"Boleh kita istirahat, malam ini?" Rasti berkelit lemah saat tangan Raihan menyibak rambutnya. "Hatiku sedang tidak enak."
Raihan mengangguk. Ia adalah pria yang baik, mengerti keadaan istrinya. Dari sejak pulang kerja dan beberapa kejadian random setelahnya memang membuat situasi keduanya tidak nyaman. "Tidurlah kalau begitu." Raihan mengecup pipi Rasti yang berbantal puhu tangannya. Pria itu mendengkur terlebih dulu, Rasti hanya meliriknya dengan ekor mata, dan suaminya benar-benar sudah terlelap, berbeda hal dengan dirinya yang masih terjaga. Pikirannya kacau, dipenuhi dengan dugaan-dugaan jelek tentang ibunya. Rasti beringsut, ia turun dari ranjang dan membiarkan Raihan tidur tanpa terganggu dengan pikirannya yang kacau. Wanita itu berjalan mengendap-endap untuk keluar. Ia berdiri di depan kamar ibunya untuk beberapa saat. Lalu, memberanikan diri mendorong pintunya lagi. Kamar mereka memang tidak pernah dikunci, hidup berdua di rumah itu, seolah tidak ada privasi. Hanya sekarang saja, Rasti mengunci pintu kamarnya. Ibunya sudah tidur di balik selimut. Lengannya keluar dan mengenakan daster panjang khas pakaiannya. Gaun malam yang berserakan sebelumnya di lantai tidak terlihat lagi. 'Apa tadi sebenarnya ibu sedang berganti pakaian dan aku tiba-tiba membuka pintu kamarnya tanpa permisi?' batin Rasti menghela napas, sedikit lega akhirnya ada pikiran baik yang terlintas. "Sebaiknya aku memang harus lebih hati-hati. Di rumah kami bahkan ada Mas Raihan, sekarang," gumam Rasti hendak menutup pintu dan kembali. "Rasti." Ibunya tiba-tiba terbangun. "Maaf, Bu, menganggu. Rasti hanya memeriksa apa ibu sudah tidur atau belum." Rasti gugup terpergok mengintip. "Tidak apa-apa. Ibu sebenarnya belum tidur. Udaranya terasa gerah sekali." Bu Mayang menyingkap selimut. Mata Rasti memicing, ia seperti melihat baju silver yang dikenakan ibunya tadi. "Rasti mau minta maaf karena tadi---" "Tidak apa-apa. Ibu sedang berganti pakaian. Tapi, sekarang terasa sangat panas." Bu Mayang memukul-mukul dadanya pelan. "Panas?" Rasti bergumam, ia merasakan hawa yang normal seperti biasanya. Kenapa ibunya terlihat seperti kepanasan. "Raihan masih bekerja?" Bu Mayang mengalihkan pembicaraan. "Tidak, Bu. Mas Raihan sudah tidur." "Kok, tidur sih?" "Lelah mungkin, Bu." "Masa sih. Biasanya pengantin baru nggak ada lelahnya, Rasti. Apa jangan-jangan kamu yang menolaknya?" "Ya?" Rasti kikuk. Jujur ia malu setiap kali ibunya menyinggung hal itu, tapi seolah tidak peduli dan terus saja berkata hal-hal sensitif seperti itu. "Nggak boleh nolak, dosa. Kamu itu harus menawarkan, bukan menolak. Pengantin baru itu normalnya 4 sampai 6 kali. Cuma sekali saja sudah kamu tolak." Rasti kembali mendapat dorongan halus dari ibunya untuk kembali ke kamar. Dengan bingung ia menurut saja. Kata-kata ibunya terus terngiang, hingga Rasti mulai membelai wajah suaminya yang tengah terlelap. Sentuhan itu ternyata membangunkan Raihan. Rasanya tidak ada laki-laki yang digoda hanya diam. Malam itu pun berlalu layaknya pasangan muda yang sedang dimabuk asmara. Dunia hanya milik berdua, keduanya mungkin lupa seatap dengan