"Boleh kita istirahat, malam ini?" Rasti berkelit lemah saat tangan Raihan menyibak rambutnya. "Hatiku sedang tidak enak."
Raihan mengangguk. Ia adalah pria yang baik, mengerti keadaan istrinya. Dari sejak pulang kerja dan beberapa kejadian random setelahnya memang membuat situasi keduanya tidak nyaman. "Tidurlah kalau begitu." Raihan mengecup pipi Rasti yang berbantal puhu tangannya. Pria itu mendengkur terlebih dulu, Rasti hanya meliriknya dengan ekor mata, dan suaminya benar-benar sudah terlelap, berbeda hal dengan dirinya yang masih terjaga. Pikirannya kacau, dipenuhi dengan dugaan-dugaan jelek tentang ibunya. Rasti beringsut, ia turun dari ranjang dan membiarkan Raihan tidur tanpa terganggu dengan pikirannya yang kacau. Wanita itu berjalan mengendap-endap untuk keluar. Ia berdiri di depan kamar ibunya untuk beberapa saat. Lalu, memberanikan diri mendorong pintunya lagi. Kamar mereka memang tidak pernah dikunci, hidup berdua di rumah itu, seolah tidak ada privasi. Hanya sekarang saja, Rasti mengunci pintu kamarnya. Ibunya sudah tidur di balik selimut. Lengannya keluar dan mengenakan daster panjang khas pakaiannya. Gaun malam yang berserakan sebelumnya di lantai tidak terlihat lagi. 'Apa tadi sebenarnya ibu sedang berganti pakaian dan aku tiba-tiba membuka pintu kamarnya tanpa permisi?' batin Rasti menghela napas, sedikit lega akhirnya ada pikiran baik yang terlintas. "Sebaiknya aku memang harus lebih hati-hati. Di rumah kami bahkan ada Mas Raihan, sekarang," gumam Rasti hendak menutup pintu dan kembali. "Rasti." Ibunya tiba-tiba terbangun. "Maaf, Bu, menganggu. Rasti hanya memeriksa apa ibu sudah tidur atau belum." Rasti gugup terpergok mengintip. "Tidak apa-apa. Ibu sebenarnya belum tidur. Udaranya terasa gerah sekali." Bu Mayang menyingkap selimut. Mata Rasti memicing, ia seperti melihat baju silver yang dikenakan ibunya tadi. "Rasti mau minta maaf karena tadi---" "Tidak apa-apa. Ibu sedang berganti pakaian. Tapi, sekarang terasa sangat panas." Bu Mayang memukul-mukul dadanya pelan. "Panas?" Rasti bergumam, ia merasakan hawa yang normal seperti biasanya. Kenapa ibunya terlihat seperti kepanasan. "Raihan masih bekerja?" Bu Mayang mengalihkan pembicaraan. "Tidak, Bu. Mas Raihan sudah tidur." "Kok, tidur sih?" "Lelah mungkin, Bu." "Masa sih. Biasanya pengantin baru nggak ada lelahnya, Rasti. Apa jangan-jangan kamu yang menolaknya?" "Ya?" Rasti kikuk. Jujur ia malu setiap kali ibunya menyinggung hal itu, tapi seolah tidak peduli dan terus saja berkata hal-hal sensitif seperti itu. "Nggak boleh nolak, dosa. Kamu itu harus menawarkan, bukan menolak. Pengantin baru itu normalnya 4 sampai 6 kali. Cuma sekali saja sudah kamu tolak." Rasti kembali mendapat dorongan halus dari ibunya untuk kembali ke kamar. Dengan bingung ia menurut saja. Kata-kata ibunya terus terngiang, hingga Rasti mulai membelai wajah suaminya yang tengah terlelap. Sentuhan itu ternyata membangunkan Raihan. Rasanya tidak ada laki-laki yang digoda hanya diam. Malam itu pun berlalu layaknya pasangan muda yang sedang dimabuk asmara. Dunia hanya milik berdua, keduanya mungkin lupa seatap dengan mertua. _________ "Segaaar!" Bu Mayang mengeringkan rambutnya yang basah di depan cermin. Pintu kamarnya terbuka, Rasti yang baru saja bangun dan sengaja ingin mandi sebelum adzan subuh berkumandang agar tidak ketahuan ibunya malah menyaksikan ibunya sudah mandi lebih dulu. Sama seperti malam-malam sebelumnya dengan rambut basah, wajah riang dan bahkan senandung-senandung lirik cinta yang biasa dilantunkan anak muda. "Ibu, bukannya