Aku sampai di sekolah pukul 06.20. Sengaja aku berangkat lebih pagi supaya bisa bertemu dengan Dara di sekolah, tapi apa yang aku dapat, kelas kosong melompong tak berpenghuni.Aku duduk di bangkuku dan mengembuskan napas panjang.Sekali lagi kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan kelas, namun tak ada tanda kehidupan sama sekali. Hanya berderet bangku kosong tanpa pemiliknya.Mendadak aku teringat kejadian tadi pagi. Kukira aku hanya mimpi buruk saat peristiwa Kenn berada di rumahku semalam. Ternyata usai bangun tidur, aku disambut dengan ucapan nenek yang masih terngiang di kepalaku."Oh, ya, Frel, si ganteng nggak jadi menginap di sini. Setelah kamu pamit tidur, si ganteng juga pamit pulang," ujar nenek lemas sambil mengembuskan napasnya dengan lebay.Si ganteng?Dahiku mengernyit bingung. Aku masih ng
Setelah Bu Sari masuk ke dalam kelas dan mengucapkan salam, beliau langsung memberikan ulangan untuk bab I yang telah dibahas kemarin."Masukkan semua buku catatan kalian ke dalam tas masing-masing. Di atas meja hanya ada kertas kosong dan alat tulis." Bu Sari mengedarkan pandangan ke kami semua. "Kita ulangan hari ini."JDER!"Huuuuuuuuuuu...." Ruang kelas menjadi gaduh oleh suara protes dan umpatan kecewa."Nggak ada bantahan!""Tapi Bu, harusnya kan info dulu kalau mau ulangan," protes Adam, tak terima."Betul itu, Bu. Harusnya ada pemberitahuan terlebih dahulu, biar kami bisa siapin, Bu," sahut Udin membenarkan."Maksudnya Udin pasti belum siapin kertas contekan tuh, Bu," potong Daniel, teman sebangku Udin sebelumnya. Karena wajah hitam dan perut gendutnya, kami sering
Kalian pasti menunggu penjelasan yang sudah aku dengar dari mulut Tomi, kan?Oke, akan aku ceritakan sekarang!Kalian masih ingat nggak mengenai hukuman yang diberikan Bu Sari, kemarin?Bukan hanya aku yang dapat hukuman, melainkan ada sembilan orang. Dan kalian harus tahu, bahwa hukuman kemarin itu semua gagal total.Ya. GAGAL TOTAL SAUDARA-SAUDARA!Kalian mau tahu karena siapa? Yup, betul. Semua karena ulah Udin dan teman-teman sekelas.Hukuman kemarin itu merupakan hukuman terberisik, menurutku. Hukuman yang seharusnya dilakukan dengan patuh dan tenang, ini malah pada ribut semua seperti ibu-ibu yang lagi nawar barang dagangan."Lo sih, Dam, gue udah bilang lo yang bagian jaga, lo nggak mau nurut. Ya, kayak gini jadinya." Andika menggerutu sambil menonjok-nonjok tembok dengan kepalan tangannya."
