Share

Kamera Tersembunyi

"Boleh kita istirahat, malam ini?" Rasti berkelit lemah saat tangan Raihan menyibak rambutnya. "Hatiku sedang tidak enak."

Raihan mengangguk. Ia adalah pria yang baik, mengerti keadaan istrinya. Dari sejak pulang kerja dan beberapa kejadian random setelahnya memang membuat situasi keduanya tidak nyaman.

"Tidurlah kalau begitu." Raihan mengecup pipi Rasti yang berbantal puhu tangannya.

Pria itu mendengkur terlebih dulu, Rasti hanya meliriknya dengan ekor mata, dan suaminya benar-benar sudah terlelap, berbeda hal dengan dirinya yang masih terjaga. Pikirannya kacau, dipenuhi dengan dugaan-dugaan jelek tentang ibunya.

Rasti beringsut, ia turun dari ranjang dan membiarkan Raihan tidur tanpa terganggu dengan pikirannya yang kacau. Wanita itu berjalan mengendap-endap untuk keluar. Ia berdiri di depan kamar ibunya untuk beberapa saat. Lalu, memberanikan diri mendorong pintunya lagi. Kamar mereka memang tidak pernah dikunci, hidup berdua di rumah itu, seolah tidak ada privasi. Hanya sekarang saja, Rasti mengunci pintu kamarnya.

Ibunya sudah tidur di balik selimut. Lengannya keluar dan mengenakan daster panjang khas pakaiannya. Gaun malam yang berserakan sebelumnya di lantai tidak terlihat lagi.

'Apa tadi sebenarnya ibu sedang berganti pakaian dan aku tiba-tiba membuka pintu kamarnya tanpa permisi?' batin Rasti menghela napas, sedikit lega akhirnya ada pikiran baik yang terlintas.

"Sebaiknya aku memang harus lebih hati-hati. Di rumah kami bahkan ada Mas Raihan, sekarang," gumam Rasti hendak menutup pintu dan kembali.

"Rasti." Ibunya tiba-tiba terbangun.

"Maaf, Bu, menganggu. Rasti hanya memeriksa apa ibu sudah tidur atau belum." Rasti gugup terpergok mengintip.

"Tidak apa-apa. Ibu sebenarnya belum tidur. Udaranya terasa gerah sekali." Bu Mayang menyingkap selimut. Mata Rasti memicing, ia seperti melihat baju silver yang dikenakan ibunya tadi.

"Rasti mau minta maaf karena tadi---"

"Tidak apa-apa. Ibu sedang berganti pakaian. Tapi, sekarang terasa sangat panas." Bu Mayang memukul-mukul dadanya pelan.

"Panas?" Rasti bergumam, ia merasakan hawa yang normal seperti biasanya. Kenapa ibunya terlihat seperti kepanasan.

"Raihan masih bekerja?" Bu Mayang mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, Bu. Mas Raihan sudah tidur."

"Kok, tidur sih?"

"Lelah mungkin, Bu."

"Masa sih. Biasanya pengantin baru nggak ada lelahnya, Rasti. Apa jangan-jangan kamu yang menolaknya?"

"Ya?" Rasti kikuk. Jujur ia malu setiap kali ibunya menyinggung hal itu, tapi seolah tidak peduli dan terus saja berkata hal-hal sensitif seperti itu.

"Nggak boleh nolak, dosa. Kamu itu harus menawarkan, bukan menolak. Pengantin baru itu normalnya 4 sampai 6 kali. Cuma sekali saja sudah kamu tolak."

Rasti kembali mendapat dorongan halus dari ibunya untuk kembali ke kamar. Dengan bingung ia menurut saja. Kata-kata ibunya terus terngiang, hingga Rasti mulai membelai wajah suaminya yang tengah terlelap.

Sentuhan itu ternyata membangunkan Raihan. Rasanya tidak ada laki-laki yang digoda hanya diam. Malam itu pun berlalu layaknya pasangan muda yang sedang dimabuk asmara. Dunia hanya milik berdua, keduanya mungkin lupa seatap dengan mertua.

_________

"Segaaar!" Bu Mayang mengeringkan rambutnya yang basah di depan cermin. Pintu kamarnya terbuka, Rasti yang baru saja bangun dan sengaja ingin mandi sebelum adzan subuh berkumandang agar tidak ketahuan ibunya malah menyaksikan ibunya sudah mandi lebih dulu. Sama seperti malam-malam sebelumnya dengan rambut basah, wajah riang dan bahkan senandung-senandung lirik cinta yang biasa dilantunkan anak muda.

"Ibu, bukannya punya alergi dingin. Kok, sekarang tiap subuh mandi?" Rasti tidak bisa menahan rasa penasarannya untuk bertanya.

"Kamu sudah bangun?" Bu Mayang menoleh, rambutnya terlihat berkilau kehitaman. "Ya, tidak apa-apa, kalau tiap bangun sebahagia ini, ibu rela mandi setiap pagi."