punya alergi dingin. Kok, sekarang tiap subuh mandi?" Rasti tidak bisa menahan rasa penasarannya untuk bertanya. "Kamu sudah bangun?" Bu Mayang menoleh, rambutnya terlihat berkilau kehitaman. "Ya, tidak apa-apa, kalau tiap bangun sebahagia ini, ibu rela mandi setiap pagi." Terpancar jelas kebahagiaan itu di wajah ibunya, meski tidak diutarakan. Penampilan ibunya pun lebih fresh dengan rambut yang sepertinya sengaja dicat baru. Rasti benar-benar bingung. Ia tidak bisa menepis pikiran buruk terhadap perubahan sikap ibunya, walaupun beberapa kali menghadirkan pikiran positif. * Setelah suaminya berangkat bekerja, Rasti merapikan kamar. Ibunya pun biasa pergi ke toko kue yang mereka miliki sejak dulu. Peninggalan ayahnya. Menurut cerita sang ibu pada Rasti. Bu Mayang terkenal sebagai single parents dengan wajah cantik. Tidak sedikit pria yang ingin meminangnya, tapi ia enggan menikah lagi. Hidup berdua bersama putrinya_Rasti sudah cukup untuknya. Brank! Rasti menjatuhkan figura foto di balik lemari buku kecil yang ada di kamarnya. Ia tidak sengaja menyenggolnya dan penyanggahnya patah. "Ya, ampun." Rasti mengambilnya lagi dan hendak menyandarkan kembali. Namun, alisnya berkerut melihat sebuah mata lensa yang menempel di lemari. "Apa ini?" Rasti mencopotnya. Ia memutar dan melihat benda berbentuk persegi mirip dadu itu. Mata lensanya tertuju tepat pada ranjang mereka. Rasti tidak mengerti apa yang ditemukannya, itu hanya sebuah mata lensa yang sangat kecil. Tidak ada yang lain selain itu. Wanita itu segera mengambil ponsel dan memotretnya, mencari di pencairan g****e. "Kamera tersembunyi?" gumamnya setelah membaca hasil pencarian. "Siapa yang memasangnya di sini?" Pertanyaan itu tiba-tiba terpikirkan di kepalanya. "Apa mungkin mas Raihan?" Rasti mencoba memanggil suaminya itu. Namun, panggilannya tidak kunjung dijawab. "Apa fungsinya kamera ini?" Rasti masih terduduk di bibir ranjang seraya menggenggam lensa kamera itu. "Apa mungkin dia bisa merekam semua aktivitasku dan mas Raihan di kamar ini?" Perasaan itu berkecamuk dengan sendirinya. Betapa malunya, jika semuanya terekam. Refleks Rasti bahkan melemparkan kamera itu dan menggelinding ke bawah lemari. Hati Rasti semakin resah, ia tidak bisa membayangkan jika kamera itu disimpan bukan oleh suaminya. Tangannya bahkan bergetar saat terus mencoba menghubungi Raihan. Sayang, panggilan itu masih belum diangkat. Kemarin malam, Raihan memang berkata bahwa akan ada meeting penting hari ini hingga ia harus menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai, tadi malam. Rasti mencoba melanjutkan pekerjaannya membersihkan rumah, hatinya masih belum tertata dengan baik, tapi demi meredakan frekuensinya yang meletup-letup wanita itu mencoba mengalihkannya. Rumah itu adalah rumah peninggalan ayahnya, tidak terlalu besar hingga Rasti bisa membersihkannya sendiri. Sebelum berencana menikah, ibunya meminta agar Rasti tidak meninggalkannya sendiri dan meminta putri satu-satunya itu untuk tetap tinggal bersama dengannya. Rasti paham permintaan itu, ibunya tidak memiliki siapa pun selain dirinya. Itu adalah permintaan yang wajar. "Ponsel ibu ketinggalan?" gumam Rasti menemukan ponsel ibunya di ruang tengah. Rasti mengambilnya untuk membersihkan lemari pajangan tersebut dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman. 