Segalanya berubah semenjak kejadian di taman beberapa hari yang lalu. Semua tak sama dan tak akan pernah sama dengan hari-hari sebelumnya.
Sejak kejadian di taman waktu itu, besoknya aku memilih diam, mencoba memaksa diri untuk tidak bertanya pada siapa pun mengenai keadaan Kenn. Meski akhirnya Dara tetap aja bercerita tentang Kenn yang tidak mau dibawa ke rumah sakit maupun UKS, dan lebih memilih pergi begitu aja tanpa mengatakan apa pun.
Aku hanya diam mendengarkan Dara yang berceloteh bagaimana ekspresi Kenn saat aku pergi meninggalkannya. Tatapan tajam tetapi sarat akan luka, tangan terkepal kuat menyalurkan emosinya, hingga tetesan darah yang tak ia hiraukan sama sekali.
Namun, sekali lagi, aku tetap memilih bungkam meski Dara dan Tomi memprotes respons dariku yang tak sesuai keinginannya. Aku memasang wajah datar, tak menyahut sedikit pun ucapan
Suara riuh rendah bergemuruh memecah kesunyian, aura semangat yang tinggi menebar membawa keceriaan, berbagai teriakan silih berganti menembus gendang para pendengar, mengantarkan decak kagum untuk kami semua.Bunyi khas tepuk tangan pun tidak luput dari segala penjuru yang memadati lapangan besar di tengah-tengah sekolah SMA Bakti Airlangga, sementara pemandu acara yang dipimpin oleh Kak Alvin berkoar-koar di atas panggung guna menyemangati para peserta lomba dan meneriakkan petuahnya untuk para peserta agar tetap menjunjung tinggi sportifitas.Ya, setelah berakhirnya ujian semester, seakan sudah menjadi tradisi, kini pihak sekolah melaksanakanclass meetingguna menghilangkan kejenuhan dan penat para siswa selepas berkutat pada soal-soal ujian.Berbagai lomba antar kelas diselenggarakan. Tak tanggung-tanggung tiga belas lebih jenis
"Gue nggak mau buat keributan. Singkirin tangan lo, kecuali lo emang senang buat dia sakit."Serta-merta Kak Kevan melepas tangannya. Wajahnya penuh rasa bersalah. "Maaf, Sayang. Aku nggak sengaja."Aku tersenyum mencoba memahami perasaan Kak Kevan. "Nggak apa-apa, Kak. Aku ngerti." Aku menghela napas sejenak sebelum beralih ke arah Kenn. "Kenn, gue kayaknya nggak—""Reno kritis," sela Kenn cepat."A-apa?" Mataku membulat. Jantungku serasa berhenti berdetak. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari mengepalkan tanganku "Nggak. Nggak mungkin!"Wajah Kenn mengeras. Tatapannya berubah menjadi sedih, "Reno ditemukan pingsan di depan kamar mandi panti. Waktu kami larikan ke rumah sakit, di sana Reno langsung dimasukkan dalam ruang gawat darurat. Gue cuma nggak mau lo meny
Sekian menit hanya keheningan yang tercipta di antara kami. Aku duduk terdiam di sebuah bangku taman rumah sakit, menyalurkan seluruh emosi pada tanganku yang memegang kuat-kuat bangku di kedua sisi tubuhku. Memandang satu arah pada tanaman merambat di depanku seraya berusaha menekan segala perasaan marah yang sempat meluap.Aku menghela napas panjang, mengatur napasku yang memburu."Emosinya belum turun juga?" Aku menoleh ke arah Kenn yang duduk sebangku denganku. Tatapannya menunjukkan kekhawatirannya padaku. "Lo mau ngomong sesuatu? Kalo itu bisa bikin lo lebih tenang, keluarkan semuanya."Aku menunduk sembari tersenyum getir. "Gue cuma nggak nyangka aja, wanita yang gaya busananya sering gue jadiin panutan serta fotonya juga sering gue buat rebutan sama Dara, selama ini ternyata mamanya Abel dan Reno. Gue nggak habis pikir sama dia, segitu teganya
Sedari tadi tanganku sibuk memencet-mencet remot televisi. Mencari saluran yang menurutku pantas untuk ditonton, bukan berita tentangdialagi.Sudah enam hari berturut-turut tayangan televisi selalu memberitakan segala hal tentangnya—Claretta Maharani—membuatku muak.Seakan menjadi sebuahtrending topic, berbagai macam informasi dan kemungkinan-kemungkinan terdengar dari para penyiar di layar kaca televisi tanpa ada pembuktian yang jelas. Bahkan, sampai sekarang pun Claretta masih bungkam tiap ada pertanyaan yang ditujukan padanya tentang status Abel dan Reno.Aku mendengkus. Katanya menyesal, mana buktinya?Kutekan kuat tomboloffdan kulempar asal remot ke atas meja kayu di depanku.Mood-ku selalu