mertua. _________ "Segaaar!" Bu Mayang mengeringkan rambutnya yang basah di depan cermin. Pintu kamarnya terbuka, Rasti yang baru saja bangun dan sengaja ingin mandi sebelum adzan subuh berkumandang agar tidak ketahuan ibunya malah menyaksikan ibunya sudah mandi lebih dulu. Sama seperti malam-malam sebelumnya dengan rambut basah, wajah riang dan bahkan senandung-senandung lirik cinta yang biasa dilantunkan anak muda. "Ibu, bukannya punya alergi dingin. Kok, sekarang tiap subuh mandi?" Rasti tidak bisa menahan rasa penasarannya untuk bertanya. "Kamu sudah bangun?" Bu Mayang menoleh, rambutnya terlihat berkilau kehitaman. "Ya, tidak apa-apa, kalau tiap bangun sebahagia ini, ibu rela mandi setiap pagi." Terpancar jelas kebahagiaan itu di wajah ibunya, meski tidak diutarakan. Penampilan ibunya pun lebih fresh dengan rambut yang sepertinya sengaja dicat baru. Rasti benar-benar bingung. Ia tidak bisa menepis pikiran buruk terhadap perubahan sikap ibunya, walaupun beberapa kali menghadirkan pikiran positif. * Setelah suaminya berangkat bekerja, Rasti merapikan kamar. Ibunya pun biasa pergi ke toko kue yang mereka miliki sejak dulu. Peninggalan ayahnya. Menurut cerita sang ibu pada Rasti. Bu Mayang terkenal sebagai single parents dengan wajah cantik. Tidak sedikit pria yang ingin meminangnya, tapi ia enggan menikah lagi. Hidup berdua bersama putrinya_Rasti sudah cukup untuknya. Brank! Rasti menjatuhkan figura foto di balik lemari buku kecil yang ada di kamarnya. Ia tidak sengaja menyenggolnya dan penyanggahnya patah. "Ya, ampun." Rasti mengambilnya lagi dan hendak menyandarkan kembali. Namun, alisnya berkerut melihat sebuah mata lensa yang menempel di lemari. "Apa ini?" Rasti mencopotnya. Ia memutar dan melihat benda berbentuk persegi mirip dadu itu. Mata lensanya tertuju tepat pada ranjang mereka. Rasti tidak mengerti apa yang ditemukannya, itu hanya sebuah mata lensa yang sangat kecil. Tidak ada yang lain selain itu. Wanita itu segera mengambil ponsel dan memotretnya, mencari di pencairan g****e. "Kamera tersembunyi?" gumamnya setelah membaca hasil pencarian. "Siapa yang memasangnya di sini?" Pertanyaan itu tiba-tiba terpikirkan di kepalanya. "Apa mungkin mas Raihan?" Rasti mencoba memanggil suaminya itu. Namun, panggilannya tidak kunjung dijawab. "Apa fungsinya kamera ini?" Rasti masih terduduk di bibir ranjang seraya menggenggam lensa kamera itu. "Apa mungkin dia bisa merekam semua aktivitasku dan mas Raihan di kamar ini?" Perasaan itu berkecamuk dengan sendirinya. Betapa malunya, jika semuanya terekam. Refleks Rasti bahkan melemparkan kamera itu dan menggelinding ke bawah lemari. Hati Rasti semakin resah, ia tidak bisa membayangkan jika kamera itu disimpan bukan oleh suaminya. Tangannya bahkan bergetar saat terus mencoba menghubungi Raihan. Sayang, panggilan itu masih belum diangkat. Kemarin malam, Raihan memang berkata bahwa akan ada meeting penting hari ini hingga ia harus menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai, tadi malam. Rasti mencoba melanjutkan pekerjaannya membersihkan rumah, hatinya masih belum tertata dengan baik, tapi demi meredakan frekuensinya