'Video Anda sudah terunduh.' Sebuah pemberitahuan tiba-tiba muncul di layar ponsel. "Video?" Rasti mendekatkan jarak matanya untuk melihat, tangannya refleks menjatuhkan ponsel itu kesebuah laci saat ia melihat adegan terlarang menjadi latar pembukanya. "Rasti! Apa kamu melihat ponsel ibu?" Wanita itu langsung berbalik dan mendapati ibunya yang sudah berdiri di belakang. "Tidak," jawab Rasti gugup. Pura-pura mengelap lemari pajangan. "Ibu lupa membawanya." Ia mencari ke kamar dan terlihat bolak-balik saat Rasti mengintipnya. "Ternyata ini." Ibunya menemukan ponsel itu dan kembali. "Ibu ke toko lagi, Rasti," teriaknya sembari berlalu. Rasti tergugup mematung. Kenapa bisa kebetulan dua kejadian itu berturut-turut. Pertama, ia menemukan kamera tersembunyi, kemudian unduhan video terlarang ibunya di dalam ponsel. "Tidak! Tidak mungkin ibu yang melakukannya! Pikiran apa itu?" Rasti menolak keras, meski bukti-bukti itu mengarah dengan jelas. "Untuk apa ibu melakukannya?" Bersambung ....Menjelang siang Rasti harus menyusul ibunya pergi ke toko. Toko kue itu memang dijaga oleh keduanya. Sebenarnya Rasti ragu untuk menghampiri ibunya apalagi setelah kejadian ini dan pikirannya dipenuhi hal negatif tentang wanita yang sangat baik di matanya, selama ini."Kamu sudah datang?" Bu Mayang mengangkat sedikit kepalanya dan kembali menggulung kue. Rasti menyimpan barang-barang di meja dan ia menemukan ponsel ibunya yang tergeletak di sana.Mata Rasti cukup lama menatap pada layar ponsel itu, rasa penasaran membuat ia termenung ke arahnya. Gadis itu ingin memastikan video apa sebenarnya yang terunduh tadi."Bu Mayang," panggil pelanggan dari etalase depan."Ya." Wanita itu segera bangkit dan melepaskan sarung tangannya, menghampiri pembeli dan melayaninya dengan ramah. Memang Bu Mayang terkenal ramah di mata orang-orang apalagi pelanggan.Rasti menunggu hingga ibunya pergi dari sana. Tangannya bergetar meraih ponsel milik ibunya dan memeriksa. Beberapa aplikasi Rasti lihat, say
"Pak Salim." Pagi sekali lelaki itu datang ke rumah Rasti. Tumben sekali memang, sampai gadis itu mengerutkan dahinya."Bu Mayang meminta saya untuk mengantarnya belanja hari ini," ujar Pak Salim dengan senyum merekah. Bahagia dan tidak percaya, dugaannya pada lampu hijau kemari benar-benar nyata."Silahkan masuk, Pak." Rasti mempersilahkan. Tapi, ibunya keburu datang. Pakaiannya jauh lebih modis dan ia terlihat cantik."Bisa kita berangkat, sekarang?""Oh, ya, tentu saja." Pria berusia 47 tahunan itu hampir tidak bisa mengepakkan kelopak matanya. "Cantik," lirihnya terdengar Rasti dan hanya bisa dibalas dengan tegukan air ludah dari gadis itu."Ibu berangkat dulu. Toko biar buka siang saja." Pesannya sebelum pergi dan hanya mendapat anggukan Rasti. Masih ada sekat diantara keduanya setelah beberapa kejadian akhir-akhir ini terutama karena kemarin malam.Mereka terlihat seperti pasangan, Rasti menelaah dan memperhatikan. Baru kali ini ibunya bersikap seperti itu pada pria, tentunya se
"Mas, tidak berbohong?" Suara Rasti gamang. Sebenarnya ia begitu takut dengan pikirannya sendiri."Mana mungkin Mas berani berbohong, Sayang." Raihan segera menghampiri dan mengambil alih hadiah itu. "Memang ada-ada saja si Robbi, Mas sampai malu sendiri melihatnya hingga disembunyikan di sana biar kamu tidak usah lihat.""Ya." Rasti menjawab dingin. Ia keluar kamar dan membiarkan suaminya berganti pakaian.Rasti bolak balik di teras rumah, padahal matahari sudah terbenam dan langit menjadi gelap.Rasanya ia tidak bisa memendam perasaan yang kini menghantuinya.Rasti menghubungi Pak Salim, kebetulan ia memiliki kontak ponselnya karena memang pria itu adalah konsumen setia mereka dari dulu.[Rasti. Tumben sekali. Ada apa?] Pak Salim menjawab dengan nada ceria. Barangkali ia berharap ada kabar gembira tentang wanita pujaannya setelah beberapa kali mendapat sinyal bagus.[Eum ...] Ragu sekali Rasti menanyakannya. [Hadiah itu?][Hadiah?] tanya Pak Salim.[Hadiah dari ibu.][Oh, ya. Apa Bu
