Aku menggigil di sudut gardu. Meringkuk seraya melipat lututku. Gemetar di tubuhku tak kunjung reda, membuatku harus menekan cengkeraman kedua kaki ini pada alas yang tengah kupijak.
Kepalaku tenggelam ke dalam lipatan lutut. Kaku menjalar di seluruh ototku. Rasa takut pun makin bertambah setiap ada suara-suara di kepalaku yang berteriak histeris memaki kejahatan yang telah aku lakukan pada kakek dan nenek.
Aku yang salah, meskipun aku bersikeras untuk tak mempercayai apa yang kini terjadi. Namun, perkataan Dara selalu saja terngiang di kepalaku, mematahkan segala hal yang kuanggap ilusi.
"Frel?" Tiba-tiba ada sebuah suara seperti memanggil namaku. "Frel? Apa itu lo?"
Aku sontak mendongak di panggilan kedua. Kukerjapkan mataku untuk menghalau pandangan yang buram akan air mata.
Beberapa detik setelahnya aku tertawa kecil dan menggeleng tak percaya. "Kakek dan nenek pasti bercanda. Aku tau kalian pasti pura-pura tidur kayak dulu waktu kalian marah sama Frel. Kalian nggak mau bicara sama aku, kan?"Aku menengadah dan mengerjapkan mataku sesaat, lalu kuusap kasar sisa air mata dengan punggung tanganku."Oke, Frel minta maaf. Aku tadi udah bentak kalian, nggak mau menuruti semua permintaan kalian. Frel ngaku salah. Frel nyesel. Frel janji setelah ini nggak bakalan bentak kalian lagi, Frel nggak bakalan marah lagi, Frel nggak bakalan pergi lagi, Frel nggak akan bandel lagi, Frel akan turutin semua ucapan kalian. Sekarang, kalian nggak marah sama Frel lagi, kan? Ayo, sekarang kalian bangun." Ketakutan mulai menyergapku tatkala tak ada pergerakan sekecil apa pun dari kakek dan nenek. "Kek? Nek? Ayo, bangun."Aku menggoyang-goyangkan
Hari mulai senja, matahari perlahan tenggelam, dan langit mengeluarkan semburat warnaorangekemerahan di ufuk barat. Cahaya dari sisa matahari mengenai nisan nenek dan kakekku yang bertuliskan "Fredasari" serta "Elfarezi Prasetyo".Kakek dan nenek termasuk pecinta senja. Aku masih ingat kakek selalu bilang, "Jika ingin melihat pesona keindahan alam, di waktu senjalah tepatnya. Tepat di ujung sore dan di awal malam.", sementara nenek akan selalu menambahkan dengan wajah yang antusias dan berkata, "Senja adalah hal yang paling menakjubkan dan selalu menjadi salah satu peristiwa terindah di langit.".Ah, apakah senja waktu itu selalu mendengar pujian kakek dan nenek yang sering dilontarkan kepadanya? Apakah senja juga sekarang tahu jika penggemarnya kini sudah tiada?Kertak dedaunan terdengar di beberapa arah, membuatku yakin bahwa mer
Senja sudah berganti malam. Sayup-sayup suara adzan isya berkumandang ketika langkah kaki ini keluar dari pintu mobil.Kuedarkan pandanganku di setiap sisi depan rumah.Sepi....Meski ada rasa kecewa yang menyentak dada, tapi tetap kuambil kunci rumah dan kubuka dengan perlahan. Deritan pintu tertangkap indra pendengarku, mengingatkanku pada beberapa hari lalu saat aku protes pada kakek bahwa bunyi itu sangat mengganggu dan menjengkelkan.Kata kakek itu perkara mudah—tinggal olesi minyak goreng atau oli—selesai.Tapi, lihat sekarang. Derit itu masih ada, kan? Dasar kakek!Kukerjapkan mataku, kutarik napas dan kuembuskan perlahan. Aku berbalik ke arah pintu sebelum Dara, Tomi dan Kenn masuk ke dalam rumah.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah buku kecil yang jatuh dari atas bufet di ruang tamu. Kupicingkan mataku, dan aku langsung tahu bahwa itu adalah buku tabungan yang diperlihatkan kakek tadi siang kepadaku.Dengan langkah tegas, aku maju dan lekas mengambilnya. "Apa uang ini yang Anda maksud?" tanyaku tajam seraya melontarkan buku itu ke atas meja di hadapan Claretta. "Buka buku tabungan itu dan hitung, apa masih ada kekurangan dari uang yang Anda kirim?"Meskipun ada raut tanda tanya di wajahnya, akan tetapi ia tetap meraih buku tabungan yang aku berikan. Dengan perlahan ia membuka lembar demi lembar meski sebelumnya sempat kulihat ada keraguan dalam gerakan tangannya.Mata Claretta membelalak. "Jadi, mereka—""Ya. Nenek dan kakek selama ini nggak pernah sekalipun ambil sepeser uang dari Anda. Beli
