Keyko Khayang Gumelar, sudah sampai di depan rumah yang cukup sederhana, tapi suasananya cukup asri. Disapukan matanya ke sekeliling rumah itu. Tampak hening dan senyap. Padahal hari baru mau menjelang magrib.
Dengan gesture tangannya, anak buah Keyko sudah paham apa maksud bosnya. Segera di langkahkan kakinya menuju pintu rumah itu.
Dan sekali ketuk, pintu itu sudah terbuka.
"Eh-hh, Kalian! Mau apalagi? Bukankah semua sudah selesai. Hutang Saya sudah lunas, kan?!" teriakku histeri di depan pintu, berusaha menutup rapat-rapat pintu rumah ku. Namun sayang kekuatan mereka lebih kuat. Akhirnya aku kalah.
"Juragan mau ketemu dengan kamu!" ucap saha seorang, anak buah penagih hutang itu.
Aku terkejut. Sesaat, aku terdiam. Dan kulayangkan pandangan ku jauh ke depan ke halaman rumah. Ada sosok tinggi tegap dengan rambut cepak pendek dan postur tubuh aduhai. Sudah dapat di pastikan pria itu tampan meskipun tampak dari belakang.
"Mau ngapain lagi? Urusan kita sudah selesai, kan?" ucapan yang bernada pertanyaan itu malah membuat ke dua penagih utang itu beringas.
"Halah-hh, ikut aja napa! Susah banget!"
Tiba-tiba mereka menyeretku dengan paksa. Aku memberontak dan meronta ketika ke dua laki-laki itu menyeret dan menarik ke dua tanganku.
"Lepasin, napa!" teriakku tepat di belakang laki-laki yang disebut juragan itu. Sang juragan tiba-tiba membalikkan badannya.
Deg!
Seperti pernah lihat wajah ini. Wajah tampan, hidung mancung, binar matanya, itu lho! Ya ampun! Kayak orang bule. Badannya atletis banget bikin aku halu.
Ku tarik napas sedalam mungkin, supaya kehaluanku ini selesai. Aku kemudian menggelengkan kepala. Mungkin aku salah lihat.
Kutatap wajah pria itu. Pria yang sudah berumur dan tidak bisa dibilang muda lagi. Pria yang seharusnya sudah matang untuk berumah tangga dan pastinya sudah seharusnya punya anak.
Aku menelan salivaku ketika laki-laki tampan itu melihat menatap mata ku. Spontan ku tundukkan wajahku. Rasanya nggak kuat lama-lama bertatapan sama dia. Bisa jatuh cinta nanti.
Sedang, laki-laki di hadapanku ini. Merubah ekspresi mukanya yang dari amarah menggebu-nggebu jadi melunak dan kalem. Entah apa penyebabnya.
"Ka-mu, cari Aku?" tanyaku gugup mencoba mencairkan suasana. "Untuk apa, bukankah urusan kita sudah selesai?" lanjutku sambil memberanikan diri menatap mukanya.
Herannya, cowok itu hanya diam seribu bahasa tanpa berniat menjawab pertanyaanku. Lama-lama aku jadi jengah juga dengan suasana itu.
Karena nggak ada jawaban juga dari laki-laki itu, akhirnya aku melakukan pergerakkan. Aku memutar arah tubuhku untuk masuk ke rumah. Ngapain coba aku di luar rumah malam-malam gelap begitu. Hanya saja sinar bulannya indah banget. Jujur aku baru kali ini lihat bulan purnama di tengah halaman rumah bersama laki-laki yang entah siapa itu.
Dah persis kayak orang pacaran lagi berantem. Diam-diaman nggak jelas apa masalahnya.
Ketika aku mau melangkah, tiba-tiba tangannya dengan cepat mencekal tanganku. Kaget campur deg-degan, aku melihat reaksinya.
"Apaan sich?! Lepasin! Sakit!" kataku sambil meringis dan kembali menghadap ke arahnya.
Dia hanya datar menatapku. Bahkan lebih berkesan dingin, persis mayat hidup. Karena nggak ada yang mau dia ucapkan, aku memberontak dari cekalannya yang sakit.
Uh! Sakit pergelangan tanganku. Kukibas-kibaskan tanganku bekas cekalannya dia. Lantas dengan kesal aku melanjutkan langkahku masuk ke rumah. Tapi lagi-lagi, dia menyakiti aku. Kali ini dicengkramnya rahangku dengan keras.
"Akh-hh!" Otomatis aku berteriak keras dengan kesakitan.
"Apa-apan sich ini?!" ucapku di dalam genggamannya.
Entah setan apa yang merasukinya, dengan reflek wajah tampannya berubah menakutkan dengan seringai di sudut bibirnya yang menyeramkan. Tiba-tiba aku bergidik takut.
