Masih dalam dekapannya, aku merasakan getaran hebat. Degub jantung seperti genderang perang. Tanganku yang thremor, tak bisa berpegangan sama badannya. Kubiarkan terkulai lemas di samping kanan-kiri badanku. Sedang wajahku sudah menyatu dengan wajahnya. Mataku masih terpejam halus. Tapi bibirku, entah kapan sudah merasakan sesapan dan lumatan yang begitu nikmat. Aku terbawa, aku terhanyut, hingga terdengar lenguhan dari bibirku. Begitu aku menikmatinya. Sampai lupa diri. Dia siapa dan aku siapa.
Rasanya aku seperti tak rela ketika laki-laki tampan itu menyudahi ciuman panas itu. Melepaskan bibirnya dari bibirku. Dengan masih terpejam di seka bibirku yang basah dengan tangan kekarnya dan terdengar bisikan mesranya yang mebuatku berubah ekspresi seketika.
"Sudah jangan nganga begitu, malu dilihat anak buahku. Kalau masih mau kita ke hotel lagi."
Deg! Jantungku seakan mau copot mendengar kata-kata itu. Seketika aku buka mataku. Laki-laki itu menatapku dengan tatapan menggoda.
Kegarangan di mukanya beberapa menit yang lalu seakan sirna. Yang ada sekarang, wajah tampan nan teduh itu, seakan mengkoyak-koyak hatiku sampai-sampai mau robek, saking aku terpesona dengan ketampanannya itu. Tapi ... jangan senang dulu itu hanya bertahan beberapa saat.
Semenit kemudian, wajah itu kembali menjadi galak dan dingin.
Lagi-lagi aku menciut di buatnya. Aku menundukkan wajahku. Kembali tangan thremorku, mencari pegangan.
"Aku tak akan pernah melepaskanmu!" ucapnya sarkas, membuat ku merinding. Diraihnya daguku, dan ditenggelamkannya bibirnya disela-sela rahangku yang runcing.
Ciuman itu sedikit dipaksakan, karena aku tidak siap sama sekali dengan sikap frontalnya. Kembali disesapkannya lidahnya kedalam mulutku. Agak tersengal nafasku menerima ciuman panasnya. Kali ini dia yang begitu agresif, diraihnya tubuh kecilku, di dekapnya erat hingga benar-benar aku tidak bisa bernapas. Aku tersengal dan terbatuk. Sesaat kemudian dia melepaskan ciuman dan dekapannya. Aku terhempas, terhuyung linglung.
Kebringasan wajahnya bak laki-laki brengsek yang setiap malam mencari mangsanya. Tiba-tiba aku merasa sangat membencinya, dengan perlakuanya terhadapku.
Ada yang kurasakan di bibir sensualku. Rasa sakit dan perih. Hisapan dan sesapan bahkan gigitannya luar biasa. Tidak mungkin bisa aku lupakan.
Laki-laki itu berjalan ke arahku. Dengan spotan aku beringsut mundur. Tanpa aku sadari gerakan cepatnya sudah menangkap tubuhku kembali ke dalam dekapannya.
Oh Tuhan! Lagi-lagi aku tertangkap. Aku tidak mau jadi budak 100 jutanya. Bagaimanapun aku harus memperjelas kondisi ini.
Dengan sedikit berontak aku berusaha melepaskan diri darinya.
"Mau ngapain kamu, mau lari lagi dariku?" Suara tenornya terdengar di malam yang kian larut itu.
Hampir beberapa jam kami ada di luar rumah. Malam yang sebenarnya indah dengan sinar bulan yang begitu terang, bulan purnama. Ada sosok bayanganku dan bayangannya, juga ke dua anak buahnya yang menjauh pergi melihat juragan kayanya melakukan hal yang feminim terhadapku.
Aku menggeleng tegas. Entah keberanian dari mana aku bisa melakukan pemberontakan itu.
"Aku nggak mau jadi budak 100 juta kamu!" ucapku tajam, kuberanikan menatap matanya. Sebelum dia memotong omonganku aku sudah star duluan.