yang meletup-letup wanita itu mencoba mengalihkannya. Rumah itu adalah rumah peninggalan ayahnya, tidak terlalu besar hingga Rasti bisa membersihkannya sendiri. Sebelum berencana menikah, ibunya meminta agar Rasti tidak meninggalkannya sendiri dan meminta putri satu-satunya itu untuk tetap tinggal bersama dengannya. Rasti paham permintaan itu, ibunya tidak memiliki siapa pun selain dirinya. Itu adalah permintaan yang wajar. "Ponsel ibu ketinggalan?" gumam Rasti menemukan ponsel ibunya di ruang tengah. Rasti mengambilnya untuk membersihkan lemari pajangan tersebut dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman. 'Video Anda sudah terunduh.' Sebuah pemberitahuan tiba-tiba muncul di layar ponsel. "Video?" Rasti mendekatkan jarak matanya untuk melihat, tangannya refleks menjatuhkan ponsel itu kesebuah laci saat ia melihat adegan terlarang menjadi latar pembukanya. "Rasti! Apa kamu melihat ponsel ibu?" Wanita itu langsung berbalik dan mendapati ibunya yang sudah berdiri di belakang. "Tidak," jawab Rasti gugup. Pura-pura mengelap lemari pajangan. "Ibu lupa membawanya." Ia mencari ke kamar dan terlihat bolak-balik saat Rasti mengintipnya. "Ternyata ini." Ibunya menemukan ponsel itu dan kembali. "Ibu ke toko lagi, Rasti," teriaknya sembari berlalu. Rasti tergugup mematung. Kenapa bisa kebetulan dua kejadian itu berturut-turut. Pertama, ia menemukan kamera tersembunyi, kemudian unduhan video terlarang ibunya di dalam ponsel. "Tidak! Tidak mungkin ibu yang melakukannya! Pikiran apa itu?" Rasti menolak keras, meski bukti-bukti itu mengarah dengan jelas. "Untuk apa ibu melakukannya?" Bersambung ....Menjelang siang Rasti harus menyusul ibunya pergi ke toko. Toko kue itu memang dijaga oleh keduanya. Sebenarnya Rasti ragu untuk menghampiri ibunya apalagi setelah kejadian ini dan pikirannya dipenuhi hal negatif tentang wanita yang sangat baik di matanya, selama ini."Kamu sudah datang?" Bu Mayang mengangkat sedikit kepalanya dan kembali menggulung kue. Rasti menyimpan barang-barang di meja dan ia menemukan ponsel ibunya yang tergeletak di sana.Mata Rasti cukup lama menatap pada layar ponsel itu, rasa penasaran membuat ia termenung ke arahnya. Gadis itu ingin memastikan video apa sebenarnya yang terunduh tadi."Bu Mayang," panggil pelanggan dari etalase depan."Ya." Wanita itu segera bangkit dan melepaskan sarung tangannya, menghampiri pembeli dan melayaninya dengan ramah. Memang Bu Mayang terkenal ramah di mata orang-orang apalagi pelanggan.Rasti menunggu hingga ibunya pergi dari sana. Tangannya bergetar meraih ponsel milik ibunya dan memeriksa. Beberapa aplikasi Rasti lihat, say
"Pak Salim." Pagi sekali lelaki itu datang ke rumah Rasti. Tumben sekali memang, sampai gadis itu mengerutkan dahinya."Bu Mayang meminta saya untuk mengantarnya belanja hari ini," ujar Pak Salim dengan senyum merekah. Bahagia dan tidak percaya, dugaannya pada lampu hijau kemari benar-benar nyata."Silahkan masuk, Pak." Rasti mempersilahkan. Tapi, ibunya keburu datang. Pakaiannya jauh lebih modis dan ia terlihat cantik."Bisa kita berangkat, sekarang?""Oh, ya, tentu saja." Pria berusia 47 