Rasanya sudah sepuluh menit yang lalu aku masih mengulang bacaan di halaman yang sama. Kucoba sekali lagi untuk fokus membaca.Atlas adalah kumpulan peta yang disatukan dalam bentuk buku, tetapi juga ditemukan dalam bentuk multimedia. Atlas dapat memuat informasi geografi, batas negara, statisik geopolitik, sosial, agama dan ekonomi.Informasi geografi? Statisik geopolitik?Dahiku berkerut berkali-kali lipat setelah menemukan kata yang belum kutahu arti maknanya.Mataku kembali menari-nari ke kiri dan kanan mengikuti setiap kata yang tertulis di sebuah buku yang aku pegang.Globe atau Bola Dunia adalah suatu bentuk tiruan bola bumi yang dibuat dalam skala kecil untuk dapat lebih memahami bentuk asli planet bumi.Aku ikut membayangk
"Ra, tunggu!" teriakku dari kejauhan, memanggil Dara yang sudah lebih dulu jalan ke luar kelas. Dara menoleh ke belakang, ia melihatku. Dari tatapannya, aku tahu dia terkejut. Beberapa detik kemudian ia berbalik dan mempercepat langkahnya. Aku terpaksa mengejar dengan susah payah karena banyaknya siswa yang berlalu lalang di depanku. Dara berjalan tanpa henti, ia terus berjalan, bahkan sekarang ia berlari menghindariku. Ia memasuki lift dan memencet tombol tanpa henti. Kulihat pintu lift akan segera tertutup. Aku benar-benar panik. "Dara, tunggu. Lo jangan—" Terlambat. Sial! Aku menatap ke atas pintu lift yang sudah tertutup di mana layar bergambar panah kecil berwarna merah menunjukkan arah turun. Tanpa pikir panjang aku berlari menuju tangga dan turun ke lantai bawah. Aku berlari seperti orang y
Sejak pertemuanku dengan Kak Kevan, rasanya tak henti-hentinya bibir ini tersenyum. Di dalam kelas pun aku hanya diam, lebih sering menunduk, selalu teringat kejadian saat Kak Kevan menoel hidungku, mengacak rambutku, tersenyum padaku, bahkan setelah mengetahui Kak Kevan tengah mengerjaiku dengan cara berbohong soal perjanjian kencan kami, bukannya emosi dan memarahi Kak Kevan, aku malah salah tingkah dan tersipu malu.Wajar aja Kak Kevan banyak digilai cewek. Banyak cewek yang menyukainya. Kak Kevan memang tampan. Tapi bukan hanya itu yang membuatku terpesona. Cowok tampan? Banyak. Tapi dengan segala sifat yang dimiliki Kak Kevan, aku rasa sangat jarang.Ia pendiam tapi juga ramah. Tutur katanya begitu halus bagaikan denting piano yang bisa membuatku terhanyut ke dalam buaian mimpi dan memasuki dunia khayalku sendiri.Sikap penuh kasih dan sayang juga selalu terpancar dari matanya. Tatapan lemb
Malam ini jalanan teramat ramai. Mungkin bisa jadi karena hari sabtu atau lebih tepatnya malam minggu. Malam kebebasan para siswa sekolah untuk melepaskan penat sehabis disibukkan dengan segudang aktivitas dan rutinitas belajar di sekolah. Atau, bisa disebut juga dengan malam terindah untuk para remaja yang sedang kasmaran sepertiku, sehingga begitu banyak jalan yang dipenuhi kendaraan bermotor dan lalu lalang muda-mudi yang mau jalan-jalan ke luar, atau sekadar berkumpul bersama teman-teman mereka.Perasaanku sungguh was-was. Semoga aja tidak terjadi apa-apa di jalanan yang padat ini.Kulirik Kak Kevan sekilas. Tangan kekarnya memegang kemudi dengan santai. Kulihat tak ada perubahan dari ekspresi wajahnya yang ia tunjukkan, masih kalem dan tenang.Nih, cowok, kenapa masih bisa santai begini, ya? Jalanan begitu macet, sedari tadi bunyi klakson terdengar dari segala arah, memperebutkan jala
Terdengar sayup-sayup bunyi yang sangat mengerikan meneriakkan namaku dari kejauhan, makin lama makin dekat dan keras. Suara teriakan bersatu dengan tamparan, oh, bukan, seperti suara sebuah benda membentur benda lain. Entah benda apa. Teriakan itu melengking bagaikan terompet bobrok yang sudah rusak. Agak serak dan menakutkan."Freeeel!"Aku tidak merespons, bukan tidak mau, tapi tidak bisa. Rasanya mulut dan lidahku susah sekali mengeluarkan suara."Frel. Frel. Freeeel!"Suara itu kembali lagi. Memanggilku berkali-kali. Aku sangat frustrasi. Sungguh. Suara itu sangat menggangguku. Bagaimana bisa aku hanya mampu mendengar tanpa bisa bergerak mendekatinya. Bahkan menjawabnya pun aku tidak bisa, tenggorokanku kering kerontang.Tiba-tiba terdengar benturan teramat kencang, hingga kurasa sebentar lagi akan terjadi gempa bumi maha dahsyat yan
Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me
Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di
Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel
'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi
Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela
"Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang
Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw
Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.
Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.