Ada apa sama laki-laki ini. Datang tak diundang dan hanya diam membisu ketika berhadapan denganku. Sekarang malah bersikap frontal dan bertingkah menakutkan.
Apakah laki-laki ini phisycophat? Ih! Buluku tiba-tiba meremang. Tubuhku mencoba beringsut mundur. Tapi apa dayaku. Cengkramannya pada rahangku begitu kuat dan sakit. Tanpa aku minta ada air mata sudah meleleh dari sudut mataku.
Entah karena kesakitan apa ketakutan.
"Apa kamu benar-benar tidak mengenalku?!" Suara itu terdengar geram dengan gigi gemeletuk menahan marah.
Untuk pertama kalinya dia mengucapkan kata-kata yang membuat aku menciut seketika. Aku mencoba mengamati wajahnya dengan serius. Memang seperti aku pernah bertemu dengannya. Tapi di mana?
Dengan kesakitan aku menggelangkan kepala.
"Hah ...!"
Dengan marah dia menghempaskan aku dan melepaskan cengkramannya pada rahangku. Aku sempat terhuyung sesaat. Kemudian dengan cepat aku menguasai diri biar nggak jatuh ke tanah.
Laki-laki itu masih dengan kemarahan maksimal mendekatiku kembali dan berusaha meraih lenganku. Aku berusaha mengelak, alhasil tangan kekar itu gagal menarik lenganku.
Ada kekesalan mutlak di wajahnya, karena aku memberontak dengan perlakuannya.
"Apa kamu ingat, kertas apa ini?"
Dia tiba-tiba menunjukkan selembar kertas putih yang sudah kucel karena diremas-remas. Kertas yang lebih mirip dengan selembar cek.
"Cek!" Tiba-tiba ingatanku kembali ke malam laknat itu. Aku beringsut mundur seolah tak percaya. Kubungkam mulutku dengan ke dua tanganku saking nggak percayanya aku dengan kenyataan itu.
"Sudah ingat sekarang, siapa Aku?" ucapnya bernada pertanyaan sambil mendekati aku. Tubuhku bergetar dan beringsut mundur dengan sendirinya. Tanganku tiba-tiba thremor.
Aku panik, bingung apa yang harus aku lakukan. Mau pegangan, pegangan apa saking aku gemetarannya. Mau lari itu hal yang tidak mungkin. Pasti dengan cepat dia akan menangkapku dan mencincang-cincang tubuhku seperti kemarin malam.
Akh-
Ingat kemarin malam membuat dada ku sesak. Kalau mau jujur sebenarnya aku begitu terkesan terhadap laki-laki ini. Dia sebenarnya laki-laki yang bisa memperlakukan perempuan. Kenyataannya, meskipun dalam keadaan mabok, dia bisa membuatku menikmati permainan malam itu. Menerbangkanku seperti ke langit ke tujuh.
Bahkan bukan seperti aku ini melayaninya karena aku di beli olehnya. Tapi karena seperti kami ini sepasang kekasih yang sedang di mabok cinta. Dan ternyata, aku harus terima kenyataan. Bahwa orang yang sudah mengambil mahkotaku adalah orang yang sudah menculik adikku dan membeliku dengan cek seharga 100 juta.
Oh, Tuhan ...! Apa ini namanya? Takdirkah? Begini amat takdir aku.
"Mau lari kemana kamu?" ucapnya geram sambil meraih tubuhku yang sedari tadi sudah gemetar. Jantungku berdetak kencang ketika tubuh kecilku sudah ada dalam dekapannya dengan erat. Rasanya seperti aku tidak bisa bernapas.
"Apa ini akal-akalan kamu aja agar aku menukar badanmu dengan uang 100 juta dan kamu bisa membebaskan adikmu? Licik sekali kamu, wahai perempuan?!"
Sumpah! Aku benar-benar takut melihat mimik mukanya yang menyeramkan itu. Apa lagi suaranya terdengar begitu menakutkan.
Dengan ketakutan yang luar biasa aku menggelengkan kepala.
"Aku be-nar-benar tidak tahu, kalau kamu yang menculik adikku." suaraku bergetar. Sedari tadi dari sudut mataku sudah meleleh buliran-buliran kristal bening yang tanpa kuminta sudah membasahi pipi ku.
Laki-laki itu semakin mengetatkan dekapannya. Wajahku bersentuhan dengan wajahnya. Hidungku menyentuh hidungnya, bahkan napasnya seolah-olah menyatu dengan napasku. Kupejamkan mata sesaat dan menahan napas sebentar karena degub jantungku sudah tidak terkontrol. Bukan karena ketakutan atau kesakitan dengan perbuatannya. Tapi karena ada getar aneh di hatiku ketika kami bersentuhan.