"Masalah cek 100 juta itu, kita sudah sepakat, sudah tawar menawar dan kita setuju dengan transaksi itu! Jadi kamu nggak punya hak lagi mengungkit apalagi menjadikan uang 100 juta itu untuk memanfaatkanku. Itu sudah jadi hak aku dan aku juga sudah mengembalikan kewajiban ku punya hutang 100 juta padamu!"
Jelas! Pria itu melotot dan membulatkan bola matanya. Mendengarkan kalimatku yang panjangnya seperti rel kereta api itu. Bahkan aku tidak bernapas mengucapkan kata per kata itu. Supaya tidak di selah sama dia.
Dengan napas tersengal aku mengakhiri semua ucapanku. Kulihat pria itu hanya diam termangu. Padahal aku sudah waspada barang kali dia kan bersikap frontal lagi.
Lama pria itu terdiam. Aku sempat melirik ke arahnya. Sebenarnya aku takut dengan kondisi tadi, tapi aku modal nekat biar nggak diinjak-injak lagi sama dia. Memang malam itu aku nekad menggadai kevirginanku dengan cek 100 jutanya. Tapi demi Tuhan aku nggak pernah ingin bekerja seperti itu.
Malam itu aku sudah kalut nggak punya jalan keluar. Itupun dia juga yang bikin aku masuk ke keperangkap laki-laki hidung belang seperti dia. Seandainya saja dia nggak menculik adikku, nggak mungkinkan, aku nekad sampai nyari uang dengan cara begitu.
Setelah lama tidak ada reaksi dari dia, aku melenggang saja masuk ke dalam rumah meninggalkannya, tanpa pergerakan untuk menangkapku lagi.
******
Seperti biasa, cafe pasti mulai rame, di jam-jam istirahat siang. Aku sudah mepersiapkan semuanya.
Gelak tawa terdengar dari meja sebelah, meja langgananan para lelaki jomblo yang sudah berumur. Sebenarnya nggak tua-tua amat sich, sekitar 30-35 tahun. Tapi bagiku pria segitu sudah matang. Bukan waktunya ngumpul-ngumpul lagi, berhaha-hihi seperti kurang kerjaan.
Aku sebenarnya kurang respect dengar orang-orang yang mendamba kebebasan seperti itu. Seolah-olah kurang punya tanggung jawab menurutku. Pengennya bebas tanpa batas. Tanpa aturan, tanpa larangan. Bahkan bisa menghalalkan berbagai cara agar kebebasan itu mutlak milik masing-masing pribadi.
Seperti biasa, aku membawa beberapa minuman dingin yang bersoda ke meja no.7 dan beberapa makanan ringan. Seperti biasa pula, aku tidak pernah melihat tamu-tamu yang datang ke cafe, ketika aku sedang melayani mereka. Entah itu cuma membawakan minuman atau makanan ringan.
Seperti siang ini juga. Walaupun sekelompok laki-laki berumur itu memandangiku seperti menelanjangi aku. Aku whatever aja. Memang ku akui hari ini aku agak feminim. Pakai rok diatas dengkul mini dan atasan agak ketat. Ternyata itu mengundang mata para tamu singgah menatap penampilanku.
Aku sendiri juga nggak tahu, kenapa tiba-tiba aku pengen banget berpenampilan feminim banget hari ini.
Kutaruh minuman itu satu per satu lalu yang terakhir aku menaruh makanan ringan itu tepat di hadapan laki-laki yang aku yakin sudah dari tadi menatapku seperti kucing kelaparan.
"Maaf, makanannya." ucapku sambil menaruh makanan yang terakhir di dekat minuman dingin itu.
Tapi tiba-tiba tanganku sudah dicekal dengan paksa oleh seseorang yang sedari tadi menatap dan memperhatikanku. Tindakannya itu mengundang reaksi teman-temannya.
"Bos! Apa yang sedang kamu lakukan?" Salah satu temannya bertanya dengan kebingungan, melihat sikap laki-laki ini.
Dengan keberanian maksimal aku tatap wajah laki-laki itu dan berusaha melepaskannya. Alangkah kagetnya aku ketika menyadari siapa laki-laki itu. Aku sudah tidak dapat berkutik.
"Ternyata dia?" gumsmku dalam hati.
