Jam istirahat masih tersisa 10 menit. Mumpung masih ada waktu, kuseret Dara kembali ke taman."Lo jelasin sekarang, Ra!"Dara berlagak bingung. "Jelasin yang mana?"Kutunjukkan kepalan tanganku tepat di depan wajah Dara. Mana bisa aku dibohongi olehnya.Ia seketika mundur, lalu cengengesan dengan tampang bodoh. "Lo mau tanya apa?""Semuanya! Kenapa lo tiba-tiba pindah bangku? Kata Tomi, lo punya rencana. Rencana apa sampai-sampai lo nggak mau kasih tau gue, Ra?""Sebenarnya gue pindah bangku karena ... hehehe.""Malah cengengesan. Karena apa?""Ya, ituuu, karena ...," Dara menggaruk tengkuknya, "malu sama Kenn, gue, Frel."Sontak aku terbahak-bahak. "Tumben banget lo punya rasa malu segala, Ra. Biasanya tiap gagal lo nggak k
Bel pulang sekolah telah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Dara pun sudah angkat kaki lebih dulu karena ia mempunyai janji dengan kedua orang tuanya di rumah; Tomi sendiri juga sudah hengkang setelah aku menolak tawaran pulang bersamanya.Siapa suruh nggak mau jujur! Pakai acara menutup-nutupi tentang Kenn yang ternyata anak dari pemilik sekolah ini, lagi.Aku berjalan sambil melewati beberapa kelas yang sudah kosong tak berpenghuni—hingga sampai di kelas X4—ada satu cewek duduk di bagian paling belakang. Dia sedang memegang saputangan.Eh, tunggu! Aku sepertinya tak asing lagi dengan sosok cewek di kelas itu. Sontak langkah kakiku kembali mundur dan berhenti tepat di depan kelas X4. Aku melongok ke dalam. Ah, ternyata benar dugaanku."Hai ... belum pulang, Git?" tanyaku saat langkah kakiku sudah mendekat ke tempat ia duduk.I
Wajahku kini pastinya sudah bersinar-sinar begitu keinginanku terpenuhi. Berbagai macam orang berlalu lalang di sekitar kami. Rata-rata mereka menenteng banyak belanjaan, dihiasi senyum merekah dengan dandanan dan pilihan gaya fashionmereka masing-masing.Ayo tebak aku sekarang di mana?Hihihi ... yup, sekarang aku ada di mall. Permintaan pertama kuminta Kenn mengantarkanku ke sini. Ada sesuatu yang perlu kubeli.Yeah, pada awalnya Kenn menolak saat aku ajak ke mall. Tapi dengan memaksa akhirnya Kenn ikut juga.Aku berjalan sambil mencari tempat tujuanku. Sedangkan Kenn berjalan di belakangku masih memasang wajah datar.Mataku menyusuri tiap toko yang berjejer rapi. Aku masih ingat toko yang akan aku tuju berada di lantai 1 ini. Harusnya setelah belok ada toko batik. Tapi kok, nggak ada?