tahunan itu hampir tidak bisa mengepakkan kelopak matanya. "Cantik," lirihnya terdengar Rasti dan hanya bisa dibalas dengan tegukan air ludah dari gadis itu."Ibu berangkat dulu. Toko biar buka siang saja." Pesannya sebelum pergi dan hanya mendapat anggukan Rasti. Masih ada sekat diantara keduanya setelah beberapa kejadian akhir-akhir ini terutama karena kemarin malam.Mereka terlihat seperti pasangan, Rasti menelaah dan memperhatikan. Baru kali ini ibunya bersikap seperti itu pada pria, tentunya se
"Mas, tidak berbohong?" Suara Rasti gamang. Sebenarnya ia begitu takut dengan pikirannya sendiri."Mana mungkin Mas berani berbohong, Sayang." Raihan segera menghampiri dan mengambil alih hadiah itu. "Memang ada-ada saja si Robbi, Mas sampai malu sendiri melihatnya hingga disembunyikan di sana biar kamu tidak usah lihat.""Ya." Rasti menjawab dingin. Ia keluar kamar dan membiarkan suaminya berganti pakaian.Rasti bolak balik di teras rumah, padahal matahari sudah terbenam dan langit menjadi gelap.Rasanya ia tidak bisa memendam perasaan yang kini menghantuinya.Rasti menghubungi Pak Salim, kebetulan ia memiliki kontak ponselnya karena memang pria itu adalah konsumen setia mereka dari dulu.[Rasti. Tumben sekali. Ada apa?] Pak Salim menjawab dengan nada ceria. Barangkali ia berharap ada kabar gembira tentang wanita pujaannya setelah beberapa kali mendapat sinyal bagus.[Eum ...] Ragu sekali Rasti menanyakannya. [Hadiah itu?][Hadiah?] tanya Pak Salim.[Hadiah dari ibu.][Oh, ya. Apa Bu
Rasti setuju akan rencana suaminya untuk membawanya pergi berlibur. Sejak menikah memang tidak ada waktu berdua, hari-hari bahagianya bahkan nyaris kandas karena masalah yang timbul dari sang ibu."Apa sudah izin ibu?" Raihan bertanya sesaat sebelum berangkat. Keduanya sudah berada di dalam mobil. Rasti menggeleng, ibunya masih belum keluar dari kamar. Toko sudah disterilkan oleh gadis itu. Menggunakan strategi diskon untuk menghabiskan stok kue dan itu berhasil. Ia bahkan pulang lebih awal untuk menyiapkan pakaian. Raihan meminta sore ini langsung berangkat, hanya menginap di hotel terdekat sebelum pergi jalan-jalan ke luar kota. Mengurai ketegangan saja."Ibu tidak keluar dari kamarnya. Dan---" Rasti menggigit bibir. Sejak kemarin malam ia belum lagi berbicara dengan sang ibu. Wanita itu terlihat lebih tertekan dan mengunci diri setelah mendapatkan bentakan beberapa kali dari Rasti."Apa sebaiknya kita izin dulu?" Raihan masih memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara deng
Hari-hari berlalu, rumah yang biasanya rame meski hanya berdua mendadak sepi seperti kuburan.Rasti dan ibunya masih satu rumah, tapi mereka tidak lagi bertegur sapa, lebih tepatnya Rasti memilih menghindari dari sang ibu. Ia pun tidak lagi pergi ke toko, keluar rumah setiap pagi, berjalan tanpa tujuan sekedar menghindari ibunya dan kembali saat wanita itu sudah pergi ke toko."Neng Rasti, Nak Raihannya mana kok jarang terlihat?" Banyak orang yang bertanya-tanya, gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi.Rasti memblokir nomor suaminya. Ia tidak ingin lagi ada komunikasi diantara keduanya. Keputusan Rasti untuk melepaskan pujaan hatinya demi sang ibu sudah bulat.Malam-malam, isak tangis terdengar menyayat. Rasti sering bangun dan menangis sendirian, cinta yang besar pada Raihan membuat hatinya terluka sangat dalam."Nak." Malam itu, Rasti mendengar ibunya mengetuk pintu, hampir satu minggu tidak ada komunikasi, sekarang akhirnya Bu Mayang memberanikan diri.Ia sudah bolak-balik di d
