Dari balik jendela, aku memandang keluar. Mengawasi beberapa orang dan kendaraan berseliweran, sibuk sendiri meski dalam keadaan langit yang agak menggelap.Rumahku ini memang di pinggir jalan, walaupun bukan di pinggir jalan raya besar, tetapi merupakan akses yang bisa dilalui dua mobil, sehingga sering juga dilewati angkot dan beberapa kendaraan lainnya yang kerap menimbulkan kebisingan.Ah, sebenarnya aku tak pernah keberatan dengan suara bising apa pun, karena pada dasarnya aku memang lebih suka keramaian daripada kesunyian. Tapi entah mengapa, saat ini rasanya aku mau berada di sebuah tempat yang sangat sepi, jauh dari semua hiruk pikuk suara di sekitarku. Aku pengin menyatu bersama sepi, melebur dengan kesendirian.Suara nenek membuyarkanku dari segala sepi yang ingin kupeluk."Frel." Aku menoleh ke belaka
Tidak ada salahnya aku berdiri di sini. Memilih pergi ke rumah Kak Kevan, memenuhi permintaan Om Aditya serta nenek yang beberapa hari lalu—lewat pesan singkatnya—mengundangku datang kemari.Sebenarnya sudah beberapa kali mereka menghubungi melalui telepon, tapi selalu aku abaikan mengingat betapa kacaunya aku waktu itu.Kedua tanganku memegang jeruji pagar seraya melihat halaman luas yang di sisi kiri terdapat taman dan ditumbuhi berbagai macam tanaman hijau serta bunga kesayangan Tante Viona. Ada juga sebuah mobil mewah yang belum pernah kulihat, terparkir di halaman rumah.Apakah ada tamu penting?Sesaat aku ragu untuk masuk, apalagi dalam cuaca mendung seperti ini. Aku menghirup udara dalam-dalam. Mungkin, sebaiknya aku pulang.Namun, baru aja aku berbalik, terdengar suara Pak Satpam memanggilku. "Neng, kenapa balik?"
Aku menggigil di sudut gardu. Meringkuk seraya melipat lututku. Gemetar di tubuhku tak kunjung reda, membuatku harus menekan cengkeraman kedua kaki ini pada alas yang tengah kupijak.Kepalaku tenggelam ke dalam lipatan lutut. Kaku menjalar di seluruh ototku. Rasa takut pun makin bertambah setiap ada suara-suara di kepalaku yang berteriak histeris memaki kejahatan yang telah aku lakukan pada kakek dan nenek.Aku yang salah, meskipun aku bersikeras untuk tak mempercayai apa yang kini terjadi. Namun, perkataan Dara selalu saja terngiang di kepalaku, mematahkan segala hal yang kuanggap ilusi."Frel?" Tiba-tiba ada sebuah suara seperti memanggil namaku. "Frel? Apa itu lo?"Aku sontak mendongak di panggilan kedua. Kukerjapkan mataku untuk menghalau pandangan yang buram akan air mata.