Tanganku tiba-tiba thremor tanpa kuminta. Bahkan cekalan itu semakin di eratkan. Sudah dapat dipastikan wajahku sudah pucat pasi.
"Kamu, ikut Aku!" titahnya yang tidak mungkin aku lawan.
Aku mengikuti gerakan langkahnya tanpa berusaha melepaskan cekalannya lagi. Terseok-seok aku mengikuti langkahnya yang begitu cepat. Tepat di sebelah taman cafe dia menghentikan langkahnya. Hampir saja aku terjerembab menubruk badannya.
"Maksud kamu apa dengan berpakaian begini?" tanya tanpa basa-basi lagi.
Aku agak bingung dengan pertanyaannya. Memangnya kenapa dengan pakaianku? Toh masih dibatas kesopanan. Kenapa dia yang posesif, yang atur-atur aku harus berpakaian bagaimana. Memang dia siapa aku?
Dengan bersungut-sungut aku terus ngedumel, tentunya hanya di dalam hati. Nggak mungkinkan aku teriak-teriak marah padanya. Yang ada aku jadi tontonan orang se-rt.
"Mau pamer sama kaum laki kamu punya body bagus, tubuh aduhai! Atau mau tebar pesona sama setiap laki-laki biar bisa kamu ajak ke hotel seperti kemarin!"
Eh! Ini mulut laki kok lemes amat, kayak nggak pernah di sekolahin aja. Aku menggeram dalam hati.
Aku berusaha menggerakkan tanganku yang masih dicekal dia untuk menampar mulutnya. Tapi nggak berhasil. Cekalannya terlalu kuat.
"Nggak usah berusaha namoar mulut Aku. Apa yang Aku katakan itu fakta!" ucapnya dengan nada tegas.
"Tidak! Aku tidak pernah berpikir bekerja begitu. Itu sudah jelaskan kenapa aku berbuat begitu di hotel sama kamu?!" ucapku membela diri.
"Kalau kamu nggak mau aku sebut perempuan seperti itu, maka jangan berpakaian seperti ini?!"
"Lho! Kenapa? Inikan masih sopan, tidak melanggar batas kesopanan, tidak telanjang!" ucapku sarkas membela diri.
"Lagian Kamu siapa Aku, seenak-enaknya mengatur Aku harus berpakaian bagaimana?!"
"Kamu mau tahu Aku ini siapa Kamu?" ucapnya sambil mendekatkan wajahnya padaku. Kembali jantungku berdegub kencang seperti kemarin.
"Orang yang tak akan pernah melepaskanmu sedetik pun!"
Oh! Lemes badanku mendengar ucapannya yang begitu menakutkan. Kenapa aku harus berurusan dengan orang yang jiwanya sakit seperti ini.
Dengan sekali sesapan lidah itu sudah sampai di tenggorokanku. Mengkorek semua isi mulutku. Di hisapnya dalam-dalam lidahku, sampai rasanya luar biasa sakitnya. Kembali aku tersengal dengan perlakuanya padaku.
Kulihat senyum kepuasan di sudut bibirnya. Aku bilang. Laki-laki ini, sakit! Sakit mental!