"Sakit, Nek. Kakek, hiks ... sakit, Kek, sakiiit...."Rintihan itu terulang beberapa kali dari bibirku. Kukira itu kenyataan, namun, saat aku terbangun tanpa sadar aku masih menggumamkan kata-kata rintihan itu dan ada sisa air mata yang mengalir di pipiku.Kuhapus air mataku, lantas dengan cepat aku segera berlari menuju kamar yang akan kutuju.Aku melangkah ke dalam kamar kakek dan nenek. Gelap dan sunyi yang kudapati. "Kek, Nek, kalian di dalam?"Aku terus berjalan ke dalam kamar yang begitu gelap tanpa satu pun pencahayaan, sampai-sampai aku menabrak sebuah meja dan menjatuhkan sesuatu.Tanganku meraba dinding dan menekan saklar, membuat ruangan yang tadinya gelap kini terlihat terang. Sempat kulihat jam yang tergantung di dinding kamar menunjukkan pukul 1.00 dini hari
Aku berjalan di tempat gelap. Tak ada suara atau pun kehidupan selain sunyi senyap.Aku mencoba melihat sekeliling, namun hanya ada kegelapan yang teramat pekat. Kuberjalan dan terus berjalan, akan tetapi seperti tiada ujung. Seolah berada dalam sebuah ruang tanpa batas.Di mana ini? Kenapa gelap sekali?"Kakek?" panggilku. "Nenek? Kalian di mana?"Berkali-kali aku berteriak memanggil mereka, tetapi tidak ada satu pun yang mau menyahutku. Aku berlari ke sana kemari berharap ada seseorang yang mau membantuku. Namun, semuanya nihil.Ke mana kalian? Aku udah coba menemui kalian, tapi kenapa kakek dan nenek tetap nggak mau mendatangiku?Pikiranku kalut. Sebagian diriku berteriak-teriak memakiku, dan sebagian lainnya berdiam bagaikan bayangan dingin yang hitam dan begitu menyeramkan.Ak
"Sekarang aku akan cerita semuanya," ucap Tante Viona. Lalu ia menutup mata sambil menghela napas panjang, seakan-akan ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan sesuatu.Tiba-tiba Tante Viona menatapku dengan pandangan yang sulit aku artikan."Kamu pasti pernah mendengar, di sekolah kamu dulu pernah ada cerita sepasang kekasih yang terpaksa berpisah karena perbedaan status ekonomi mereka. Kamu harus tahu, bahwa cerita itu benar adanya. Dan sepasang kekasih itu sendiri adalah Aditya dan Claretta."Tidak. Katakan ini bohong!Di sekolah memang tidak ada yang tidak tahu cerita itu. Cerita lama dan sampai sekarang masih menjadi pembicaraan di sekolah SMA Bakti Airlangga. Namun, aku masih tidak percaya jika cerita-cerita itu pun ternyata masih berkaitan erat dengan diriku sendiri. Tentang masa lalu orangtuaku."Se
Semuanya sudah berubah. Semua. Tidak ada yang tertinggal satu pun.Dulu, aku berusaha untuk tidak melepasnya dengan cara apa pun. Mencoba tuli, tak mendengar bisikan hati untuk menyerahkan dia padanya. Mencoba buta, tak melihat wajah sedihnya ketika terpaksa harus memilihku untuk dijadikan pilihannya. Mengabaikan perasaannya yang siapa pun jelas tahu siapa cowok yang ada di hatinya sejak lama.Kenn. Hanya dialah cowok satu-satunya yang gadis itu cintai.Kalian salah besar jika menganggapku terlalu baik. Dari semua cinta segi tiga ini hanya aku yang jahat di sini. Mencoba melakukan berbagai macam cara agar pemilik hatiku tak lepas dari genggamanku.Aku terlalu egois ingin memilikinya, tapi tak mau memahami perasaannya. Aku sadar dia mencintai Kenn. Aku sadar dari awal dia hanya mencintainya. Bukan aku....Dari tatapan kebenciannya, aku tah
Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me
Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di
Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel
'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi
Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela
"Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang
Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw
Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.
Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.