Ketika aku sampai di ruang tamu, kulihat Kak Kevan duduk di sofa sambil menunduk. Baru aja aku hendak menyapanya, tak tahunya Kak Kevan tiba-tiba mendongak dan langsung memelukku. Aku terkesiap detik itu juga."Aku kangen banget sama kamu," ucapnya sambil memelukku erat.Beberapa saat tubuhku kaku. Aku meringis mendengar ucapan Kak Kevan di telingaku. Tanganku pelan-pelan terangkat membalas pelukannya. "Kak Kevan juara 1 kan di kelas?" Kurasakan anggukan Kak Kevan ketika menjawab pertanyaanku. "Udah kuduga. Selamat ya, Kak."Tak berapa lama, Kak Kevan melepas pelukan kami dan tersenyum melihatku. "Makasih. Kamu juga, selamat buat perolehan peringkatnya." Aku mengangguk pelan dan ikut tersenyum.Kami sama-sama terdiam. Kutilik Kak Kevan yang menatapku lekat. Seperti ada kerinduan yang mendalam dari sorot matanya,
Suara dentingan piano itu mengusik pendengaranku. Menyadarkan bahwa aku kini sudah sampai di depan ruang musik—mencari sosoknya—aku perlahan membuka pintu yang tak terkunci.Sudah kuduga. Dia pasti berada di ruangan ini.Aku bersandar pada dinding seraya menatap wajah Kenn yang terlihat dari samping. Mataku terpejam mencoba menyelami dan menyatu pada nada yang Kenn ciptakan. Aku tidak tahu itu lagu apa, tapi dengan mendengarkannya aja aku bisa merasakan paduan dari rendah dan tingginya terasa pas di telingaku. Serasa aku tengah berdiri di depan sebuah hamparan laut yang tenang.Aku menghirup udara sebanyak mungkin. Menikmati keindahan suara instrumen itu. Entah sejak kapan, mendengarkan permainan pianonya sudah menjadi bagian dari kegemaranku. Aku selalu merasa tenang.Beberapa menit kemudian, permai
Kalian tahu labirin? Sebuah jalur yang begitu rumit dengan lorong yang berliku-liku, dan mempunyai banyak jalan buntu.Mungkin akan terdengar seru dan menantang jika dilakukan pada sebuah permainan, tetapi apakah akan tetap seru jika labirin itu berpindah pada otak kita?Jawabannya tentu tidak. Karena aku tengah merasakannya sekarang. Aku kini telah terjebak dalam labirin otakku sendiri.Selepas pembicaraanitu, aku berusaha seperti tidak terjadi apa-apa. Mencoba memerankan sebagai sosok yang ceria seperti sediakala. Namun, ternyata semua menjadi serba kebalikannya.Otakku dipenuhi oleh Kenn, Kenn dan Kenn. Pikiranku tak pernah mau jauh darinya. Mengingat kembali tiap kata yang ia ucapkan terakhir kali. Membayangkan lagi raut wajahnya yang bagai dihiasi langit mendung dalam tatapannya. Seakan-akan
Duduk di bangku taman favoritku dan menikmati hembusan angin yang menerpa wajah, harusnya menjadi sebuah kegiatan santai yang sangat menyenangkan. Tetapi nyatanya, kali ini aku tidak bisa menikmatinya.Aku mencoba mengayun-ayunkan kakiku sembari mengamati danau kecil di depanku. Melihat berbagai ikan berwarna-warni berenang dengan mengibas-ngibaskan ekor cantiknya. Berusaha ikut larut dalam tingkah lucunya, namun, pengalihan yang aku lakukan lagi-lagi tak membuahkan hasil.Aku masih aja memikirkannya.Kilasan peristiwa di dalam kelas tadi selalu menari-nari di kepalaku. Aku tak akan pernah lupa, bagaimana canggungnya aku tiap kali mataku tak sengaja bertemu dengan mata hitam Kenn. Aku juga nggak bisa melupakan raut muka dingin dan datarnya setiap berpapasan denganku. Ia bersandiwara, aku pun sama. Bedanya, aku hanya bisa mendiaminya, sedangkan Kenn telah sukses menjalankan segala perannya untuk
Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me
Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di
Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel
'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi
Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela
"Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang
Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw
Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.
Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.