******
BERSAMBUNG
Aku terduduk lemas di samping taman. Tanganku yang thremor benar-benar tak mampu aku kendalikan. Lemas terkeluai di sebelah badanku. Nafasku masih terlihat turun-naik belum terarur. Rasanya aku seperti mimpi, sekarang hidupku setiap hari harus berurusan dengan laki-laki yang sakit mental. Selang beberapa menit aku sudah kembali ke tempat kerjaku. Mbak Dina yang melihat wajahku tiba-tiba memucat mendekatiku. "Daiva, Kamu sakit? Kok wajah Kamu pucat begitu?" tanyanya cemas, sambil memegang keningku. Lumayan agak sumeng sich. Cuma itu bukan sakit. Aku kaget dengan tragedi tadi, tragedi yang diciptakan orang yang mentalnya sakit. Cakep-cakep kok sakit jiwa! "Nggak kok, Mbak. Hanya sedikit demam, mungkin kecapekan karena semalam kurang istirahat dengan baik." jawabku sambil tersenyum, terus merapikan semua pekerjaanku. "Apa, Kamu mau izin pulang duluan? Nanti Mbak sampaikan sama pengawas!" suaranya kembali dengan nada penawaran. Aku menggelengkan kepala le
Aku semakin ketakutan melihat badannya mendekatiku. Kupeluk erat bantal yang menutupi dadaku. Kaku-laki semaki mendekat dan menghimpit dadaku. Menindih tubuhku. Aku menahan napas kuat-kuat, ketika wajahnya bersinggungan dengan wajahku, dan napasnya sudah menyatu dengan napasku. Kali ini dengan begitu lembut dia meraih kepalaku, menekannya perlahan agar bibirku tidak lepas dari bibirnya. Entah kesurupan setan dari mana, aku yang tadinya menolak dan memberontak menjadi lebih agresif dan liar. Aku raih dengan sedikit memaksakan, melingkarkan tanganku ke lehernya, agar dia tidak melepaskan pagutannya di bibirku. Ku jelajahi rongga-ronga mulutnya. Kusesap dan kuhisap lidahnya yang panas. Dan kulumat dengan sepenuh perasaan bibir simetrisnya yang begitu sangat menggairahkan. Tanpa berpikir dua kali, laki-laki yang bernama Keyko Khayang Gumelar itu, menjelajahi setiap jengkal kulit tubuhku dari atas sampai bawah. Sedikitpun tidak membiarkan lolos dar
Drtttt ... drttt ... Dering telpon itu milikku, tapi dengan cepat ada tangan seseorang yang menyambar ponsel genggamku. Dan aku tahu betul siapa orang itu. Di gesernya ikon yang berwarna hijau itu, dan terdengar suara riang di ujung seberang telpon. "Kak! Mau jam berapa pulang?" Ariana mau belajar kelompok sama Alvin ya?" Klik! Telpon terputus tanpa memberi kesempatan si empunya telpon untuk berbicara barang sekata dua kata. Keyko kembali menaruh ponselku di atas nakas. Dan kurasakan jari-jemarinya yang kokoh sudah meremas pinggangku dengan lembut. Akh-, kalau aku terus bersamanya sepanjang hari pasti aku akan jadi budak sex-nya. Walau tak bisa kupungkiri aku menikmatinya. Tapi nggak bisa seperti ini terus. Aku akan kelihatan seperti murahan di matanya, hanya untuk menebus cek senilai 100 juta itu. Siapa suruh waktu itu mau transaksi denganku. Akh-, brengsek! Memang. Aku terjebak dengan permainan laki-laki hidung belang
Aku meringis merasakan tamparan yang begitu keras itu. Aku yakin, 5 jari perempuan ini sudah membekas di pipi kananku."Stella!" Teriakan Keyko mengglegar membuatku sesaat terperanjat. Tapi tak mengurangi emosi wanita yang sedang gelap mata ini."Dasar perempuan murahan! Pelacur! Enyah aja kamu dari muka bumi ini!"Rambutku tiba-tiba di jambak, ditarik bahkan badanku yang setengah bugil itu diunyel-unyel di kasur Keyko.Keyko geram, karena teriakannya tidak di hiraukan oleh perempuan yang tiba-tiba datang tanpa membunyikan bel pintu itu."Stella! Hentikan!" Teriaknya lagi, kali ini dia segera memakai celana pendeknya dan meraih badan perempuan yang ia panggil setella itu dari atas badanku."Plak! Plak!"Tamparan itu telak di muka kanan-kiri gadis itu. Hampir terhuyung dari tempat berdirinya, perempuan yang bernama stella itu.Aku segera merapikan bajuku yan awalnya bugil oleh Keyko dan kini acak-acakan oleh Stella.Gadis