Terpancar jelas kebahagiaan itu di wajah ibunya, meski tidak diutarakan. Penampilan ibunya pun lebih fresh dengan rambut yang sepertinya sengaja dicat baru.

Rasti benar-benar bingung. Ia tidak bisa menepis pikiran buruk terhadap perubahan sikap ibunya, walaupun beberapa kali menghadirkan pikiran positif.

*

Setelah suaminya berangkat bekerja, Rasti merapikan kamar. Ibunya pun biasa pergi ke toko kue yang mereka miliki sejak dulu. Peninggalan ayahnya. Menurut cerita sang ibu pada Rasti.

Bu Mayang terkenal sebagai single parents dengan wajah cantik. Tidak sedikit pria yang ingin meminangnya, tapi ia enggan menikah lagi. Hidup berdua bersama putrinya_Rasti sudah cukup untuknya.

Brank! Rasti menjatuhkan figura foto di balik lemari buku kecil yang ada di kamarnya. Ia tidak sengaja menyenggolnya dan penyanggahnya patah.

"Ya, ampun." Rasti mengambilnya lagi dan hendak menyandarkan kembali. Namun, alisnya berkerut melihat sebuah mata lensa yang menempel di lemari.

"Apa ini?" Rasti mencopotnya. Ia memutar dan melihat benda berbentuk persegi mirip dadu itu. Mata lensanya tertuju tepat pada ranjang mereka.

Rasti tidak mengerti apa yang ditemukannya, itu hanya sebuah mata lensa yang sangat kecil. Tidak ada yang lain selain itu. Wanita itu segera mengambil ponsel dan memotretnya, mencari di pencairan g****e.

"Kamera tersembunyi?" gumamnya setelah membaca hasil pencarian.

"Siapa yang memasangnya di sini?" Pertanyaan itu tiba-tiba terpikirkan di kepalanya.

"Apa mungkin mas Raihan?"

Rasti mencoba memanggil suaminya itu. Namun, panggilannya tidak kunjung dijawab.

"Apa fungsinya kamera ini?" Rasti masih terduduk di bibir ranjang seraya menggenggam lensa kamera itu.

"Apa mungkin dia bisa merekam semua aktivitasku dan mas Raihan di kamar ini?" Perasaan itu berkecamuk dengan sendirinya. Betapa malunya, jika semuanya terekam. Refleks Rasti bahkan melemparkan kamera itu dan menggelinding ke bawah lemari.

Hati Rasti semakin resah, ia tidak bisa membayangkan jika kamera itu disimpan bukan oleh suaminya. Tangannya bahkan bergetar saat terus mencoba menghubungi Raihan. Sayang, panggilan itu masih belum diangkat. Kemarin malam, Raihan memang berkata bahwa akan ada meeting penting hari ini hingga ia harus menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai, tadi malam.

Rasti mencoba melanjutkan pekerjaannya membersihkan rumah, hatinya masih belum tertata dengan baik, tapi demi meredakan frekuensinya yang meletup-letup wanita itu mencoba mengalihkannya.

Rumah itu adalah rumah peninggalan ayahnya, tidak terlalu besar hingga Rasti bisa membersihkannya sendiri. Sebelum berencana menikah, ibunya meminta agar Rasti tidak meninggalkannya sendiri dan meminta putri satu-satunya itu untuk tetap tinggal bersama dengannya. Rasti paham permintaan itu, ibunya tidak memiliki siapa pun selain dirinya. Itu adalah permintaan yang wajar.

"Ponsel ibu ketinggalan?" gumam Rasti menemukan ponsel ibunya di ruang tengah. Rasti mengambilnya untuk membersihkan lemari pajangan tersebut dan memindahkannya ke tempat yang lebih aman.

'Video Anda sudah terunduh.'

Sebuah pemberitahuan tiba-tiba muncul di layar ponsel.

"Video?" Rasti mendekatkan jarak matanya untuk melihat, tangannya refleks menjatuhkan ponsel itu kesebuah laci saat ia melihat adegan terlarang menjadi latar pembukanya.

"Rasti! Apa kamu melihat ponsel ibu?" Wanita itu langsung berbalik dan mendapati ibunya yang sudah berdiri di belakang.

"Tidak," jawab Rasti gugup. Pura-pura mengelap lemari pajangan.

"Ibu lupa membawanya." Ia mencari ke kamar dan terlihat bolak-balik saat Rasti mengintipnya.

"Ternyata ini." Ibunya menemukan ponsel itu dan kembali. "Ibu ke toko lagi, Rasti," teriaknya sembari berlalu.

Rasti tergugup mematung. Kenapa bisa kebetulan dua kejadian itu berturut-turut. Pertama, ia menemukan kamera tersembunyi, kemudian unduhan video terlarang ibunya di dalam ponsel.

"Tidak! Tidak mungkin ibu yang melakukannya! Pikiran apa itu?" Rasti menolak keras, meski bukti-bukti itu mengarah dengan jelas.

"Untuk apa ibu melakukannya?"

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status