Pagi ini kurasa wajahku tak sesuai dengan keinginanku. Tenagaku juga seakan-akan ikut mengempis. Saat bangun tidur, sempat kulihat di cermin wajahku yang luar biasa mengerikan. Wajah kucel, rambut yang berantakan dengan kantung mata hitam seperti panda.Aku hampir mengira semalam ada tante kunti yang menginap di rumahku dan ia lupa untuk kembali ke peraduannya.Aish, nyatanya aku baru tersadar itu bukan siapa-siapa melainkan diriku sendiri!Oke, mungkin ini efek samping dari kurangnya tidur. Aku tak tahu jam berapa mulai terlelap, yang kuingat saat rasa kantuk mulai menguasai, aku sempat mendengar sayup-sayup azan subuh berkumandang.Huft ..., jika aja aku tak mendengar seruan nenek akan datangnya Kak Kevan yang menungguku, bisa jadi aku akan tetap meringkuk di kasur dan memilih bolos ketimbang melawan setan kantuk yang begitu kuat.Aku m
Sesampainya di kelas seperti biasa, suasana layaknya pasar setiap ada pekerjaan rumah. Aku tercengang menyaksikan Adam kejar-kejaran dengan Andika yang tengah membawa lari bukunya, Udin sendiri sedang konser menyanyikan lagu dangdut yang berjudul "Begadang" dengan membawa sapu dibuat sebagai gitar, sementara yang lain asyik berkerumun membentuk sebuah lingkaran di beberapa tempat untuk menyalin dan menyontek milik teman-teman yang sudah selesai mengerjakan.Termasuk Tomi dan Dara. Mereka kulihat rebutan buku tulis di meja paling belakang, menggeser sang tuan rumah yang sekarang mengungsi di bangku tempatku duduk.Eh, omong-omong soal mengungsi, itu kan Kenn. Kalau begitu Dara dan Tomi menyontek jawaban Kenn, dong!Aku berjalan cepat menuju bangku. Dara yang melihatku datang langsung menyerbuku, mengambil buku tugas fisika dan menyalin jawabanku di sebelahnya Tomi."R
Beberapa hari ini aku benar-benar menuruti semua saran Dara dan Tomi. Mencoba bertanya pada diriku sendiri serta menyelami perasaan hatiku yang terdalam.Aku juga berusaha tak hanya fokus dalam satu titik. Tidak memihak pada siapa pun. Susah memang, tapi itu harus.Aku yakin kalian pasti tahu siapa yang aku maksud. Ya, kalian benar. Aku memang sedang membicarakan Kenn dan Kak Kevan.Kak Kevan. Nama yang selalu aku ingat sejak pertama kali aku meminta tanda tangannya saat MOS berlangsung. Waktu itu dengan hanya menatap mata dan senyumannya aja membuatku langsung ingin memilikinya. Mencari segala cara agar bisa berdekatan dengannya. Dan saat ada kesempatan mendatangiku, tanpa pikir panjang aku berubah menjadi cewek yang tak tahu malu dengan berani mengutarakan perasaanku di depannya. Yeah, meskipun akhirnya tetap aja Kak Kevan yang mengambil alih acara penembakan itu.