******
BERSAMBUNG
Masih dalam dekapannya, aku merasakan getaran hebat. Degub jantung seperti genderang perang. Tanganku yang thremor, tak bisa berpegangan sama badannya. Kubiarkan terkulai lemas di samping kanan-kiri badanku. Sedang wajahku sudah menyatu dengan wajahnya. Mataku masih terpejam halus. Tapi bibirku, entah kapan sudah merasakan sesapan dan lumatan yang begitu nikmat. Aku terbawa, aku terhanyut, hingga terdengar lenguhan dari bibirku. Begitu aku menikmatinya. Sampai lupa diri. Dia siapa dan aku siapa. Rasanya aku seperti tak rela ketika laki-laki tampan itu menyudahi ciuman panas itu. Melepaskan bibirnya dari bibirku. Dengan masih terpejam di seka bibirku yang basah dengan tangan kekarnya dan terdengar bisikan mesranya yang mebuatku berubah ekspresi seketika. "Sudah jangan nganga begitu, malu dilihat anak buahku. Kalau masih mau kita ke hotel lagi." Deg! Jantungku seakan mau copot mendengar kata-kata itu. Seketika aku buka mataku. Laki-laki itu menatapku dengan tat
Aku terduduk lemas di samping taman. Tanganku yang thremor benar-benar tak mampu aku kendalikan. Lemas terkeluai di sebelah badanku. Nafasku masih terlihat turun-naik belum terarur. Rasanya aku seperti mimpi, sekarang hidupku setiap hari harus berurusan dengan laki-laki yang sakit mental. Selang beberapa menit aku sudah kembali ke tempat kerjaku. Mbak Dina yang melihat wajahku tiba-tiba memucat mendekatiku. "Daiva, Kamu sakit? Kok wajah Kamu pucat begitu?" tanyanya cemas, sambil memegang keningku. Lumayan agak sumeng sich. Cuma itu bukan sakit. Aku kaget dengan tragedi tadi, tragedi yang diciptakan orang yang mentalnya sakit. Cakep-cakep kok sakit jiwa! "Nggak kok, Mbak. Hanya sedikit demam, mungkin kecapekan karena semalam kurang istirahat dengan baik." jawabku sambil tersenyum, terus merapikan semua pekerjaanku. "Apa, Kamu mau izin pulang duluan? Nanti Mbak sampaikan sama pengawas!" suaranya kembali dengan nada penawaran. Aku menggelengkan kepala le
Aku semakin ketakutan melihat badannya mendekatiku. Kupeluk erat bantal yang menutupi dadaku. Kaku-laki semaki mendekat dan menghimpit dadaku. Menindih tubuhku. Aku menahan napas kuat-kuat, ketika wajahnya bersinggungan dengan wajahku, dan napasnya sudah menyatu dengan napasku. Kali ini dengan begitu lembut dia meraih kepalaku, menekannya perlahan agar bibirku tidak lepas dari bibirnya. Entah kesurupan setan dari mana, aku yang tadinya menolak dan memberontak menjadi lebih agresif dan liar. Aku raih dengan sedikit memaksakan, melingkarkan tanganku ke lehernya, agar dia tidak melepaskan pagutannya di bibirku. Ku jelajahi rongga-ronga mulutnya. Kusesap dan kuhisap lidahnya yang panas. Dan kulumat dengan sepenuh perasaan bibir simetrisnya yang begitu sangat menggairahkan. Tanpa berpikir dua kali, laki-laki yang bernama Keyko Khayang Gumelar itu, menjelajahi setiap jengkal kulit tubuhku dari atas sampai bawah. Sedikitpun tidak membiarkan lolos dar
Drtttt ... drttt ... Dering telpon itu milikku, tapi dengan cepat ada tangan seseorang yang menyambar ponsel genggamku. Dan aku tahu betul siapa orang itu. Di gesernya ikon yang berwarna hijau itu, dan terdengar suara riang di ujung seberang telpon. "Kak! Mau jam berapa pulang?" Ariana mau belajar kelompok sama Alvin ya?" Klik! Telpon terputus tanpa memberi kesempatan si empunya telpon untuk berbicara barang sekata dua kata. Keyko kembali menaruh ponselku di atas nakas. Dan kurasakan jari-jemarinya yang kokoh sudah meremas pinggangku dengan lembut. Akh-, kalau aku terus bersamanya sepanjang hari pasti aku akan jadi budak sex-nya. Walau tak bisa kupungkiri aku menikmatinya. Tapi nggak bisa seperti ini terus. Aku akan kelihatan seperti murahan di matanya, hanya untuk menebus cek senilai 100 juta itu. Siapa suruh waktu itu mau transaksi denganku. Akh-, brengsek! Memang. Aku terjebak dengan permainan laki-laki hidung belang