Beberapa detik setelahnya aku tertawa kecil dan menggeleng tak percaya. "Kakek dan nenek pasti bercanda. Aku tau kalian pasti pura-pura tidur kayak dulu waktu kalian marah sama Frel. Kalian nggak mau bicara sama aku, kan?"Aku menengadah dan mengerjapkan mataku sesaat, lalu kuusap kasar sisa air mata dengan punggung tanganku."Oke, Frel minta maaf. Aku tadi udah bentak kalian, nggak mau menuruti semua permintaan kalian. Frel ngaku salah. Frel nyesel. Frel janji setelah ini nggak bakalan bentak kalian lagi, Frel nggak bakalan marah lagi, Frel nggak bakalan pergi lagi, Frel nggak akan bandel lagi, Frel akan turutin semua ucapan kalian. Sekarang, kalian nggak marah sama Frel lagi, kan? Ayo, sekarang kalian bangun." Ketakutan mulai menyergapku tatkala tak ada pergerakan sekecil apa pun dari kakek dan nenek. "Kek? Nek? Ayo, bangun."Aku menggoyang-goyangkan
Hari mulai senja, matahari perlahan tenggelam, dan langit mengeluarkan semburat warnaorangekemerahan di ufuk barat. Cahaya dari sisa matahari mengenai nisan nenek dan kakekku yang bertuliskan "Fredasari" serta "Elfarezi Prasetyo".Kakek dan nenek termasuk pecinta senja. Aku masih ingat kakek selalu bilang, "Jika ingin melihat pesona keindahan alam, di waktu senjalah tepatnya. Tepat di ujung sore dan di awal malam.", sementara nenek akan selalu menambahkan dengan wajah yang antusias dan berkata, "Senja adalah hal yang paling menakjubkan dan selalu menjadi salah satu peristiwa terindah di langit.".Ah, apakah senja waktu itu selalu mendengar pujian kakek dan nenek yang sering dilontarkan kepadanya? Apakah senja juga sekarang tahu jika penggemarnya kini sudah tiada?Kertak dedaunan terdengar di beberapa arah, membuatku yakin bahwa mer
Senja sudah berganti malam. Sayup-sayup suara adzan isya berkumandang ketika langkah kaki ini keluar dari pintu mobil.Kuedarkan pandanganku di setiap sisi depan rumah.Sepi....Meski ada rasa kecewa yang menyentak dada, tapi tetap kuambil kunci rumah dan kubuka dengan perlahan. Deritan pintu tertangkap indra pendengarku, mengingatkanku pada beberapa hari lalu saat aku protes pada kakek bahwa bunyi itu sangat mengganggu dan menjengkelkan.Kata kakek itu perkara mudah—tinggal olesi minyak goreng atau oli—selesai.Tapi, lihat sekarang. Derit itu masih ada, kan? Dasar kakek!Kukerjapkan mataku, kutarik napas dan kuembuskan perlahan. Aku berbalik ke arah pintu sebelum Dara, Tomi dan Kenn masuk ke dalam rumah.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah buku kecil yang jatuh dari atas bufet di ruang tamu. Kupicingkan mataku, dan aku langsung tahu bahwa itu adalah buku tabungan yang diperlihatkan kakek tadi siang kepadaku.Dengan langkah tegas, aku maju dan lekas mengambilnya. "Apa uang ini yang Anda maksud?" tanyaku tajam seraya melontarkan buku itu ke atas meja di hadapan Claretta. "Buka buku tabungan itu dan hitung, apa masih ada kekurangan dari uang yang Anda kirim?"Meskipun ada raut tanda tanya di wajahnya, akan tetapi ia tetap meraih buku tabungan yang aku berikan. Dengan perlahan ia membuka lembar demi lembar meski sebelumnya sempat kulihat ada keraguan dalam gerakan tangannya.Mata Claretta membelalak. "Jadi, mereka—""Ya. Nenek dan kakek selama ini nggak pernah sekalipun ambil sepeser uang dari Anda. Beli
"Sakit, Nek. Kakek, hiks ... sakit, Kek, sakiiit...."Rintihan itu terulang beberapa kali dari bibirku. Kukira itu kenyataan, namun, saat aku terbangun tanpa sadar aku masih menggumamkan kata-kata rintihan itu dan ada sisa air mata yang mengalir di pipiku.Kuhapus air mataku, lantas dengan cepat aku segera berlari menuju kamar yang akan kutuju.Aku melangkah ke dalam kamar kakek dan nenek. Gelap dan sunyi yang kudapati. "Kek, Nek, kalian di dalam?"Aku terus berjalan ke dalam kamar yang begitu gelap tanpa satu pun pencahayaan, sampai-sampai aku menabrak sebuah meja dan menjatuhkan sesuatu.Tanganku meraba dinding dan menekan saklar, membuat ruangan yang tadinya gelap kini terlihat terang. Sempat kulihat jam yang tergantung di dinding kamar menunjukkan pukul 1.00 dini hari