"Lepasin Aku!" pintaku dengan sengit dan memberontak. Tapi tangan itu begitu kuat, padahal satu tangan sedang menyetir. "Ternyata, Kamu ada hubungan juga sama Kalingga, ya? Kamu tahu siapa dia? Adikku!" Uh- Rasanya mau pecah kendang telangaku mendengar teriakannya yang histeris. "Ada hubungan apa kamu dengan adikku?!" Lagi-lagi suaranya memekakkan telinga. "Teman." Teman tidur, heh!" Sungguh suaranya bercampur emosi semakin membuat nyaliku ciut. "Hanya teman. Kamukan yang pertama kali tidur denganku. Kamu juga yang sudah merenggutnya." kataku lagi membuat dia, Keyko terdiam ketat mengatupkan bibirnya. Setelah mendengar ucapanku yang terakhir itu, tiba-tiba suara hening. Mobil pun tak sengebut tadi. Aku juga ikut terdiam, sesekali aku curi pandang ke arahnya. "Sudah berapa lama kamu kenal adikku?" Tiba-tiba suaranya memecah kesunyian. Matanya tetap lurus sambil tangannya masih menyetir mobilnya. "
"Kamu kenal wanita itu di mana?" tanya Kalingga dingin. Wajahnya seperti membeku. Kupicingkan mata ke arahnya. Pria yang kukenal hampir satu tahun setengah itu seolah berubah. Ada yang aneh menurutku. Kalau berwajah dingin begini nggak ada bedanya dengan kakaknya yang brengsek itu. "Nggak akan ada wanita yang mencarimu, jika hubunganmu dengan Keyko belum jauh." Lagi-lagi datar nada pertanyaan itu. "Sejauh mana hubunganmu dengan Keyko? Sudah pernah tidur bersama?" Deg! Insting laki-laki ini hebat! Luar biasa! Bahkan aku belum sepatah pun memulai cerita tentang aku dan Keyko. Tapi dia sudah sejauh itu menebaknya. Dan seperti paham tentang sifat kakaknya yang hidung belang itu. "Kakakku suka jajan hampir tiap malam. Hanya untuk pelampiasan dan main-main. Tak jarang banyak wanita yang terbawa perasaan setelah tidur sama Keyko. Mereka akan mengejar-ngejar Keyko sampai dapat. Jadi tak heran kalau tiba-tiba ada wanita yang datang ke rumahmu d
"Biarkan, dia pergi! Dia salah apa sama, Kamu? Sampai menyiksanya begitu?" "Jadi, Kamu tahu, kemana dia pergi?" Kalingga hanya menggeleng sambil merapikan berkasnya yang berserakan. Dari dulu dia memang anak papa mama. Selalu menjadi kebanggan. "Memangnya, dia punya hutang berapa sama Kamu?" Keyko menatap tajam ke arah adiknya. Ada yang berdesir aneh ketika dia menyadari, mungkin gadis itu sudah cerita banyak dengan Kalingga. "Apa dia sudah banyak yang diceritakan padamu?" Kalingga hanya terkekeh mendengar ucapan yang bernada sinis. "Nggak ada. Dia nggak pernah cerita apapun itu. Tapi kemarin, cewek koleksi kamu datang kerumahnya dan menampar Daiva." Hampir tersedak Keyko, waktu mendengar perkataan adiknya. Air mineral yang sedari tadi disesapnya ditaruh begitu saja. "Stella, maksudmu?" Keyko menatap serius ke arah manik adiknya. "Terus siapa lagi yang begitu t
Jantungku berdebar keras, dengan tangan yang tiba-tiba thremor. Aku terhuyung beringsut ke belakang. Tapi laki-laki yang sudah menubrukku itu, buru-buru meraih tubuhku. Menyangganya agar tidak jatuh. Ada senyum misterius di sudut bibirnya. Oh Tuhan! Jauh-jauh aku ke sini menghindari dia, kenapa malah ketemu di sini? Rasanya, aku ingin menjerit minta tolong sama orang-orang di sekitarku, kalau hidupku sudah sangat terancam dengan keberadaan laki-laki ini. "Apa kabar, Daiva Gayatri Maheswari?" suaranya membuat aku menelan salivaku yang sedari tadi kering kerontang. Ada warna pias di wajahku melihat keberadaan laki-laki ini. Kakiku seakan lumpuh dan tak bisa digerakkan ketika dia mendorongku keluar dari supermarket kecil itu. Digiring menuju parkiran di mana mobilnya di sana. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti titahnya. "Sejauh apapun Kamu menghindar bahkan menghilang dariku, Kamu tak akan pernah berhasil. Karena ini sudah