Rasti menutup toko kuenya lebih cepat dan membawa ibunya segera pulang. Akan menjadi bahan gunjingan orang-orang saat melihat keadaan ibunya, sekarang. Padahal, gosip tentang pernikahannya dengan Raihan pun masih belum reda."Ibu istirahat saja." Rasti membawakan minuman dan membersihkan luka pada jemari tangan ibunya. Terluka karena benda-benda yang dijatuhkan dan dilempar dengan sengaja. Kali ini Rasti benar-benar baru melihat kemarahan ibunya hingga seperti itu, hingga rasa penasaran pada wanita tua yang datang kemarin semakin menjadi.Bu Mayang semakin murung. Kelopak matanya terlihat sembab dengan tatapan mata yang semakin lemah. Sehari-hari ia hanya melamun. Rasti sangat khawatir akan keadaan ibunya, namun terpaksa ia harus meninggalkannya agar bisa tetap membuka toko. "Di mana ibumu?" Wanita tua itu kembali datang seperti janjinya. Tidak hanya sendiri ia datang bersama dua orang pria sekarang. Satu bertubuh besar dan kekar, satu lagi kira-kira seusia dirinya atau hanya lebih m
Bu Mayang tertawa-tawa senang, Rasti mendengarnya dengan risih. Terlalu berlebihan ibunya mengekspresikan kebahagiaan. Sesekali suaranya bahkan terdengar mengumpat."Kamu pikir aku masih sama?""Tidak! Dia mencintaiku dan akan melakukan apapun untukku! Kamu harus terpaksa kalah wanita tua!"Rasti menguping ibunya berbicara, diselingi tawa yang membuat gadis itu malah khawatir dibanding ikut bahagia karena toko mereka tidak jadi diambil alih.Belum lagi kata-kata sumbang itu membuat hati Rasti perih, ia tidak tahu siapa yang sebenarnya ibunya maksud, tapi entah kenapa perasaannya mengarah pada Raihan. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi segalanya dengan ibunya bahkan masalah pria.Sudah lebih 2 minggu perpisahan Rasti dengan Raihan. Mereka sudah tidak lagi menjalin komunikasi, tapi hubungan ibunya dan Raihan terlihat baik-baik saja. Pria itu bahkan datang hanya untuk menemui sang ibu alih-alih berupaya berbaikan dengannya.Rasti mengambil ponsel. Berkali-kali ia berp
"Anda bernama, Raihan?" Seorang suster menghentikan pria itu mengelus punggung istrinya."Benar, Sus.""Ibu Anda ingin bertemu.""Ya." Raihan berdiri. Ekor matanya melihat Rasti yang masih duduk membungkuk. Ia masih menata hati, kabar itu membuatnya syok. Lalu, tiba-tiba suster mengatakan kalau ibunya ingin bertemu dengan Raihan, alih-alih menanyakan putrinya sendiri."Ayo." Raihan mengajak Rasti untuk menemui Bu Mayang.Rasti menyeka air mata dan menstabilkan emosi. Ia berjalan di belakang pria itu, berjaga barang kali ibunya memang sedang tidak ingin bertemu dengannya dan ia tidak bisa lagi menuntut pertanyaan apalagi keadilan. Rasti tahu ibunya tengah sakit dan bukan waktunya dihakimi."Syukurlah kamu masih di sini." Tangan Bu Mayang menyambut kedatangan Raihan."Ibu sudah baikan?""Aku baik-baik saja." Ia kembali tersenyum, menggenggam tangan Raihan dengan lembut."Aku dan Rasti membutuhkanmu. Mari kita pulang ke rumah," ucap Bu Mayang.Raihan melirik Rasti, lalu mengangguk. Bu Ma