Aku kini sedang mencari Kenn yang ingin kutagih janjinya. Janji di mana ketiga permintaanku harus dia penuhi. Tanpa penolakan.Aku sudah tidak sabar mengeluarkan permintaan keduaku untuk membuatnya menuruti kemauanku sekali lagi. Ah, rasanya semangat sekali jika otakku sudah memberikan sinyal keberhasilan dalam setiap ideku.Aku berlari menuju dua kantin yang ada di sekolah, tapi nihil, batang hidungnya tak kelihatan sama sekali. Nggak mungkin dia sudah pulang, aku lihat motornya masih di parkiran sekolah.Aku beralih ke taman, gedung olahraga, bahkan ruangan perpustakaan pun tetap nggak ada. Akhirnya aku berhenti di depan ruangan musik, hanya sekadar mencoba mengatur napas. Ketika kaki ini akan melangkah pergi, aku sempat mendengar seseorang memainkan piano dengan merdu di sana.Bermodalkan penasaran, kuputuskan mengintip melalui celah lubang kecil pintu. Aku meliha
Angin berhembus cukup kencang, rambutku berkibar-kibar mengikuti arah angin yang menerpaku. Tanganku semakin mempererat pinggang Kenn saat motornya melaju dengan super kencang.Aku nggak tahu ini di mana. Dari tadi setelah keluar dari lingkungan sekolah, Kenn seperti kerasukan setan gila. Ia mengendarai motornya tanpa melihat siapa yang ada di belakang kemudinya. Sedari tadi aku berteriak kalap memukul-mukul bahu Kenn supaya bisa lebih pelan, tapi Kenn seolah-olah berubah tuli dan semakin mempercepat laju motornya.Aku mulai merutuki diriku sendiri. Bisa-bisanya aku mengikuti kemauan Kenn saat ia mengajakku berbicara di luar. Aku benar-benar bodoh. Ini sama aja bunuh diri.Kututup mataku serapat mungkin. Jantungku rasanya memompa lebih cepat dan kencang, rasa takutku juga bertambah besar. Suara klakson terdengar di tiap kendaraan yang kami lewati. Mungkin mereka berpikir kami orang sinting yang
Aku nggak salah dengar, tadi? Kenn menyebut nama Gita, kan? Jadi, Gita cinta pertama kakaknya?Sebentar, sepertinya ada yang ganjil. Tapi apa, ya? Kupukul-pukul kepala dengan tangan kananku. Duh, apa ya? Rasanya ada yang aku lupakan. Aku berjalan mondar-mandir dengan pikiran kalut dan berusaha memeras otak."Ada apa?" tanya Kenn.Aku melirik ke arah Kenn yang saat ini menampilkan wajah bingungnya saat melihat tingkahku. "Lo diem dulu, gue mau mikir. Kayaknya ada yang gue lupa."Masih berjalan bolak-balik di depan Kenn, aku berusaha keras mengingat kembali sesuatu yang sempat aku lupakan. Kenapa di saat penting begini, aku bisa lupa?Oh, aku tahu! Spontan aku berhenti dan menatap Kenn. "Lo tadi bilang Gita cinta pertama Hendra, kan? Gue bingung, kalo Gita cinta pertamanya kenapa waktu itu Gita malah nggak tau nama lo sama sekali, Ken
Jika tidak ada guru, di mana-mana yang namanya ruang kelas, ujung-ujungnya pasti ramai. Ada aja bahan untuk omongan. Seperti halnya kelas X-1.Kata Rafa selaku ketua kelas X-1, pelajaran ekonomi hari ini kosong. Itu disebabkan Pak Eko sedang sakit. Tugasnya kali ini harus membuat pertanyaan yang berhubungan dengan perusahaan dagang dan perusahaan jasa, lalu diberikan jawaban sendiri menurut cara pandang kita masing-masing."Hahaha ... ini sih gampang. Pertanyaan tergantung kita, kan? Kita sendiri yang disuruh buat pertanyaan, kan?" sesumbar Udin seraya tertawa keras."Gaya lo, Din! Emang lo mau bikin pertanyaan apa?" sahut Andika menimpali."Lo kayak nggak tau Udin aja, Dik. Palingan yang dibuat pertanyaan nggak jauh-jauh sama perdagangan sepatunya. Terus entar diselipin tuh bagian paling bawah kertasnya, alamat pabriknya sendiri," seloroh Daniel yang kini sudah dudu
Kenn menahan pergelangan tangan Kak Farah dengan tatapan yang mampu membuatnya menciut. "Berhenti atau kecoak ini akan berbalik masuk ke seragam lo," ancam Kenn."I-iya. Gu-gue b-berhenti, Kenn," jawab Kak Farah dengan tubuh gemetar dan tergagap-gagap di depan Kenn.Aku masih bingung. Dari mana Kenn datang? Bukankah dia masih ada urusan sama Pak Ahmad?"Kalian jangan coba-coba kabur dari sini!" teriaknya kepada semua anak buah Kak Farah begitu mengetahui mereka berniat kabur secara diam-diam.Mereka serentak berhenti dan berbalik, wajah mereka pucat pasi, berjalan layaknya mumi."Kemarikan kecoaknya."Dengan tangan gemetar Kak Farah menyerahkan plastik itu. Kenn meraihnya, lalu ia lepaskan kecoak-kecoak tersebut ke bawah kaki Kak Farah. Kontan Kak Farah terlonjak dan refleks mundur. Ia berteriak ketakuta
Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me
Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di
Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel
'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi
Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela
"Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang
Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw
Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.
Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.