Kami berhenti di depan toko buku lantai 2. Tawa Kak Kevan pecah saat itu juga. Ia tertawa sambil menggelengkan kepalanya."Gue senang lo bisa balas keusilan Alvin. Dia emang kalo bercanda kadang suka kelewatan," kata Kak Kevan, berusaha keras menahan tawanya."Salah dia sendiri, siapa suruh ngerusuh acara kencan kita." Aku nyengir. "Kak, yuk, ke dalam.""Ya." Kak Kevan terkekeh sebelum akhirnya menatapku lekat. "Apa pun yang lo mau."Boleh teriak sambil lompat-lompat nggak sih? Barusan Kak Kevan coba gombalin gue, kan? Ya, kan? Ya, kan? Aaa ... gue senang banget hari ini.Seumpama nggak ingat ini di mana, aku akan dengan senang hati berteriak dan melompat-lompat saking senangnya. Tapi sayang, aku harus berusaha keras menahan sipu yang memerah di wajahku dan berharap Kak Kevan tidak menyadari aku salah tingkah hanya dengan kalimat
Aku berlari tunggang langgang memecah kesunyian di antara koridor sekolah yang sangat sepi. Perutku benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Sudah kubilang tunggu waktu istirahat dulu, kenapa masih ngeyel?! Hmm ... ini pasti karena sarapanku tadi pagi, terlalu banyak sambal pedas bikinan nenek.Kupercepat lariku, tiba-tiba di dekat toilet ada suara tangisan dan bentakan. Aku spontan berhenti, mempertajam pendengaran. Kusembulkan kepala agak sedikit miring dari balik tembok."Heh, cupu! Disuruh cepetan, malah nangis. Udah cengeng, cupu, culun, buruk rupa pula!" Ketiga cowok itu kompak tertawa keras seperti mencemooh."I-iya, Kak."Hah? Gue nggak salah liat, kan? Tuh cewek kenapa mau aja disuruh ngelap sepatunya si cowok tinggi jelek itu?"Masih kurang bersih tuh, Bos," celetuk salah satu temannya yang rambutnya di model ke atas, pe
Jam istirahat masih tersisa 10 menit. Mumpung masih ada waktu, kuseret Dara kembali ke taman."Lo jelasin sekarang, Ra!"Dara berlagak bingung. "Jelasin yang mana?"Kutunjukkan kepalan tanganku tepat di depan wajah Dara. Mana bisa aku dibohongi olehnya.Ia seketika mundur, lalu cengengesan dengan tampang bodoh. "Lo mau tanya apa?""Semuanya! Kenapa lo tiba-tiba pindah bangku? Kata Tomi, lo punya rencana. Rencana apa sampai-sampai lo nggak mau kasih tau gue, Ra?""Sebenarnya gue pindah bangku karena ... hehehe.""Malah cengengesan. Karena apa?""Ya, ituuu, karena ...," Dara menggaruk tengkuknya, "malu sama Kenn, gue, Frel."Sontak aku terbahak-bahak. "Tumben banget lo punya rasa malu segala, Ra. Biasanya tiap gagal lo nggak k
Bel pulang sekolah telah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Dara pun sudah angkat kaki lebih dulu karena ia mempunyai janji dengan kedua orang tuanya di rumah; Tomi sendiri juga sudah hengkang setelah aku menolak tawaran pulang bersamanya.Siapa suruh nggak mau jujur! Pakai acara menutup-nutupi tentang Kenn yang ternyata anak dari pemilik sekolah ini, lagi.Aku berjalan sambil melewati beberapa kelas yang sudah kosong tak berpenghuni—hingga sampai di kelas X4—ada satu cewek duduk di bagian paling belakang. Dia sedang memegang saputangan.Eh, tunggu! Aku sepertinya tak asing lagi dengan sosok cewek di kelas itu. Sontak langkah kakiku kembali mundur dan berhenti tepat di depan kelas X4. Aku melongok ke dalam. Ah, ternyata benar dugaanku."Hai ... belum pulang, Git?" tanyaku saat langkah kakiku sudah mendekat ke tempat ia duduk.I
Wajahku kini pastinya sudah bersinar-sinar begitu keinginanku terpenuhi. Berbagai macam orang berlalu lalang di sekitar kami. Rata-rata mereka menenteng banyak belanjaan, dihiasi senyum merekah dengan dandanan dan pilihan gaya fashionmereka masing-masing.Ayo tebak aku sekarang di mana?Hihihi ... yup, sekarang aku ada di mall. Permintaan pertama kuminta Kenn mengantarkanku ke sini. Ada sesuatu yang perlu kubeli.Yeah, pada awalnya Kenn menolak saat aku ajak ke mall. Tapi dengan memaksa akhirnya Kenn ikut juga.Aku berjalan sambil mencari tempat tujuanku. Sedangkan Kenn berjalan di belakangku masih memasang wajah datar.Mataku menyusuri tiap toko yang berjejer rapi. Aku masih ingat toko yang akan aku tuju berada di lantai 1 ini. Harusnya setelah belok ada toko batik. Tapi kok, nggak ada?