Rasti setuju akan rencana suaminya untuk membawanya pergi berlibur. Sejak menikah memang tidak ada waktu berdua, hari-hari bahagianya bahkan nyaris kandas karena masalah yang timbul dari sang ibu."Apa sudah izin ibu?" Raihan bertanya sesaat sebelum berangkat. Keduanya sudah berada di dalam mobil. Rasti menggeleng, ibunya masih belum keluar dari kamar. Toko sudah disterilkan oleh gadis itu. Menggunakan strategi diskon untuk menghabiskan stok kue dan itu berhasil. Ia bahkan pulang lebih awal untuk menyiapkan pakaian. Raihan meminta sore ini langsung berangkat, hanya menginap di hotel terdekat sebelum pergi jalan-jalan ke luar kota. Mengurai ketegangan saja."Ibu tidak keluar dari kamarnya. Dan---" Rasti menggigit bibir. Sejak kemarin malam ia belum lagi berbicara dengan sang ibu. Wanita itu terlihat lebih tertekan dan mengunci diri setelah mendapatkan bentakan beberapa kali dari Rasti."Apa sebaiknya kita izin dulu?" Raihan masih memberi kesempatan kepada istrinya untuk berbicara deng
Hari-hari berlalu, rumah yang biasanya rame meski hanya berdua mendadak sepi seperti kuburan.Rasti dan ibunya masih satu rumah, tapi mereka tidak lagi bertegur sapa, lebih tepatnya Rasti memilih menghindari dari sang ibu. Ia pun tidak lagi pergi ke toko, keluar rumah setiap pagi, berjalan tanpa tujuan sekedar menghindari ibunya dan kembali saat wanita itu sudah pergi ke toko."Neng Rasti, Nak Raihannya mana kok jarang terlihat?" Banyak orang yang bertanya-tanya, gadis itu hanya tersenyum kecil menanggapi.Rasti memblokir nomor suaminya. Ia tidak ingin lagi ada komunikasi diantara keduanya. Keputusan Rasti untuk melepaskan pujaan hatinya demi sang ibu sudah bulat.Malam-malam, isak tangis terdengar menyayat. Rasti sering bangun dan menangis sendirian, cinta yang besar pada Raihan membuat hatinya terluka sangat dalam."Nak." Malam itu, Rasti mendengar ibunya mengetuk pintu, hampir satu minggu tidak ada komunikasi, sekarang akhirnya Bu Mayang memberanikan diri.Ia sudah bolak-balik di d
Rasti menutup toko kuenya lebih cepat dan membawa ibunya segera pulang. Akan menjadi bahan gunjingan orang-orang saat melihat keadaan ibunya, sekarang. Padahal, gosip tentang pernikahannya dengan Raihan pun masih belum reda."Ibu istirahat saja." Rasti membawakan minuman dan membersihkan luka pada jemari tangan ibunya. Terluka karena benda-benda yang dijatuhkan dan dilempar dengan sengaja. Kali ini Rasti benar-benar baru melihat kemarahan ibunya hingga seperti itu, hingga rasa penasaran pada wanita tua yang datang kemarin semakin menjadi.Bu Mayang semakin murung. Kelopak matanya terlihat sembab dengan tatapan mata yang semakin lemah. Sehari-hari ia hanya melamun. Rasti sangat khawatir akan keadaan ibunya, namun terpaksa ia harus meninggalkannya agar bisa tetap membuka toko. "Di mana ibumu?" Wanita tua itu kembali datang seperti janjinya. Tidak hanya sendiri ia datang bersama dua orang pria sekarang. Satu bertubuh besar dan kekar, satu lagi kira-kira seusia dirinya atau hanya lebih m