Sesampainya di taman yang cukup sepi, aku mulai menceritakan semuanya, dari mencoba bertanya pada diriku sendiri kayak orang bego yang kehilangan akan jati diri, berupaya agar aku bisa memilih antara dua pilihan dengan hanya mengandalkan sebuah perasaan, meski perasaan itu kerap aku singkirkan setiap kali bayangan Kenn yang hadir memenuhi kepalaku. Sampai pada sebuah kejadian tadi tatkala pandangan Kenn mengarah pada Gita, membuatku paham betul siapa yang selama ini singgah di hati. Memang, logikaku ingin tetap memilih Kak Kevan, tetapi hatiku mempunyai jalan sendiri untuk menentukan siapa pemiliknya. "Tapi siapa tau Kenn cuma berniat menolong Gita, Frel? Gue yakin Kenn cintanya ke lo, bukan Gita. Udah, lo jangan nangis, ya. Yang penting lo sekarang udah sadar sama perasaan lo sendiri," ujar Dara yang duduk menyamping menghadapku. Ti
Dari kejauhan Kenn dan Tomi sedang membicarakan sesuatu. Pintu masuk lift berada di sudut kiri, sementara mereka berada pada sisi pagar pembatas bagian tengah, sehingga aku tak bisa mendengar jelas pembicaraan mereka.Rooftopini ternyata nggak sesuai ekspektasi horor yang muncul di kepalaku. Kukira yang namanyarooftop sekolah akan ada banyak balok kayu bekas bangunan atau barang-barang yang sudah tak terpakai akan teronggok tak beraturan di sekitar tempat ini.Yeah, kurang lebih seperti gudanglah.Tetapi ternyata semuanya bersih dan rapi. Malahan di sini terkesan sejuk karena adanya beberapa pohon kecil dan tanaman indah yang menambah keasrian pemandangannya.Dan lihat, astaga, kenapa ada gazebo di tempat seperti ini? Memangnya hotel berbintang, apa?! Bahkan, gazebo itu terdapat beberapa sofa dan meja juga.E
Kutilik kembali tingkah Kenn. Ia terdiam sejenak, lalu diketup-ketupkan lagi rokoknya di asbak."Menurut lo?" Setelahnya ia menyesap batang terbakar itu dengan santai."Sialan lo! Ditanya bukan dijawab, malah tanya balik." Aku nggak tahu ekspresi Tomi kali ini seperti apa, yang jelas ia pasti jengkel setengah mati sebagaimana suaranya yang terdengar jutek.Suasana kini berubah sunyi. Tak kudengar suara apa pun dari Tomi maupun Kenn. Tatapanku sekarang mengarah pada bagian belakang kepala Tomi yang terlihat menyembul dari balik sofa yang ia duduki. Asap putih juga mengepul kuat di sana. Aku menghela napas berat. Sampai kapan ia bisa berhenti merusak dirinya sendiri seperti ini? Menunggu sampai pabrik rokok tutup semua?Bah, mana mungkin!"Kalo emang lo suka beneran sama Frel, kejar dia, Kenn. Jangan pernah lo lepasin dia. Jangan sampai lo nyesel kayak gu
Akibat dari perbuatanku memasuki kawasan terlarang, membuatku harus menanggung risiko untuk menjalani sebuah hukuman. Bukan hukuman dari para guru, melainkan dari Kenn dan Tomi.Aku bersandar pada dinding yang menghadap pintu toilet yang tertutup di depanku. Kupegang punggungku lalu kupijat pelan dengan sebelah tangan. Aku meringis tatkala rasa pegal dan ngilu menjalar ke seluruh anggota badanku. Duh, sakit semua rasanya!Kuusap keringat yang menetes dari dahi sembari melirik Tomi yang berdiri di sampingku sambil menyaksikan video dari hasil rekamannya saat menyiksaku.Aku nggak tahu itu hanya alasan mereka untuk mengerjaiku atau memang benar ingin membantuku. Kata mereka, hukuman menyuruhku mengepel toilet cowok dan cewek di lantai 3 kelas X, sudah cukup sebagai bukti bahwa aku sudah mendapat hukuman, jadi seumpama ada guru atau lebih parahnya sang pemilik sekolah berang dan ingin menghukumku l
Kami kini sedang berdiri di tengah taman yang terdapat air mancurnya.Dengan raut muka yang tak terbaca Kenn berkata, "Udah tau alasan gue kasih hukuman?""Ya. Tadi Tomi udah bilang ke gue," jawabku sambil mengalihkan pandanganku pada sekeliling taman."Gue harap ini terakhir kali lo membahayakan diri sendiri." Serta-merta aku berpaling dan mendapati Kenn tengah menatapku lekat."Mak-maksud lo?" Aku sadar benar apa yang ia katakan, akan tetapi otakku memerintahkan lebih baik aku berpura-pura tidak mengerti daripada salah menjawab karena serangan gugup.Langkahnya perlahan mendekat ke arahku. "Gue yakin lo paham apa yang gue maksud."Aku berdecak mendengar jawabannya. Ia selalu memberikan respons yang tak pernah sesuai dengan keinginanku."Ya, gue paham. Paham banget. Gue tuh cerobo
