkuk. Mengguncangkan bahunya sedemikian rupa akibat tawa pecahnya. Dara tidak tinggal diam, ia langsung memukuli Tomi dengan tas kecil yang i

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-20
  • FREL.   13. Perjalanan Bersama Kenn

    "Kenn, tungguin gue!""Gue ngasih tau lo, bukan berarti lo harus ngekorin gue.""Tapi gue terpaksa ngekorin lo, Kenn.""Lo pikir gue peduli?" Aish, mulai lagi mulutnya!Nggak tahu apa, ngejar dia itu sama aja kayak ngejar Hulk, satu langkah bagiku sama seperti sekilo jauhnya."Tunggu...!" teriakku sambil megap-megap kehabisan napas.Kenn berhenti dan berbalik menatapku. "Apa lagi?""Gu-gue capek ngejar lo. Jangan cepat-cepat dong jalannya.""Ck, siapa suruh punya badan kecil. Udah cepetan mau ngomong apa?"Emangnya gue mau apa, punya badan kecil gini!"G-gue ... eee ... gueee...." Tanpa sadar kedua jari telunjukku sudah terangkat main sundul-sundulan kayak magnet. Kebiasaan yang belum bi

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • FREL.   14. Terungkap

    Acara mandi selesai, aku pun sudah minum obat flu. Dan saat ini kami berdua duduk berhadapan di ruang makan sambil menunggu kakek nenek membuat minuman hangat. Tampak Kenn juga sudah berganti pakaian santai milik kakek.Kuambil kotak berisi berbagai macam obat dan kuserahkan pada Kenn yang sejak tadi melihat ke arah dapur."Gue nggak sakit," ucapnya ketus.Mulai lagi! Perlu dilakban nih, mulutnya. Memangnya siapa yang tanya? Ck, sok ke-PD-an banget."Terserah lo, deh. Gue cuma ngikutin perintah nenek," sahutku, kesal.Akhirnya kuletakkan kotak obat itu ke atas meja tepat di depannya. Kenn tetap diam, masih menatap dapur dengan serius. Kadang ia ikut tersenyum ketika menyaksikan kakek dan nenek saling suap-suapan singkong rebus.Kenapa nih, cowok? Jangan-jangan karena kena rayuan nenek. Hebat banget nenek bisa

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • FREL.   15. Dara Mengungsi

    Aku sampai di sekolah pukul 06.20. Sengaja aku berangkat lebih pagi supaya bisa bertemu dengan Dara di sekolah, tapi apa yang aku dapat, kelas kosong melompong tak berpenghuni.Aku duduk di bangkuku dan mengembuskan napas panjang.Sekali lagi kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan kelas, namun tak ada tanda kehidupan sama sekali. Hanya berderet bangku kosong tanpa pemiliknya.Mendadak aku teringat kejadian tadi pagi. Kukira aku hanya mimpi buruk saat peristiwa Kenn berada di rumahku semalam. Ternyata usai bangun tidur, aku disambut dengan ucapan nenek yang masih terngiang di kepalaku."Oh, ya, Frel, si ganteng nggak jadi menginap di sini. Setelah kamu pamit tidur, si ganteng juga pamit pulang," ujar nenek lemas sambil mengembuskan napasnya dengan lebay.Si ganteng?Dahiku mengernyit bingung. Aku masih ng

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21

Bab terbaru

  • FREL.   84. BONUS (Surat Cinta dari Mama)

    Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me

  • FREL.   83. TAMAT

    Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di

  • FREL.   82. Bersama Lagi

    Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel

  • FREL.   81. Surat Kak kevan

    'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi

  • FREL.   80. Akan Ada Akhir

    Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela

  • FREL.   79. Bangkit

    "Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang

  • FREL.   78. Keajaiban

    Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw

  • FREL.   77. Kenn (3)

    Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.

  • FREL.   76. Kenn (2)

    Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.

DMCA.com Protection Status