Bu Mayang tertawa-tawa senang, Rasti mendengarnya dengan risih. Terlalu berlebihan ibunya mengekspresikan kebahagiaan. Sesekali suaranya bahkan terdengar mengumpat."Kamu pikir aku masih sama?""Tidak! Dia mencintaiku dan akan melakukan apapun untukku! Kamu harus terpaksa kalah wanita tua!"Rasti menguping ibunya berbicara, diselingi tawa yang membuat gadis itu malah khawatir dibanding ikut bahagia karena toko mereka tidak jadi diambil alih.Belum lagi kata-kata sumbang itu membuat hati Rasti perih, ia tidak tahu siapa yang sebenarnya ibunya maksud, tapi entah kenapa perasaannya mengarah pada Raihan. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya untuk berbagi segalanya dengan ibunya bahkan masalah pria.Sudah lebih 2 minggu perpisahan Rasti dengan Raihan. Mereka sudah tidak lagi menjalin komunikasi, tapi hubungan ibunya dan Raihan terlihat baik-baik saja. Pria itu bahkan datang hanya untuk menemui sang ibu alih-alih berupaya berbaikan dengannya.Rasti mengambil ponsel. Berkali-kali ia berp
"Anda bernama, Raihan?" Seorang suster menghentikan pria itu mengelus punggung istrinya."Benar, Sus.""Ibu Anda ingin bertemu.""Ya." Raihan berdiri. Ekor matanya melihat Rasti yang masih duduk membungkuk. Ia masih menata hati, kabar itu membuatnya syok. Lalu, tiba-tiba suster mengatakan kalau ibunya ingin bertemu dengan Raihan, alih-alih menanyakan putrinya sendiri."Ayo." Raihan mengajak Rasti untuk menemui Bu Mayang.Rasti menyeka air mata dan menstabilkan emosi. Ia berjalan di belakang pria itu, berjaga barang kali ibunya memang sedang tidak ingin bertemu dengannya dan ia tidak bisa lagi menuntut pertanyaan apalagi keadilan. Rasti tahu ibunya tengah sakit dan bukan waktunya dihakimi."Syukurlah kamu masih di sini." Tangan Bu Mayang menyambut kedatangan Raihan."Ibu sudah baikan?""Aku baik-baik saja." Ia kembali tersenyum, menggenggam tangan Raihan dengan lembut."Aku dan Rasti membutuhkanmu. Mari kita pulang ke rumah," ucap Bu Mayang.Raihan melirik Rasti, lalu mengangguk. Bu Ma
Raihan baru saja berganti pakaian setelah selesai mandi. Apartemennya cukup nyaman dan luas, jika hanya ditempati oleh pasangan suami istri dan satu anak. Ia memang membelinya saat masih single. Rasti bahkan belum sempat tahu. Sebenarnya satu sama lain diantara keduanya belum saling mengenal lebih jauh. Sebelum menikah, mereka hanya sempat pergi beberapa kali, sebelum memutuskan untuk mengakhiri hubungan tali kasih dengan ikatan pernikahan. Raihan pikir tidak punya banyak kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan hanya bermain-main saja. Siapa sangka ia seperti terjebak dalam dilema, cinta semakin kuat saat gadis itu menjadi istrinya, rasanya ia masih belum bisa menerima jika harus kehilangan sekarang, di mana pucuk cintanya baru saja mekar dan tidak ada cacat pada wanita yang dicintainya itu.[Ada apa? Sudah aku bilang, aku tidak mau pergi denganmu!] tukas Raihan saat mengangkat panggilan dari asistennya. Setelah pulang kerja, mode mereka biasanya lebih seperti teman.[Saya tidak b
Pria berpakain hitam itu keluar dari tempatnya bersembunyi. Motornya melaju menapaki rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela bebatuan. Ia sangat jarang keluar saat terang, biasanya hanya ditemani pemilik malam. Siang ini, satu keberanian muncul, temannya bukan lagi rembulan yang sembunyi di balik awan, tapi matahari yang terang menantang.Sampai di depan rumah besar, ia berbelok dan menaikkan motornya, menyusuri samping pagar yang menjulang tinggi untuk menemui seseorang. Ia menaikkan satu kerikil kecil memberi kode. Biasanya ia harus menunggu beberapa waktu agar penghuni rumah itu merespons. Sayangnya, setelah berkali-kali menghubungi lewat ponsel pun tidak ada diangkat juga. Itu alasan kedua, kenapa pria itu berani muncul pada siang hari dengan identitas yang selama ini disembunyikan.*"Tidak ada satu orang pun yang menghargaiku di rumah ini." Pak Bagus menarik napas sesak. Bertahun-tahun, puluhan tahun tepatnya ia hanya hidup sendiri. Dijadikan alat untuk mencari uang demi memenu