"Bagaimana?" Bu Nawang menyambut antusias kedatangan putranya yang baru pulang dari Bali. Ia sudah tahu kalau Bagus akan melamar Mayang lagi di sana untuk menjadikannya istri."Di tolak, Bu.""Apa? Ditolak? Si Mayang menolak anak ibu yang kaya raya ini?" Wanita tua itu tidak terima. "Apa dia sudah gila, beraninya menolak anakku? Si Mayang harus tahu banyak mengantri untuk menjadi istrimu, Bagus."Pak Bagus berjalan gontai menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya di sana. Setelah mendengar penolakan kejam itu, Pak Bagus tidak lagi berani dekat-dekat dengan Mayang, ia insicure pada dirinya sendiri."Apa alasan dia menolakmu? Apa dia meminta agar semua hartamu di alihkan atas namanya?" Bu Nawang masih tidak percaya ada yang menolak keinginannya."Mayang bilang, Bagus bukan lagi tipe pria idamannya, Bu.""Dia tidak suka sama pria gendut, perut buncit dan berleher pendek ini." Pak Bagus melanjutkan dengan nelangsa."Apa? Dia berani mengatakan itu pada anak semata wayangku?" Bu Nawang mulai mem
"Hanya 2 tas saja, Bu. Nggak bisa lebih!" Rasti sudah mewanti-wanti ibunya untuk tidak membawa banyak barang, seperti saat mereka pergi ke kampung Raihan, sebelumnya."Iya. Kamu udah bilang 4 kali sama ibu, Rasti," jawab Bu Mayang tidak menoleh. Ia terlalu sibuk dengan packingan bajunya. Menyiasati bagaimana cara semua barang bawaannya masuk ke dalam 2 tas seperti yang dikatakan putrinya itu."Ini, dia pasti butuh dan lupa membawanya. Ini juga harus aku bawa, Bu Widia akan marah besar, jika aku tidak membawanya." Wanita itu berpikir untuk memasukkannya pada kemasan yang lebih kecil. Hingga pukul 23.00 wanita itu masih sibuk mengepak barang-barang yang akan dibawa pergi.Di rumahnya sudah sepi, suara Raihan dan Rasti pun tidak lagi terdengar. "Apa mereka udah tidur?" Bu Mayang menyelinap ke bawah kursi ruang tamunya. Perlahan ia berjongkok dan memicingkan sebelah mata. Mengintip dari lubang kancing yang menembus ke kamar anak menantunya."Arg!" Bu Mayang terkaget sampat terbentur kursi
Rasti masuk ke dalam ruangan persidangan sesaat sebelum sidang di mulai. Raihan sudah duduk di sana bersama pengacaranya. Ia menoleh pada gadis itu yang hanya menunduk sambil berjalan hingga sampai ke tempat duduknya.Hakim memasuki ruangan sidang. Berkas perkara mulai dibacakan. Berkas tuntutan dari Rasti kosong. Ia tidak menuliskan apapun. Di matanya tidak ada kekurangan untuk suaminya itu.Rasti diminta untuk berdiri dan menjelaskan perasaannya secara langsung. Ia diberi kesempatan oleh hakim untuk mengungkapkan sendiri alasan dari penuntutannya. "Raihan adalah pria yang sangat baik. Itu alasan kenapa saya tidak menuliskan satu pun kekurangannya. Tapi, ada sesuatu yang tidak bisa saya ungkapkan pada halayak ramai mengenai gugatan perceraian ini. Saya dan Raihan sama-sama tahu alasannya. Saya sungguh minta, maaf," ucap Rasti menunduk. Tubuhnya terasa bergetar, ia bahkan meneteskan air mata di sana. Raihan yang tahu beratnya perasaan istrinya saat ini, sontak berdiri. Berkali-kali,