Semilir angin, hijaunya pepohonan, serta kicauan burung seakan menyambutku tiap aku datang kemari. Seolah mereka menyapaku dengan salam terindah yang begitu manis.Aku berlari riang ke tempat yang lebih tinggi. Mataku terpejam, terbuai oleh rasa damai yang menentramkan jiwa. Kurentangkan kedua tangan, lalu kuhirup udara sebanyak-banyaknya. Bibir ini sontak tertarik ke atas saat udara segar telah memasuki paru-paruku."Lo kayaknya senang banget tiap gue ajak ke sini." Suara itu memecah kesunyian dalam beberapa menit terakhir.Aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum. "Karena di sini gue merasa tenang.""Emang sama gue, lo nggak tenang?" Ia menatapku lekat. Tanpa senyum."Ya ..., t-t-tenang." Mendadak aku gelagapan. Aku mencoba berpikir cepat. "Cuma di sini suasananya lebih damai. Bikin betah. "Ia masih me
Salah satu pelayan restoran menyambutku dan mengantarku berjalan menuju ke dalam. Semakin masuk, aku makin tidak mengerti. Bukannya berhenti di salah satu ruangan, pelayan itu malah tetap mengajakku melangkah terus sampai tiba di sebuah tempat bagian belakang restoran. Dan anehnya, di sini semua gelap tanpa penerangan apa pun.Aku berpaling pada pelayan restoran, melemparkan tatapan bertanya. Bukannya menjawab, ia justru memintaku menutup mata untuk beberapa saat. Walaupun masih banyak tanda tanya di kepala, tetapi tak urung aku melakukannya juga.Kupejamkan mata sambil menghitung waktu. Dalam enam puluh detik, aku sudah mendengar aba-aba membuka mata. Aku menoleh pada pelayan itu dan bertanya, "Apakah ada instruksi lain lagi?" Ia menggeleng dan tersenyum sopan, mempersilakanku maju dan menunjuk sesuatu di depan kami.Mataku melebar dan mulutku menganga dalam detik itu juga. Apa yang terdapat di
Kami berdiri di depan sebuah restoran besar dan mewah. Dari sini, lampunya masih tampak menyala semua, tetapi rasanya sangat sepi. Mungkin karena permintaan Kenn, restoran ini sengaja dikosongkan.Aku dan Dara maju bermaksud mencapai pintu, namun sebelum itu terjadi tiba-tiba dari balik tiang besar yang berada di sisi kiri pintu masuk, Tomi keluar bersama seseorang yang tak asing bagiku.Mataku membola disertai rasa setengah tak percaya. Kututup mulutku begitu melihat jelas sosok cewek yang kini berjalan mendekat ke arahku. Seperti biasanya, ia sangat cantik dan anggun."Sasha, kan?" tanyaku, memastikan dengan mengacungkan jari telunjuk. Ia mengangguk. "Beneran? Sasha yang gampar Tomi pakai kamus?"Sekali lagi Sasha mengangguk sembari tersenyum geli, sedangkan Tomi melotot kejam ke arahku.Tanpa menanggapi Tomi, aku langsung berlari memel
'Untukmu,Cahaya dan napasku.Hidup membawaku pada sebuah misteri yang tak pernah kutahu jawabnya. Memberikan sepercik rasa dan asa namun sekejap hilang tanpa jejak. Memaksaku untuk melupakan seberkas cahaya hangat yang pernah menjadi milikku, dan harus rela menerima apa yang telah digariskan.Memangnya sekuat apa diriku? Memangnya, sebesar apa hati bisa menguasai diri? Jika akal berbicara, apakah hati juga diharuskan menerima? Lalu, untuk apa cahaya itu mendekat jika nyatanya tidak memberikan keleluasaan dalam alur napasku?Semua perasaan ini sangat menyiksaku. Berulangkali mencoba meyakinkan diri dan menghibur diri sendiri agar bisa kuat menerima takdir kita. Namun, sekuat apa pun aku berusaha, hatiku tetap sama. Masih mencintaimu sebagai gadisku yang dulu.Alam menunjukkan banyak peristi