Aku kini sedang mencari Kenn yang ingin kutagih janjinya. Janji di mana ketiga permintaanku harus dia penuhi. Tanpa penolakan.Aku sudah tidak sabar mengeluarkan permintaan keduaku untuk membuatnya menuruti kemauanku sekali lagi. Ah, rasanya semangat sekali jika otakku sudah memberikan sinyal keberhasilan dalam setiap ideku.Aku berlari menuju dua kantin yang ada di sekolah, tapi nihil, batang hidungnya tak kelihatan sama sekali. Nggak mungkin dia sudah pulang, aku lihat motornya masih di parkiran sekolah.Aku beralih ke taman, gedung olahraga, bahkan ruangan perpustakaan pun tetap nggak ada. Akhirnya aku berhenti di depan ruangan musik, hanya sekadar mencoba mengatur napas. Ketika kaki ini akan melangkah pergi, aku sempat mendengar seseorang memainkan piano dengan merdu di sana.Bermodalkan penasaran, kuputuskan mengintip melalui celah lubang kecil pintu. Aku meliha
Angin berhembus cukup kencang, rambutku berkibar-kibar mengikuti arah angin yang menerpaku. Tanganku semakin mempererat pinggang Kenn saat motornya melaju dengan super kencang.Aku nggak tahu ini di mana. Dari tadi setelah keluar dari lingkungan sekolah, Kenn seperti kerasukan setan gila. Ia mengendarai motornya tanpa melihat siapa yang ada di belakang kemudinya. Sedari tadi aku berteriak kalap memukul-mukul bahu Kenn supaya bisa lebih pelan, tapi Kenn seolah-olah berubah tuli dan semakin mempercepat laju motornya.Aku mulai merutuki diriku sendiri. Bisa-bisanya aku mengikuti kemauan Kenn saat ia mengajakku berbicara di luar. Aku benar-benar bodoh. Ini sama aja bunuh diri.Kututup mataku serapat mungkin. Jantungku rasanya memompa lebih cepat dan kencang, rasa takutku juga bertambah besar. Suara klakson terdengar di tiap kendaraan yang kami lewati. Mungkin mereka berpikir kami orang sinting yang
Aku nggak salah dengar, tadi? Kenn menyebut nama Gita, kan? Jadi, Gita cinta pertama kakaknya?Sebentar, sepertinya ada yang ganjil. Tapi apa, ya? Kupukul-pukul kepala dengan tangan kananku. Duh, apa ya? Rasanya ada yang aku lupakan. Aku berjalan mondar-mandir dengan pikiran kalut dan berusaha memeras otak."Ada apa?" tanya Kenn.Aku melirik ke arah Kenn yang saat ini menampilkan wajah bingungnya saat melihat tingkahku. "Lo diem dulu, gue mau mikir. Kayaknya ada yang gue lupa."Masih berjalan bolak-balik di depan Kenn, aku berusaha keras mengingat kembali sesuatu yang sempat aku lupakan. Kenapa di saat penting begini, aku bisa lupa?Oh, aku tahu! Spontan aku berhenti dan menatap Kenn. "Lo tadi bilang Gita cinta pertama Hendra, kan? Gue bingung, kalo Gita cinta pertamanya kenapa waktu itu Gita malah nggak tau nama lo sama sekali, Ken