Pak Bagus duduk di samping ranjang ibunya. Ia tidak ingin kecolongan lagi, mungkin saja orang itu kembali. Sejak kejadian tadi malam, ia bahkan tidak bisa memejamkan mata. Menatap wajah ibunya yang sudah menua. Wanita di hadapannya bukanlah ibu yang sempurna, tapi apa yang dilakukannya adalah sebuah cara siaga untuk melindungi diri dan anaknya. Setelah melihat fakta sesungguhnya, mungkin puluhan tahun ini, apa yang ibunya lakukan tidak semua atas kehendaknya sendiri."Bu." Bagus menggenggam tangan ibunya. Ia mengelusnya sembari mengenang masa-masa yang telah lalu. Ibunya memang berwatak keras, tapi di mata Pak Bagus tidak ada orang sebaik ibunya, seburuk apapun wanita itu memperlakukannya. Ia bisa hidup hingga saat ini semua karena jasa-jasanya yang tidak akan mungkin terbalas. Apalagi mereka hidup berdua sejak dulu. Melihat ibunya kerja keras untuk menghidupinya, Pak Bagus tidak pernah melihat wajah ayahnya sendiri, hingga kini."Bangunlah, Bu. Kita masih bisa memperbaiki keadaan ini
"Argh! Sial!" Dara menumpahkan emosinya. Ia tahu pengacara itu mengkhianatinya."Pecat Haikal, sekarang! Jadikan, dia gelandangan!" pekiknya lagi saat Zaki mengunjunginya. Kemudian, menceritakan kalau pengacara yang datang kemarin adalah pengacara ayahnya. "Anak bodoh! Kamu memang tol*l!"Zaki hanya diam saat dimaki ibunya, ia menyadari kebodohannya."Lalu, bagaimana dengan nenek tua itu. Apakah dia sudah mati?"Zaki masih diam. Mata Dara bergerak mengintai."Bukankah kamu telah menghabiskan waktu dengan sia-sia, Zaki?" tanyanya emosi.Anak lelaki itu sudah kecanduan. Minumannya adalah alkohol, dan ia tidak bisa melepaskan game online di tangannya. Zaki lupa akan tugas-tugasnya dari sang ibu."Benar-benar, kamu!" Dara menendang meja di depannya, pemisah antara mereka. Zaki sampai berdiri kaget. "Cari pengacara lain, sekarang! Aku harus keluar dari sini!"Zaki segera pergi. Ia yang tidak punya relasi dan hanya menghabiskan hidupnya untuk dunia game, bingung. Uangnya yang banyak itu, ti
Raihan dan Rasti pulang ke rumah, malam hari. Bu Mayang tidak banyak bertanya tentang kedatangan mereka yang terlambat. Ia seperti lelah setelah perjalanan jauh. Rasti mendapati ibunya dengan mata mengantuk dan langsung kembali ke kamar setelah membuka pintu."Ibu, sudah tidur lagi," ucap pelan Rasti sembari menutup kembali pintu kamar ibunya yang ia baru saja dibuka. Memastikan.Raihan mengangguk. Mereka duduk sebentar di meja tamu. Rasti mengambil air minum untuk suaminya itu. Pria itu seperti ingin menyampaikan sesuatu."Sidang perceraian kita akan digelar, 6 hari lagi." Raihan mulai membuka pembicaraan. Suaranya kecil dan nyaris hilang. Ia sama sekali tidak ingin duduk di depan meja hijau itu.Rasti terdiam. Sebenarnya, ia selalu mengingat hari itu, di setiap detiknya. Apalagi setelah masa-masa kebahagiaan bersama Raihan dan keluarganya. Wanita mana yang ingin melepaskan keberuntungan itu?"Aku ingin kamu mempertimbangkannya kembali, Rasti. Kita bisa hadapi masalah ibu sama-sama."