Aku meringis merasakan tamparan yang begitu keras itu. Aku yakin, 5 jari perempuan ini sudah membekas di pipi kananku."Stella!" Teriakan Keyko mengglegar membuatku sesaat terperanjat. Tapi tak mengurangi emosi wanita yang sedang gelap mata ini."Dasar perempuan murahan! Pelacur! Enyah aja kamu dari muka bumi ini!"Rambutku tiba-tiba di jambak, ditarik bahkan badanku yang setengah bugil itu diunyel-unyel di kasur Keyko.Keyko geram, karena teriakannya tidak di hiraukan oleh perempuan yang tiba-tiba datang tanpa membunyikan bel pintu itu."Stella! Hentikan!" Teriaknya lagi, kali ini dia segera memakai celana pendeknya dan meraih badan perempuan yang ia panggil setella itu dari atas badanku."Plak! Plak!"Tamparan itu telak di muka kanan-kiri gadis itu. Hampir terhuyung dari tempat berdirinya, perempuan yang bernama stella itu.Aku segera merapikan bajuku yan awalnya bugil oleh Keyko dan kini acak-acakan oleh Stella.Gadis
"Lepasin Aku!" pintaku dengan sengit dan memberontak. Tapi tangan itu begitu kuat, padahal satu tangan sedang menyetir. "Ternyata, Kamu ada hubungan juga sama Kalingga, ya? Kamu tahu siapa dia? Adikku!" Uh- Rasanya mau pecah kendang telangaku mendengar teriakannya yang histeris. "Ada hubungan apa kamu dengan adikku?!" Lagi-lagi suaranya memekakkan telinga. "Teman." Teman tidur, heh!" Sungguh suaranya bercampur emosi semakin membuat nyaliku ciut. "Hanya teman. Kamukan yang pertama kali tidur denganku. Kamu juga yang sudah merenggutnya." kataku lagi membuat dia, Keyko terdiam ketat mengatupkan bibirnya. Setelah mendengar ucapanku yang terakhir itu, tiba-tiba suara hening. Mobil pun tak sengebut tadi. Aku juga ikut terdiam, sesekali aku curi pandang ke arahnya. "Sudah berapa lama kamu kenal adikku?" Tiba-tiba suaranya memecah kesunyian. Matanya tetap lurus sambil tangannya masih menyetir mobilnya. "
"Kamu kenal wanita itu di mana?" tanya Kalingga dingin. Wajahnya seperti membeku. Kupicingkan mata ke arahnya. Pria yang kukenal hampir satu tahun setengah itu seolah berubah. Ada yang aneh menurutku. Kalau berwajah dingin begini nggak ada bedanya dengan kakaknya yang brengsek itu. "Nggak akan ada wanita yang mencarimu, jika hubunganmu dengan Keyko belum jauh." Lagi-lagi datar nada pertanyaan itu. "Sejauh mana hubunganmu dengan Keyko? Sudah pernah tidur bersama?" Deg! Insting laki-laki ini hebat! Luar biasa! Bahkan aku belum sepatah pun memulai cerita tentang aku dan Keyko. Tapi dia sudah sejauh itu menebaknya. Dan seperti paham tentang sifat kakaknya yang hidung belang itu. "Kakakku suka jajan hampir tiap malam. Hanya untuk pelampiasan dan main-main. Tak jarang banyak wanita yang terbawa perasaan setelah tidur sama Keyko. Mereka akan mengejar-ngejar Keyko sampai dapat. Jadi tak heran kalau tiba-tiba ada wanita yang datang ke rumahmu d
"Biarkan, dia pergi! Dia salah apa sama, Kamu? Sampai menyiksanya begitu?" "Jadi, Kamu tahu, kemana dia pergi?" Kalingga hanya menggeleng sambil merapikan berkasnya yang berserakan. Dari dulu dia memang anak papa mama. Selalu menjadi kebanggan. "Memangnya, dia punya hutang berapa sama Kamu?" Keyko menatap tajam ke arah adiknya. Ada yang berdesir aneh ketika dia menyadari, mungkin gadis itu sudah cerita banyak dengan Kalingga. "Apa dia sudah banyak yang diceritakan padamu?" Kalingga hanya terkekeh mendengar ucapan yang bernada sinis. "Nggak ada. Dia nggak pernah cerita apapun itu. Tapi kemarin, cewek koleksi kamu datang kerumahnya dan menampar Daiva." Hampir tersedak Keyko, waktu mendengar perkataan adiknya. Air mineral yang sedari tadi disesapnya ditaruh begitu saja. "Stella, maksudmu?" Keyko menatap serius ke arah manik adiknya. "Terus siapa lagi yang begitu t