"Ada kekacauan apa ini?" Bu Nawang mendengar keributan di kamar cucunya. Padahal ia baru saja tiba, suara itu sampai hingga pintu depan."Zaki marah, Bu," jawab Dara mengiba."Marah kenapa?""Mas Bagus menempatkannya sebagai OB di perusahaan.""Apa?""Itu dia, Bu. Zaki menunggu Ibu datang. Ia sangat malu karena banyak yang mengolok-oloknya. Kami malah jadi tontonan karyawan kantor. Orang-orang mengumpat kami di belakang."Mendengar suara neneknya di balik pintu Zaki berpikir sejenak. Ia mengambil serpihan benda dan melukai tangannya hingga mengalirkan darah merah. "Nenek!" Anak lelaki itu menghambur, menangis sejadinya. "Nenek akan berbicara dengan papamu," ujar Bu Nawang."Nenek. Zaki malu, Nek. Kenapa papa seperti itu, bukankah aku adalah pewarisnya?" Zaki menangis tersedu. Memeluk neneknya erat."Benar. Kamu adalah pewaris keluargaku. Semua kekayaanku akan turun padamu.""Aku akan menjalankan perusahaan dengan baik, Nek. Menyenangkan nenek dan menurut apapun pada keinginan, Nenek.
Rasti menjadi gundah gulana. Ia tak berhenti bolak balik di dalam tokonya, bak orang yang tengah sembelit dan sulit untuk keluar. Matanya tidak berhenti menatap jam dinding yang terasa bergerak cepat. Jam makan siang akan segera tiba, berkali-kali gadis itu merasa greget dan sangat ingin menghentikkan detik jarum jam agar berhenti saja, agar waktu makan siang itu tidak pernah ada. "Apa dia sengaja?" Rasti bergelut dengan pikirannya sendiri. Selain itu, hal yang membuatnya resah adalah Raihan tidak lagi menghubungi padahal jelas ia menutup panggilannya secara sepihak dan mengakhirinya dengan marah. "Mana ada lelaki peka. Dia malah senang 'kan? Siapa yang tidak suka makan siang ditemani gadis cantik dan berpenampilan menarik?" Rasti menjadi sangat geram saat ia mengingat pakaian pegawai kantoran yang memang biasa terlihat rapi."Bu! Bu!" Rasti mengetuk pintu. "Aku tutup dulu tokonya sebentar ya, Bu. Aku akan kembali setelah jam makan siang.""Ya." Hanya ada jawaban itu dari dalam sana.
Pak Bagus pergi dari rumahnya seperti biasa. Ia pamit untuk berangkat kerja namun berbelok di persimpangan untuk menemui teman yang sudah ia beritahu sebelumnya. Tidak terlalu jauh jaraknya hingga ia tidak perlu menghabiskan banyak waktu. Akhir-akhir ini, ibunya tahu kalau ia jarang pergi ke kantor karena mencari keberadaan Rasti dan Mayang. Setelah malam di mana Mayang datang dan mengatakan Rasti terluka, Bagus tahu kalau ibunya telah mengingkari janji mereka."Apa yang bisa saya lakukan, Pak?" Seorang lelaki berumur sedikit di bawahnya datang menghampiri. Bagus sudah sampai lebih dulu, ia menunggu di bawah jembatan besar, di mana jarang orang yang melihat keberadaan mereka dari atas sana. "Bagaimana dengan aset yang aku titipkan padamu?" tanya Pak Bagus tanpa menoleh. Pandangannya tetap tertuju pada aliran air sungai yang terlihat lebih surut."Aman, Pak. Perkebunan sawit sebentar lagi sudah bisa dipanen. Villa pun ramai pengunjung. Sapi-sapi yang di pelihara oleh para petani pun s