Raihan dan Rasti sampai tidak lama setelah dihubungi ayahnya. Jaraknya saat itu memang tidak terlalu jauh."Rasti!" panggil Pak Bagus. Rupanya pria itu pun baru saja sampai ke Rumah Sakit."Ada apa, yah?" tanya Raihan saat Rasti hanya menengok saat namanya dipanggil, namun tidak mengucapkan satu kata pun.Pak Bagus menceritakan semua yang dikatakan oleh suster melalui telepon, sebelumnya. Rasti mendengarkan dengan seksama."Aku tidak tahu apa golongan darahku sendiri," jawab Rasti. Ia bahkan tidak pernah memikirkan itu. Ibunya pun belum pernah membawanya ke fasilitas kesehatan untuk memeriksa."Kalau begitu kita bisa cek dulu," ucap Raihan, menatap, meyakinkan persetujuan dari Rasti. Ia tidak ingin istrinya itu merasa terpaksa. Kalaupun Rasti tidak mau, ia akan tetap mendukung dan membelanya dari ayah mertua. "Kamu bersedia?" tanya Raihan memastikan.Pak Bagus pun tidak memaksa, ia paham betul perasaan Rasti saat ini. Siapa yang tidak akan berpikir, jika berada di posisi Rasti?"Ya."
Haris tidak punya waktu untuk kembali dan mencari penutup wajahnya. Ia tahu betul dua orang tadi mencarinya. Ia harus pergi sejauh mungkin, sekarang. Bersembunyi untuk sementara.Motornya kembali dipacu, ia menarik maksimal stang gas. meninggalkan kekecewaannya terhadap wanita yang dicintai. Mata petugas polisi lalu lintas langsung tertuju, menghubungi teman-temannya dan mengejar, mengepung.Mata Haris menoleh, "Sial!" Ia menyadari kalau dirinya dikejar. Matanya tak lagi sempat melirik kanan kiri, ia hanya fokus memacu kendaraannya ke depan. Kondisi tubuhnya belum benar-benar sehat, tapi ia tidak hiraukan itu. Lolos dan bebas, hanya itu yang ada di pikirannya.Mata Haris melotot, pasukan polisi sudah bersiap menjegal di depan sana. Berkeliling, mengepung. Bersiap melepaskan tembakan saat dia menyerobot garda terdepan. "Berhenti! Serahkan dirimu secara baik-baik!" Suara petugas terdengar menggema dari pengeras suara. Tapi, Haris tidak bisa berhenti. Ia tidak akan mungkin bisa lepas se
"Pak, Mas Haris sudah siuman. Mela memanggil bapaknya yang tengah duduk di luar ruangan. "Apa?""Mas Haris siuman." "Benarkah?" Keduanya langsung masuk, Haris yang tertidur selama dua hari setelah mengalami panas tinggi akhirnya membuka mata."Syukurlah, Nak. Kamu sudah siuman." Pria tua itu mendekati Haris dan melihatnya dengan senang.Haris melihat satu persatu dari dua orang asing yang pertama ia lihat setelah siuman. Dan, ini yang kedua kalinya ia hampir kehilangan nyawa, dua orang itu masih setia menemani.Mata Haris menyapu sekeliling, ruangan putih bersih dan harum. Berbeda dengan ruangan pertama saat ia terbangun, sebuah langit-langit yang rendah dengan dinding kayu yang cukup dekat dengan tubuhnya. "Di mana ini?" tanyanya lemah."Di Rumah Sakit, Nak.""Rumah Sakit?" Haris sontak bangun."Tenanglah! Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan, perawatanmu sudah dibayar oleh seseorang. Kamu mendapatkan pengobatan yang sangat bagus hingga lukamu begitu cepat pulih." Jelas bapak tu