Tahu-tahu terdengar Abel bersorak girang. "Yeayy ... Kak Frel dan Kak Kenn mulai sekarang jagain Abel teruuuuus. Kak Reno di atas pasti senang liat Abel ada yang jagain. Horeeeeyyy...." Abel berteriak dan bertepuk tangan heboh. Aku dan Kenn ikut tertawa melihatnya."Di luar udah banyak yang nunggu. Ayo, waktunya pulang." Kenn menggenggam jemariku dan mengajakku keluar."Freeeeeeel...!" Baru aja pintu dibuka Kenn, Dara menerjang dan memelukku. "Gue senang akhirnya lo udah bebas.""Bebas? Lo pikir gue habis dipenjara!" Aku melotot, pura-pura marah.Dara cengengesan sembari meminta maaf. Sesudah itu Dara mengenalkanku dengan anak kecil bernama Dito—adiknya Kak Ari—yang usianya dua tahun di atas Abel.Sebenarnya sudah sering kali Dara bercerita tentang Dito. Mungkin aku belum pernah kasih tahu kalian siapa itu Dito, tapi yang jela
"Hai." Tiba-tiba Kenn memasuki ruangan dan menyapaku dengan suara seraknya.Aku tersenyum menyambutnya. "Hai, Kenn."Ketika aku mencoba duduk, dengan sigap Kenn membantuku dan mengatur bantal untuk sandaran punggungku.Ia kemudian duduk di sebelahku, tanpa senyum sedikit pun. "Gimana perasaan lo sekarang, setelah lima hari berturut-turut menolak gue temui?"Aku tersenyum getir. "Bukan hanya lo, Kenn, tapi semuanya.""Selama lo koma, gue kayak orang gila. Setiap hari gue ketakutan lo nggak akan membuka mata lagi. Gue takut, lo bakal pergi ninggalin gue kayak Hendra," ucap Kenn. "Dan saat lo siuman, dengan seenaknya lo melarang gue masuk. Lo udah berhasil bikin gue nyaris gila beneran." Kenn tertawa hambar meskipun terdengar pelan.Sementara aku sontak terdiam. Kugigit bibir bawahku. Semenjak aku siuman, memang
Kalian percaya tentang keajaiban Tuhan? Jujur, dulu aku nggak pernah percaya dengan yang namanya keajaiban. Aku selalu merasa keajaiban itu hanya untuk orang-orang tertentu, dan itu bukan untukku.Akan tetapi, aku salah. Semua yang aku pikirkan selama ini salah besar.Suatu hari aku bermimpi bertemu nenek dan kakek. Kami duduk di suatu tempat yang sangat sepi juga asing, tapi bagiku begitu tenang. Aku tidur-tiduran di antara mereka berdua dengan posisi kepalaku di atas paha nenek, sedangkan kakiku dipijat oleh kakek.Kami bercerita banyak hal, atau lebih tepatnya akulah yang selalu melemparkan pertanyaan pada mereka."Kek, pintu di rumah rusak lagi. Tiap dibuka bunyinya berisik banget kayak biasanya. Kata kakek mau benerin, kok sampai sekarang belum, Kek?""Sekarang kakek nggak bisa, mintalah tolong sama Nak Kenn. Dia anak yang baik," jaw
Faktanya, kemauan tak pernah bisa sejalan dengan perasaan. Gue menghindar, bersikap dingin setiap berpapasan dengannya, tapi bukan berarti gue nggak mau peduli lagi padanya.Diam-diam tanpa sepengetahuan dia, gue tetap mengawasi pergerakannya dalam jarak aman. Memperhatikan tingkah bodohnya menyiksa diri sendiri di sekolah. Hingga sampai pada kabar dari Tomi mengenai kakek dan neneknya yang meninggal karena tabrak lari. Menghilangkan gengsi, gue langsung pergi mencarinya.Gue mencari ke segala tempat yang belum didatangi Tomi dan Dara. Gue panik, sampai-sampai gue beberapa kali berputar-putar di area yang sama. Gue mengumpat kasar, merutuki kebodohan gue. Hingga satu nama itu terlintas di kepala gue.Kevan.Seketika gue menelepon Pak Ahmad meminta data alamat Kevan dan segera melesat ke rumahnya. Di sana gue dikejutkan kenyataan kebenaran hubungan Kevan dan Frel.
Gue berpikir keras. Mengapa setiap kali gue berada di dekatnya, emosi gue selalu meledak tiap melihat kelakuan bodohnya? Kenapa dia bisa buat gue marah di suatu waktu dan khawatir di detik selanjutnya? Apa gue punya perasaan khusus untuknya? Nggak, nggak mungkin!Argh, dari mana pikiran konyol itu? Nggak mungkin gue suka cewek gila macam dia. Gue menggeleng kuat. Namun, semakin gue menyangkalnya, perasaan itu justru semakin mengganggu. Gue ingin mengabaikannya, tetapi bayangan cewek itu terus saja bercokol di kepala gue. Gue sudah berpikir, berpikir dan terus berpikir. Akan tetapi logika dan hati gue selalu berlawanan arah. Pikiran gue buntu. Akhirnya gue merutuki diri sendiri dan berusaha mengalihkan pikiran, menolak menelaah lebih jauh perasaan gue. Hingga beberapa saat kemudian, terlihat Tomi dan Dara berlari mendekat. Menanyakan kondisi temannya yang masih berada di ruang operasi.