[Iya, Bu.][Aku sudah di depan rumah mertuamu. Kenapa tidak ada yang membuka pintu?][Apa? Ibu sudah berada di depan rumah?] Mata Raihan melotot menoleh pada Rasti yang bingung. "Ibu Widia ada di depan rumahmu?" bisiknya."Apa?"[Ibu tunggu, sebentar. Aku dan Rasti segera datang. Ibu Mayang mungkin sedang tidur, beliau kurang sehat.][Benarkah? Kalau begitu cepatlah!][Iya, Bu. Sebentar lagi Raihan sampai.]"Bagaimana ini, Mas?" Rasti mulai khawatir begitu pula Raihan. Pria itu menambah kecepatan laju mobilannya agar lebih cepat sampai."Ibu tidak memberitahuku kalau beliau akan datang.""Apa ibu tahu kalau kita---?"Raihan melihat kegugupan Rasti sebentar, lalu menggeleng. "Aku belum menceritakan apapun tentang pernikahan kita, karenanya ibu datang ke rumah."Rasti mengangguk paham. Namun, ia mengkhawatirkan keadaan ibunya. Tadi pagi, penyakitnya kembali kambuh, gadis itu khawatir ibunya semakin meracau."Aku takut ibu Mayang berlaku macam-macam pada Ibu Widia, Mas. Kalau ibu berpik
"Dia pikir dia akan menang!" Bu Nawang menghembuskan napasnya berkali-kali ia terlihat gelisah dan kepanasan. Menahan emosi yang meletup-letup tak karuan. "Perempuan itu memang duri, bahkan sudah puluhan tahun dia tetap jadi duri!" umpatnya lagi.[Hallo! Aku ingin kamu datang, besok pagi.] Nenek tua itu menghubungi seseorang. "Dia hanya wanita miskin. Mana bisa dia menyewa pengacara sehebat aku!" gumannya lagi dengan gelak tawa. Mengobati kekesalan dirinya sendiri. "Tidak sudi sepeserpun hartaku digunakan dan tertelan oleh mereka."Pak Bagus yang hendak menanyakan itu sudah mendengar secara langsung. Ia berdiri dan melihat semuanya. Apa yang dikatakan Rasti ternyata benar. Pria itu mengurungkan niatnya untuk masuk dan bertanya pada ibunya. Ia melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja. Ruangan paling nyaman di rumah besar itu, karena jarang ada orang yang datang untuk masuk. Ia lebih suka menghabiskan waktunya sendirian.Bagus duduk di kursi kerjanya. Bertahun-tahun lelaki itu menuruti
"Ibu minum dulu." Rasti membawakan ibunya segelas air. Wanita itu bangun dan duduk untuk menghabiskan segelas air minum yang dipegangnya saat ini. Energinya terkuras habis, suaranya pun serak karena terus menangis. Rasti pun menyiapkan potongan kue yang dibeli ibunya bersama Pak Salim, menyiapkannya ke dalam piring. Gadis itu menaburkan obat yang telah digerusnya menjadi bubuk kecil hingga tersamarkan. "Rasti tinggal dulu, sebentar." Gadis itu tengah beranjak saat tangan ibunya menggenggam. "Bagaimana kalau rumah ini benar-benar diambil Bu Nawang?" lirihnya lemah.Rasti membalas tatapan ibunya yang lemah, mengusap punggung telapak tanganya. "Kita tidak akan kehilangan apapun lagi, Bu. Rasti tidak akan membiarkan itu. Rasti akan mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak ibu." Bola mata Bu Mayang melihat keberanian yang terpancar. Jarang sekali, putrinya menatap seperti itu, seperti ada ruh berbeda yang mengisinya kini."Istirahatlah! Jangan pikirkan apapun lagi. Ibu sudah cukup
Rasti mencoba mengenakan beberapa pakaian, entah apa yang ada dalam pikirannya, pagi ini. "Ini terlalu formal." Rasti menghempaskannya di atas ranjang. Ia kembali memilih, sebenarnya tidak banyak pilihan. Tapi, karena hatinya bingung antara harus berpenampilan bagus atau biasa saja."Bukankah ini akan terlihat aku sangat menantikan pertemuan ini?" Gadis itu kembali menggeleng di depan cermin. Melemparkannya kembali ke atas tumpukan baju yang lain."Begini lebih nyaman." Rasti memilih celana kulot dengan atasan berwarna putih. "Enggak Rasti! Raihan akan berpikir kalau kamu mendapat kesulitan setelah berpisah dengannya." Gadis itu putus asa. Ia merentangkan tubuhnya di atas pakaian yang berserakan di atas kasur."Sebaiknya aku batalkan saja pertemuan ini." Pikirannya buntu. Tatapan lemas menatap langit-langit kamar. Lalu, sebuah mobil terdengar masuk ke halaman. Rasti menengoknya. Taksi yang dipesan Raihan sudah sampai."Tunggu sebentar, Pak." Ia melambai dari jendela kamar saat pengem